Oleh Dr H Marzuki Alie
“Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Apabila kamu menjalankan pemerintahan di antara manusia, jalankanlah pemerintahan itu dengan adil.” (QS Annisa [4]: 58).
Dalam firman tersebut, Allah mengajarkan kita tentang dua hal, yakni memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan amanah dan menjalankan pemerintahan secara adil. Salah satu bentuk amanah adalah kepercayaan rakyat yang diberikan kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat. Kepercayaan ini tidak boleh disia-siakan. Karena, Allah menitahkan pemerintahan tersebut agar dijalankan secara adil.
Dalam konteks kehidupan ketatanegaraan kita, sejak tahun 1998, DPR RI memiliki peranan dan fungsi yang lebih besar jika dibandingkan periode-periode sebelumnya. Yakni, fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Ketiga fungsi ini sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk menegakkan keadilan. Sebab, menegakkan keadilan itu merupakan bagian dari ketakwaan manusia kepada Allah. “Tegakkanlah keadilan, itulah yang lebih mendekati takwa.” (QS Almaidah [5]: 8).
Dalam mengemban fungsi legislasi tersebut, sesungguhnya DPR berupaya untuk menyediakan tata aturan yang jelas agar keadilan itu bisa ditegakkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mulai dari pengalokasian anggaran belanja negara, program pemberdayaan, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, dalam kaitan kewenangan anggaran, DPR selalu berupaya agar anggaran yang dibuat berorientasi pada pro poor (pro rakyat). Fungsi pengawasan juga harus dilaksanakan agar terpenuhinya program-program pembangunan yang berorientasi bagi pertumbuhan ekonomi serta pengurangan kemiskinan dan pengangguran.
Dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut, wakil rakyat berkewajiban menghindarkan diri dari perbuatan negatif, seperti money politics. Sebab, money politics itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sifat “amanah” dan “siddiq” (kejujuran). Dan, anggota dewan sangat rawan terhadap kegiatan politik uang.
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW mengharamkan perbuatan suap (risywah). “Suap termasuk dosa besar karena Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang mengambil suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar.” (Taudhihul Ahkam: 7/119).
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi penghubung antara keduanya.” (HR Ahmad: 22452).
Untuk itu, marilah kita bertanya kepada diri masing-masing. Apakah kita masih peduli dengan kebenaran? Mampukah kita membedakan perbuatan baik dan buruk? Mampukah kita untuk mengatakan tidak pada money politics? Apakah kita masih memegang teguh akhlakul karimah? Apakah kita masih merasakan Allah mengawasi kita? Semoga kita terhindar dari perbuatan kotor ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar