Fajar Kurnianto
Peneliti pada Institut Studi Agama Sosial & Politik
Tahun baru Islam 1 Muharram 1432 H jatuh pada 7 Desember ini. Bagi umat Islam, ini momen penting mengingatkan pada sejarah hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Husein Haikal dalam bukunya, Hayat Muhammad (1972), menyebut hijrah sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan iman.
Hijrah
Menurut kamus bahasa Arab, Lisanul 'Arab, karya Ibnu Manzhur, kata 'hijrah' memiliki beberapa arti, di antaranya: meninggalkan, memisahkan, dan menjauhi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hijrah memiliki dua pengertian. Pertama, perpindahan Nabi Muhammad bersama sebagian pengikutnya dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy Makkah. Kedua, berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya).
Pengertian hijrah secara detail dikemukakan oleh Ibnul Arabi (468-543 H), seorang ahli hadis terkemuka Mazhab Maliki. Menurutnya, ada enam pengertian hijrah. Pertama, berpindah dari satu negeri yang sedang berperang ke negeri yang aman dan damai. Kedua, menyingkirkan diri dari tempat yang penuh dengan bidah. Ketiga, keluar dari negeri yang dikuasai oleh perbuatan maksiat.
Keempat, menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan teror yang bersifat fisik. Kelima, keluar dari negeri yang dijangkiti wabah penyakit. Keenam, menyingkirkan diri karena khawatir atau merasa tidak ada jaminan keselamatan harta benda, jiwa, dan keluarga. Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hijrah itu memiliki
dua bentuk. Pertama, hijrah yang berbentuk fisik. Kedua, hijrah berbentuk nonfisik.
Hijrah fisik berkaitan dengan aktivitas fisik, yakni berpindahnya orang dari satu tempat ke tempat lain karena alasan tertentu. Sementara hijrah nonfisik berkaitan dengan aspek sikap dan paradigma berpikir yang berubah dari hal buruk pada hal yang baik. Inilah misalnya yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadisnya, "Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Ada hal menarik terkait dengan hijrah ini. Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah (Fathu Makkah) pada 8 H, Rasulullah mengatakan, "Setelah penaklukan Makkah ini, tidak ada lagi hijrah, tapi yang ada adalah jihad dan niat." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr). Hijrah yang beliau maksud adalah hijrah fisik, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, secara tegas Rasul menyatakan bahwa hijrah seperti yang beliau dan para sahabat lakukan dari Makkah ke Madinah demi mempertahankan keyakinan dan kebenaran sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah jihad dan niat. Inilah hijrah aktual yang lebih orientatif dan prospektif.
Hijrah aktual
Jihad secara bahasa artinya upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mencapai yang diharapkan atau tujuan tertentu. Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Fiqih Jihad, menyebutkan bahwa jihad memiliki pengertian mencurahkan segala usaha, kemampuan, dan tenaga. Menurutnya, ada empat pemahaman jihad.
Pertama, jihad militer. Kedua, jihad spiritual. Ketiga, jihad dakwah. Keempat, jihad madani, yakni jihad masyarakat sipil. Inti dari jihad ini adalah untuk memberdayakan umat. Di dalam Alquran, kata 'jihad' biasanya digandengkan dengan kata 'fi sabilillah', yakni di jalan Allah. Artinya, jihad itu mesti pada hal-hal yang sifatnya selaras dengan ajaran Allah dan demi mendapatkan keridaan Allah. Salah satu derivasi dari kata 'jihad' adalah 'ijtihad', yakni upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mendalami dan menggali apa yang ada di dalam sumber-sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis, kemudian dari situ dikeluarkan sebuah hukum Islam.
Sementara itu, 'niat' artinya 'qashd', yakni keinginan, harapan, dan cita-cita yang ingin diraih. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan, "Segala sesuatu itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Siapa yang niat hijrahnya adalah untuk mendapatkan keridaan Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang niat hijrahnya untuk mendapatkan dunia, maka ia akan mendapatkannya." (HR Bukhari-Muslim dari Umar bin Khaththab).
Jihad dan niat hijrah inilah yang selalu aktual. Manusia dituntut untuk bersungguh- sungguh dalam segala hal dan aktivitas, yang positif tentu saja, disertai dengan niat orientatif-prospektif yang diciptakan terus-menerus. Inilah yang mengkreasi perubahan masif-revolusioner secara radikal. Dalam kaitannya dengan konteks kehidupan berbangsa, hijrah aktual bermakna bahwa semua elemen bangsa, dari para penggawa pemerintahan, para pejabat publik, hingga masyarakat akar rumput, perlu memperbarui niatnya kembali. Tentu saja, niat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Tidak hanya niat, tetapi juga benar-benar dibuktikan melalui upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal itu. Tanpa kedua hal itu, bangsa ini akan terus jalan di tempat tanpa orientasi masa depan yang jelas. Ini tanggung jawab kita bersama, terutama dari para pemimpin yang bertugas memimpin bangsa ini untuk berhijrah ke arah yang lebih baik. Ali bin Abu Thalib mengatakan, "Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka itu adalah kerugian." Wallahu a'lam.
Jumat, 10 Desember 2010
Hijrah Aktual
Spirit Muharam
Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.
Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram-mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.
nilah Keutamaan Bulan Muharam
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.
Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.
Esensi Hijrah
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.
Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.
Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.
Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?
Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
Kemiskinan Bukan Takdir Allah yang tak Dapat Diubah
Kemiskinan senantiasa menjadi isu sentral di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-negara lain pun, termasuk negara adidaya, tak luput dari kemiskinan. Pun begitu dengan Indonesia. Negara kita setelah kemerdekaan hingga sekarang memiliki problem kemiskinan. Sebagai salah satu negara dengan jumlah Muslim terbesar, hendaknya kita berpikir untuk menyelesaikan kemiskinan dengan landasan nilai-nilai luhur keislaman.
Secara hakikat, seluruh manusia tak berada pada kemiskinan. Ayat yang dikutip di atas mengindikasikan semiskin dan sefakir apa pun seseorang, ia masih diberikan nikmat tak terhingga oleh Allah. Kendati mendapatkan kesulitan dalam memperoleh keamanan finansial, kita masih diberi nikmat-nikmat dalam bentuk lain. Kenikmatan tersebut dapat berupa kesehatan, umur panjang, dan memperoleh tempat teduh meskipun seadanya.
Istilah 'miskin' diambil dari bahasa Arab. Merujuk pada kamus Al-Munawwir (1997: 649), kata 'miskin' berasal dari sakana yang berarti diam, tidak bergerak, atau tenang. Faidhullah Al-Hisn menulis, kata 'miskin' dalam bentuk mufrad disebutkan Alquran sekitar 12 kali, kemudian dalam bentuk jamak (masaakin) disebut juga sekitar 12 kali. Dari sekian ayat itu, seluruhnya menempatkan posisi si miskin sebagai orang yang perlu dibantu.
Dalam bahasa lain, si miskin dan si fakir memiliki ketidakberdayaan akibat berbagai hal. Dua di antaranya ialah akibat penindasan struktural dan kemalasan mental berusaha (kultural). Misalnya, secara struktural kemiskinan diakibatkan rakyat tidak diperhatikan dengan adanya kebijakan prorakyat, yang berdampak pada aspek kultural sehingga mereka putus asa karena kesulitan mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Sebetulnya, kemiskinan bukan takdir dari Allah yang tak dapat diubah. Apabila setiap individu memiliki semangat dalam mencari penghasilan, kemiskinan dapat diberantas dari muka bumi. Kolektivitas dan kepedulian sejatinya dimanifestasikan dalam keseharian saat negeri ini dipenuhi kemiskinan.
Allah SWT berfirman, "Apabila telah selesai shalat (Jumat), bertebaranlah di bumi dan carilah fadl (kelebihan) dari Allah." (QS Al-Jumu'ah [62]: 10). Ayat ini mengindikasikan bahwa kerja keras mencari nafkah sebagai tahap mencari fadhilah-Nya.
Tanpa mengabaikan kerja keras orang miskin, tugas individu yang bernasib baik (baca: kaya dan mampu) ialah memberikan sebagian hartanya. Pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah menuntut pengelolaan profesional agar kemiskinan dapat diminimalisasi. Wallahua'lam.
Selasa, 07 Desember 2010
Kamis, 02 Desember 2010
Keadilan Sebagai Sunatullah
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Konsep tentang adil dan keadilan dalam agama Islam mendapatkan porsi yang begitu penting. Dalam Alquran, tercatat sekitar 56 ayat yang berbicara soal keadilan. Dalam bahasa Arab, keadilan disebut sebagai al-'Adalah. Pengertiannya adalah keadilan dalam semua cakupan.
Ayat-ayat Alquran yang menyerukan pentingnya adil dan keadilan antara lain adalah “haruslah berlaku adil” (QS An-Nisa [4]: 135, Al-Maidah [5]: 8, Al-An'am [6]: 152, An-Nahl [16]:90); “wajib berlaku adil dalam perniagaan” (QS Al-Isra [17]: 35); “adil terhadap lawan” (An-Nisa [4]: 105, Al-Maidah [5]: 8); dan “pernyataan Allah tentang keadilan-Nya” (Ali Imran [3]: 18).
Dalam etika pergaulan manusia, tiada prinsip yang didambakan umat sepanjang sejarah, seperti keadilan. Istilah adil berasal dari bahasa Arab yang berarti tengah atau seimbang. Keadilan artinya mizan (kesimbangan), yakni suatu sikap tak berlebih-lebihan yang terkait dengan sifat kearifan.
Prof Muhammad Abu Zahrah membagi keadilan dalam tiga bagian, yakni keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan global. Keadilan hukum adalah diberlakukannya hukum secara merata kepada semua strata sosial yang ada. Tidak membedakan yang kaya ataupun yang papa, yang mulia ataupun yang hina. Semua orang di depan hukum dan perundangan adalah sama.
Keadilan sosial adalah sesuatu yang menuntut setiap individu dalam suatu kelompok agar dapat hidup secara terhormat tanpa ada tekanan dan halangan serta mampu memanfaatkan kemampuan sesuai dengan apa yang berfaedah bagi diri dan orang lain sehingga bisa berkembang secara kolektif. Keadilan global ialah prinsip utama sebagai landasan ditegakkannya hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim.
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang sangat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Tiada bukti keadilan yang begitu komplet, kecuali dalam ayat Alquran. Dari situ, jelas kiranya kedudukan prinsip keadilan dalam Islam.
Dalam kasus keluarga, misalnya, Alquran menyebutkan, “Jika kamu sekalian takut berlaku tidak adil, ambillah seorang istri saja.” (QS An-Nisa [4]:3). Dalam skala kecil, yakni unit keluarga saja, kita diperintahkan untuk adil.
Keadilan itu harus menjadi pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan untuk poligami atau tidak. Maka itu, adanya sikap seperti itu sebenarnya dimaksudkan agar tindakan seseorang tidak berakibat merugikan orang lain. Bukankah adil itu berarti meletakkan sesuatu secara proporsional pada tempatnya?
Kewajiban berlaku adil dalam penulisan kontrak kerja sama bidang niaga (mu'amalah) juga secara tegas dijelaskan dalam Alquran. Kontrak perjanjian kerja, sewa-menyewa, atau utang-piutang itu harus ditulis secara jelas dan adil demi melindungi hak masing-masing pihak yang terkait. Keadilan merupakan sunatullah yang tidak dapat diganti.
Rabu, 01 Desember 2010
Mari Kita Mewariskan Kebaikan
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar (leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.
Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena kebanyakan orang ('ammat al-nas).
Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial, silaturahim, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations).
Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.
Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, "Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Al-Dzariyat [51]: 56).
Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi SAW, "Khair-u al-nas anfa'uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain)." (HR Thabrani dari Jabir).
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material, atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada kebaikan.
Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a'lam.
Rabu, 24 November 2010
Belajar Melawan Korupsi dari Khalifah Harun Ar Rasyid Sabtu, 20 November 2010, 0
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam menjalankan roda pemerintahan, Khalifah Harus Ar Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu, ia memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).
Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.
Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun ArRasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.
Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.
Dari uang kas tersebut, negara juga mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Mereka ditempatkan pada kedudukan status sosial yang tinggi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Dengan pendapatan negara yang melimpah ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan para pejabat negara juga dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak terlepas dari kemampuannya dalam menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur.
Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi pada masa kekuasaannya, antara lain, pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M).
Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah--perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.
Jejak Sosial Ibadah Kurban
Seperti dikisahkan Alquran, peristiwa kurban bermula dari drama kenabian yang sangat tak masuk akal. Seorang Ibrahim diminta menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebuah dialog yang sangat humanis-edukatif pun berlangsung antara ayah dan anak untuk memastikan kebenaran perintah itu.
Setelah diyakini bahwa itu merupakan perintah Tuhan, meskipun sangat irasional, Ibrahim pun melakukannya dengan diiringi sikap pasrah Ismail. Inilah jejak kenabian yang terus kita warisi dengan kesanggupan yang tulus untuk bekurban dengan melepaskan semua yang kita cintai sekalipun.
Kisah yang sarat hikmah itu terus dilakukan setiap kali datang Idul Adha. Setiap Muslim ikut merayakannya. Di tengah gemuruh takbir menjelang Idul Adha itu tumbuh rasa keadilan untuk saling menyapa kebersamaan sambil menelusuri jejak hikmah dari perjalanan sejarah Ibrahim dan Ismail. Takbir inilah yang kemudian membuka pintu kurban.
Dalam konteks pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Idul Adha merupakan haflah umat untuk mengapresiasi saudara-saudaranya yang tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Pertemuan raksasa di Padang Arafah itu memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki.
Itu kebersamaan yang senantiasa dirindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada ukuran-ukuran pragmatisme dalam kalkulasi untung dan rugi.
Untuk mewujudkan spirit Idul Adha, hal terpenting adalah menumbuhkan kembali semangat Arafah. Semangat itu hendaknya tetap mengikat kebersamaan umat. Di tengah cobaan kebersamaan yang saat ini tengah melilit bangsa, pada momentum Idul Kurban kali ini kita berharap dapat jujur mengakui kekeliruan serta mengikatkan kembali tali solidaritas.
Terlebih, saat ini saudara kita tengah menangis di bawah guyuran debu Merapi, sisa guncangan gempa dan tsunami Mentawai, atau kelelahan menghadapi banjir bandang. Karena itu, pada Idul Kurban ini kita perlu bermuhasabah dengan tulus dan penuh kejujuran.
Mengapa kepekaan dan kesantunan sikap terasa semakin pudar, padahal kita telah merintis dan membinanya selama berabad-abad. Dan, mengapa jarak antara kaum kaya dan kaum papa kian lebar menganga.
Rasulullah pernah bersabda, "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, sungguh mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam," (HR Al-Dailami).
Kita sesungguhnya hendak menjawab, "Tidak!" Tapi, sudahkah perjalanan ibadah kurban itu berdampak dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat? Jika bekurban mengisyaratkan sikap peduli melalui simbolisasi pembagian daging hewan, apakah kepedulian itu juga telah menjadi watak yang berperan fungsional, bukan saja pada saat kurban dilaksanakan, tapi juga dalam keseluruhan perjalanan hidup?
Memahami Makna Idul Kurban
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Merupakan kehendak Allah SWT, semua bentuk ibadah dalam Islam memiliki hikmah dan landasan filosofis. Hari raya senantiasa tiba seusai umat Islam melaksanakan ibadah cukup berat.
Idul Fitri datang setelah ibadah puasa Ramadhan. Idul Kurban tiba setelah umat Islam beramal saleh selama 10 pertama Dzulhijjah dan puasa Arafah. Esensi hari raya hanyalah peristirahatan sebentar setelah perjalanan ibadah yang berat atau hadiah kemenangan dari Allah untuk kaum Mukminin yang telah sukses melawan godaan setan.Hari raya bukanlah peristiwa tahunan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan ketaatan sebagaimana yang sering disalahpahami sejumlah orang. Setiap insan hanyalah sebagai hamba Allah dalam segala ucapan dan perbuatannya. Agama tidak menginginkan seorang hamba kehilangan hubungannya dengan Allah walau sekejap.
Kehidupan Muslim bagaikan perjalanan panjang yang ditempuhnya, sekali-sekali istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan perjuangan spiritual dan kehidupannya yang lurus dan bersih. Istirahat sebentar itu adalah hari raya, yang di dalamnya diperbolehkan bergembira ria dengan berbagai hiburan yang mubah (dibolehkan).
Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab disebut dengan 'id' yang artinya senantiasa kembali dengan membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan.
Hari raya dalam perspektif Islam harus diisi dengan berbagai nasihat, syiar, dan ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial, di samping merupakan kesempatan untuk membahagiakan setiap insan di muka bumi. Allah SWT telah mengaitkan Idul Adha ini dengan nilai sosial yang abadi dalam bentuk pengorbanan.
Pengorbanan artinya menyerahkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Pada hari raya ini dan hari-hari tasyrik, Allah mensyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin, karib kerabat, dan sebagian untuk keluarganya sebagai upaya menebar kebahagiaan di muka bumi.
Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya yang mencerminkan ketakwaan.
Kilasan esensi ini diungkap Allah dalam surah al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Di antara nilai sosial yang harus menghiasi setiap Muslim pada hari raya adalah menghilangkan berbagai bentuk kedengkian dan iri hati dalam diri, melupakan macam-macam permusuhan dan pertentangan, serta kita tingkatkan kepedulian kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Mari bersama mengorbankan hawa nafsu, membuang sikap individualistis dan fanatis mekelompok, demi ukhuwah insaniyah. Dengan Idul Kurban, kita teladani Ibrahim dan Ismail AS, serta bersama menebar kasih sayang.
Haji, Perjalanan Keimanan Seorang Muslim
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berabad-abad sebelum Rasulullah diutus, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyeru manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj (22): 27-28). Beliau melaksanakannya dan berdoa agar semua hati manusia cenderung dan rindu ke Tanah Haram (QS Ibrahim (14): 37). Maka itu, berbondong-bondonglah umat Islam ke Tanah Suci untuk memenuhi seruan ini.
Barangkali dari asal-usul panggilan inilah banyak umat Islam meminta dipanggil di Makkah, khususnya di Jabal Qubeis. Padahal panggilannya sudah lama, tapi sebagian umat tidak memenuhi seruan ini karena tidak mampu atau lalai atau bahkan tuli disihir gemerlapnya dunia. Sejak seseorang mendaftar haji, yang ada dalam niatnya adalah keikhlasan dan kesiapan berkorban demi mencari ridha Ilahi. Ketika kuota diperolehnya, ia mempersiapkan semua kebutuhan selama ibadah haji.
Dia membekali dirinya dengan ketakwaan. Belajar manasik dan ilmu yang berkaitan dengan ibadah harian yang wajib selama di perjalanan. Dia korbankan waktu, harta, dan kepentingan dunianya untuk menggapai haji mabrur. Perjalanan haji adalah rihlah (tour) keimanan. Saat keluar rumah menuju ke Tanah Haram, calon haji ini membaca, "bismillahi tawakkaltu 'ala Allah wa laa haula wa laa quwwata illa billah." Ketika duduk di kendaraan pun berdoa safar.
Dalam segala situasi dan kondisi ia pun senantiasa doa, zikir, dan beribadah. Sungguh hebat jamaah haji ini. Dia menjadi hamba Allah yang terbaik. Semua aspek hidupnya dijadikan ibadah seperti yang diperintah Allah. (QS Az-Zariyat (51):56).
Kala sampai miqat, semua tamu Allah berniat ihram dan membaca talbiyah, yang artinya, "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan hanyalah bagi-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu."
Jamaah yang mengumandangkannya berderai air mata kekhusyukan dan kebahagiaan sambil mengharap ampunan. Ia sedang menjadi hamba Allah yang utuh karena sedang memenuhi panggilan-Nya dan menjadi tamu-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan duta-duta/tamu-tamu Allah. Maka itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan, dan jika mereka meminta ampun pastilah diampuni-Nya." (HR Ibnu Majah hadis No 2883).
Sebagai tamu, seorang hamba harus tahu diri terhadap yang dikunjungi. Kita wajib mengikuti semua peraturan Allah yang mengundang kita. Kita harus tahu tatakrama sebagai tamu undangan-Nya. Selama dalam perjalanan haji tidak boleh ada kesyirikan, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.
Sebagai imbalannya, kita diistimewakan sebagai tamu-Nya. Sudah pasti Allah Yang Maharahman dan Maharahim akan mengampuni dosa-dosa kita, mengabulkan semua doa dan permohonan kita. Berapa pun biaya dan pengorbanan yang kita berikan untuk ibadah haji, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keutamaan haji, ampunan, dan anugerah-Nya.
Sosok Pemuda Ideal di Mata Allah
Bentuk jamak dari fatan adalah fityah (pemuda-pemuda), seperti kisah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi pada surah al-Kahfi [18] ayat 13. "Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya, mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk."
Dalam hadis, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah syaabun nasya'a fii 'ibaadatillaah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).
Eksistensi dan peranan pemuda sangat penting. Dalam Alquran ataupun hadis, banyak diungkapkan karakteristik sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses. Pertama, memiliki keberanian (syaja'ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Lalu, siap bertanggung jawab serta menanggung risiko ketika mempertahankan keyakinannya.
Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala kecil, lalu menggantungkan kapaknya di leher berhala yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak ada manfaatnya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surah al-Anbiya [21] ayat 56-70.
Kedua, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam bingkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul-Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 13-25. Jadi, berkelompok bukan untuk hura-hura atau sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusila. Hal ini seperti kisah Nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24. Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintangan dan hambatan. Hal itu dicontohkah pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-amin (tepercaya) dari masyarakatnya.
Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam Alquran dan hadis diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia masa kini. Wallahu a'lam.
Ingatlah Saat Kematian Mu!
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Di dunia ini, menurut al-Ghazali, tak ada yang pasti, kecuali kematian. Hanya kematian yang pasti, lainnya tak ada yang pasti. Namun, manusia tak pernah siap menghadapi maut dan cenderung lari darinya. "Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu." (QS Al-Jumu'ah [62]: 8).
Bagi al-Ghazali, kematian tidak bermakna tiadanya hidup (nafi al-hayah), tetapi perubahan keadaan (taghayyur hal). Dengan kematian, hidup bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna. Diakui, banyak orang semasa hidup mereka tertidur (tak memiliki kesadaran), tetapi justru setelah kematian, meraka bangun (hidup). "Al-Nas niyam, fa idza matu intabihu," demikian kata Imam Ali.
Dalam Alquran, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah SWT untuk mengartikan kematian. Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali. Al-maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah.
Allah SWT berfirman, "Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain." (QS Thaha [20]: 55).
Kedua, kata al-wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita tak perlu berkata, sekiranya tak ada bencana alam si fulan tidak akan mati.
Ketiga, kata al-ajal. Kata ini dalam Alquran diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal sering disamakan secara salah kaprah dengan umur. Sesungguhnya, ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari; ajal tidak. (QS Al-A'raf [7]: 34).
Keempat, kata al-ruju' (raji'). Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali, dan mengandung makna kembali atau pulang. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal, yaitu Allah SWT. Karena itu, kalau ada berita kematian, kita baiknya membaca istirja', Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji'un (QS Al-Baqarah [2]: 156).
Sesungguhnya, kematian itu sama dengan mudik, yaitu perjalanan pulang ke kampung kita yang sebenarnya, yaitu negeri akhirat. Mudik itu menyenangkan. Dengan satu syarat, yakni membawa bekal yang cukup, berupa iman dan amal saleh. "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya (dalam perkenan dan rida-Nya), hendaklah ia mengerjakan amal saleh." (QS Al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a'lam.
Ibrahim, Bapak Monoteisme
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nabi Ibrahim AS, selain dikenal sebagai bapak nabi-nabi, ia juga dikenal sebagai bapak monoteisme. Keagamaan Ibrahim dicapai tak melulu melalui iman, tetapi juga melalui penyelidikan ilmiah terhadap fenomena alam yang mengantarnya sampai kepada kesimpulan tauhid (QS al-An'am [6]: 79).
Berkali-kali Allah SWT menguji Ibrahim dengan cobaan yang berat. Hebatnya, ia selalu lulus dan mampu melewati berbagai ujian itu dengan sukses. Karena itu, ia layak dan pantas dinobatkan sebagai imam dan pemimpin umat. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikan dengan sebaik-baiknya." (QS al-Baqarah [2]: 124).
Ada banyak tafsir tentang makna pada ayat di atas. Pakar tafsir Ibnu Katsir memahaminya sebagai syariat dari Allah berupa sejumlah perintah (al-awamir) dan sejumlah larangan (al-nawahi). Selain bermakna syariat, kalimat itu, menurut al-Alusi, juga bermakna ujian dan cobaan. Al-Alusi mengungkapkan, ada tujuh macam cobaan yang dihadapi Ibrahim. Namun, ada yang menyebut 13 hingga 30 cobaan.
Dari semua ujian dan cobaan yang dihadapinya, ada empat ujian yang sungguh berat. Pertama, ia pernah dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Kedua, ia diminta melakukan khitan pada usia tua. Ketiga, ia tidak diberi keturunan sampai usia senja, tetapi ia tidak berhenti berdoa. "Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh." (QS al-Shaffat [37]: 100).
Keempat, setelah mendapat anak (Ismail), ia diminta menyembelihnya. Ujian yang mahaberat itu pun ditunaikan Ibrahim dengan penuh ketaatan. Ia memenuhi semua perintah Allah (QS al-Najm [53]: 37) dan membuktikan kebenaran mimpinya. "Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-Shaffat [37]: 105).
Sebagai muwahid sejati dan bapak monoteisme, Ibrahim memberikan apa saja yang diminta oleh Allah, termasuk Ismail, "aset" paling berharga yang dimilikinya. Menurut Doktor Ali Syari'ati, Ismail adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai oleh manusia. Setiap orang tentu memiliki "Ismail"-nya dalam bentuk dan rupa yang berbeda-beda.
Tauhid pada hakikatnya mengandung makna ketundukan manusia secara total kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan cintanya hanya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim adalah contoh par-excellent dalam soal ini. Itu sebabnya namanya disebut dan diabadikan oleh Allah dalam semua kitab suci dan terutama dalam kitab suci Alquran.
Nabi Muhammad SAW dan seluruh kaum beriman disuruh mengikuti agama (millah) Ibrahim. Dikatakan, hanya orang-orang "dungu" yang membenci dan menolak agama bapak monoteisme ini. "Dan, tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri."(QS al-Baqarah [2]: 130). Wallahu a'lam.
Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya
Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.
Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?"
"Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.
Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya." Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."
Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari, ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai saya kembali."
Ia lantas masuk ke peraduannya untuk beristirahat. Tiba-tiba anaknya, Abdul Malik, mengingatkannya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan engkau masuk kamar?" Khalifah menjawab, "Saya ingin beristirahat sejenak."
Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang, sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?" Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat yang sedang menunggunya.
Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal" kepemimpinannya.
Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda, "Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan mengambil kebijakan.
Senin, 08 November 2010
Manusia Penyebab Bencana?
(Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Air mata warga Mentawai, Sumatra Barat, pun belum kering. Gempa bumi terus menerjang mereka. Bencana itu menewaskan ratusan warga dan memorak-porandakan berbagai fasilitas dan infrastruktur penting. Ibu Pertiwi pun berlanjut menangis menyaksikan nasib sedih warga Sleman, Malang, dan Yogyakarta. Merapi kembali meletus menghancurkan lahan warga. Puluhan orang tewas mengenaskan.
Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memorak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Tuhan pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia tidak "meminta". Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini.
Banyak umat manusia yang memiliki frame bahwa hasil pemikiran umat manusia di bumi ini telah mendekati kebenaran. Manusia begitu bangga dengan berbagai keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, tak sedikit di antara manusia yang mulai angkuh, sombong, dan takabur karena merasa telah berhasil menemukan kebenaran yang padahal semu, menggali potensi alam, sekaligus memanfaatkannya.
Kita tidak sadar dan tidak tahu bahwa ranjau-ranjau kehidupan telah menghadang. Kita buta sehingga apa yang tadi kita anggap benar dan bermanfaat ternyata malah dapat menyengsarakan umat manusia. Bagaimana bangganya para penemu gas freon lima puluh tahun yang lalu. Penemuan mereka dapat diaplikasikan bagi kehidupan manusia lewat pembuatan lemari pendingin (kulkas), AC, dan sejenisnya. Namun, kini kita baru menyadari bahwa uap gas freon tersebut mengakibatkan bolongnya lapisan ozon yang kini besarnya nyaris seukuran Benua Australia. Kita baru sadar bahwa penemuan itu dapat mengakibatkan wabah bencana bagi umat manusia. Berbagai penyakit kulit sulit disembuhkan, tekstur tanah mulai hilang kesuburannya, musim yang tidak menentu, hujan besar yang tidak diharapkan, dan banjir serta longsor pun terjadi di mana-mana.
Betapa bangganya para penemu pupuk kimia karena dapat meningkatkan hasil panen di seluruh tanah pertanian di dunia. Indonesia pun sempat dapat swasembada pangan karena menggunakan pupuk kimia. Namun, setelah puluhan tahun pemakaian pupuk itu, kita baru sadar bahwa pupuk tersebut telah mengekploitasi kesuburan tanah yang lama-kelamaan dapat habis. Kini, banyak lahan pertanian mulai kehilangan kesuburan dan sulit dicari obatnya. Akhirnya, ratusan lahan pertanian mati dan sulit ditanami. Maka, terjadilah longsor. Tanah serapan pun mulai habis. Banjir pun menggelombang menyeret permukiman, kemudian memakan kerugian ratusan miliar rupiah dan ratusan jiwa jadi korban.
Gedung-gedung berbeton mencakar langit: hotel, bank, rumah sakit, vila, dermaga, dan gedung lainnya berdiri di pusat kota serta di sudut kota, mengalahkan pepohonan yang telah setia menunggu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Pohon-pohon itu dibantai dalam keangkuhan bapak-bapak pembangunan dan ilmuwan-ilmuwan pembangunan.
Selama ini, muncul pandangan bahwa otak manusia itu cemerlang sehingga dikategorikan dapat menembus kebenaran. Penelitian muktahir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri atas bermiliar-miliar sel aktif; minimal ada 100 miliar sel otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang menakjubkan, saat awal kehidupan manusia, otak berkembang melalui proses belajar-alamiah-dengan kecepatan tiga miliar sambungan per detik. Sambungan-sambungan itu adalah kunci kekuatan otak sehingga Gordon Dryden menyatakan, "Manusia adalah pemilik komputer paling hebat, yakni otak."
Namun, pada kenyataannya tidak. Otak manusia itu ternyata memiliki cacat. Otak manusia ini tidak dapat menembus akibat-akibat sequential, yakni akibat-akibat yang bakal terjadi pada masa mendatang, tentu berbeda dengan masa sekarang atau masa lalu.
Inilah yang menuntun penemuan gas freon begitu membanggakan sembari tidak tahu esok lusa akan membolongi lapisan ozon. Inilah yang mendorong pemakaian pupuk kimia berlebihan, tapi tidak tahu puluhan tahun ke depan akan mematikan kesuburan tanah. Inilah yang mendorong pembangunan menjadi program utama pemerintah, sedangkan pelestarian hanya program sampingan.
Semuanya bermuara pada ketidaktahuan hari esok dan hari lusa. Inilah kelemahan otak manusia yang tidak dapat menangkap akibat sequential ini. Inilah yang dalam analogi Emha Ainun Najib disebutkan bahwa manusia itu buta, manusia tidak tahu apa yang bakal terjadi esok lusa, bahkan dalam sedetik ke depan.
Kecacatan otak manusia tersebut diperparah lagi karena hanya dipandu oleh kekuatan indrawi yang ternyata banyak kelemahan. Dalam pandangan para filsuf dulu, pancaindra manusia ini dapat menangkap seluruh fenomena alam dengan tepat dan akurat. Namun, dalam pandangan filsuf masa kini, pancaindra manusia ini hanya dapat menangkap bagian luaran. Pancaindra ini hanya dapat menangkap fenomena suatu benda (dunia luar), tetapi tidak dapat menangkap apa di balik benda tersebut yang menurut para filsuf noumena. Kendati para ilmuwan eksakta berusaha mempertajam kemampuan indrawi dengan berbagai alat, misalnya mikroskop, itu hanya berfungsi memperbesar dan tidak dapat membantu untuk menemukan noumena.
Ilmuwan Islam, Mohammad Arkoun, memberi saran agar hasil-hasil mutakhir ilmuwan Barat tersebut tetap digunakan, tetapi melengkapinya dengan wacana Islami yang selama ini mengalami kebekuan. Herman Soewardi (1991) menyodorkan sebuah wacana Islami yang dapat melanjutkan wacana Barat yang disebut naqliah memandu aqliah. Dalam pandangan ini, akal manusia (fitrah)-yang dalam analogi ilmuwan Barat adalah otak-bukan harus dipandu oleh pancaindra, tetapi oleh wahyu (petunjuk Allah).
Kegagalan alur Barat sekuler telah menunjukkan bahwa ilmu itu harus diungkapkan berdasarkan petunjuk dari Penciptanya. Ilmu Barat yang beroperasi tanpa petunjuk Penciptanya akhirnya mengalami kegagalan. Ilmuwan Islam, Ismail Faruqi, juga menganjurkan Islamization of Knowledge. Wacana Islami adalah implikasi tauhid pada thought atau nalar.
Kunci utama nalar Islami adalah petunjuk Allah yang terkumpul dalam Alquran dan sunah berupa nash-nash (teks-teks). Oleh karena itu, Alquran dan sunahlah yang harus dijadikan panduan atau pedoman dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk aplikasinya dalam masyarakat, bukan sains Barat. Inilah yang akan membawa keselamatan dan terhindar dari berbagai bencana.
Bencana dan Teologi
(Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina)
Bencana silih berganti menimpa negeri ini: erupsi Gunung Merapi Yogya, gempa dan tsunami Mentawai, serta banjir bandang Wasior. Ratusan nyawa manusia telah melayang akibat bencana. Temuan investigasi Komnas HAM menyebutkan, banjir bandang Wasior, misalnya, akibat human error karena telah terjadi eksploitasi besar-besaran atas tanah di daerah tersebut. Misalnya, aktivitas penambangan yang tak memandang persoalan ekologis
Anehnya, masih ada pihak-pihak yang menganggap hal itu hanya sebatas bencana alam biasa atau faktor alam an sich. Misalnya, Presiden SBY menganggapnya begitu, entah karena alasan politis atau apa pun, seakan menutup mata atas keadaan di tanah Papua yang benar-benar telah dieksploitasi secara hebat karena terjadi penambangan yang cukup masif dan destruktif oleh korporasi asing atau manusia-manusia tak bertanggung jawab.
Masyarakat pun kadang melihat hal itu sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Pergeseran teologi
Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.
Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).
Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan.
Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.
Membangun teologi bencana
Hassan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi ini diperlakukan?
Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi.
Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya mengimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.
Perjalanan Rohani
Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Maka, di Arafahlah seluruh jamaah haji menuntaskan harapannya menunaikan rukun Islam yang kelima. Karena itu, sehari sebelum pelaksanaan wukuf pada 9 Zulhijah, seluruh jamaah haji mulai mengalir menuju Padang Arafah.
Dalam suasana riuh pada hari yang dikenal dengan tarwiyah itu, suara suci berbisik di setiap telinga jamaah, "Berzikirlah, wahai hamba-hamba Allah. Siapkan segala perlengkapan lahir ataupun batin, karena esok kita akan berwukuf untuk menumpahkan segala pinta pada Yang Mahakuasa."
Di bawah terik matahari Padang Arafah, jamaah bersimpuh menelanjangi segala khilafnya. Khutbah Arafah pun terasa membakar segala dosa yang pernah menjadi pakaian kehidupan yang sulit dihindari. Lewat khutbah itulah, jamaah menelanjangi diri sendiri dan berusaha meluluhlunakkan segala egoisme insani.
Jika haji itu adalah Arafah, haji merupakan lambang kesederhanaan dan kesetaraan. Perkumpulan raksasa itu menjadi simbol kesatuan umat yang dalam kehidupan sehari-hari masih saja sering dipersoalkan. Dalam perkumpulan ini, semuanya menjadi sederhana dan setara. Sebuah perjalanan rohani yang selalu menyisakan pengalaman batin yang sangat mendalam.
Setelah tuntas melewati padang spiritualitas Arafah, jamaah kembali mengalir menuju Mina via Muzdalifah. Di sinilah jamaah melaksanakan jumrah, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat setan yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari.
Mereka bergantian dan saling melindungi untuk mendekati pilar demi pilar: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu per satu. Inilah gambaran perjalanan yang bagi kebanyakan jamaah mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ibadah haji, yang dalam bayangan sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur layaknya seorang hamba.
Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal, doa menyiratkan transenden yang sulit dipahami oleh kepala telanjang. Ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang untuk memenuhi perintah ajaran, seperti diisyaratkan rukun Islam secara keseluruhan.
Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.
Tapi, dapatkah rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Tidak mudah memang. Tentu, fasilitas utamanya adalah sikap yang tulus dalam mengikuti setiap tahapan meski terasa berat. Sesungguhnya, bekal utama ibadah haji adalah takwa (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam bingkai takwa inilah, potret perjalanan rohani itu tampak semakin bercahaya.
Haji dan Ukhuwah Islamiah
Salah satu hikmah yang mendasar dari ibadah haji adalah persaudaraan atau ukhuwah. Ketika semua umat Islam berkumpul di Padang Arafah, jamaah yang datang dari segala penjuru dunia itu terdiri atas berbagai bangsa, warna kulit, dan status yang berbeda-beda. Namun, mereka melebur di satu tempat dengan kain yang rata-rata berwarna sama-ihram putih-untuk merenungi diri dengan doa-doa dalam kebersamaan.
Berinteraksi satu dengan lainnya sembari bertukar informasi, saling berkomunikasi, dan bersilaturahim. Pada saat-saat tertentu, saling tolong-menolong menyelesaikan masalah untuk kepentingan bersama: melaksanakan manasik bersama, shalat berjamaah, makan dan minum bersama, dengan tujuan yang sama pula. Labbaik Allahumma Labbaik¸ memenuhi undangan Allah sebagai tamu-Nya yang istimewa (Dhuyufurrahman).
Dalam suka dan duka perjalanan haji, beragam rintangan dan onak duri mungkin dialami setiap jamaah, yang dalam kebersamaan dan saling tolong-menolong sesamanya itu direspons dengan kesabaran. Suatu pemandangan alam mahsyar yang divisualisasikan dalam drama kolosal wukuf (berhenti sejenak untuk merefleksikan diri bersama jamaah haji yang lain) terasa pada puncak ritual haji (hajju Arafah) ini.
Kebersamaan dalam haji inilah momentum yang tepat untuk merajut persaudaraan universal (ukhuwah Islamiah). Ukhuwah berasal dari kosakata akha - ya'khu - ukhuwwah. Kata ini dengan berbagai derivasinya banyak sekali terdapat di dalam Alquran, baik dalam arti saudara kandung maupun dalam arti saudara lain. Yang berkaitan dengan ukhuwah ini terdapat sekitar 80 ayat dalam berbagai surah. Pada Alquran surah Al-Hujurat [49] ayat 10, misalnya, dinyatakan bahwa antara sesama mukmin adalah saudara.
Makna ukhuwah kemudian dijelaskan oleh Rasul SAW dalam beberapa sabdanya, di antaranya dengan menggunakan analogi yang mudah dipahami, "Al-Mukmin li al-Mukmin ka al-Bunyan yasyuddu ba'dhuhu ba'dlan" (Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya itu bagaikan beton bangunan yang saling menguatkan satu dengan lainnya).
Rasulullah SAW telah meletakkan batu-bata ukhuwah ini dengan susah payah sejak pascahijrah ke Madinah. Para sahabat dipersaudarakan, antara Muhajirun dan Anshar. Di tengah Muhajirun dan Anshar sendiri, kemudian di antara individual para sahabat. Untuk mempererat persaudaraan yang hakiki, Nabi mengawini putri sahabat dan beliau pun mengawinkan putri-putrinya dengan para sahabat dekat, baik dari Bani Hasyim (suku Nabi sendiri) maupun dari Bani Umayah. Begitulah persaudaran ini terpelihara sampai pada masa berikutnya.
Spirit ukhuwah yang hakiki yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada 622 Hijriah ini merupakan fenomena luhur yang diabadikan oleh Alquran, misalnya, dalam surah Al-Hasyr [59] ayat 9. Dengan haji ini mestinya kita konkretkan ukhuwah yang sejati. Boleh jadi dalam kebersamaan itu ada perbedaan, tetapi kita sebagai umat yang satu harus satu dalam keyakinan akidah.
Menjauhi Kekufuran Sosial
REPUBLIKA.CO.ID,"Kefakiran dapat berpotensi pada kekufuran." Demikian di antara pesan moral yang sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Meskipun diyakini para ahli hadis bahwa kalimat itu tidak termasuk qaul Nabi SAW, ia memiliki substansi pesan yang baik, paling tidak untuk direnungkan.
Kekufuran kini telah mengambil tempat yang semakin membahayakan. Ia merupakan satu dari sekian banyak penyakit sosial yang sering mengganggu kehidupan, merusak kebersamaan, dan bahkan tidak jarang muncul dalam wujud tindak kekerasan. Kekerasan pun pecah di banyak tempat. Secara sosial ataupun material, kekerasan kini telah melewati batas toleransi. Padahal, jika ditelusuri, sumber penyebabnya sangat sederhana.
Potret kesederhanaan yang menjadi sumber kekerasan itu dapat kita lihat dalam sejumlah tragedi sosial, seperti tawuran antarwarga, bentrok antarpemuda, atau saling lempar antarmahasiswa, yang kesemuanya hanya berakar pada persoalan yang tidak seberapa. Tragedi berdarah itu lalu pecah hanya karena masing-masing pihak tidak sanggup menahan diri.
Kekerasan yang akhir-akhir ini banyak terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini, seperti diyakini banyak pakar, salah satunya merupakan akibat langsung dari semakin lebarnya jarak sosial antara yang punya dan yang tak punya. Ketidakadilan ekonomi merupakan sumber semakin rentannya ketahanan psikis yang dalam perspektif pesan di atas dapat berpotensi merebaknya kekufuran.
Karena itu, dalam logika Alquran, kekerasan bisa saja terjadi sebagai bentuk peringatan keras Allah atas ketidakadilan ekonomi yang hingga saat ini belum sanggup menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Masih tingginya angka pengangguran menjadi sumber ketidaksanggupan manusia menerima kenyataan. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini pula yang pada gilirannya telah menggeser ketulusan untuk bersedia menerima perbedaan.
Padahal, seperti diisyaratkan Nabi SAW, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan dalam hal apa pun. Perbedaan pendapat dapat memperkaya wawasan. Sementara itu, perbedaan pendapatan pun dapat menjadi lahan beramal dalam berbagi rasa dengan sesama. Tapi, mengapa kenyataan mengungkap pemandangan sebaliknya. Perbedaan kini justru banyak menuai laknat. Mungkin, kenyataan inilah yang digambarkan Allah dalam Alquran surah Ibrahim (14) ayat 7, "Jika kalian bersyukur, akan Aku tambah nikmat-Ku kepadamu; tapi sebaliknya, jika kalian mengingkari atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan, azab-Ku sangat pedih."
Pernyataan Alquran yang sarat muatan pesan persuasi ini seolah tengah menampar bangsa kita yang akhir-akhir ini sering menuai derita. Pesannya tegas bahwa manusia wajib bersyukur, yang salah satu ekspresinya adalah sikap tulus menerima kenyataan sambil tetap berikhtiar memperbaiki kehidupan.
Jadi, untuk menghindari semakin suburnya kekerasan di negeri ini, perlu diperkuat agenda meringankan beban kekufuran sosial melalui usaha mewujudkan pesan Alquran. "Memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4).
Merenungi Bencana yang Datang
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berbagai musibah dan bencana kembali menimpa saudara-saudara kita di sejumlah daerah. Salah satunya bencana banjir bandang yang melanda Kota Wasior, Papua Barat. Sekitar 147 orang meninggal dunia, 103 orang masih hilang, dan ribuan orang mengalami luka-luka akibat bencana itu.
Ditambah lagi kerugian material yang cukup besar. Bencana ini telah menambah panjang daftar musibah yang telah menimpa bangsa kita. Tidak ada suatu bencana dan kejadian apa pun di dunia ini, kecuali memang atas kehendak dan izin Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hadid [57]: 22-23.
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."Setidaknya, ada dua pesan penting dari ayat tersebut yang harus terus-menerus kita tadabburi (direnungkan). Pertama, menambah serta memperkuat keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya Zat yang mengendalikan dan mengurus alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya. Sebagai contoh, kita diperintahkan untuk berikhtiar atau berusaha dengan semaksimal mungkin (misalnya dalam membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur dalam konteks membangun bangsa), tetapi hasil akhirnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ketundukan hati dan pikiran terhadap segala aturan-Nya merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak boleh sombong dan arogan menolak aturan dan ketentuan-Nya, termasuk tidak boleh mengeksploitasi alam ciptaan-Nya tanpa kendali hanya untuk memuaskan keserakahan hawa nafsu serta memperkaya diri dan kelompok. Kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Ruum [30]: 41.
Kedua, memperkuat kembali semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial di antara sesama komponen bangsa. Musibah sejatinya sering serta dapat merekatkan dan mendekatkan hati di antara sesama umat manusia. Rasa empati dan simpati serta keinginan untuk membantu sesama biasanya terbangun dengan baik. Penderitaan dan musibah mereka adalah musibah kita semua.
Karena itu, marilah berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar semua musibah yang telah menimpa ini membuat kita menjadi bangsa yang kuat imannya dan baik pertahanan dirinya, sekaligus memperkuat solidaritas dan keseti
Haji, Perjalanan Keimanan Seorang Muslim
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berabad-abad sebelum Rasulullah diutus, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyeru manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj (22): 27-28). Beliau melaksanakannya dan berdoa agar semua hati manusia cenderung dan rindu ke Tanah Haram (QS Ibrahim (14): 37). Maka itu, berbondong-bondonglah umat Islam ke Tanah Suci untuk memenuhi seruan ini.
Barangkali dari asal-usul panggilan inilah banyak umat Islam meminta dipanggil di Makkah, khususnya di Jabal Qubeis. Padahal panggilannya sudah lama, tapi sebagian umat tidak memenuhi seruan ini karena tidak mampu atau lalai atau bahkan tuli disihir gemerlapnya dunia. Sejak seseorang mendaftar haji, yang ada dalam niatnya adalah keikhlasan dan kesiapan berkorban demi mencari ridha Ilahi. Ketika kuota diperolehnya, ia mempersiapkan semua kebutuhan selama ibadah haji.
Dia membekali dirinya dengan ketakwaan. Belajar manasik dan ilmu yang berkaitan dengan ibadah harian yang wajib selama di perjalanan. Dia korbankan waktu, harta, dan kepentingan dunianya untuk menggapai haji mabrur. Perjalanan haji adalah rihlah (tour) keimanan. Saat keluar rumah menuju ke Tanah Haram, calon haji ini membaca, "bismillahi tawakkaltu 'ala Allah wa laa haula wa laa quwwata illa billah." Ketika duduk di kendaraan pun berdoa safar.
Dalam segala situasi dan kondisi ia pun senantiasa doa, zikir, dan beribadah. Sungguh hebat jamaah haji ini. Dia menjadi hamba Allah yang terbaik. Semua aspek hidupnya dijadikan ibadah seperti yang diperintah Allah. (QS Az-Zariyat (51):56).
Kala sampai miqat, semua tamu Allah berniat ihram dan membaca talbiyah, yang artinya, "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan hanyalah bagi-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu."
Jamaah yang mengumandangkannya berderai air mata kekhusyukan dan kebahagiaan sambil mengharap ampunan. Ia sedang menjadi hamba Allah yang utuh karena sedang memenuhi panggilan-Nya dan menjadi tamu-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan duta-duta/tamu-tamu Allah. Maka itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan, dan jika mereka meminta ampun pastilah diampuni-Nya." (HR Ibnu Majah hadis No 2883).
Sebagai tamu, seorang hamba harus tahu diri terhadap yang dikunjungi. Kita wajib mengikuti semua peraturan Allah yang mengundang kita. Kita harus tahu tatakrama sebagai tamu undangan-Nya. Selama dalam perjalanan haji tidak boleh ada kesyirikan, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.
Sebagai imbalannya, kita diistimewakan sebagai tamu-Nya. Sudah pasti Allah Yang Maharahman dan Maharahim akan mengampuni dosa-dosa kita, mengabulkan semua doa dan permohonan kita. Berapa pun biaya dan pengorbanan yang kita berikan untuk ibadah haji, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keutamaan haji, ampunan, dan anugerah-Nya.
Minggu, 07 November 2010
Haji yang Membebaskan
Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, "Wahai kakek, mau kemanakah Engkau?" Kemudian, Ibrahim menjawab, "Ke Baitullah."
"Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?" tanya si Badui. "Saya punya banyak kendaraan," jawab Ibrahim. "Kendaraan apa sajakah itu?" tanya si Badui lagi.
Ibrahim menjawab, "Jika ada kesialan menimpaku, aku mengendarai 'sabar'. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai 'syukur'. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai 'kerelaan'. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai 'pengetahuanku', bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan."
Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan otentisitas sebagai hamba.
Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi otentisitas cinta Ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.
"Dan, hanya karena Allahlah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah..." (QS Ali Imran [3]: 97). "Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah... " (QS Al-Baqarah [2]: 196).
Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi pengwajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.
Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya. Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa. "Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa..." (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.
Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.
Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan Rohani
Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Maka, di Arafahlah seluruh jamaah haji menuntaskan harapannya menunaikan rukun Islam yang kelima. Karena itu, sehari sebelum pelaksanaan wukuf pada 9 Zulhijah, seluruh jamaah haji mulai mengalir menuju Padang Arafah.
Dalam suasana riuh pada hari yang dikenal dengan tarwiyah itu, suara suci berbisik di setiap telinga jamaah, "Berzikirlah, wahai hamba-hamba Allah. Siapkan segala perlengkapan lahir ataupun batin, karena esok kita akan berwukuf untuk menumpahkan segala pinta pada Yang Mahakuasa."
Di bawah terik matahari Padang Arafah, jamaah bersimpuh menelanjangi segala khilafnya. Khutbah Arafah pun terasa membakar segala dosa yang pernah menjadi pakaian kehidupan yang sulit dihindari. Lewat khutbah itulah, jamaah menelanjangi diri sendiri dan berusaha meluluhlunakkan segala egoisme insani.
Jika haji itu adalah Arafah, haji merupakan lambang kesederhanaan dan kesetaraan. Perkumpulan raksasa itu menjadi simbol kesatuan umat yang dalam kehidupan sehari-hari masih saja sering dipersoalkan. Dalam perkumpulan ini, semuanya menjadi sederhana dan setara. Sebuah perjalanan rohani yang selalu menyisakan pengalaman batin yang sangat mendalam.
Setelah tuntas melewati padang spiritualitas Arafah, jamaah kembali mengalir menuju Mina via Muzdalifah. Di sinilah jamaah melaksanakan jumrah, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat setan yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari.
Mereka bergantian dan saling melindungi untuk mendekati pilar demi pilar: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu per satu. Inilah gambaran perjalanan yang bagi kebanyakan jamaah mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ibadah haji, yang dalam bayangan sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur layaknya seorang hamba.
Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal, doa menyiratkan transenden yang sulit dipahami oleh kepala telanjang. Ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang untuk memenuhi perintah ajaran, seperti diisyaratkan rukun Islam secara keseluruhan.
Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.
Tapi, dapatkah rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Tidak mudah memang. Tentu, fasilitas utamanya adalah sikap yang tulus dalam mengikuti setiap tahapan meski terasa berat. Sesungguhnya, bekal utama ibadah haji adalah takwa (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam bingkai takwa inilah, potret perjalanan rohani itu tampak semakin bercahaya.
Jumat, 22 Oktober 2010
Khadijah Tak Berpuasa Ramadan
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
Dari kupasan itu kita tahu bahwa sejumlah Sahabat Nabi banyak yang meninggal dunia tanpa menjalankan puasa Ramadan. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad, pun tak pernah menjalankan puasa Ramadan. Bahkan, Khadijah juga tak sempat menjalankan shalat lima waktu, juga zakat, karena semuanya disyariatkan ketika yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Sebagian besar agama mengenal tradisi puasa atau pantang. Ada banyak ragam puasa yang diperkenalkan agama-agama. Dalam al-Qur’an (Mariam [19]: 26) disebut bahwa Bunda Maria (Siti Mariam) bernazar puasa untuk tak bicara dengan manusia manapun. “Inni nadzartu li al-rahman shawma fa lan ukallima al-yawma insiya” (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini).
Puasa juga bisa dalam bentuk tak melakukan hubungan seksual. Jika umat Islam pantang melakukan kontak seksual pada siang bulan Ramadan, maka para Romo dan Pastur Katolik berpuasa dari hubungan seksual sepanjang hayat atau selama yang bersangkutan masih menjadi pastur. Bentuk-bentuk puasa kian banyak dijumpai jika kita memperhatikan adat dan tradisi. Ada puasa dengan tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sebagian masyarakat juga mengenal tradisi pantang memakan “yang bernyawa”, seperti hewan, ikan, dan lainnya.
Sebagaimana agama lain, Islam pun mensyariatkan puasa. Bentuknya adalah dengan tak makan-minum dan menahan hubungan seksual di siang hari. Dalam periode Mekah, umat Islam menjalankan puasa tiga hari dalam setiap bulan plus puasa Asyura. Dalam Shahih Bukhari (hadits ke-1893) disebutkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam sudah biasa melakukan puasa Asyura. Orang-orang Yahudi saat itu juga berpuasa pada hari Asyura, karena hari itu diyakini sebagai hari diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran dan ancaman bunuh Fir’aun. Begitu Islam datang, Nabi Muhammad memerintahkan umat Islam untuk puasa Asyura. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid I, hlm. 660).
Dengan demikian, ibadah puasa sebetulnya didasarkan pada syari’at sebelum Islam (syar’u man qablana). Al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 183) menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, supaya kalian bertakwa”.
Sejumlah referensi menjelaskan bahwa Islam dalam fase Mekah tak mengenal puasa Ramadan. Puasa baru disyariatkan dalam periode Madinah. Menurut al-Juzairi, puasa Ramadan diundangkan tanggal 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atau 1,5 tahun setelah hijrah (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 416). Menurut Syatha al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (Juz II, hlm. 215), selama 10 tahun tinggal di Madinah, Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadan hanya sembilan kali. Satu tahun pertama di Madinah, puasa Ramadan belum disyariatkan. Pada tahun itu, Nabi Muhammad dan umat Islam masih menjalankan puasa Asyura, melanjutkan kebiasaan puasa Asyura selama 13 tahun di Mekah. Dengan demikian, selama 14 tahun, Islam berjalan tanpa puasa Ramadan.
Dari kupasan itu kita tahu bahwa sejumlah Sahabat Nabi banyak yang meninggal dunia tanpa menjalankan puasa Ramadan. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad, pun tak pernah menjalankan puasa Ramadan. Bahkan, Khadijah juga tak sempat menjalankan shalat lima waktu, juga zakat, karena semuanya disyariatkan ketika yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Namun, kita tak perlu panik dan masygul. Khadijah tetap akan masuk surga walau tanpa shalat, tanpa zakat, dan tanpa puasa Ramadan. Tuhan Khadijah (tentu Tuhan kita semua) adalah Tuhan inklusif yang akan memasukkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh seperti Khadijah ke dalam surga. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Senin, 18 Oktober 2010
Hamba yang Taat Beribadah
REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA--Setiap kejadian di atas muka bumi selalu diputuskan dengan rahmat-Nya, serta kudrat dan iradat-Nya. Seluruh ciptaan tak ada yang luput dari pengawasan-Nya, termasuk aktivitas manusia. Allah jua yang telah menuliskannya dalam lauh mahfuzh-Nya (QS Al-Hadid [57]: 22).
Meski semua telah tertulis di zaman azali, manusia tetap diperintahkan untuk berikhtiar menjemput kebaikan. Tak ada satu kebaikan pun yang diraih dengan berpangku tangan. Semua itu meniscayakan adanya sebuah gerak, usaha, dan akselarasi.
Diam hanya akan membuat seseorang berkubang dalam penderitaan dan kegagalan. Jika kita adalah seorang pedagang atau pebisnis, mutlak untuk melakukan sesuatu. Sebaik-baik ikhtiar manusia adalah merujuk pada syariat-Nya, sebagai Zat yang mengatur kehidupan. Ikhtiar berikut boleh disebut sebagai kunci pelaris bagi usaha perniagaan kita.
Pertama, bertobat dan beristighfar. "Dan, hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan, Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik." (QS Hud [11]: 3). Baca juga ayat ke-15 dan QS Nuh ayat 10-12.
Seseorang yang telah bertobat dan terus-menerus beristighfar berada dalam pengampunan Zat yang Maha Menggerakkan. Dan, itu artinya, doa dan harapannya bisa segera dikabulkan.
Kedua, sungguh-sungguh bertakwa. "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan, Dia memberinya rezeki dari arah yang tak terduga." (QS At-Thalaq [65]: 2-3). Di saat-saat sulit, gagal, pailit, dan sepi pembeli, haqul yaqin akan ada saja jalan kemudahan jika selalu bertakwa kepada-Nya. Dengan bertakwa, pintu kemudahan akan terbuka. Ia adalah bekal terbaik dalam menjalani hidup (QS Al-Baqarah [2]: 197), serta pengait untuk memintal setiap urusan.
Ketiga, tawakal. "Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan cukupkan (keperluannya)." (QS At-Thalaq [65]: 3). Setelah berusaha dengan kerja keras dan ikhtiar, serahkan sepenuhnya kepada Allah. Seseorang tetap harus melibatkan dan memasrahkan usahanya itu kepada Zat yang Maha Menentukan.
Keempat, silaturahim dan sedekah. "Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Dan, apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya. Dialah Pemberi rezeki yang terbaik." (QS Saba [34]: 39).
Menjalin tali silaturahim lebih dari sekedar saling mengunjungi. Ia sangat efektif untuk menjaring relasi dan perkongsian yang positif. Apalagi, jika saling memberi kail sedekah, bisa dipastikan semakin terbukalah pintu-pintu kemudahan.
Kelima, beribadah sepenuh hati hanya mencari rida Allah SWT. Di antaranya adalah mengerjakan yang wajib dan menghidupkan yang sunah. "Barang siapa yang beribadah kepada-Ku dengan sepenuh hati, aku perintahkan dunia untuk melayaninya." (Hadis Qudsi). Walahu a'lam.
Minggu, 17 Oktober 2010
Dakwahtainment
Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar
Kata dakwah di Indonesia dipahami sebatas aktivitas menyampaikan ceramah agama. Demikian pula dengan istilah dai, yang selalu diartikan dengan sebutan penceramah. Istilah-istilah lain dalam agama yang di Indonesia maknanya menjadi sempit adalah ulama dan ustaz. Di dalam kamus al-Wasith, kata dakwah dimaknakan sebagai mengajak kepada sesuatu dengan argumentasi yang kuat. Terminologi dakwah di dalam Alquran dijumpai sebanyak 10 kali dalam bentuk isim (kata benda), 10 kali dalam bentuk amr (kata kerja perintah), dan 49 kali dalam bentuk mudhari' (kata kerja present). Dari ke-69 kali penyebutan itu, dua penyebutan mengarah pada makna seruan atau ajakan agar orang melakukan kebaikan, yaitu di dalam surah Ali Imran ayat 104 dan surah Al-Nahl ayat 125.
Namun, makna dakwah di dalam Alquran tidak hanya dibatasi pada pengertian menyeru atau mengajak. Bunyi teks surah Ali Imran ayat 104 secara jelas menyebutkan definisi kerja dakwah, sebagaimana dapat dipahami berikut; "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." Dari uraian itu, dapat dipahami bahwa dakwah memainkan fungsi kontrol terhadap perilaku umat atau manusia secara keseluruhan.
Luasnya jangkauan kerja dakwah, bukan berarti bahwa kerja tidak membutuhkan ilmu. Kerja dakwah membutuhkan ilmu agar seorang dai dapat dengan sukses menjalankan tugasnya, yaitu sampainya pesan-pesan dakwah kepada objek dakwah (mad'u). Alquran menjelaskan prinsip-prinsip penting dalam dakwah yang seyogianya diperhatikan seorang dai, yaitu bersikap lemah lembut (QS 3: 159), mengedepankan hikmah dan nasihat yang baik (QS 16: 125), memelihara kehormatan diri (iffah) (QS 2: 273), menyampaikan pesan dengan kasih sayang (QS 90: 17), mengutamakan sikap sabar dengan keteguhan berpegang kepada kebenaran (QS 103: 3), dan bersikap konsisten dengan tidak memedulikan celaan orang lain (QS 5: 54). Pemahaman seorang dai terhadap prinsip-prinsip di atas bersifat urgen karena perilaku seorang dai menggambarkan karakter nilai yang akan disampaikannya. Luas jangkauan kerja, pentingnya penguasaan ilmu dakwah, dan kemampuan penguasaan dai terhadap ilmu akan menempatkan dakwah dalam posisinya sebagai katalisator kehidupan manusia.
Dakwahtainment
Dalam kurun waktu 1970-an sampai dengan 1990-an, fungsi dakwah di Indonesia dijalankan sebagaimana makna dakwah yang dimaksudkan oleh Alquran. Tumbuh suburnya halaqah-halaqah dakwah di kampus-kampus umum semakin menegaskan pengertian dakwah yang luas jangkauannya. Tayangan-tayangan dakwah di televisi, terutama di era 'Mimbar Agama Islam' TVRI pada 1980-an, menampilkan sosok-sosok dai yang memahami konsepsi dakwah yang sesungguhnya.
Meskipun fungsi dakwah dijalankan di tengah tekanan penguasa yang represif ketika itu, pesan-pesan dakwah yang disampaikan para dai dapat ditangkap dengan baik oleh masyarakat. Geliat kerinduan akan kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai agama bertumbuhan di mana-mana. Para dai bermunculan mengampanyekan cita kehidupan yang Islami.
Fenomena itu ditambah dengan keunikan latar belakang pendidikan para dai yang tidak berlatar belakang pendidikan pesantren atau perguruan tinggi Islam, tapi justru berlatar belakang pendidikan umum. Dakwah di tengah pusaran politik yang represif, dalam kenyataannya, mampu memunculkan koreksi terhadap kekuasaan dan kemudian menawarkan solusi atas persoalan bangsa yang karut-marut ketika itu.
Memasuki tahun 2000-an, dunia dakwah mengalami masa stagnasi. Krisis ekonomi yang demikian hebat menghantam sendi-sendi kehidupan bangsa dan umat pada gilirannya mendorong munculnya sikap pragmatisme masyarakat di dalam menyikapi persoalan hidup. Dakwah kehilangan semangat seiring dengan semakin menguatnya sikap pragmatis umat. Di tengah kekosongan ruhani bangsa akibat krisis, semestinya dakwah hadir memainkan fungsi tilawah (informatif) dan tazkiyah (penyucian diri).
Ketidakhadiran dakwah di tengah situasi itu disebabkan oleh terkurasnya energi sebagian besar aktivis dakwah pada upaya perbaikan sistem politik. Kehadiran dakwah yang berorientasi pada pengelolaan hati (qalbun salim) memang sempat menghibur kegersangan hati umat yang ditinggal oleh ruh dakwah yang penuh semangat dan heroik.
Namun, dislokasi model dakwah yang heart-oriented ini telah menggiring opini publik ke arah pembentukan idola yang silau dengan selebritas. Masyarakat tidak lagi melihat ke arah mana sesungguhnya dakwah hendak dibawa. Masyarakat lebih tertarik kepada figur sang dai yang dipandangnya mampu memberikan solusi semua masalah kehidupan.
Di titik ini, dakwah kemudian diasosiasikan dengan hiburan (entertainment). Bahkan, di dalam sebuah wawancara pagi di sebuah stasiun televisi tahun 2006, seorang penceramah dengan bangga menyebut bahwa esensi dakwah itu sendiri adalah hiburan atau dakwahtainment.
Sejak saat itu, para penceramah atau dai berlomba-lomba meningkatkan kapasitas seninya agar dapat mempertahankan eksistensinya. Malah di dalam sebuah diskusi di antara para kiai, muncul informasi yang menyebutkan adanya monopoli hak siar dakwah oleh agensi penceramah tertentu agar dapat terus tayang di hadapan publik.
Di dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Jalaludin Rahmat pernah mengemukakan bahwa di Indonesia dakwah tidak lagi membutuhkan kapasitas intelektual karena yang diinginkan oleh publik Islam dari dakwah adalah kapasitas seni artisifial dari sang pendai itu sendiri. Secara santai, Kang Jalal menegaskan bahwa para penceramah tidak perlu memahami ilmu-ilmu agama, tapi mereka perlu mempelajari teknik bernyanyi dan berakting yang baik agar kelak diminati oleh publik.
Karena itu, bobot muatan dakwah di Indonesia mungkin dapat disejajarkan dengan komedi slapstick yang berakibat hilangnya maruah dakwah sebagaimana diamanatkan Alquran. Keadaan yang berbeda dapat dibandingkan dengan di Malaysia, Singapura, Brunei, atau negara-negara Muslim lainnya. Demikian pula dapat dibandingkan dengan penyampaian dakwah di kalangan Katolik atau Protestan di dalam tayangan televisi.
Dakwah disampaikan dengan penyajian yang santai, tetapi serius penekanannya karena persoalan yang dikupas di dalam dakwah adalah persoalan serius. Dakwah ditempatkan sebagai sebuah usaha untuk membangun karakter umat dan juga karakter bangsa.