Senin, 08 November 2010

Perjalanan Rohani

Prof Asep S Muhtadi


Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Maka, di Arafahlah seluruh jamaah haji menuntaskan harapannya menunaikan rukun Islam yang kelima. Karena itu, sehari sebelum pelaksanaan wukuf pada 9 Zulhijah, seluruh jamaah haji mulai mengalir menuju Padang Arafah.

Dalam suasana riuh pada hari yang dikenal dengan tarwiyah itu, suara suci berbisik di setiap telinga jamaah, "Berzikirlah, wahai hamba-hamba Allah. Siapkan segala perlengkapan lahir ataupun batin, karena esok kita akan berwukuf untuk menumpahkan segala pinta pada Yang Mahakuasa."

Di bawah terik matahari Padang Arafah, jamaah bersimpuh menelanjangi segala khilafnya. Khutbah Arafah pun terasa membakar segala dosa yang pernah menjadi pakaian kehidupan yang sulit dihindari. Lewat khutbah itulah, jamaah menelanjangi diri sendiri dan berusaha meluluhlunakkan segala egoisme insani.

Jika haji itu adalah Arafah, haji merupakan lambang kesederhanaan dan kesetaraan. Perkumpulan raksasa itu menjadi simbol kesatuan umat yang dalam kehidupan sehari-hari masih saja sering dipersoalkan. Dalam perkumpulan ini, semuanya menjadi sederhana dan setara. Sebuah perjalanan rohani yang selalu menyisakan pengalaman batin yang sangat mendalam.

Setelah tuntas melewati padang spiritualitas Arafah, jamaah kembali mengalir menuju Mina via Muzdalifah. Di sinilah jamaah melaksanakan jumrah, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat setan yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari.

Mereka bergantian dan saling melindungi untuk mendekati pilar demi pilar: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu per satu. Inilah gambaran perjalanan yang bagi kebanyakan jamaah mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Ibadah haji, yang dalam bayangan sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur layaknya seorang hamba.

Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal, doa menyiratkan transenden yang sulit dipahami oleh kepala telanjang. Ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang untuk memenuhi perintah ajaran, seperti diisyaratkan rukun Islam secara keseluruhan.

Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.

Tapi, dapatkah rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Tidak mudah memang. Tentu, fasilitas utamanya adalah sikap yang tulus dalam mengikuti setiap tahapan meski terasa berat. Sesungguhnya, bekal utama ibadah haji adalah takwa (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam bingkai takwa inilah, potret perjalanan rohani itu tampak semakin bercahaya.

Tidak ada komentar:

Al Quran On Line