Oleh Yusuf Burhanudin
Prestasi yang bernilai di sisi Allah adalah proses kerja seseorang. Allah SWT tidak melihat hasil tapi menilai proses, kesungguhan, dan kegigihan seseorang menggapai cita-cita dan memenuhi hajat hidup.
Firman-Nya, ''Dan katakanlah, 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.'' (QS At Taubah [9]: 105).
Rasul memuji orang yang gigih bekerja dan hidup mandiri dari hasil keringat sendiri. Sabdanya, ''Salah seorang kalian membawa seutas tali, lalu pergi ke gunung dan pulang dengan seikat kayu bakar di atas punggung lalu menjualnya sehingga Allah mencukupkan kebutuhannya, lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain, bisa dikasih bisa juga ditolak.'' (HR Bukhari).
Meminta bantuan orang lain, sifatnya kondisional dan sesaat yaitu ketika terdesak setelah berusaha. Yang terjadi kini, perilaku meminta-minta bukan ketika terdesak, tapi dijadikan kebiasaan dan lahan hidup.
Memohon belas kasihan orang, apalagi dijadikan profesi dan kebiasaan, termasuk perbuatan hina, bahkan merendahkan harkat dan martabat sendiri. Rasul memperingatkan, ''Siapa mengemis pada orang lain dari harta mereka untuk memperkaya diri, sungguh ia memungut kerikil neraka; apakah ia hendak menyedikitkannya atau memperbanyaknya.'' (HR Muslim).
Kebiasaan mengemis bukan semata-mata soal kemiskinan, tapi terkait krisis mentalitas dan etos kerja yang buruk. Buktinya, mengemis bukan monopoli kaum dhuafa, tapi juga melanda 'pengemis berdasi' yang kehilangan rasa malu dengan memohon jatah proyek sekalipun menghalalkan segala cara dengan menyuap dan berkolusi.
Inilah saat-saat di mana umat Islam kehilangan tiga hal utama sekaligus; kemandirian, tidak tahan banting ujian, dan terkikisnya rasa malu. Tiga hal pokok inilah yang secara bersamaan meruntuhkan posisi umat Islam sebagai umat terbaik, pilihan, sekaligus terbesar.
Surga menanti orang yang hidup mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan orang. Sabda Rasul, ''Penghuni surga ada tiga golongan; penguasa adil, jujur, dan terpercaya; orang yang baik hati pada kerabat dan sesama Muslim; dan orang (miskin) yang tak pernah mengemis sekalipun keluarganya mampu memberikan tanggungan.'' (HR Muslim)
Rabu, 27 Mei 2009
Etos Kerja
Minggu, 24 Mei 2009
Nikmat yang Terabaikan
Oleh Sri Lestari
Biasanya manusia baru bisa merasakan suatu kenikmatan bila kenikmatan itu hilang dari dirinya. Kita bisa merasakan nikmatnya kesehatan ketika sakit. Begitu berharganya segelas air putih bila kita di daerah gurun pasir, dan tersesat di dalamnya.Penghargaan terhadap tubuh yang dikaruniakan Allah SWT lebih terasa bila salah satu anggota tubuh kita melemah fungsinya. Bila penglihatan mata mulai kabur, barulah kita tersadar lalai merawatnya.
Kita seakan tersadar dari tidur panjang yang melalaikan. Semua hal dalam kehidupan ini dalam sekejap menjadi begitu berarti, bahkan hal yang dulunya begitu dibenci, menjadi begitu kita cintai.Rasulullah SAW sudah mengingatkannya, ''Ingatlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara. Muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit, kaya sebelum miskin, hidup sebelum mati. (Al Hadis).
Peringatan Rasulullah itu amatlah jelas dan bisa kita rasakan kebenarannya. Tapi, ada nikmat yang boleh dikatakan lebih tinggi dari yang telah disebutkan di atas, tapi banyak manusia tidak merasa kehilangan bila ia tidak ada pada diri kita, yaitu nikmat iman.
Allah SWT berfirman, ''Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.'' (QS Alhujuraat [49]: 17).
Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya kemungkaran di sekitar kita. Bukankah telah hilang keimanan seseorang pada saat orang itu berbuat kemungkaran? Tidak mungkin seseorang dalam keadaan beriman bila tanpa rasa takut melakukan korupsi, mencuri, berdusta, berzina, dan sederet akhlak yang bertentangan dengan agama.
Banyak orang merasa cukup hanya berislam, padahal kedudukan iman lebih tinggi dari itu. Menurut Imam Nawawi, Islam adalah ungkapan pelaksanaan kewajiban, yaitu kepatuhan terhadap amalan lahir. Sedangkan iman adalah ungkapan pembenaran kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.
Allah SWT membedakan iman dan Islam sebagaimana terdapat dalam surah Alhujuraat [49] ayat 14. ''Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman. Katakanlah [kepada mereka]; 'Kalian belumlah beriman, tetapi katakanlah: 'Kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.''
Sabtu, 16 Mei 2009
Ulama: Pilih Pemimpin yang Terbaik
Ulama meminta umat Islam memilih
pemimpin yang memiliki empat sifat Rasulullah SAW.
JAKARTA-- Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, para ulama mengimbau umat Muslim menggunakan hak pilihnya dengan penuh tanggung jawab. Umat juga diminta menggunakan nalar dan hati nurani dalam memilih pemimpin Indonesia. Kalangan ulama mendorong agar umat Islam memilih pemimpin yang memiliki sifat seperti Rasulullah SAW.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyarankan agar umat Islam, khususnya warga persyarikatan untuk memilih pemimpin yang memiliki empat sifat Rasulullah SAW, yakni sidik (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabliq (komunikatif), dan fatonah (cerdas).
"Dalam bahasa kekinian, sidik itu jujur atau kredibel, amanah berarti bertanggung jawab atau akuntabel, tabliq berarti komunikatif dan fatonah itu cerdas. Perpaduan keempat sifat ini dapat membentuk karakter kepemimpinan yang andal," ujar Din kepada Republika, Kamis (14/5).
Menurut Din, saat ini Indonesia memerlukan pemimpin visioner yang memiliki kecerdasan dan mampu membaca masa depan. ''Ke arah mana bangsa ini akan dibawa serta kecerdasan membaca realitas yang dihadapi. Inilah implementasi dari sifat fatonah," ujarnya menegaskan.
Selain itu, tutur dia, Indonesia juga membutuhkan seorang pemimpin yang bisa berkomunikasi kepada rakyat untuk menjelaskan visi, misi, program, dan sekaligus kemampuan memotivasi atau menggerakkan rakyat. Karena itulah, kata dia, umat harus memilih pemimpin yang memiliki sifat tabliq.
Yang tak kalah penting, ungkap Din, umat perlu memilih pemimpin yang memiliki sifat sidik, yakni pemimpin yang jujur kepada diri sendiri, rakyat, dan bangsanya. Sayangnya, tutur dia, tak ada satu pun calon pemimpin Indonesia yang memiliki seluruh sifat Rasulullah itu.
"Memang dalam konteks saat ini, sulit merealisasikan sifat Rasul secara maksimal, tapi bisa saja ada. Masyarakat harus terlibat aktif dalam pemilihan tersebut. Pilih yang terbaik dari yang baik atau pilih yang baik dari yang kurang baik," tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bagdja. Menurut dia, dalam Islam seorang pemimpin adalah orang yang memiliki sifat seperti Rasul yang menjadi uswatun hasanah atau teladan. "Seorang pemimpin itu harus jujur, berani mengatakan yang benar itu benar, serta menjalankan tugas dengan penuh amanah."
Sayangnya, papar dia, sekarang ini sangat sulit mencari pemimpin yang memiliki keempat sifat Rasulullah itu. ''Saat ini, banyak pemimpin yang tidak jujur dan tidak mampu menjalankan amanah,'' tuturnya. Untuk itu, Kiai Ahmad Bagdja mengingatkan agar umat tidak salah memilih pemimpin pada Pilpres 2009.
"Memilih pemimpin itu bagian dari ibadah, pilih pemimpin yang bisa menjalankan imamah dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Kalau yang ideal tidak ada, pilih yang punya potensi besar mendekati sifat tersebut. Umat pasti sudah tahu itu," ujarnya.
Menurut dia, umat tak boleh memilih pemimpin berdasarkan kedekatan saja, tapi harus melihat sifat-sifatnya. "Allah memperingatkan jangan pilih saudaramu, karibmu, keluargamu, yang mengajak kepada kekufuran atau mengajak yang tidak baik."
Ketua Umum PP Dewan Masjid Indonesia (DMI), KH Tarmizi Taher, mengatakan, umat Islam harus memilih pemimpin yang baik. Menurut Alquran, kata dia, pemimpin yang baik itu senantiasa merasa sedih atas penderitaan masyarakat yang dipimpinnya. Selain itu, kepemimpinannya mendatangkan kebaikan bagi rakyatnya serta pemaaf atau lapang dada terhadap kesalahan yang dipimpinnya.
Kiai Tarmizi menyarankan agar umat memilih pemimpin yang paling tidak mendekati sifat-sifat Rasulullah SAW dan sifat-sifat pemimpin yang tercantum dalam Alquran. "Kita kan sudah melihat performa, tingkah laku, dan amanah dari capres dan cawapares. Buatlah nilai untuk setiap sifat yang mendekati kriteria tersebut. Tapi, jangan berharap kesempurnaan atau nilai bagus, pilihlah yang mendekati kesempurnaan tersebut."
Sementara itu, Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), KH Prof Ahmad Satori Ismail, menjelaskan, umat Islam perlu memilih seorang pemimpin yang memiliki keluasan ilmu, kekuatan jasmani, dan bisa dipercaya. Menurut dia, memilih pemimpin merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. "Pilihlah pemimpin yang sesuai dengan syarat yang disebutkan di dalam Alquran, pilih orang yang mengerti agama, amanah, dan jujur," paparnya.
Keluarga Alumni Masjid Salman (Kalam) seusai menggelar doa anak bangsa bersepakat bahwa Pilpres 2009 merupakan sebuah kesempatan besar bagi rakyat Indonesia, untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik. Menurut Kalam, pemimpin Indonesia untuk lima tahun mendatang haruslah seseorang yang mampu membuka jalan bagi bangsa ini meraih kesejahteraan, sekaligus keluar dari permasalahan-permasalahan yang melingkupi bangsa ini.
Menurut salah seorang aktivis Kalam, Buroki Tarich, pemimpin tersebut hendaklah mengelola negara dengan semangat nasionalisme tinggi, berbasis moral dan religiusitas yang kokoh, serta berfokus pada aneka program utama yang memang diperlukan rakyat. she/one
Rabu, 13 Mei 2009
Rasa Malu
Oleh Agus Iswanto
''Keimanan itu 70 atau 60 lebih cabangnya. Yang paling tinggi ialah mengucapkan La Ilaaha illallah. Dan, yang paling rendah adalah menjauhkan duri dari jalan. Malu itu adalah salah satu cabangnya pula.'' (HR Abu Hurairah).
Perasaan malu selalu membawa kebaikan. Demikian kandungan sebuah sabda Rasulullah SAW yang lain.Hal itu terwujud manakala kita telah beriman dan mengenal Allah SWT, bahwasanya Dia-lah Allah SWT yang telah menciptakan diri dan alam yang kita tempati ini.
Allah SWT juga menurunkan rahmat dan nikmat-Nya yang tak pernah putus kepada manusia, baik berupa benda-benda yang bisa dimanfaatkan, rahmat, maupun nikmat akal pikiran yang sehat, pengetahuan, iman, serta takwa.
Dengan rasa syukur terhadap rahmat dan nikmat-Nya itu pula, kita akan selalu menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT menurunkan rahmat dan nikmat karena cinta yang mahaluas terhadap hamba.
Maka, tidaklah pantas jika kita sebagai hamba-Nya untuk tidak mencintai Allah SWT. Dan, wujud cinta itu sudah tentu dengan senantiasa menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Di samping menumbuhkan rasa cinta dan takut, kita juga harus dapat menumbuhkan rasa malu dalam diri kita, yakni malu karena tidak menjalankan perintah Allah SWT dan melanggar larangan-Nya.Malu bila kita tidak ingat atau lupa terhadap Allah SWT dan juga malu bila kita kurang mempunyai rasa syukur dan terima kasih kepada-Nya.
Malu itu berbeda dengan rendah diri atau minder, yang selanjutnya dapat menimbulkan sikap pesimistis. Malu dalam bahasa Arab adalahal-haya', yang makna harfiahnya adalah hidup.Hal tersebut dapat dipahami dengan dua makna. Pertama, manusia adalah makhluk hidup yang sempurna atau manusia seharusnya mempunyai rasa malu.
Kedua, seharusnya rasa malu selalu menumbuhkan dan menghidupkan rasa syukur kita terhadap nikmat dan rahmat Allah SWT. Jika tidak lagi punya rasa malu, manusia akan cenderung melakukan apa saja dan semaunya. Begitu tegas Nabi SAW berpesan.
Jika rasa malu hilang, manusia akan selalu mengikuti hawa nafsu meskipun melanggar perintah dan larangan Allah SWT. Demikianlah, problematika sosial di keseharian yang tampaknya juga disebabkan oleh hilangnya akhlak malu ini.
Sebelum Hati Menjadi Keras
Oleh M Arif Assalam
Ketika hujan turun, di sebagian tempat, air hujan menggenang di atas tanah. Di bagian tempat lain, air hujan menyusup masuk ke dalam tanah.
Air yang tergenang di atas tanah, setelah beberapa lama akhirnya mengering oleh panasnya matahari. Adapun tanah yang menyerap air, menjadi semakin subur, lembut, dan tumbuh darinya berbagai jenis tumbuhan dan tanaman.
Tanah yang keras seperti batu, tidak akan bisa menyerap air, karena tidak memiliki celah-celah yang bisa dimasuki air. Sedangkan tanah gembur, dapat dengan mudah menyerap air.
Demikian perumpamaannya. Hati yang lunak dan lembut, akan mudah menerima petunjuk dan kebenaran. Ia akan terbuka dan berlapang menerima nasihat dan kebaikan.
Di dalam hati yang lunak dan lembut, bibit kebaikan memang telah ada dan selalu dirawat pemiliknya, sehingga petunjuk dan kebenaran mendapat celah untuk masuk ke dalam hati.
Adapun hati yang keras bagai batu, sangat sulit menerima petunjuk dan kebenaran. Hati jenis ini telah dikuasai oleh kesombongan dan keangkuhan. Ia menolak kebenaran, hingga berapa pun petunjuk yang datang kepadanya, tidak akan bermanfaat. Pintu hatinya telah tertutup oleh kesombongannya sendiri.
''Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.'' (QS Albaqarah [2]: 6-7).
Dalam kehidupan yang kita jalani, sebagian orang ketika datang padanya kebenaran, ia dengan angkuh menolak dan berkata, ''Saya adalah paling benar, pendapat Anda salah.'' Maka, berbicara pada orang seperti ini, tidak akan ada gunanya, karena ia sendiri yang telah menutup pintu hatinya untuk menerima tamu kebenaran.
Amatlah disayangkan sikap orang-orang yang selalu menolak kebenaran dan petunjuk. Karena penolakan mereka, sesungguhnya akan mengantarkan pada kebinasaan dan kehancuran di dunia dan akhirat.
Sebelum hati menjadi keras seperti batu, dari awal kita harus selalu merawatnya, menjaga kesuburannya dengan membiasakan mendengarkan Alquran dan men-tadabburi-nya. Lainnya, membaca sirah Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh, mengingat mati dan bergaul dengan orang-orang saleh yang setiap kata-kata mereka mengandung manfaat dan kebaikan.
Karena, bila hati telah keras, bagaimanakah cahaya petunjuk akan dapat diterima? Bagaimanakah guyuran hujan kebenaran akan dapat diserap dan dipahami? Dan sebelum itu terjadi, sebelum Allah SWT menutup mata hati, mari kita rawat bibit kebaikan dalam diri.
Selasa, 12 Mei 2009
Bacalah dengan Nama Tuhanmu
Oleh Fauzi Bahreisy
''Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.'' (QS Al-'Alaq [96]: 1). Dari posisinya sebagai wahyu pertama serta dari cara Jibril menyampaikan kepada Rasulullah SAW, ayat ini memiliki kedudukan istimewa. Ia berisi pesan-pesan fundamental yang diberikan kepada Rasulullah SAW secara khusus dan umatnya secara umum.
Di antaranya, pesan untuk 'membaca'. Pesan ini sangat penting agar manusia memfungsikan sejumlah perangkat indrawi yang Allah SWT anugerahkan, seperti penglihatan, pendengaran, hati, dan akalnya secara optimal.
Itulah perangkat utama untuk membaca tulisan yang terdapat dalam kitab ataupun di jagad raya. Dari sini, manusia menjadi cerdas, berpengetahuan, dan berwawasan luas.
Hanya saja, proses membaca itu harus disertai spirit mulia. Sebab, banyak orang cerdas sesudah membaca, tidak memberikan manfaat apa-apa. Bahkan, tidak jarang pengetahuan dan kecerdasan yang dimilikinya digunakan untuk menipu, menjerat, memperdaya, memanipulasi, dan mendatangkan bahaya.
Karena itu, Allah SWT menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu.'' Artinya, tidak boleh hanya sekadar membaca. Tapi, proses membaca tadi harus dilakukan karena Allah SWT dan untuk-Nya. Inilah pesan selanjutnya yang bisa diambil dari ayat di atas. Ini pula yang seharusnya menjiwai proses penelaahan, penalaran, pengamatan, dan pembelajaran oleh seorang Muslim. Dirinya harus selalu terkait dengan Allah Sang Pencipta.
Bahkan, Syekh Abdul Halim Mahmud berkata, ''Dengan kalimat Iqra' bismi Rabbik, sebenarnya Alquran tidak hanya memerintahkan manusia membaca. Sebab, membaca hanya sekadar lambang dari segala aktivitas manusia.''Ayat itu seolah ingin menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Begitu pula, bila Anda berhenti bergerak, hendaknya itu juga karena Tuhanmu. Dengan demikian, ayat itu mengarahkan manusia agar menjadikan seluruh hidup, wujud, cara, dan tujuannya adalah karena Allah SWT.''
Apa pun profesi dan pekerjaan manusia, apa pun jabatan dan kedudukannya, apa pun bidang yang ditanganinya, harus senantiasa terkait dengan Allah SWT dan ridha-Nya. Di sinilah kita memahami, mengapa Rasulullah SAW selalu memulai aktivitas kebaikannya dengan menyebut nama Allah SWT (basmalah). Tidak ada yang boleh terlepas dari-Nya.Totalitas hidup Muslim hanya dipersembahkan untuk-Nya. ''Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam'.'' (QS Al-An'am [6]: 162).
Senin, 11 Mei 2009
Menjaga Wudhu
Oleh Puji Lestari
Tak ada ajaran seindah tuntunan Islam. Tak ada yang lebih rinci dan sempurna mengatur kehidupan seorang hamba, selain agama penuh berkah dan rahmat ini.Tiap perintah maupun larangan-Nya, selalu mengandung hikmah yang tak akan habis untuk dikaji, tak akan kering untuk senantiasa diselami. Dan, wudhu adalah salah satunya, yang hanya merupakan 'secuil' perintah namun kaya akan faidah.
Seorang Muslim kaffah , minimal lima kali dalam sehari membasahi dirinya dengan air wudhu. Jika untuk menghadapi seorang manusia kita mensyaratkan diri harus bersih dan rapi, apalagi jika yang akan kita hadapi adalah Allah SWT melalui shalat.Bukan hanya kebersihan dan kesucian yang terjaga. Dengan wudhu, dosa-dosa kecil pun akan luruh bersama tetesan air yang jatuh. Subhanallah .
''Jika seorang Mukmin berwudhu (dengan membasuh mulut, hidung, muka, tangan, kepala, telinga, dan kakinya), keluarlah dosa dan kesalahannya dari mulut, hidung, muka, tangan (sampai dari ujung jari-jarinya), kepala, telinga, dan kakinya (sampai dari ujung jari-jari kakinya).'' (HR Malik, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).Bersikap berlebihan dalam segala hal adalah sikap tercela. Tapi untuk amalan satu ini, tidak. Sebuah teladan masyhur dari seorang budak Habsyi yaitu Bilal bin Rabah, manakala terompahnya telah menanti tuannya di surga.
Ini adalah karena amalan yang tampak sepele dan ringan, namun ternyata hanya menyapa jiwa-jiwa yang benar-benar ingin mempunyai nilai lebih di mata Allah. Itu karena menjaga wudhu.Tak setiap amal kebaikan dapat dilakukan manusia. Banyak keterbatasan yang menjadikan manusia harus pandai-pandai mengenali potensi diri, dan menyumbangkannya untuk kebaikan sesama. Inilah bukti kesyukuran.
Si kaya yang saleh tentu ringan saja bersedekah, si cerdik pandai pasti mudah membagi ilmu, si kuat tentu gampang selalu turun membantu. Tiap diri pasti dibekali keunikan, dan pasti pula itu berarti tiap orang punya peluang untuk memiliki spesialisasi amal.
Inilah keadilan Allah SWT. Dan bagi si papa lagi lemah, yang belum berkesempatan menimba banyak ilmu dan mengajarkannya, maka menjaga wudhu, seperti halnya Bilal, adalah solusi terpuji. Yang diangkat ke hadapan Allah SWT adalah keikhlasan dan kesabaran beramal, bukan besar kecilnya perbuatan dipandang manusia.
Wudhu yang senantiasa terjaga, yang dikerjakan tidak hanya menjelang shalat, akan memberikan efek bagi jiwa. Ia umpama alarm yang menegur seseorang untuk selalu menjaga diri dari dosa dan maksiat.
Tak sekadar dampak duniawi. Di akhirat pun, ketika tiap manusia dalam keadaan letih yang sangat, dan ketakutan yang mencekam. Dia yang wudhunya selalu terjaga, akan mudah dikenali oleh Rasul SAW tercinta sebagai umatnya.
Jumat, 08 Mei 2009
Bacalah dengan Nama Tuhanmu
Oleh Fauzi Bahreisy
''Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan.'' (QS Al-'Alaq [96]: 1). Dari posisinya sebagai wahyu pertama serta dari cara Jibril menyampaikan kepada Rasulullah SAW, ayat ini memiliki kedudukan istimewa. Ia berisi pesan-pesan fundamental yang diberikan kepada Rasulullah SAW secara khusus dan umatnya secara umum.
Di antaranya, pesan untuk 'membaca'. Pesan ini sangat penting agar manusia memfungsikan sejumlah perangkat indrawi yang Allah SWT anugerahkan, seperti penglihatan, pendengaran, hati, dan akalnya secara optimal.
Itulah perangkat utama untuk membaca tulisan yang terdapat dalam kitab ataupun di jagad raya. Dari sini, manusia menjadi cerdas, berpengetahuan, dan berwawasan luas.
Hanya saja, proses membaca itu harus disertai spirit mulia. Sebab, banyak orang cerdas sesudah membaca, tidak memberikan manfaat apa-apa. Bahkan, tidak jarang pengetahuan dan kecerdasan yang dimilikinya digunakan untuk menipu, menjerat, memperdaya, memanipulasi, dan mendatangkan bahaya.
Karena itu, Allah SWT menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu.'' Artinya, tidak boleh hanya sekadar membaca. Tapi, proses membaca tadi harus dilakukan karena Allah SWT dan untuk-Nya. Inilah pesan selanjutnya yang bisa diambil dari ayat di atas. Ini pula yang seharusnya menjiwai proses penelaahan, penalaran, pengamatan, dan pembelajaran oleh seorang Muslim. Dirinya harus selalu terkait dengan Allah Sang Pencipta.
Bahkan, Syekh Abdul Halim Mahmud berkata, ''Dengan kalimat Iqra' bismi Rabbik, sebenarnya Alquran tidak hanya memerintahkan manusia membaca. Sebab, membaca hanya sekadar lambang dari segala aktivitas manusia.''Ayat itu seolah ingin menyatakan, ''Bacalah dengan nama Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu. Begitu pula, bila Anda berhenti bergerak, hendaknya itu juga karena Tuhanmu. Dengan demikian, ayat itu mengarahkan manusia agar menjadikan seluruh hidup, wujud, cara, dan tujuannya adalah karena Allah SWT.''
Apa pun profesi dan pekerjaan manusia, apa pun jabatan dan kedudukannya, apa pun bidang yang ditanganinya, harus senantiasa terkait dengan Allah SWT dan ridha-Nya. Di sinilah kita memahami, mengapa Rasulullah SAW selalu memulai aktivitas kebaikannya dengan menyebut nama Allah SWT (basmalah). Tidak ada yang boleh terlepas dari-Nya.Totalitas hidup Muslim hanya dipersembahkan untuk-Nya. ''Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam'.'' (QS Al-An'am [6]: 162).
Rabu, 06 Mei 2009
Orientasi Ibadah
Oleh Nawawi Efendi
Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa tujuan diutusnya Rasulullah SAW kepada manusia hanyalah untuk memperbaiki akhlak. Demi tujuan inilah, Rasulullah SAW memperjuangkan Islam dengan berseru kepada manusia untuk berbuat yang baik (ma'ruf) dan melarang perbuatan keji (mungkar).
Shalat, zakat, puasa, dan haji hanyalah ritual ibadah wajib, namun sesungguhnya merupakan sarana menuju perbaikan akhlak sesuai misi Rasulullah SAW di atas. Maka, sungguh naif seorang Muslim yang sudah melaksanakan ibadah tersebut, tapi perilakunya masih jauh dari nilai-nilai Islami.
Berbohong menjadi kebiasaannya. Bahkan, korupsi masih dianggap hal yang sepele. Keislamannya hanya terlihat di dalam masjid. Di luar masjid, setelah melaksanakan shalat, nilai-nilai Islam itu mulai ditinggalkan.
Di sinilah masalahnya. Jika seorang Muslim tidak mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadah yang dilakukan, ia tidak akan pernah merasakan manisnya ibadah itu sendiri. Ia masih menganggap ibadah sebagai formalitas ritual semata. Kalau dikerjakan, ia mendapat pahala dan kalau ditinggalkan, ia mendapat dosa.
Allah SWT berfirman, ''Hai, orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' (QS Albaqarah [2]: 183).
Bagian terakhir ayat di atas menyebutkan, ''...agar kamu bertakwa.'' Artinya, orientasi sesungguhnya dari ibadah puasa adalah menjadi orang yang bertakwa. Dan, orientasi ini tidak terbatas pada ibadah puasa semata, tapi semua ibadah lainnya.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa perbaikan akhlak dan menjadi orang yang bertakwa adalah dua orientasi utama dari semua ritual ibadah. Sebagai umat Islam, kita harus mengiringi kedua orientasi itu dalam setiap ibadah. Sebab, kalau tidak, motivasi untuk beribadah akan turun dan yang dirasakan hanya keterpaksaan.
Yang juga ditakutkan, manakala mengira telah beribadah kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, sebenarnya ibadah itu tidak bernilai apa pun di sisi-Nya. Allah berfirman, ''Katakanlah, apakah akan kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.'' (QS Alkahfi [18]: 103-104).
Kesia-siaan ibadah yang dilakukan bisa jadi karena tidak disertai keikhlasan atau karena salah satu rukun dan syaratnya tidak dipenuhi. Semua itu disebabkan oleh satu hal, yaitu tidak adanya orientasi dalam ibadah.
Bila seorang Muslim mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadahnya, pasti akan berusaha keras agar ibadah itu diterima sehingga ibadahnya tidak sia-sia. Dan, sebagai umat yang beriman, tentu akan lebih berbangga jika esensi dari semua ibadah itu dapat terimplementasikan dalam tingkah laku sehari-hari.
Ujian Kekuasaan
Oleh Yodi Indrayadi
Rasulullah SAW bersabda, ''Kelak, kalian akan tergila-gila dengan kekuasaan. Padahal, kekuasaan akan membuahkan penyesalan di hari kiamat. Nikmat di awal, sengsara di akhir.'' (HR Bukhari).Hadis tersebut merupakan nubuwat Rasulullah SAW, yang mungkin sekarang terjadi, sekaligus teguran agar sebaiknya orang Mukmin menghindari kekuasaan. Sebab, pada umumnya kekuasaan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan, baik itu di dunia maupun akhirat.
Saat kekuasaan ada di genggaman, segala kenikmatan datang: wibawa, kekayaan, penghormatan, pujian, dan sebagainya. Namun, tatkala kekuasaan lenyap, maka lenyap pula segala kenikmatan itu, bahkan mungkin berganti dengan kesengsaraan: dituntut di hadapan manusia atau Tuhan. Inilah yang dimaksud Rasulullah SAW dengan ''Nikmat di awal, sengsara di akhir.''
Namun demikian, bukan berarti kekuasaan tidak boleh didekati. Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberi batasan, ''Sebaik-baik sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya dengan hak. Dan, seburuk-buruk sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya tanpa hak, dan itu akan membuatnya menyesal di akhirat.'' (HR Thabrani).
Suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berniat mengangkatku?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Engkau ini lemah. Sedangkan kekuasaan adalah amanah. Kekuasaan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan kewajibannya.'' (HR Muslim).
Imam Nawawi berkata, ''Ini adalah dasar hukum untuk menjauhi kekuasaan, terutama bagi orang yang lemah, yakni orang yang tidak memiliki kecakapan dan integritas ( 'adl ). Bila ia mendekati kekuasaan, ia akan menyesal dan mendapat kehinaan di akhirat, atas apa yang telah ia sia-siakan (selama memegang kekuasaan). Sedangkan bagi orang yang cakap dan mampu menjaga integritas, maka kekuasaan itu akan menjadi ladang pahala yang besar.''
Kekuasaan memang bisa membuat orang lalai. Siapa pun yang bersentuhan dengannya, jika tidak kuat iman, akan menjadi lupa diri. Yang berhasil meraihnya boleh jadi akan bertindak semena-mena. Dan, yang tidak berhasil meraihnya pun, mungkin bisa menjadi 'gila'.Mungkin, sabda Rasulullah SAW berikut perlu kita renungkan, ''Kekuasaan, pertamanya adalah perebutan, selanjutnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah siksaan akhirat, kecuali bagi orang yang mampu menjaga integritas.'' (HR Bazzar dan Thabrani).
Agama Itu Nasihat
Oleh Ali Farkhan Tsani
Begitu pentingnya nasihat, hingga Rasulullah SAW mengatakan, ''Agama itu adalah nasihat.'' Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa Wahai Rasulullah?''Beliau menjawab, ''Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh umat Islam.'' (HR Muslim).
Memberi dan menerima nasihat, sejatinya berlaku untuk segenap manusia, siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, tanpa terkecuali. Nasihat yang berdasarkan Allah SWT dan Rasul-Nya, berlaku untuk para pemimpin umat Islam dan masyarakat pada umumnya. Ini mengingat manusia tidak luput dari lupa dan salah.
Kata nasihat berasal dari akar kata nasaha yang artinya menjahit atau menambal pakaian yang sobek. Maka, orang yang mau menerima nasihat, pada hakikatnya adalah dirinya siap untuk ditambal lubang kekurangannya, dijahit atau ditutup sobekan kesalahan pada dirinya.Sebaliknya, orang yang tidak mau menerima nasihat menunjukkan bahwa dirinya merasa telah sempurna, merasa tidak ada lubang-lubang kesalahan sedikit pun, serta merasa tidak punya celah kekurangan.
Memberi nasihat kepada orang lain berupa teguran positif dan saran konstruktif berarti menepati sunah Rasulullah SAW. Nabi SAW sendiri memberikan teladan bagaimana beliau bersikap terbuka menerima input (saran masukan) dari kalangan sahabat-sahabatnya yang memberikan pandangan, terutama dalam persoalan yang bukan wahyu.
Sebagai contoh, betapa keterbukaan baginda Nabi SAW ketika bersedia menerima pandangan seorang sahabat biasa yang memberikan saran agar Nabi SAW mengubah lokasi pasukan ke tempat yang lebih strategis di dekat mata air. Saran ini diterima oleh Nabi SAW demi kemaslahatan perjuangan.Berkenaan dengan itu, Imam Malik menegaskan bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi pemimpin umat adalah adanya kesediaan dan keterbukaan menerima teguran umat dengan ikhlas karena Allah SWT.
Memang, menerima nasihat, saran, dan teguran tidaklah mudah, karena di samping rasa malu, kekurangannya terlihat orang banyak, juga perasaan gengsi atau menjaga wibawa. Padahal, dengan tidak mau disempurnakan itulah, bisa jadi sobekan kekurangannya akan bertambah lebar.Bersyukurlah kita sebagai umat beragama yang masih mau menerima nasihat kebaikan dari orang lain. Hal itu adalah bagian dari penyempurnaan keagamaan kita sebagai makhluk Allah SWT.
Dengan saling menasihati di antara sesama, maka kita akan banyak memperoleh mutiara-mutiara hikmah yang sangat bermanfaat dalam kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.
Selasa, 05 Mei 2009
Hidup yang Termotivasi
Oleh Rian Hidayat El-Padary
''Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.'' (QS Azzumar [39]: 53).
Alam ini dinamis dan manusia hanya dapat hidup tenteram jika mengikuti kedinamisan alam. Alam ini terus berubah, maka hanya manusia yang ber-harakah, yang bisa bersinergi dengan alam.
Dalam menjalani kedinamisan alam, tentu kita harus memiliki motivasi yang tinggi agar tidak terempas dari peradaban. Jika hamba dikaruniai semangat yang besar, dia akan berjalan di atas jalan keutamaan dan akan menaiki tangga dalam derajat yang tinggi.
Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat rupa-rupa kalian, melainkan Dia hanya melihat amal dan hati kalian.'' (HR Abu Hurairah).
Semangat dan motivasi adalah pusat penggerak, yang membentuk kepribadian, dan yang mengawasi organ-organ tubuh. Semangat adalah bahan bakar jiwa dan kekuatan yang berkobar-kobar, yang akan menggerakkan pemiliknya untuk melompat tinggi dan memburu nilai-nilai kemuliaan.
Motivasi itu terbagi dua. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang lahir dari dalam (intrinsik) tentu jauh lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan motivasi buatan yang dibuat-buat dari luar (ekstrinsik).
Setiap perbuatan pasti didasari oleh motivasi tertentu. Teori-teori dasar dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) semuanya mengenai motivasi, mulai dari teori Kebutuhan Maslow, teori Keadilan, teori Harapan, dan sebagainya. Benang merah dari semua itu adalah tak mungkin ada perbuatan yang terjadi tanpa dilandasi motivasi apa pun.
Dalam kaitan ini, karena hidup itu dinamis, tidak selamanya kita berada di puncak motivasi. Tapi bagi para pejuang, dalam letih pun mereka akan tetap tersenyum. Karena, apa yang ditunaikan menjadi jaminan bermaknanya usia dan bermanfaatnya kehidupan. Untuk itu, tiap jerih akan dibalas dengan surga-Nya.
Siapa yang tidak memiliki semangat surgawi, semangat untuk meraih ridha akan keesaan Allah SWT, maka setan akan menyibukkannya dengan aktivitas berpola negatif. Pribadi yang panjang angan serta mengisi usia dengan berfoya, akan menjadi budak hawa nafsu yang tak pernah terpuaskan.
Kalau kita tidak memiliki motivasi yang kuat untuk meraih ridha Allah SWT, maka karunia potensi fisik, akal, dan roh itu terlalu berharga untuk disia-siakan dalam kekufuran atas nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita.
Orientasi Ibadah
Oleh Nawawi Efendi
Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa tujuan diutusnya Rasulullah SAW kepada manusia hanyalah untuk memperbaiki akhlak. Demi tujuan inilah, Rasulullah SAW memperjuangkan Islam dengan berseru kepada manusia untuk berbuat yang baik (ma'ruf) dan melarang perbuatan keji (mungkar).
Shalat, zakat, puasa, dan haji hanyalah ritual ibadah wajib, namun sesungguhnya merupakan sarana menuju perbaikan akhlak sesuai misi Rasulullah SAW di atas. Maka, sungguh naif seorang Muslim yang sudah melaksanakan ibadah tersebut, tapi perilakunya masih jauh dari nilai-nilai Islami.
Berbohong menjadi kebiasaannya. Bahkan, korupsi masih dianggap hal yang sepele. Keislamannya hanya terlihat di dalam masjid. Di luar masjid, setelah melaksanakan shalat, nilai-nilai Islam itu mulai ditinggalkan.
Di sinilah masalahnya. Jika seorang Muslim tidak mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadah yang dilakukan, ia tidak akan pernah merasakan manisnya ibadah itu sendiri. Ia masih menganggap ibadah sebagai formalitas ritual semata. Kalau dikerjakan, ia mendapat pahala dan kalau ditinggalkan, ia mendapat dosa.
Allah SWT berfirman, ''Hai, orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.'' (QS Albaqarah [2]: 183).
Bagian terakhir ayat di atas menyebutkan, ''...agar kamu bertakwa.'' Artinya, orientasi sesungguhnya dari ibadah puasa adalah menjadi orang yang bertakwa. Dan, orientasi ini tidak terbatas pada ibadah puasa semata, tapi semua ibadah lainnya.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa perbaikan akhlak dan menjadi orang yang bertakwa adalah dua orientasi utama dari semua ritual ibadah. Sebagai umat Islam, kita harus mengiringi kedua orientasi itu dalam setiap ibadah. Sebab, kalau tidak, motivasi untuk beribadah akan turun dan yang dirasakan hanya keterpaksaan.
Yang juga ditakutkan, manakala mengira telah beribadah kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, sebenarnya ibadah itu tidak bernilai apa pun di sisi-Nya. Allah berfirman, ''Katakanlah, apakah akan kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.'' (QS Alkahfi [18]: 103-104).
Kesia-siaan ibadah yang dilakukan bisa jadi karena tidak disertai keikhlasan atau karena salah satu rukun dan syaratnya tidak dipenuhi. Semua itu disebabkan oleh satu hal, yaitu tidak adanya orientasi dalam ibadah.
Bila seorang Muslim mempunyai orientasi yang jelas dari semua ibadahnya, pasti akan berusaha keras agar ibadah itu diterima sehingga ibadahnya tidak sia-sia. Dan, sebagai umat yang beriman, tentu akan lebih berbangga jika esensi dari semua ibadah itu dapat terimplementasikan dalam tingkah laku sehari-hari.
Ujian Kekuasaan
Rasulullah SAW bersabda, ''Kelak, kalian akan tergila-gila dengan kekuasaan. Padahal, kekuasaan akan membuahkan penyesalan di hari kiamat. Nikmat di awal, sengsara di akhir.'' (HR Bukhari).Hadis tersebut merupakan nubuwat Rasulullah SAW, yang mungkin sekarang terjadi, sekaligus teguran agar sebaiknya orang Mukmin menghindari kekuasaan. Sebab, pada umumnya kekuasaan hanya akan mengakibatkan kesengsaraan, baik itu di dunia maupun akhirat.
Saat kekuasaan ada di genggaman, segala kenikmatan datang: wibawa, kekayaan, penghormatan, pujian, dan sebagainya. Namun, tatkala kekuasaan lenyap, maka lenyap pula segala kenikmatan itu, bahkan mungkin berganti dengan kesengsaraan: dituntut di hadapan manusia atau Tuhan. Inilah yang dimaksud Rasulullah SAW dengan ''Nikmat di awal, sengsara di akhir.''
Namun demikian, bukan berarti kekuasaan tidak boleh didekati. Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberi batasan, ''Sebaik-baik sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya dengan hak. Dan, seburuk-buruk sesuatu adalah kekuasaan bagi orang yang mengambilnya tanpa hak, dan itu akan membuatnya menyesal di akhirat.'' (HR Thabrani).
Suatu ketika Abu Dzar berkata kepada Rasulullah SAW, ''Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berniat mengangkatku?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Engkau ini lemah. Sedangkan kekuasaan adalah amanah. Kekuasaan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan kewajibannya.'' (HR Muslim).
Imam Nawawi berkata, ''Ini adalah dasar hukum untuk menjauhi kekuasaan, terutama bagi orang yang lemah, yakni orang yang tidak memiliki kecakapan dan integritas ( 'adl ). Bila ia mendekati kekuasaan, ia akan menyesal dan mendapat kehinaan di akhirat, atas apa yang telah ia sia-siakan (selama memegang kekuasaan). Sedangkan bagi orang yang cakap dan mampu menjaga integritas, maka kekuasaan itu akan menjadi ladang pahala yang besar.''
Kekuasaan memang bisa membuat orang lalai. Siapa pun yang bersentuhan dengannya, jika tidak kuat iman, akan menjadi lupa diri. Yang berhasil meraihnya boleh jadi akan bertindak semena-mena. Dan, yang tidak berhasil meraihnya pun, mungkin bisa menjadi 'gila'.Mungkin, sabda Rasulullah SAW berikut perlu kita renungkan, ''Kekuasaan, pertamanya adalah perebutan, selanjutnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah siksaan akhirat, kecuali bagi orang yang mampu menjaga integritas.'' (HR Bazzar dan Thabrani).
Jumat, 01 Mei 2009
Istiqamah
Oleh Abdussalam
''Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah', kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa takut dan merasa sedih. Bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.'' (QS Fushshilat [41]: 30).
Kata istiqamah berarti i'tidalul amri, yakni sesuatu yang tegak lurus. Seseorang dapat dikatakan istiqamah jika ia telah melakukan sesuatu itu dengan tegak lurus.
Dalam artian kokoh, penuh keteguhan, tidak goyah atau konsisten pada jalannya. Tidak ada penghalang yang dapat membelokkan usahanya untuk mencapai tujuannya.
Karena itulah, istiqamah merupakan sifat yang paling dicintai Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit.''
Seorang Muslim yang istiqamah akan bersedekah setiap harinya walaupun dengan jumlah yang sedikit. Ini lebih baik daripada mereka yang bersedekah dengan nominal yang banyak, namun hanya sekali dalam setahun, atau bahkan seumur hidupnya.
Istiqamah adalah kata yang ringan diucapkan. Meski ringan, tidak sembarang orang dengan mudah melaksanakannya. Istiqamah mensyaratkan pemahaman, menepatinya dengan menuntaskan segala konsekuensinya, kemudian berkomitmen untuk tetap lurus di jalan-Nya.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa untuk istiqamah di jalan Allah SWT, diperlukan modal ilmu dan modal amal. Dengan ilmu, seseorang bisa mengetahui posisi jalan dan di mana harus bertindak.
Kemudian, dengan beramal, yakni berjalan dengan tekad yang kuat menempuh jalan yang telah diterangi oleh cahaya ilmu. Amal ini janganlah pernah berhenti hingga mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu ridha Allah SWT.
Begitupun rintangan yang menghadang, hendaknya tidak mengendurkan semangat, bahkan menghentikan langkah. Dalam penjelasan lain, istiqamah akan mudah diwujudkan dengan melakukan beberapa hal berikut.
Pertama, keikhlasan dalam berucap dan berbuat. Hanya orang yang memiliki niat tulus yang dapat bertahan.
Kedua, ketetapan dalam berbuat, yakni harus selalu dilandasi oleh sunah Rasulullah SAW. Ketiga, tekad yang kuat dalam berbuat.
Keempat, bertawakal karena dengan tawakal seseorang akan selalu optimistis dalam berusaha. Dengan tawakal juga tidak akan menjadikan seseorang takabur ketika meraih kesuksesan.
Refleksi Sifat Ilahiyah
Oleh Muhammad Safrodin
Pembinaan akhlak hendaknya menjadi perhatian penting di zaman modern ini. Akhlak memiliki nilai tertinggi setelah akidah. Akhlak pula yang menempatkan manusia lebih unggul ketimbang malaikat sekalipun.
Aspek pembinaan akhlak idealnya berpijak pada pola yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW, ''Berakhlaklah berdasarkan akhlak Allah.'' (HR Atturmudzi).
Hadis di atas mengisyaratkan betapa umat sangat dianjurkan untuk memantulkan sifat-sifat Allah SWT ke dalam diri. Sifat-sifat Allah SWT tersebut telah disampaikan dalam Alquran pada beberapa ayat.
Surat Alhasyr ayat 22 memuat sifat-sifat Allah SWT yang disebut asma' al-husna. Ayat pertama surat ini mengungkap tiga nilai utama sebagai bagian dari ciri akhlaq al-karimah, atau perangai yang mulia.
Ketiganya, yakni qiyamuhu binafsihi atau kemandirian, 'aliman atau keilmuan, dan rahmat atau kasih sayang. Sifat kemandirian, sangat tepat diterapkan saat ini.
Kemandirian diperlukan sebagai wujud kemampuan seseorang untuk mandiri tanpa menggantungkan pada orang lain. Sifat ini sekaligus sebagai ilham agar umat punya produktivitas dalam berbagai lapangan kehidupan.
Keilmuan berupaya menjadikan ilmu sebagai akhlak atau bagian dari kebiasaan. Alquran maupun hadis menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah ayat ditegaskan bahwa Allah SWT akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Sebaliknya, kebodohan merupakan musuh nyata yang dapat menggerogoti martabat umat.
Konon, imperialisme yang bertahan hingga berabad-abad disebabkan kebodohan rakyat yang dijajahnya. Kebodohan bagai kabut kelam yang menyebabkan seseorang mudah tersesat.
Adapun nilai ketiga merupakan sifat yang selalu ditonjolkan oleh Allah SWT. Kasih sayang Allah SWT bahkan tak terbatas.
Setiap makhluk di muka bumi ini tak luput dari kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, seorang Muslim dituntut untuk menjadikan kasih sayang sebagai akhlak sehari-hari.
Ketiga sifat tadi, kemandirian, keilmuan, kasih sayang, baru sebagian kecil dari sifat Allah SWT. Masih ada 96 sifat lain yang seharusnya bisa terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita mampu memantulkan sifat-sifat Allah SWT yang terangkum dalam asma' al-husna, insya Allah kita menjadi manusia beriman dan bermartabat. Wallahu a'lam.
Koalisi Kebaikan
Oleh Yadi Saeful Hidayat
''Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.'' (QS Almaidah [5]: 2).
Bekerja sama dalam membangun kebaikan dan kemaslahatan merupakan salah satu esensi Islam. Koalisi kebaikan, selain perlu dibangun demi terwujudnya kesejahteraan, keamanan, dan kesentosaan, juga penting untuk meredam gejolak kejahatan serta maraknya perbuatan dosa dan maksiat.
Di antara upaya yang bisa dilakukan oleh koalisi kebaikan adalah dengan mengonstitusikan kebenaran dalam kerangka dan aturan yang jelas. Tanpa ikatan dan perangkat kerja sama itu, koalisi kebaikan akan bisa dikalahkan oleh kekuatan jahat yang terorganisasi.
Inilah maksud perkataan Ali ibn Abu Thalib RA, ''Kebenaran yang dijalankan tanpa aturan yang jelas, akan terkalahkan oleh kebatilan yang digerakkan secara terstruktur dan terorganisasi.''
Islam adalah agama yang paling giat mengusung koalisi kebaikan. Salah satu buktinya tecermin dalam konsep zakat, di mana orang yang berutang harus dibayarkan utangnya melalui dana zakat. Tuhan pun senantiasa akan memayungi hamba-Nya yang gemar melakukan koalisi kebaikan.
Koalisi kebaikan tidak hanya semata ditujukan untuk hal-hal yang bersifat materiil. Aspek moral juga menjadi titik tekan yang harus dilirik oleh koalisi kebaikan.
Menurut Ibn Asyur, salah satu prinsip dari koalisi kebaikan adalah dengan menjalankan konsep ta'awun (koalisi) secara merata dan tidak dibatasi antarkomunitas Muslim dan Muslim yang lainnya. Melainkan harus dibangun antarsesama manusia dengan syarat misi kebaikan dan kemaslahatan yang dikandungnya.
Pandangan ini mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam kubangan dikotomi ras, suku, ideologi, atau bahkan agama, untuk menciptakan koalisi kebaikan yang bisa menghadirkan kemaslahatan. Kebaikan adalah milik semua manusia, bukan milik sebagian golongan atau aliran.
Kebaikan juga merupakan fitrah penciptaan manusia, dan karenanya tak wajar jika seseorang mengklaim kebenaran hanya milik dirinya sendiri. Beberapa hal lain yang perlu dijadikan prinsip dalam membina koalisi kebaikan adalah kejujuran (al-shidiq) dan kepercayaan (al-amanah).
Lainnya adalah kemauan kuat untuk memegang teguh kebenaran (al-'azm), tanggung jawab menjalankan kebenaran (al-masliyyah), dan toleransi dalam hal-hal sekunder (al-tasamuh).