Sabtu, 31 Juli 2010
Bonus Ramadhan
(Ketua Pemuda Persis Bekasi)
"Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana juga telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (Q.S. Al-Baqarah/2: 183)
Suatu ketika direktur perusahaan di tempat Anda bekerja memanggil Anda ke kantornya. Ia memberitahukan bahwa berkat prestasi kerja Anda selama ini, Anda akan dipromosikan untuk menduduki jabatan yang prestisius. Namun dengan satu syarat, pekan depan Anda harus mengikuti seleksi kerja satu bulan penuh.
Seleksi yang setelah Anda tanyakan ternyata relatif ringan bahkan dengan bonus yang menggiurkan. Bagaimana tidak hanya dengan melakukan kerja yang standar Anda akan dapat bonus 10 kali lipat bahkan sampai 700 kali lipat. Ternyata itu belum seberapa, Anda pun dijanjikan jika berhasil melewati seleksi tahap akhir dengan predikat sangat memuaskan maka Anda akan diberikan jaminan kebutuhan hidup selama 83 tahun lebih. Wow! Sangat menggiurkan.
Kiranya sudah mulai pahamkah Anda akan saya bawa ke mana arah cerita ini? Tentu sebagai Muslim yang cerdas Anda akan sontak menjawab "Inilah Ramadhan yang akan kita jumpai tidak lama lagi."Ya, inilah Ramadhan. Bulan yang selain gaji tetap, akan didapatkan juga bonus 10 hingga 700 kali lipat bahkan bisa jauh lebih besar daripada itu. Bahkan, jika prestasi seleksi amalan di bulan ini konsisten sampai akhir, maka bonus pahala 1.000 bulan (83 tahun lebih) bisa anda raih.
Bulan yang telah Allah informasikan kepada Anda 1.500 tahun yang lalu, tidak seperti direktur Anda yang memberikan informasi hanya sepekan sebelum hari H. Jelas sekali persiapan dan perbekalan Anda akan jauh lebih paripurna. Aneh nian, jika Anda masih ragu dan gagap saat Ramadhan tiba padahal Anda punya waktu 11 bulan untuk bersiap-siap menyambutnya. Bahkan, Anda sudah mengetahuinya sepanjang hayat Anda.
Lihatlah para shahabat Rasulullah SAW, manusia-manusia langit itu luar biasa gembira menyambut Ramadhan dan luar biasa pilu ditinggal Ramadhan. Mereka berharap setahun itu bulannya adalah Ramadhan semua. Layaknya Anda yang begitu meluap kegembiraan saat bulan seleksi itu tiba menghampiri Anda. Kegairahan memuncak untuk menelusuri satu ibadah yang Allah berkenan memberikan pahala melimpah-ruah secara langsung.
Allah menyeleksi manusia, kira-kira manusia macam apakah yang akan sanggup melaksanakan aturannya yang ini. Ternyata Allah mengatakan "Wahai orang-orang yang beriman", duhai berbahagialah orang yang beriman kepada Allah kerena mereka lulus seleksi, yang bukan hanya mengaku Islam, karena predikat Muslim saja tidak cukup layak mengikuti lomba superhebat di bulan Ramadhan. Mereka tidak akan mampu, akan kepayahan …
Mereka, yang hanya Islam saja, sebagaimana sudah Rasulullah ingatkan "Betapa banyak orang yang shaum namun tidak mendapatkan apa-apa dari shaumnya kecuali rasa lapar dan dahaga."
Mereka tidak tahan untuk tidak makan minum, tidak tahan untuk konsisten shalat tarawih, tidak tahan berlama-lama membaca Alquran, tidak tahan untuk tidak mencaci orang lain, tidak tahan berbaik sangka kepada orang lain, tidak tahan untuk membatasi apa yang dia makan saat berbuka dan tidak tahan untuk tidak berhura-hura saat malam 'Idul Fitri, padahal itu berpotensi menghapus seluruh pahala Ramadhan yang susah payah ia kumpulkan.
Memang nyata, kita belum seperti para sahabat Rasulullah SAW, mungkin Anda atau saya bahkan merasa biasa-biasa saja dengan datangnya Ramadhan. Atau yang lebih celaka, justru khawatir dan takut menjalani Ramadhan. Na'udzubillah. Yang menyambut gembira Ramadhan adalah orang beriman, yang menyambut dengan ekspresi datar agak berat mungkin fasik, yang malah takut dan khawatir bisa jadi munafik atau bahkan kufur.
Baiklah, ternyata bagi yang merasa berat, Allah telah sebutkan bahwa kewajiban shaum itu "telah diwajibkan juga kepada orang-orang sebelum kalian", kalau umat-umat terdahulu saja sudah diwajibkan shaum lalu kenapa kita harus merasa berat seolah-olah hanya kita yang diberikan 'beban'. Maka, bagi siapa saja yang merasa terbebani oleh kewajiban shaum, sungguh ia hanya sekadar menggugurkan kewajiban tanpa mendapatkan saripati dari ibadahnya sedikit pun. Sia-sia
Orang yang beriman dan bersabar tanpa terbebani akan dengan mudah mendapatkan saripati ibadah shaum Ramadhan sebagaimana target shaum itu sendiri, yakni "supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa," kata Allah. Takwalah puncak prestasi keimanan tertinggi, yang Allah tegaskan bahwa insan paling mulia di sisi-Nya adalah insan yang bertakwa.
Takwa adalah konsistensi iman dan amal shaleh. Seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah "nasihatilah aku yang tidak akan aku minta lagi kepada orang lain". Rasul menjawab, "katakanlah: aku beriman kepada Allah, lalu konsistenlah kamu dalam keimanan itu". Iman plus konsistensi adalah takwa. Maka, ciri orang yang sukses meraih predikat takwa dari ibadah Ramadhan adalah konsistensi ibadahnya di bulan-bulan lain sama seperti yang dilakukannya di bulan Ramadhan.
Shaum Ramadhan adalah start bukan final, adalah awal bukan akhir dari perjalanan ibadah sepanjang hayat kita. Maka, tidak ada hari kemenangan bagi yang melaksanakan ibadah Ramadhan dengan biasa-biasa saja, yang asalkan tidak makan, minum, dan bersenggama. Sementara hewan pun jika hanya sekadar itu mampu melakukannya.
Shaum Ramadhan adalah ibadah yang berfungsi sebagai charger untuk on-nya ibadah di 11 bulan berikutnya. Adalah mengerikan, orang berduyun-duyun di akhir Ramadhan merayakan hari kemenangan, sementara mereka sudah tidak lagi berpuasa. Kembali ke kulit palsunya yang mereka tahu bahwa itu palsu. Memang benar, orang paling bodoh adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu namun sok tahu seolah-olah dirinya tahu. Benarlah, hanya yang beriman dan bersabar (ihtisaban) dalam ibadah Ramadhanlah yang akan diampuni dosa masa lalunya.
Kemenangan sebenarnya dari Ramadhan ditentukan oleh 11 bulan berikutnya. Tarawihnya di bulan Ramadhan berlanjutkah dalam tahajud di bulan berikutnya, tilawah Qurannya di bulan Ramadhan berlanjutkah di bulan berikutnya, zakatnya di bulan Ramadhan berlanjutkah di bulan berikutnya, dermawan dan pemaafnya di bulan Ramadhan berlanjutkah atau kembali menjadi bakhil dan pemberang selepas bulan itu? Allahumma sallimnaa Ramadhan, wa sallim Ramadhana lanaa mutaqabbalan
Teman Sejati
Alkisah, Sudrun dikenal sebagai orang terkaya di sebuah negeri. Suatu hari, mendadak ia sakit dan sekarat. Ia lantas memanggil satu per satu dari keempat istrinya. Dimulai dari istri keempat, istri termuda yang paling cantik dan paling dicintainya.
Pak Sudrun minta sang istri agar bisa mati bersama-sama, sebagai bukti cintanya dengan suami sehidup-semati, sebagaimana yang telah diikrarkan bersama. Tapi, sang istri menolak dan menyatakan hanya bisa menemani suaminya selagi ia sehat. Sudrun pun kecewa.
Ia lantas memanggil istrinya yang ketiga. Permintaan yang sama diajukan. Hasilnya, istrinya juga menolak. Sudrun kemudian memanggil istri kedua dengan permintaan yang sama. Sang istri menyatakan siap menemani Pak Sudrun, tetapi hanya sampai di pemakaman saja.
Terakhir, Sudrun memanggil istrinya yang pertama. Istri yang banyak disia-siakan dan ditelantarkannya karena sibuk dengan istri-istrinya yang lain. Di luar dugaan, istri pertamanya menyatakan kesediaannya menemani sang suami, dari dunia hingga akhirat.
Kisah ini hanyalah sebuah metafora, tetapi penting untuk direnungkan. Istri keempat adalah simbol dari dunia. Dunia sangat menawan dan menarik hati bagi kebanyakan manusia. Tapi jangan lupa, ia memiliki watak menipu dan mengecewakan.
Istri ketiga adalah simbol dari jasad (badan kasar). Ia bersama kita selama roh (hayat) masih dikandung badan. Istri kedua adalah simbol dari harta dan kekayaan yang kita miliki. Ia tak bisa dibawa mati. Istri pertama adalah simbol dari kebaikan dan amal saleh kita. Dialah teman sejati kita, sehidup-semati, baik di kala suka maupun duka.
Dalam hadis sahih diterangkan bahwa setiap jenazah diantar ke pemakaman, maka hanya tiga perkara yang ikut serta bersamanya. Dua perkara kembali lagi, yaitu keluarga dan hartanya, sedangkan yang satu lagi tetap bertahan bersamanya.
Para sahabat bertanya kepada Rasul, "Wa ma al-wahid, ya Rasulallah?" (Apakah gerangan yang satu itu, wahai Utusan Allah?) Rasulullah menjawab, "Itulah amal saleh." (HR Bukhari dan Muslim dari Anas Ibn Malik).
Karena itu, teman sejati pada hakikatnya bukanlah suami, istri, anak, atau siapapun. Teman sejati, tak lain, adalah kebaikan dan amal saleh yang dilakukan secara tulus karena Allah. Inilah sesungguhnya makna firman Allah: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a`lam.
Rabu, 28 Juli 2010
Kesalehan Diri dan Sosial
Eksistensi umat Islam laksana ikatan sapu lidi. Apabila terlepas satu atau beberapa batangnya, maka ikatannya akan longgar. Ia mudah dipatahkan dan dicerai-beraikan. Umat Islam harus satu visi dan misi supaya tercipta kekuatan yang mahadahsyat. Karena itu, diperlukan kesalehan antarpersonal dengan Tuhannya, dan kesalehan di antara individu itu sendiri.
"Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Alquran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, Dialah sebaik-baik pelindung dan Sebaik-baik penolong." (QS al-Hajj [22]: 78).
Ayat ini menekankan setiap Muslim untuk membangun kesalehan diri dan kesalehan sosial secara linier dan berkesinambungan. Tujuannya, agar senantiasa umat Islam berada dalam kemenangan, sebagaimana yang tecermin dalam rukuk dan sujud sebagai bentuk pengabdian tertinggi kepada Allah SWT.
Sedangkan maksud "tunaikanlah zakat" adalah supaya manusia bisa saling merasakan kekurangan yang dialami sesamanya, dan itu merupakan cermin kesalehan sosial.
Di antara keduanya, mana yang harus didahulukan? Pohon tumbuh karena ada akar terlebih dahulu. Sebelum berdiri tegak sebuah pohon, akar menancap dulu di bawah tanah. Ini berarti, sebelum kesalehan sosial terbentuk, maka tiap-tiap insan harus terlebih dahulu memperkuat kesalehan personalnya. Misalnya, dalam perintah shalat, tujuannya adalah menjauhkan diri dari perbuatan keji dan mungkar.
Sudah semestinya, orang yang mendirikan shalat, akan mencerminkan dirinya sebagai seorang yang saleh, atau saleh diri. Kesalehan diri ini akan berimplikasi pada
kesalehan sosial (tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain).
"Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (QS Al-Ankabut [29]: 45).
Rasulullah SAW menggambarkan bahwa ada seorang wanita yang sangat terjaga kesalehan personalnya, namun ia masuk dalam neraka. Hal ini disebabkan oleh kesalehan personal (dirinya) tidak dibarengi dengan kesalehan sosial.
Artinya, seorang Mukmin tidak cukup hanya mendirikan shalat, mereka juga harus membayar zakat, bersedekah, berinfak, membantu orang yang kekurangan, dan perbuatan sosial lainnya. Inilah integrasi antara kesalehan ritual (diri) dengan kesalehan sosial. Dengan konsep ini, niscaya akan terbentuk sebuah komunitas Muslim yang rahmatan lil'alamin. Wallahu a'lam.
Jangan Rakus Harta
Oleh Fajar Kurnianto
*Fajar Kurnianto
Tinggal di Cimanggis, Depok
Rasulullah SAW bersabda kepada Hakim bin Hizam, "Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu indah menggoda. Barang siapa yang tidak mengambilnya dengan rakus, maka ia akan mendapati berkah. Dan, barang siapa yang mengambilnya dengan rakus, maka ia tidak akan mendapati berkah, dan ia seperti orang makan yang tidak merasa kenyang." (HR Bukhari dari Hakim bin Hizam)
Setiap orang ingin memiliki harta dunia. Ini fitrah manusia. Dan, Allah SWT tidak melarang manusia untuk memiliki harta dunia. Bumi dengan segala isinya memang Allah SWT sediakan bagi manusia. Allah SWT tidak pandang orang, baik yang beriman maupun tidak, dipersilakan untuk menikmati bumi dan isinya.
Manusia sendiri adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam konteks ini, manusia sama dengan makhluk-makhluk Allah SWT yang lain. Manusia memiliki hak, tetapi ia juga mempunyai kewajiban terhadap Sang Penciptanya. Dalam masalah harta dunia, manusia berhak mencari sebanyak-banyaknya semaksimal yang bisa ia dapatkan. Tetapi, manusia juga memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah SWT yang menyuruh manusia untuk hanya mencari harta dengan jalan yang halal dan tidak merugikan orang lain.
Selain halal dan tidak merugikan orang lain, manusia oleh Allah SWT juga diimbau untuk tidak rakus dengan harta dunia. Karena, orang yang rakus biasanya tidak menghiraukan rambu-rambu yang telah Allah SWT buat. Kerap kali bahkan rambu-rambu itu malah diterjang sehingga langkah yang ditempuh untuk mendapatkan harta itu sudah lepas dari jalan yang halal. Tidak hanya itu, bahkan akhirnya kerap kali merugikan orang lain. Harta yang didapatkannya pun hilang keberkahannya. Dan, harta yang hilang keberkahan tidak akan membawa manfaat pada orang yang bersangkutan.
Ketika manusia sudah tidak lagi sekadar menginginkan harta dunia, bahkan mereka ingin menguasai semuanya, berarti ia sudah terkena penyakit rakus yang sangat dibenci Allah SWT. Rasulullah SAW mengibaratkan orang ini dengan orang yang makan, namun tidak kenyang-kenyang. Selalu dan selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa yang didapatkannya tanpa menghiraukan orang lain yang banyak ia rugikan. Apa yang ia dapatkan? Bisa jadi hartanya bertambah banyak. Tetapi, tidak dengan keberkahannya.
Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak hanyut dan tergoda dengan kemilau harta dunia karena ia kerap kali menjerumuskan manusia pada jurang penderitaan. Allah SWT sudah mengatur rezeki setiap manusia. Rasulullah SAW pernah ditawari oleh Allah SWT dengan Gunung Uhud yang akan diubah-Nya menjadi emas untuk beliau. Namun, beliau menolaknya. Beliau tidak tergoda harta dunia, apalagi sampai rakus mendapatkannya. Wallahu a'lam.
Etika Berbicara Menurut Islam
Dibandingkan menulis, berbicara lebih mudah dilakukan. Setiap pembicaraan pasti ada maksud-tujuan yang hendak disampaikan, baik itu pembicaraan secara langsung maupun melalui media elektronik (teknologi). Saking mudahnya dilakukan, orang ketika berbicara seringkali kebablasan, bahkan tak menggunakan etika. Akibatnya, banyak kebencian dan permusuhan terjadi.
Bagaimanakah sesungguhnya etika berbicara yang dianjurkan dalam Islam? Pertama, ketika seorang Muslim berbicara hendaknya hanya untuk kebaikan (ma'ruf). Allah SWT berfirman, "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisik mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma'ruf…" (QS An-Nisa [4]: 114).
Kedua, jangan membicarakan semua apa yang didengar. Sebab, bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang, yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar." (HR Muslim).
Ketiga, berbicaralah tanpa ada rasa menggunjing (ghibah). "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." (QS Al-Hujarat [49]: 12). Menggunjing orang lain sangat dilarang dalam Islam. Sebab, orang yang menggunjing itu tidak lebih baik dari yang digunjing. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok…" (QS Al-Hujarat [49]: 11).
Keempat, berbicaralah seperlunya saja. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah bersabda, "Termasuk kebaikan Islam-nya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna." (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Kelima, berbicaralah dan jangan mendebat. Sabda Nabi, "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar." (Muttafaq 'Alaih).
Keenam, berbicara dengan tidak memaksakan diri. "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang sombong." (HR At-Tirmidzi).
Ketujuh, berbicaralah dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah RA pernah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya." (Muttafaq 'Alaih).
Sejatinya, Islam tidak melarang manusia untuk berbicara. Berbicara justru sangat dianjurkan jika mengandung manfaat dan kebaikan. Tetapi sebaliknya, sangat dilarang jika pembicaraan itu mengandung keburukan dan penyesatan. "Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir hendaknya ia berbicara yang baik-baik atau diam." (Al-Hadis).
Pilih Senang atau Tenang
Oleh M Baharun
Senang ataukah tenang yang diinginkan seseorang? Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, orang yang senang (al-Sa'id) itu belum tentu tenang (al-Nafs al-Mutmainnah). Misalnya, orang yang melakukan korupsi, tentu merasa senang karena mendapatkan harta dengan segera tanpa susah payah, dan dia tinggal menikmatinya saja. Tapi, apakah hati menjadi tenang dengan perolehan harta terlarang yang bukan haknya itu?
Demikian pula, orang yang melakukan perselingkuhan, boleh jadi ia dapat mengenyam kenikmatan sesaat, tetapi apakah hatinya jadi tenang dan tenteram? Atau, seseorang yang mengonsumsi narkoba, mungkin dia bisa merasa senang dan bahagia untuk sementara. Akan tetapi, apa benar dia tidak dihantui perasaan takut?
Jika sudah menyadari hal seperti ini, mengapa manusia itu berlaku zalim terhadap dirinya sendiri dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat. Padahal, mereka berani menanggung risiko ketidaktenangan dan ketidaktenteraman dalam hidupnya.
Kebahagiaan itu kenyataannya tidak bermula pada kesenangan, melainkan berangkat dari ketenangan. Orang yang memiliki banyak uang pasti senang karena segala kebutuhannya tercukupi, tetapi uang tidak menjamin seseorang mendapatkan ketenangan hidup.
Seringkali kita temukan, orang kaya malah jadi bertambah cemas karena takut dan khawatir hartanya berkurang atau habis. Siapa pun jika mendapatkan jabatan dan kedudukan prestisius menjadi senang, tapi adakah jabatan itu bisa membuat dia tenang dalam hidupnya? Jawabnya pasti belum tentu! Jika begitu, mengapa kita tidak mementingkan ketenangan hidup ketimbang memulai kesenangan hidup? Karena ketenangan jiwa, insya Allah akan menghasilkan kesenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Ada adagium dalam dunia tasawuf yang patut untuk direnungkan. "Lastu Aras Sa'adata Jam'a Malin, Walakin at_Taqiya Lahaiya as-Sa'idu" (Saya tiada merasa bahagia jika berada dalam kekayaan harta, tapi takwa ini bahagia yang hakiki).
Dalam Alquran, banyak sekali ayat yang menerangkan tentang tenang dan manfaatnya. "Orang tenang (mengikuti petunjuk Alquran) itu mendapat rahmat atau kasih-sayang Allah." (QS 7:204). "Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan orang-orang beriman." (QS 9:26). "Allah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang Mukmin supaya keimanan bertambah di samping keimanan mereka yang telah ada." (QS 48: 4 dan 18).
Ketenangan jiwa niscaya akan menghilangkan rasa cemas hingga hidup menjadi ringan tanpa beban. Segala penyakit fisik pun akan hilang atau berkurang dengan sendirinya jika jiwa kita menjadi tenang. Orang yang tenang akan dengan mudah mendapat kesenangan dan kebahagiaan. Sebagai orang yang beriman, sudahlah tentu kita akan memilih hidup tenang dahulu sebelum mendapatkan yang senang.
Senin, 26 Juli 2010
Kiat Menyeimbangkan Dunia dan Akhirat
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan setelah mati, yakni akhirat (QS Al-An'am: 33). Sayangnya, banyak manusia yang lupa atau bahkan melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah (QS Adzdzariyat: 56).
Perkembangan zaman yang semakin maju tidak diiringi oleh peningkatan iman kepada-Nya. Geliat perekonomian yang semakin berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan mendewakannya. Our God is dollar, itulah sekiranya yang mereka pahami.
Di lain sisi, terdapat sebagian kaum Muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Sesungguhnya, setiap Muslim hendaknya menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah SWT berfirman, "Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Alqashash: 77).
Ayat di atas merupakan nasihat Nabi Musa terhadap Qarun, seorang kaya raya pada zaman Nabi Musa. Allah telah memberinya harta yang berlimpah ruah sehingga dibutuhkan beberapa orang kuat untuk mengangkat kunci-kunci gudang hartanya (QS Alqashash: 76). Namun, kekayaannya itu malah menjauhkan dirinya dari Allah. Ia sombong seraya menyatakan bahwa kekayaannya tersebut merupakan hasil kepandaiannya. Ia menyangka bahwa Allah memberinya segala kekayaan tersebut karena Allah mengetahui bahwa dia adalah pemilik harta tersebut (QS Alqashash: 78).
Nasihat di atas berseru kepada umat manusia untuk mencari kehidupan akhirat (surga) dengan menggunakan segala nikmat yang Allah berikan, baik berupa harta, waktu luang, masa muda, kesehatan, maupun umur yang panjang.
Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga.
Ibnu Umar mengungkapkan, "Bekerja keraslah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok hari." Wallahu a'lam
Menjadikan Hidup Laksana Berbisnis
Oleh Nasrudin Jasan
Hidup di dunia laksana seseorang yang sedang berbisnis. Ia akan selalu dihadapkan antara untung dan rugi. Hidup ini juga tak ubahnya sebagai tempat berinvestasi, tempat bertanam, medan untuk mengumpulkan kebaikan (amal saleh), atau sebaliknya ‘menabung’ keburukan dan dosa-dosa.
Apa pun yang kita perbuat selama mengarungi hidup ini pasti ada konsekuensi yang akan didapatkan, baik ketika masih hidup maupun setelah mati. Konsekuensi logis yang akan diterima kelak bisa dalam bentuk kebaikan dan keselamatan, tetapi bisa pula kesengsaraan dalam kehidupan yang abadi, yaitu di alam kubur dan akhirat.
Di dalam Alquran, hal ini telah disinyalir oleh Allah SWT, “Maka, siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat zarah (ditafsirkan seperti atom), niscaya dia akan melihat balasannya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” (QS Alzilzaal [99]: 7-8).
Dalam peribahasa, disebutkan bahwa siapa yang menanam, dia pula yang akan memetik hasilnya. Artinya, siapa yang menanam kebaikan, rajin ibadah dan beramal saleh, niscaya ia akan memperoleh pahala dan hidupnya akan selamat, baik di dunia maupun di alam akhirat.
Sebaliknya, siapa saja yang berbuat jahat, melakukan kemaksiatan, menzalimi orang lain, dan meninggalkan perintah Allah, ia akan mendapatkan dosa dan pada hari pembalasan kelak hidupnya akan sengsara meskipun di dunia tampak bahagia.
Tanpa kita sadari, sebenarnya di dalam diri kita terdapat energi positif dan negatif yang selalu tarik-menarik antara bisikan malaikat dan bujukan iblis la’natullah ‘alaih. Apabila dalam hidup ini kita senang memberikan energi positif, balasan kebaikan dan pahala pasti akan kita terima. Sebaliknya, bila kita gemar mengeluarkan energi negatif, kita juga akan mendapat kesengsaraan dan kesulitan hidup. Karena itu, sudah sepatutnya kita memfokuskan semua energi dalam tubuh kita hanya untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.
Allah berfirman, “Berbekallah karena sebaik-baik bekal adalah takwa.” Hal ini menandakan bahwa takwa adalah bekal terbaik yang harus kita bawa untuk menghadap Sang Khalik demi mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita selama hidup di dunia.
Takwa adalah ‘penutup jasmani’ yang dapat menyelamatkan kita dari sengatan api neraka. Ia merupakan tiket masuk surganya Allah SWT dan orang yang muttaqin akan memperoleh kesenangan selama-lamanya. Tentunya, takwa dalam arti sesungguhnya, yakni benar-benar mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya. Wallahua’lam.
Etika Berbicara Menurut Islam
Dibandingkan menulis, berbicara lebih mudah dilakukan. Setiap pembicaraan pasti ada maksud-tujuan yang hendak disampaikan, baik itu pembicaraan secara langsung maupun melalui media elektronik (teknologi). Saking mudahnya dilakukan, orang ketika berbicara seringkali kebablasan, bahkan tak menggunakan etika. Akibatnya, banyak kebencian dan permusuhan terjadi.
Bagaimanakah sesungguhnya etika berbicara yang dianjurkan dalam Islam? Pertama, ketika seorang Muslim berbicara hendaknya hanya untuk kebaikan (ma'ruf). Allah SWT berfirman, "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisik mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma'ruf…" (QS An-Nisa [4]: 114).
Kedua, jangan membicarakan semua apa yang didengar. Sebab, bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang, yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar." (HR Muslim).
Ketiga, berbicaralah tanpa ada rasa menggunjing (ghibah). "Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." (QS Al-Hujarat [49]: 12). Menggunjing orang lain sangat dilarang dalam Islam. Sebab, orang yang menggunjing itu tidak lebih baik dari yang digunjing. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok…" (QS Al-Hujarat [49]: 11).
Keempat, berbicaralah seperlunya saja. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah bersabda, "Termasuk kebaikan Islam-nya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna." (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Kelima, berbicaralah dan jangan mendebat. Sabda Nabi, "Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar." (Muttafaq 'Alaih).
Keenam, berbicara dengan tidak memaksakan diri. "Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang sombong." (HR At-Tirmidzi).
Ketujuh, berbicaralah dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah RA pernah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya." (Muttafaq 'Alaih).
Sejatinya, Islam tidak melarang manusia untuk berbicara. Berbicara justru sangat dianjurkan jika mengandung manfaat dan kebaikan. Tetapi sebaliknya, sangat dilarang jika pembicaraan itu mengandung keburukan dan penyesatan. "Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir hendaknya ia berbicara yang baik-baik atau diam." (Al-Hadis).
Langkah-langkah Penting Menjaga Hati
Oleh Arif Munandar Riswanto
Hati dalam bahasa Arab disebut dengan al-qalb, yang berarti bolak-balik. Disebut demikian, karena hati adalah dunia abstrak (closed area), unik, dan berkembang (developmental). Hati gampang berubah, sukar dibaca, senantiasa berkembang, dan pasang-surut.
Karena memiliki sifat seperti itu, maka hati harus dijaga dengan baik. Sebab, jika tidak dijaga, hati akan berubah menjadi hati yang sakit (al-qalb al-maridh). Begitu banyak manusia yang memiliki pikiran cerdas, tetapi akhirnya menjadi orang hina hanya karena memiliki hati yang sakit.
Rasul bersabda, "Dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, itulah hati." (Al-Hadis).
Kecerdasan yang ada di dalam pikiran, bisa dikalahkan oleh kebusukan yang ada di dalam hati. Orang seperti itu biasanya akan marah pada kebenaran dan senang pada kebatilan. Dan, jika hal tersebut terjadi, maka itulah hati sedang sakit. Sama seperti anggota tubuh lainnya, hati yang sakit bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, kemampuan indera yang ada di dalam hati akan hilang secara total. Hati seperti ini akan menjadi buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Ia tidak bisa membedakan antara kebenaran, kesesatan, ketakwaan, kemaksiatan, dan lain sebagainya.
Kedua, kemampuan indera yang ada di dalam hati menjadi lemah. Padahal sebenarnya, kemampuan indera tersebut kuat. Sama seperti anggota tubuh lainnya, jika sedang dalam keadaan seperti ini, hati berarti butuh asupan gizi.
Ketiga, hati tidak bisa melihat sesuatu dalam bentuk yang sebenarnya. Seperti melihat kebenaran menjadi kesesatan, kesesatan menjadi kebenaran, merasakan manis menjadi pahit, dan pahit menjadi manis.
Lalu, bagaimana menjaga hati agar tetap sehat? Ibnul Qayyim menjelaskan, agar hati bisa tetap sehat, ia bisa dilakukan dengan tiga cara; menjaga kekuatan hati, melindungi hati dari hal-hal yang membahayakan, dan membuang zat-zat yang berbahaya bagi hati. Kekuatan hati bisa didapatkan dengan iman. Dan iman merupakan sumber kekuatan hati paling utama. Jika iman hilang, hati akan menjadi sakit.
Sedangkan untuk melindungi hati dari hal-hal yang membahayakan, bisa dilakukan dengan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Sebab, kedua hal ini yang dapat membuat hati menjadi sakit. Ia sama dengan racun yang jika dikonsumsi pasti akan membahayakan tubuh.
Terakhir, agar tetap sehat, zat-zat yang membahayakan hati harus dibuang. Dan, cara paling efektif untuk membuang zat-zat yang berbahaya tersebut adalah dengan tobat dan istighfar. Tobat dan istighfar adalah dua obat yang bisa membuang toksin di dalam hati. Ia bagaikan antibody yang bisa membuat hati tetap sehat.
Selasa, 20 Juli 2010
Bahasa Menunjukkan Agama
(Wakil Pemimpin Redaksi Trans 7)
Bahasa menunjukkan bangsa. Pepatah ini hanya menggambarkan betapa budi pekerti seseorang bisa dilihat dari bahasa yang dia gunakan. Sekarang, tahukan Anda, bahasa bisa juga menunjukkan agama?
Entah dari mana, kok rasanya, bahasa Indonesia sekarang ada kecenderungan ada pembedaan antaragama. Misalnya, kata berkah dan berkat. Sejatinya dua kata itu berbeda makna. Berkah berarti karunia yang bisa dinikmati orang lain. Sedangkan berkat, berarti sepadan dengan kata karena. Misalnya, dalam kalimat berikut: ia menjadi juara berkat/karena kerja keras. Di daerah budaya Jawa, kata berkat justru berarti makanan yang diberikan untuk mereka yang datang pada acara slametan ataupun syukuran.
Sekarang kata berkah dan berkat bisa berdiri semakna. Orang Islam biasa menggunakan kata berkah, sedangkan yang Nasrani senang menggunakan kata berkat. Umpama, "Rezeki ini mudah-mudahan bisa menjadi berkah (Islam)/berkat (Nasrani)." Adakah yang salah dalam kalimat ini? Secara gramatikal, tidak. Bahkan, secara maknawi pun sama. Dari kata berkat ini, orang Nasrani bisa membuat derivasi. Misalnya, "Tuhan memberkati kamu" yang diterjemahkan dari Godbless You.
Berbeda dengan penggunaan kata yang merujuk pada pengertian Tuhan. Allah digunakan untuk dua agama. Hanya pengucapan yang berbeda. Orang Nasrani (Kristen dan Katolik) dengan lafal /a/, sedangkan orang Muslim dengan lafal /o/. Ada juga pembeda untuk bahasa cetak. Orang Islam, biasanya, menambahkan singkatan SWT (Subhana Wata Alla). Di Malaysia, penerjemahan kata God dengan Allah ini sampai ke pengadilan, karena dianggap tidak tepat. Selain bukan bahasa Melayu, Allah juga merupakan bahasa resmi Alquran yang berbahasa Arab.
Di Indonesia, orang Nasrani juga gemar menggunakan bahasa Arab untuk merujuk kata di agama mereka. Umat Nasrani lebih senang menyebut kitab suci mereka dengan Alkitab, bukan Injil ataupun nama lain yang lebih sesuai dengan "bahasa ibu" Nasrani, yakni bahasa Ibrani. Sebaliknya, orang Islam tidak pernah menunjukkan buku bacaan dengan Alkitab untuk Alquran. Bahkan, mereka hanya menggunakan kata kitab tanpa al di depannya untuk buku-buku yang berbahasa Arab atau terjemahan.
Gejala serupa terjadi pada kata ibadah atau ibadat. Semua orang Islam terbiasa menggunakan kata ibadah untuk sebutan ritual agamanya. Sedangkan orang Nasrani lebih senang dengan kata ibadat. Saya tidak hendak memilih mana yang benar secara ejaan, tetapi sekadar memberi contoh agama pun bisa membuat bahasa menjadi berciri khas. Kedua agama ini sepakat jika merujuk pada tempat mereka menjalankan ibadat/ibadah: yakni peribadatan. Saya tidak tahu apakah kata rahmat dan rahmah suatu saat nanti juga akan terpolarisasi berdasarkan agama.
Puji-pujian biasa digunakan untuk merujuk nyanyian yang dilakukan orang Nasrani, baik dalam liturgi maupun peribadatan yang lain. Segala puji bagi Tuhan adalah terjemahan dari kata Alhamdulillah. Orang-orang Nasrani biasa menyebut Thank God. Entah mengapa di Indonesia, yang berkembang tidak Terima Kasih Tuhan, tetapi Puji Tuhan. Di sini, pada satu sisi umat Nasrani mencoba mendekatkan dengan pemahaman orang banyak (Muslim) dalam beberapa istilah: Alkitab, Allah, dan Puji Tuhan. Di sisi lain, Nasrani juga sengaja membuat perbedaan: ibadat, berkat.
Belakangan, saya langsung merasakan ada perbedaan lain. Jika ada pertemuan RT di perumahan kami, terlihat pola yang jelas dari pengurus yang Muslim dan yang Nasrani dalam menyapa hadirin. Saya, sebagai ketua RT, biasa menyebut warga yang hadir dengan "Bapak-bapak dan ibu-ibu". Tetangga saya yang Katolik lebih lihai menggunakan kata "saudara-saudara", mirip dengan pendeta yang sering muncul di tv itu.
Umat Islam menyerobot bahasa agama lain. Misalnya, sembahyang. Kata ini asli milik orang Hindu, yang berasal dari kata Sembah Sang Yang. Orang Islam sebenarnya memiliki kata shalat, tetapi banyak orang yang mungkin kelu mengucapkan kata ini. Orang Nasrani, setahu saya, sering memakai kata sembahyangan.
Di luar itu, banyak kata yang dipakai hampir semua agama. Firman, misalnya, biasa digunakan untuk merujuk kepada perkataan Allah SWT atau Tuhan. Saya tidak tahu, apakah Yesus selalu disebut berkata, berfirman, atau bersabda. Umat Islam biasa menggunakan kata sabda untuk ucapan yang meluncur dari Nabi Muhammad.
Untuk penutup doa, orang Islam dan Nasrani juga memiliki kecenderungan berbeda. Orang Islam mengatakan amin dengan lafal /i/ yang jelas, sedangkan Nasrani lebih pada gabungan /i/ dan /e/, amien.
Di kemudian hari, tampaknya, kata dan istilah yang lekat dengan agama tertentu akan semakin banyak. Ini tentu akan memperkaya khazanah bahasa kita. Di samping itu, kita akan menjadi lebih mudah untuk menebak agama seseorang, hanya dari bahasa yang dia gunakan.
Senin, 19 Juli 2010
DPR dan Money Politics
Oleh Dr H Marzuki Alie
“Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Apabila kamu menjalankan pemerintahan di antara manusia, jalankanlah pemerintahan itu dengan adil.” (QS Annisa [4]: 58).
Dalam firman tersebut, Allah mengajarkan kita tentang dua hal, yakni memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan amanah dan menjalankan pemerintahan secara adil. Salah satu bentuk amanah adalah kepercayaan rakyat yang diberikan kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat. Kepercayaan ini tidak boleh disia-siakan. Karena, Allah menitahkan pemerintahan tersebut agar dijalankan secara adil.
Dalam konteks kehidupan ketatanegaraan kita, sejak tahun 1998, DPR RI memiliki peranan dan fungsi yang lebih besar jika dibandingkan periode-periode sebelumnya. Yakni, fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ketiga fungsi ini sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk menegakkan keadilan. Sebab, menegakkan keadilan itu merupakan bagian dari ketakwaan manusia kepada Allah. “Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih mendekati takwa.” (QS Almaidah [5]: 8).
Dalam mengemban fungsi legislasi tersebut, sesungguhnya DPR berupaya untuk menyediakan tata aturan yang jelas agar keadilan itu bisa ditegakkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mulai dari pengalokasian anggaran belanja negara, program pemberdayaan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, dalam kaitan kewenangan anggaran, DPR selalu berupaya agar anggaran yang dibuat berorientasi pada pro poor (pro rakyat). Fungsi pengawasan juga harus dilaksanakan agar terpenuhinya program-program pembangunan yang berorientasi bagi pertumbuhan ekonomi serta pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut, wakil rakyat berkewajiban menghindarkan diri dari perbuatan negatif, seperti money politics. Sebab, money politics itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sifat “amanah” dan “siddiq” (kejujuran). Dan, anggota dewan sangat rawan terhadap kegiatan politik uang.
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW mengharamkan perbuatan suap (risywah). “Suap termasuk dosa besar karena Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang mengambil suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar.” (Taudhihul Ahkam: 7/119).
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi penghubung antara keduanya.” (HR Ahmad: 22452).
Untuk itu, marilah kita bertanya kepada diri masing-masing. Apakah kita masih peduli dengan kebenaran? Mampukah kita membedakan perbuatan baik dan buruk? Mampukah kita untuk mengatakan tidak pada money politics? Apakah kita masih memegang teguh akhlakul karimah? Apakah kita masih merasakan Allah mengawasi kita? Semoga kita terhindar dari perbuatan kotor ini. Amin.
Minggu, 18 Juli 2010
Pohon Takwa
Hati (qalb) manusia itu ibarat lahan tempat bertanam dan jiwa (nafs) adalah petaninya. Setiap petani bebas menanam apa saja yang disukai dan menguntungkan di lahan miliknya. Dia bebas menentukan pupuk apa yang akan digunakan agar tanaman tumbuh subur. Bersamaan dengan itu, dia juga bebas menggunakan pestisida apa saja untuk menjaga tanamannya dari gangguan hama dan penyakit.
Demikianlah tamsil manusia dengan amalnya. Sejak lahir, di dalam setiap jiwa manusia, Allah SWT menyimpan dua benih, yaitu benih fujur (kefasikan) dan benih takwa (kebaikan). Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam QS Asy-Syams: 8-10, "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya."
Petani cerdas tentu saja akan menanam benih takwa di lahan kalbunya dan membiarkan benih fujur tumbuh kerdil dan merana. Dia akan memupuk benih takwa itu dengan Alquran dan sunah sebagai hara utama. Lalu menyiraminya dengan air hikmah, berupa ucapan dan perilaku para salafush shalih.
Bersamaan dengan itu, dia juga berusaha menjauhi segala bentuk maksiat agar tanaman terhindar dari hama dan penyakit. "Dan tanah yang subur, tanamannya tumbuh baik dengan izin Allah, sebaliknya tanah yang gesang tanamannya tumbuh kerdil ...." (QS Al-A'raf [7]: 58).
Tanaman seperti inilah yang diumpamakan oleh Allah SWT dalam QS Ibrahim [14]: 24-25. "Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat."
Betapa indah pohon takwa Rasulullah SAW. Banyak orang melemparinya dengan batu, cacian, dan berbagai fitnah, tapi Rasul SAW selalu membalasnya dengan buah senyum dan kasih sayang.
Begitu pula dengan pohon takwa Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Radliyallahu anhum, dan para sahabat lainnya yang selalu berbuah akhlaqul karimah. Mereka, generasi pertama Islam yang selalu menjadikan Alquran dan sunah sebagai referensi utama, hingga Aisyah RA menyebut akhlak Rasulullah SAW sebagai Khuluquhul Qur`an (akhlak Rasulullah adalah Alquran).
Bagimana dengan generasi Islam saat ini, apa yang menjadi referensi utama mereka dalam berucap dan bertindak? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh para orang tua dan pemimpin Islam saat ini. Wallahu a'lam.
Upah Karyawan
"Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan." (HR Baihaki).
Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan. Karena itu, membayar upah karyawan tepat waktu termasuk amanah yang harus segera ditunaikan. Besarannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan minimal untuk bisa hidup sejahtera. Itulah makna yang terkandung dalam hadis di atas.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." (QS An-Nisa [4]: 58).
Tidak sedikit pengusaha dengan alasan ketidakmampuannya membayar upah karyawan semaunya, padahal keuntungan pengusaha melimpah. Hanya dengan sedikit permainan akuntansi data bisa berubah, seolah perusahaan tidak memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat mengupah karyawan dengan upah yang rendah.
Islam sangat melarang manusia memakan harta dengan cara yang batil. Mengupah karyawan semaunya, padahal sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih, ini merupakan kebatilan yang harus ditinggalkan.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa [4]: 29).
Untuk itu, Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya, Sistem Penggajian Islam, menyebutkan, prinsip perhitungan besaran gaji sesuai syariah. Pertama, prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran gaji.
Kedua, manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ketiga, manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi (maximizing) besaran gaji yang sebanding dengan besaran nisab zakat.
Dan keempat, manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji, baik di saat perusahaan laba maupun rugi, dan mengomunikasikannya kepada karyawan.
Untuk itu, pemilik perusahaan hendaknya menetapkan kebijakan kepada manajemen perusahaan untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sebagai sebuah tanggung jawabnya terhadap karyawan. Wallahu a'lam.
Tiga Langkah Mengasah Kekuatan Spiritual
Oleh A Ilyas Ismail
Manusia sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah memiliki kemampuan tak terbatas. Tidak saja kemampuan fisik, intelektual, dan moral, tetapi juga kekuatan spiritual. Sebagian dari kekuatan itu telah dikenali dengan baik, tetapi sebagian lagi, terutama yang berhubungan dengan kekuatan rohani manusia (spiritual power), belum banyak yang diketahui dan dikembangkan. Tak heran bila ada pakar yang menyebut manusia sebagai The Unknown, yaitu makhluk yang belum sepenuhnya diketahui.
Kekuatan spiritual ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, bermula dari penanaman (peniupan) roh ketuhanan atau spirit ilahi ke dalam diri manusia (QS Shad [38]: 71-72), yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang unggul dan unik. Firman-Nya, "Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (QS Almu'minun [23]: 14).
Menurut al-Qaradhawi, ada beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengasah dan mempertinggi kekuatan spiritual ini. Pertama, al-iman al-`amiq, yaitu memperkuat iman kepada Allah SWT dengan selalu mengesakan dan menyandarkan diri hanya kepada-Nya.
Kedua, al-ittishal al-watsiq, yaitu membangun hubungan dan komunikasi yang kuat dengan Allah SWT. Komunikasi dilakukan dengan ibadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah-ibadah wajib (al-mafrudhat) ataupun ibadah-ibadah sunah (al-mandubat).
Ketiga, tathhir al-qalb, yaitu upaya menyucikan diri dari berbagai penyakit hati. Kekuatan spiritual, menurut Qaradhawi, berpusat di hati atau qalb, fu`ad, atau al-ruh. Penyucian dilakukan agar hati atau kalbu sebagai "pusat kesadaran" manusia menjadi "sensitif" sehingga senantiasa ingat kepada Allah, takut akan ancaman dan siksa-Nya, serta penuh harap (optimistis) terhadap rahmat dan ampunan-Nya.
Menurut al-Qaradhawi, kekuatan spiritual ini adalah pangkal (al-asas), sedangkan kekuatan-kekuatan lain hanyalah penunjang (al-musa`id). Bahkan, menurut Sayyid Quthub, tak ada kekuatan lain yang bisa menandingi kekuatan yang satu ini. Nabi SAW dan kaum Muslim pada awal periode Islam diminta oleh Allah SWT agar mempertajam kekuatan ini dengan turunnya surah Almuzammil dan Almuddatstsir.
Oleh sebab itu, para aktivis perjuangan Islam, menurut Quthub, wajib hukumnya memiliki kekuatan spiritual ini. Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sayyid Quthub menegaskan kedahsyatan kekuatan yang satu ini. Katanya, "Bekal mereka adalah iman. Perbendaharaan mereka juga iman. Sedangkan, sandaran mereka adalah Allah. Semua bekal, selain bekal iman, pasti habis. Semua perbendaharaan, selain perbendaharaan iman, juga habis. Sementara itu, setiap sandaran, selain sandaran Tuhan, bakal roboh." Wallahu a'lam.
Pentingnya Unsur Spiritual dalam Berbisnis
Oleh A Riawan Amien
Allah SWT berfirman, "... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.…" (QS Hud [11]: 61).
Kini, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitasnya pada aspek spiritualitas (menjadi spiritual company). Berkebalikan dengan perusahaan yang mengabaikan faktor spiritual dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Secara umum, diidentifikasikan ada enam manfaat yang didapat perusahaan dengan menyandarkan bisnisnya pada aspek spiritualitas. Pertama, perusahaan akan jauh dari berbagai kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akibat 'menghalalkan segala cara'. Karena, dari sinilah kebangkrutan perusahaan dimulai.
Kedua, meningkatnya produktivitas dan kinerja perusahaan. Ketiga, terbangunnya suasana kerja yang harmonis atau hadirnya sinergi di antara karyawan dan pimpinan perusahaan. Keempat, meningkatnya citra (image) positif perusahaan. Kelima, perusahaan menjadi tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable company). Keenam, menurunkan perpindahan (turnover) karyawan.
Sudah selayaknya para pebisnis, apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Dalam konsep ini, definisi manajemen berubah dari sekedar getting things done through the people menjadi getting God's will done by the people. Tugas memakmurkan hidup melalui kejayaan organisasi-seperti ditegaskan dalam surah Hud ayat 61 di atas-dipandang sebagai tugas suci.
Spirit ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta (Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena, setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan yang abadi.
Yang pasti, landasan peribadahan dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew (karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan community (masyarakat).
Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas. Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun peradaban.
Selasa, 13 Juli 2010
Kedalaman Makna Surat Al Ikhlash
Oleh Mahmud Yunus
Allah SWT berfirman: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (QS Al- Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat lainnya: "Luruskanlah mukamu (dirimu) pada setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya." (QS Al-'Araf [7]: 29).
Ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud dengan lurus adalah menghindari perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT dalam segala bentuknya dan terhindar dari penyimpangan sekecil apa pun). Kewajiban menjaga keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT ditegaskan berulang-ulang di dalam Alquran.
Bahkan, surah ke-112 dinamai dengan Al-Ikhlash (memurnikan keesaan Allah). Secara fisik surah Al-Ikhlash itu terdiri atas empat ayat pendek, namun kandungannya sangat panjang dan luar biasa.
Rasulullah SAW bersabda, "Membaca 'Qul huwa Allahu ahad' pahalanya setara dengan membaca sepertiga Alquran." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'I, Ibn Majah, Malik, Ahmad, Thabrani, Al-Bazzar, dan Abu 'Ubaid).
Oleh karena itu, Saja' Al-Ghanawi RA mengatakan, "Barang siapa membaca 'Qul huwa Allahu ahad' tiga kali, maka ia seakan-akan membaca Alquran seluruhnya." Atau, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Muadz ibn Anas RA berkata, "Barangsiapa membaca 'qul huwa Allahu ahad' sebelas kali, maka Allah (akan) membangunkan sebuah rumah untuknya di Surga."
Atau, seperti yang diriwayatkan Thabrani, bahwa Fairuz RA berkata, "Barangsiapa membaca 'Qul huwa Allahu ahad' seratus kali, di dalam shalat atau lainnya, maka ia dicatat oleh Allah sebagai orang yang terbebas dari siksa Neraka." Dan, masih ada beberapa riwayat yang lainnya. Namun, perlukah kita menghitung-hitung "kebaikan" atau "ketaatan" kita sendiri?
Menurut Ibn Sina sebagaimana dikutip Muhammad Quraish Shihab dalam salah satu karyanya, niat atau motivasi beribadah itu bertingkat-tingkat. Pertama, tipe pedagang (mengharap keuntungan). Kedua, tipe budak atau pelayan (takut terhadap majikannya).
Ketiga, tipe 'arif (bersyukur atas segala yang diberikan Allah SWT kepadanya). Dan tipe lainnya dinamakan sebagai tipe robot (otomatis, tanpa pemikiran, tanpa pemahaman, dan tanpa penghayatan).
Tentu bijaksana, jika kita terbiasa melaksanakan ibadah menurut tipe 'arif. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bahwa tidak sedikit amal (ibadat) yang dibatalkan atau dihapuskan pahalanya akibat niatnya tidak murni karena Allah SWT. Wallahu 'alam.
Senin, 12 Juli 2010
Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Oleh Nashr Akbar
Kehidupan dunia bersifat fana dan semu. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan setelah mati, yakni akhirat (QS Al-An'am: 33). Sayangnya, banyak manusia yang lupa atau bahkan melupakan diri. Mereka mengabaikan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah (QS Adzdzariyat: 56).
Perkembangan zaman yang semakin maju tidak diiringi oleh peningkatan iman kepada-Nya. Geliat perekonomian yang semakin berkembang justru memalingkan perhatian manusia untuk lebih mencari harta, bahkan mendewakannya. Our God is dollar, itulah sekiranya yang mereka pahami.
Di lain sisi, terdapat sebagian kaum Muslim yang terjebak pada ibadah ritual semata dan cenderung meninggalkan perkara duniawi. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk beribadah dengan cara mengasingkan diri (uzlah) dari masyarakat dan berbagai cara lainnya.
Sesungguhnya, setiap Muslim hendaknya menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Allah SWT berfirman, "Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Alqashash: 77).
Ayat di atas merupakan nasihat Nabi Musa terhadap Qarun, seorang kaya raya pada zaman Nabi Musa. Allah telah memberinya harta yang berlimpah ruah sehingga dibutuhkan beberapa orang kuat untuk mengangkat kunci-kunci gudang hartanya (QS Alqashash: 76). Namun, kekayaannya itu malah menjauhkan dirinya dari Allah. Ia sombong seraya menyatakan bahwa kekayaannya tersebut merupakan hasil kepandaiannya. Ia menyangka bahwa Allah memberinya segala kekayaan tersebut karena Allah mengetahui bahwa dia adalah pemilik harta tersebut (QS Alqashash: 78).
Nasihat di atas berseru kepada umat manusia untuk mencari kehidupan akhirat (surga) dengan menggunakan segala nikmat yang Allah berikan, baik berupa harta, waktu luang, masa muda, kesehatan, maupun umur yang panjang.
Dunia merupakan ladang akhirat. Siapa yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan pula. Namun, Allah juga mengingatkan untuk tidak melalaikan kehidupan duniawi, seperti makan, minum, bekerja, dan memberi nafkah keluarga.
Ibnu Umar mengungkapkan, "Bekerja keraslah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok hari." Wallahu a'lam.
Tiga Syarat Menjadi Pejabat
Ketika baru dibaiat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz meminta masukan dan nasihat dari sejumlah tabiin terkemuka. Satu per satu menyampaikan masukannya. Umar bin Abdul Aziz pun mendengarkannya dengan saksama. Sampai tiba giliran Thawus bin Kaisan, ia hanya berkata singkat, ''Jika Anda ingin membangun tata kelola pemerintahan yang baik, pilihlah orang-orang baik sebagai pejabat.''
Masukan Thawus tersebut barangkali tidak sementereng teori-teori pemberantasan korupsi yang ramai dikemukakan dewasa ini. Namun, ketika teori yang mentereng itu tak jua berhasil, bahkan iming-iming remunerasi pun berujung pada semakin maraknya praktik penilapan uang rakyat. Kini, apa yang disampaikan Thawus menjadi menarik untuk direnungkan kembali.
Dari teladan Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin RA, paling tidak ada tiga kriteria orang baik yang membuatnya layak diamanahi suatu jabatan. Pertama, ia tidak terlalu berambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara.
Dalam sebuah hadis sahih dari Abu Musa al-Asy'ari, Rasulullah SAW bersabda, ''Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.'' (HR Muslim).
Sebab, ketika seseorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu jabatan, bisa dipastikan ia akan sulit berlaku amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk kesejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya, memperkaya diri, dan mencari prestise lewat jabatan yang diemban.
Kedua, ia taat beribadah dan memiliki relasi sosial yang baik. Ketika Umar bin Khattab RA mengangkat Nafi' bin al-Harits sebagai gubernur Makkah, Nafi' memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyarakat yang tinggal di daerah lembah dekat Makkah.
Padahal, Ibnu Abza hanyalah bekas budak di komunitas tersebut. Saat Umar bin Khattab mengonfirmasi hal itu, Nafi' menjawab, ''Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Alquran, paham masalah faraidl (waris), dan sering memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.'' (HR Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi' karena melihat kapabilitas dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.
Ketiga, ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya pejabat dengan gaya hidup yang sederhanalah yang bisa imun (tahan) dari godaan kemewahan dunia. Sebaliknya, gaya hidup mewah sangat potensial menjerumuskan seorang pejabat untuk melakukan korupsi walaupun telah dimanjakan dengan gaji dan remunerasi yang lebih dari cukup. Padahal, Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa pejabat yang curang dan korup tidak akan pernah mencium wangi surga (HR Bukhari dan Muslim). Allahumma qad ballaghtu. Wa Allahu A'lam.
Sembilan Langkah Menjadi Pemimpin Orang Beriman
Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham
Menjadi pemimpin bukan semata-mata kemenangan karena terpilih, tapi lebih dari itu, sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Banyak hal yang harus diejawantah sebagai pemimpin orang beriman.
Pertama, teladan dalam ketakwaan dan paham kitabullah dan sunah (QS 65: 2). Sangat sulit disebut pemimpin jika tidak ada keteladanan dalam pencarian ridha Allah. Abu Bakar ash-Shiddiq menyeru ketika dilantik jadi khalifah, ''Jika kepemimpinanku benar menurut Alquran dan as-sunnah , maka ikuti aku. Tapi jika salah, tinggalkan aku.''
Kedua, wara' (berhati-hati dengan hukum Allah) dan istikamah. Tidak ada niat melabrak hukum Allah, bahkan konsisten dengan keimanan dan istikamah di jalan-Nya. (QS 41: 30-33).
Ketiga, sehat, kuat, cerdas, dan visioner. Seorang pemimpin harus punya visi dalam membangun dan menyejahterakan rakyat (QS 59: 18). Karena itu, daya tunjang kesehatan, fisik yang kuat dan kemampuan mengeksplorasi kecerdasan menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. (QS 2: 247).
Keempat, ahli ibadah, zikir, tadabbur Quran, berjamaah di masjid, puasa sunah, dan ahli tahajjud. Memimpin butuh efektivitas dan kearifan. Hal ini akan didapatkan jika pemimpin itu ahli ibadah, gemar berzikir, suka membaca Alquran, kaki dibawa ke masjid, berlapar-lapar dengan puasa sunah, serta mau menyingkap selimut di waktu malam untuk bertahajud menghadap Allah. (QS 17: 79).
Kelima, tsiqah (bisa dipercaya), adil, jujur, amanah, tepat janji, tegas, dan berani. ''Sesungguhnya Allah memerintahkanmu memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika hendak menetapkan hukum di antara manusia, berilah hukuman dengan adil ....'' (QS 4: 58).
Keenam, rendah hati, merakyat, tulus mencintai rakyatnya, serta dekat dengan anak yatim piatu dan fakir miskin (QS 4: 10). ''Hendaklah rendahkan hatimu kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu ....'' (QS 26: 215).
Ketujuh, jabatan menjadi washilah dakwah (QS 41: 34). Kedudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai kehormatan, tetapi untuk kepentingan dakwah, yaitu mengajak umat dan rakyat makin dekat dengan Allah.
Kedelapan, sangat mendengar nasihat ulama, siap dikritik, terus belajar, dan tidak mudah tersinggung apalagi marah (QS 11: 88).
Terakhir, selalu berdoa untuk rakyatnya disertai tawakkal yang kuat. Indah sekali jika ada pemimpin, di siang hari ia berjibaku melayani rakyat, sedangkan malamnya ia tahajjud lalu mengangkat tangan dan berserah diri kepada-Nya. ''Maka jika kamu telah bertekad mengerjakan sesuatu (setelah berusaha) maka serahkan kepada Allah ....'' (QS 3: 159). Wa Allahu a'lam.
Mengapa Ingin Jadi Pemimpin
Oleh Prof Dr Imam Suprayogo
Banyak orang yang ingin jadi pemimpin. Motif mereka pun bermacam-macam. Ada yang sebatas ingin mendapatkan prestise, fasilitas, kehormatan, dan nama besar. Ada pula yang benar-benar tulus, ingin membuat perubahan agar masyarakatnya menjadi lebih baik.
Konsekuensinya, beragam motivasi tersebut melahirkan model dan gaya kepemimpinan yang bermacam-macam. Model pemimpin yang pertama biasanya sangat hati-hati, tidak banyak mengambil keputusan yang berisiko, agar posisinya tetap aman.
Dia menginginkan suasana stabil dan tenang; perlu anak buah loyal dan menuruti perintahnya, sekalipun tidak pintar. Orang pintar dan orang yang beroposisi diwaspadai dan dilemahkan, bahkan dibuang jauh.
Secara sederhana, hebat (tidak)-nya seorang pemimpin dapat dilihat dari orang-orang yang mengitarinya. Jika mereka miskin prestasi, maka kualitas pemimpin itu pasti rendah dan tidak bermutu, begitu pula sebaliknya.
Dalam berbagai kesempatan, saya bertanya kepada kepala-kepala daerah, mengapa mereka tidak memilih orang yang cakap dan pintar. Mereka pun berdalih, jika tidak loyal, orang cakap dan pintar malah merepotkan dan bikin birokrasi tidak jalan. Alhasil, orang bodoh pun masih beruntung dan tetap laku, asal loyal. Model kepemimpinan tersebut pasti melahirkan sikap munafik, loyalitas semu, stagnasi, bahkan mental korup.
Lain halnya dengan pemimpin revolusioner. Dia adalah pemimpin yang kaya ide, mau berjuang untuk mewujudkan idenya, dan yang terpenting, dia selalu berani mengambil risiko atas pelaksanaan idenya itu.
Pemimpin revolusioner menyukai orang-orang yang memiliki kelebihan, bahkan kalau perlu melebihi kapabilitas dirinya. Dia tidak memikirkan kedudukan. Dia melihat bahwa keberhasilan kepemimpinannya akan terjadi jika ditopang oleh orang-orang yang berkualitas tinggi, dan bukan sebatas orang-orang yang berbekal loyalitas. Kalaupun loyalitas dianggap perlu, maka bukan loyalitas terhadap pemimpinnya, tetapi terhadap visi atau cita-cita besarnya.
Di bawah pemimpin revolusioner, orang pintar dan orang yang memiliki keahlian tinggi sangat beruntung. Mereka terhormat dan diberi ruang untuk mengekspresikan kepintaran dan keahliannya. Bahkan, diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya.
Sayang sekali, model pemimpin revolusioner tidak muncul di banyak tempat. Yang banyak bermunculan justru pemimpin yang ingin mendapatkan fasilitas, prestise, kehormatan, dan berbagai kenikmatan. Namun, kita tetap merindukan dan menunggu kehadiran pemimpin revolusioner itu.
Menyelami Keajaiban Power of Listening
Oleh Muhammad Syamlan
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab berdiri di mimbar seraya berkata, "Wahai manusia, dengarkan dan taatilah apa yang aku katakan." Tiba-tiba Salman al-Farisi, salah seorang sahabat yang berasal dari Persia, berdiri dan berbicara dengan lantang, "Tidak ada lagi kewajiban bagi kami untuk mendengar dan taat kepada Anda."
Mendengar pernyataan itu, Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang terkenal dengan ketegasannya, menerima protes keras dari Salman al-Farisi yang mantan budak. Umar tidak merasa bahwa kritikan yang disampaikan Salman akan membuatnya terhina. Karena itu, ia menerimanya dengan lapang dada dan mencari akar masalah yang membuat perintahnya tidak ditaati.
"Wahai Salman, apa yang membuatmu tak mau mendengar dan tak mau taat?" Salman pun menjawab, "Kami tak akan mendengar dan tak akan taat, sehingga Engkau menjelaskan bagaimana Engkau mendapatkan bagian dua potong kain, sementara kami semua masing-masing hanya mendapatkan satu potong saja?!"
Umar pun jadi mengerti persoalannya. Dengan tenang dan bijak, Umar memanggil putranya, Abdullah bin Umar, untuk menjelaskan perihal pakaian yang dipakainya.
Abdullah menjelaskan, bahwa pakaian yang dipakai oleh ayahnya, salah satunya adalah milikinya yang ia berikan kepada ayahnya. Hal itu dilakukannya, karena badan Umar yang tinggi besar, sehingga bila hanya satu potong kain, maka hal itu tidak cukup untuk dibuatkan pakaian.
Setelah mendengar penjelasan itu, Salman pun lalu berkata, "Kalau demikian, silakan keluarkan perintah, kami siap mendengar dan siap menaatinya."
Di lain kesempatan, Umar bin Khattab berkhutbah selepas shalat berjamaah. Dalam khutbahnya itu, Umar membuat batasan mahar (maskawin). Tiba-tiba seorang perempuan tua berdiri menentang intruksi Umar itu.
"Atas dasar apa, Anda membatasi mahar yang berhak diterima kaum perempuan, sedangkan Allah tidak membatasinya, bahkan berfirman, 'Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar), maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata'?" (An-Nisa' [4]: 20).
Mendengar protes perempuan tua itu, Umar terdiam sejenak, lalu segera berkata, "Umar telah salah dan perempuan itu yang benar." Umar pun mencabut intruksinya.
Itulah sosok Umar bin Khattab. Pemimpin yang dikenal sangat keras, tegas, dan kuat. Namun, dengan lapang dada, dia sangat terbuka dan lembut, sama sekali tidak antikritik dan tidak marah ketika diprotes. Ketika dia melakukan kesalahan, dengan cepat ia memperbaikinya, kendati protes yang disampaikan dikemukakan di hadapan umum. Ia tidak malu untuk mengakui kesalahannya bila terbukti salah. Alangkah menakjubkannya keteladanan Umar.
Sabtu, 10 Juli 2010
Menyibak Makna Spiritual Isra' Mi'raj
Oleh Nasaruddin Umar
Peristiwa Isra Mi'raj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal lail)-tetapi Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha).
Walaupun terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mi'raj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil Muntaha.
Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan hambanya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)? "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS al-Isra [17]: 1).
Dalam bahasa Arab kata lailah mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: "Ya lalila thul, ya shubhi qif" (wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah). Kata lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.
Di dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafii: Man thalabal ula syahiral layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Arti lailah dalam ayat pertama surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam (the power of night). Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah di-install (diisi) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas spiritual tersebut.
Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam Alquran: "Dan pada sebahagian malam hari shalat Tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempat yang terpuji. (QS al-Isra [17]: 79).
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS al-Dzariyat [51]: 17).
Kata lailah dalam ketiga ayat di atas, mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah SWT di malam hari.
Ayat pertama (QS al-'Alaq [96]: 1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an.
Peristiwa Isra dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).
Kecerdasan
Surah al-Isra [17] diapit oleh dua surah yang serasi yaitu al-Nahl [16] dan al-Kahfi [18]. Surah al-Nahl dianggap simbol kecerdasan intelektual, karena berkaitan dengan dunia keilmuan (kisah lebah). Surah al-Kahfi sebagai simbol surah kecerdasan spiritual, karena berkaitan dengan cerita keyakinan dan spiritualitas (kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, Ashabul Kahfi dan Dzulqarnain).
Sedangkan surah Al-Isra sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional, karena di dalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya, ketiga surah yang menempati pertengahan juz Alquran disebut dengan surah tiga serangkai, yaitu surah IQ, EQ, SQ.
Keutamaan di malam hari, juga banyak membuat anak manusia menjadi lebih sadar (insyaf) dari perbuatan masa lalu yang kelam dan hitam. Malam hari banyak menumpahkan air mata tobat para hamba yang menyadari akan kesalahannya. Malam hari paling tepat untuk dijadikan momentum menentukan cita-cita luhur.
Mungkin inilah salah satu keistimewaan pondok pesantren yang memanfaatkan malam hari untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti santrinya. Sementara di sekolah-sekolah umum, jarang sekali memanfaatkan malam hari untuk pembinaan budi pekerti. Padahal, Allah sudah mengisyaratkan bahwa pada umumnya shalat itu ditempatkan di malam hari. Hanya shalat Zhuhur dan Ashar di siang hari, selebihnya di malam hari (shalat Maghrib, Isya, Tahajjud, Witir, Tarawih, Fajr, Subuh). Ini isyarat bahwa pendekatan pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam hari.
Sebenarnya peristiwa Isra-Mi'raj mempunyai dua macam peristiwa. Pertama, perjalanan horizontal dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Dan kedua, perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha. Perjalanan Isra mungkin masih bisa dideteksi dengan sains dan teknologi, tetapi perjalanan Mi'raj sama sekali di luar kemampuan otak pikiran manusia.
Perjalanan Mi'raj ini, juga masih diperdebatkan banyak ulama, apakah dengan fisik dan roh Rasulullah atau hanya rohaninya saja. Mayoritas ulama Suni memahami bahwa yang diperjalankan Tuhan ke Sidratil Muntaha ialah Nabi Muhammad SAW secara utuh, lahir dan batin. Sementara pendapat lain memahami hanya rohaninya saja.
Yang pasti, perjalanan singkat itu berhasil merekam berbagai pemandangan spiritual bagi Rasulullah SAW, dan hendaknya bisa dijadikan pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Sebab, perjalanan malam hari itu, telah membangkitkan semangat baru Rasulullah dalam menyebarkan dakwah Islam.
Kamis, 08 Juli 2010
Ritualis Kontributif
Allah SWT mempercayakan pengelolaan bumi ini kepada manusia. Tugasnya adalah untuk memakmurkannya. Tapi, yang dapat melakukannya bukan manusia zalim (destruktif) atau manusia yang apatis, sekalipun rajin melaksanakan ibadah ritual, melainkan orang yang senantiasa beribadah kepada Allah dan melaksanakan kebajikan.
Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, beribadahlah kepada Tuhan kalian, dan lakukanlah kebajikan agar kalian beruntung. (Al-Hajj [22]:77).
Ayat itu menggambarkan tentang sosok ritualis kontributif. Perintah rukuk dan sujud adalah perintah shalat. Ini gaya bahasa yang disebut sebagian, (namun) maksudnya adalah keseluruhan. Setelah perintah shalat secara khusus, ada perintah ibadah secara umum. Dan beribadah kepada Tuhan kalian.
Mufassir Ath-Thabari menjelaskan maknanya, Dan merendahlah kepada Allah dengan taat kepada-Nya. Ini dapat dipahami bahwa selain perintah shalat sebagai ibadah ritual, manusia yang beriman hendaknya juga melaksanakan ibadah sosial, sebagai upaya menjalin hubungan yang kokoh dengan Sang Pencipta. Dan lakukanlah al-khair (kebajikan).
Sayyid Thahthowi menyatakan, Al-khair mencakup segala ucapan dan perbuatan yang membuat Allah ridla. Misalnya, menginfakkan harta di jalan kebenaran, silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, dan perbuatan lainnya yang dianjurkan Islam.
Ritualis kontributif selalu proaktif melakukan apa saja yang bermanfat bagi kehidupan. Rasulullah SAW mengilustrasikan, ritualis kontributif dengan lebah. Rasulullah SAW bersabda, Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih, dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya). (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)
Segala yang keluar darinya adalah kebaikan. Hatinya jauh dari prasangka buruk, iri, dengki; lidahnya hanya mengeluarkan kata-kata yang baik; perilakunya membahagiakan manusia lain; kalau dia berkuasa atau memegang amanah tertentu, dimanfaatkannya untuk sebesar-besar kemaslahatan manusia.
Salah satu modal terpenting untuk itu adalah keikhlasan dalam pengorbanan. Orang yang berkorban dengan tidak ikhlas, hanya akan berpikir dan berusaha untuk mengembalikan pengorbanannya itu dengan segala cara, termasuk yang haram. Sedangkan orang yang berkorban dengan ikhlas, ia akan melakukannya dalam rangka mencari ridla Allah.
Dan, hanya kepada komunitas masyarakat ritualis kontributif itulah, Allah SWT menjanjikan sukses, kejayaan, dan kebahagiaan. Wallahu a’lam.
Rabu, 07 Juli 2010
Rahasia di Balik Matematika Shalat
Oleh Deden Zaenal Muttaqien
Berapa lamakah kita shalat dalam sehari semalam? Jika setiap rakaat kita perkirakan dua menit, maka dalam sehari-semalam jumlahnya ada 34 menit. Artinya, dalam sehari hanya kita isi sebanyak 2,4 persen dari 1440 menit. Dalam satu minggu, berarti ada 238 menit atau 3,96 jam. Dalam satu bulan, lama shalat kita sebanyak 952 menit atau 15,86 jam. Dan setahun, ada 11.424 menit atau 190,4 jam, yang berarti setara dengan 7,93 hari.
Jika rata-rata usia hidup manusia selama 60 tahun, dan dikurangi dengan 10 tahun masa awal akil baligh (dewasa), maka hanya 50 tahun seseorang melaksanakan shalat dalam hidupnya. Itu berarti, sepanjang hidupnya ia melaksanakan shalat fardlu selama 571.200 menit atau sekitar 9.520 jam, atau 396,7 hari (1,1 tahun).
Bisa dibayangkan, selama hidup, kita hanya butuh waktu untuk shalat fardhu selama 1,1 tahun, atau dalam satu tahun hanya 7,93 hari, atau dalam satu hari hanya 34 menit. Dari sini terlihat betapa jauhnya perbandingan ketaatan kita kepada Allah SWT dengan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita dengan nikmat usia.
Maka, sangat disayangkan apabila ada orang yang tidak melaksanakan shalat karena alasan tidak ada waktu atau sibuk. Padahal, jika kita jujur terhadap diri sendiri, kita mampu berlama-lama bertelepon, nongkrong di depan komputer, jalan-jalan, nonton TV, dan lain sebagainya.
Ingatlah, Abu Zubair menceritakan bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, ''Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran itu terdapat perbuatan meninggalkan shalat'." (HR Muslim).
Oleh karena itu, jangan pernah merasa puas dan berbangga diri dengan ibadah yang telah kita laksanakan. Sebab, bisa jadi ibadah kita, terutama shalat, tidak akan berarti apa-apa bila hal itu kita kerjakan dengan tidak ikhlas. Apalagi berharap surga. Allah menyindir orang yang demikian dengan pendusta agama. (QS Al-Maun [107]: 1-7).
Jadi, jangan hanya mengandalkan masuk surga dengan selembar tiket shalat fardhu. Silakan menjaring rahmat Allah dengan banyak beramal saleh. Berinfak, zakat, puasa, haji, akur dengan tetangga, menyambung silaturahim, mengurus keluarga, belajar, menyantuni anak yatim, tidak membuang sampah sembarangan, bahkan hanya tersenyum kepada teman pun termasuk amal shaleh. Wallahu a'lam.
Ibadah dan Penghasilan
Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun, dan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya, shalat yang berkualitas adalah yang didahului oleh wudlu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta khusyuk dalam melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Saad bin Abi Waqqash RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan. Rasul SAW tidak mengajari Sa'ad tentang syarat, rukun, ataupun kekhusyukan. Rasul mengatakan, ''Perbaikilah apa yang kamu makan, hai Sa'ad.'' (HR Thabrani).
Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas. Yaitu, bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan 'kulit luar', tapi lupa akan hal-hal yang lebih urgen dan fundamental.
Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa shalat atau haji mesti dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah alias ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berujung pada ditolaknya ibadah dan munajat kita.
Rasul SAW telah mengingatkan, ''Demi Zat Yang menguasai diriku, jika seseorang mengonsumsi harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari.'' (HR Thabrani).
Dalam hadis lain yang dinukil Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasul SAW bersabda, ''Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya.''
Di sinilah terlihat dengan jelas, korelasi antara kualitas ibadah dan sumber penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dikonsumsi berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.
Nabi Dawud adalah seorang pandai besi dan penjahit, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula dengan para sahabat yang mulia; mayoritas kaum Muhajirin berprofesi sebagai pedagang, sementara kaum Anshar mengandalkan hidupnya dari pertanian.
Lebih dari itu, ketika seseorang bergelimang harta haram, dan ia menafkahi keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya sendiri. Tapi, juga menodai ibadah dan masa depan anak-istrinya.
Seperti komentar Syekh 'Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, ''Orang tua seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak. Sebab, ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram.'' Wa Allahu a'lam.