Fajar Kurnianto
Peneliti pada Institut Studi Agama Sosial & Politik
Tahun baru Islam 1 Muharram 1432 H jatuh pada 7 Desember ini. Bagi umat Islam, ini momen penting mengingatkan pada sejarah hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Husein Haikal dalam bukunya, Hayat Muhammad (1972), menyebut hijrah sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran, keyakinan, dan iman.
Hijrah
Menurut kamus bahasa Arab, Lisanul 'Arab, karya Ibnu Manzhur, kata 'hijrah' memiliki beberapa arti, di antaranya: meninggalkan, memisahkan, dan menjauhi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hijrah memiliki dua pengertian. Pertama, perpindahan Nabi Muhammad bersama sebagian pengikutnya dari Makkah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy Makkah. Kedua, berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya).
Pengertian hijrah secara detail dikemukakan oleh Ibnul Arabi (468-543 H), seorang ahli hadis terkemuka Mazhab Maliki. Menurutnya, ada enam pengertian hijrah. Pertama, berpindah dari satu negeri yang sedang berperang ke negeri yang aman dan damai. Kedua, menyingkirkan diri dari tempat yang penuh dengan bidah. Ketiga, keluar dari negeri yang dikuasai oleh perbuatan maksiat.
Keempat, menyingkirkan diri dari tindakan-tindakan teror yang bersifat fisik. Kelima, keluar dari negeri yang dijangkiti wabah penyakit. Keenam, menyingkirkan diri karena khawatir atau merasa tidak ada jaminan keselamatan harta benda, jiwa, dan keluarga. Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hijrah itu memiliki
dua bentuk. Pertama, hijrah yang berbentuk fisik. Kedua, hijrah berbentuk nonfisik.
Hijrah fisik berkaitan dengan aktivitas fisik, yakni berpindahnya orang dari satu tempat ke tempat lain karena alasan tertentu. Sementara hijrah nonfisik berkaitan dengan aspek sikap dan paradigma berpikir yang berubah dari hal buruk pada hal yang baik. Inilah misalnya yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam hadisnya, "Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Ada hal menarik terkait dengan hijrah ini. Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah (Fathu Makkah) pada 8 H, Rasulullah mengatakan, "Setelah penaklukan Makkah ini, tidak ada lagi hijrah, tapi yang ada adalah jihad dan niat." (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr). Hijrah yang beliau maksud adalah hijrah fisik, yakni perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, secara tegas Rasul menyatakan bahwa hijrah seperti yang beliau dan para sahabat lakukan dari Makkah ke Madinah demi mempertahankan keyakinan dan kebenaran sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah jihad dan niat. Inilah hijrah aktual yang lebih orientatif dan prospektif.
Hijrah aktual
Jihad secara bahasa artinya upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mencapai yang diharapkan atau tujuan tertentu. Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Fiqih Jihad, menyebutkan bahwa jihad memiliki pengertian mencurahkan segala usaha, kemampuan, dan tenaga. Menurutnya, ada empat pemahaman jihad.
Pertama, jihad militer. Kedua, jihad spiritual. Ketiga, jihad dakwah. Keempat, jihad madani, yakni jihad masyarakat sipil. Inti dari jihad ini adalah untuk memberdayakan umat. Di dalam Alquran, kata 'jihad' biasanya digandengkan dengan kata 'fi sabilillah', yakni di jalan Allah. Artinya, jihad itu mesti pada hal-hal yang sifatnya selaras dengan ajaran Allah dan demi mendapatkan keridaan Allah. Salah satu derivasi dari kata 'jihad' adalah 'ijtihad', yakni upaya sungguh-sungguh dan keras untuk mendalami dan menggali apa yang ada di dalam sumber-sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis, kemudian dari situ dikeluarkan sebuah hukum Islam.
Sementara itu, 'niat' artinya 'qashd', yakni keinginan, harapan, dan cita-cita yang ingin diraih. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah mengatakan bahwa orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan, "Segala sesuatu itu tergantung niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Siapa yang niat hijrahnya adalah untuk mendapatkan keridaan Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkannya. Siapa yang niat hijrahnya untuk mendapatkan dunia, maka ia akan mendapatkannya." (HR Bukhari-Muslim dari Umar bin Khaththab).
Jihad dan niat hijrah inilah yang selalu aktual. Manusia dituntut untuk bersungguh- sungguh dalam segala hal dan aktivitas, yang positif tentu saja, disertai dengan niat orientatif-prospektif yang diciptakan terus-menerus. Inilah yang mengkreasi perubahan masif-revolusioner secara radikal. Dalam kaitannya dengan konteks kehidupan berbangsa, hijrah aktual bermakna bahwa semua elemen bangsa, dari para penggawa pemerintahan, para pejabat publik, hingga masyarakat akar rumput, perlu memperbarui niatnya kembali. Tentu saja, niat untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Tidak hanya niat, tetapi juga benar-benar dibuktikan melalui upaya keras dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan hal itu. Tanpa kedua hal itu, bangsa ini akan terus jalan di tempat tanpa orientasi masa depan yang jelas. Ini tanggung jawab kita bersama, terutama dari para pemimpin yang bertugas memimpin bangsa ini untuk berhijrah ke arah yang lebih baik. Ali bin Abu Thalib mengatakan, "Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka itu adalah kerugian." Wallahu a'lam.
Jumat, 10 Desember 2010
Hijrah Aktual
Spirit Muharam
Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.
Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram-mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.
nilah Keutamaan Bulan Muharam
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dalam kalender Hijriah terdapat empat bulan haram, yakni Dzulqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab. Disebut haram karena keempat bulan itu sangat dihormati, dan umat Islam dilarang berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti diharamkan atau yang sangat dihormati, memang merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di manapun harus selalu bersikap damai, tidak boleh mengobarkan api peperangan jika tidak diperangi terlebih dahulu.
Seyogianya, umat Islam menghormati dan memaknai Muharam dengan spirit penuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada khutbah haji wada-yang juga di bulan haram, mewanti-wanti umatnya agar tidak saling bermusuhan, bertindak kekerasan, atau berperang satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam adalah pengendalian diri demi terciptanya kedamaian dan ketenteraman hidup, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual. Karena itu, di bulan Muharam Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa sunah: Asyura (puasa pada hari kesepuluh di bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam. Dan, shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak melihat Rasulullah SAW mengintensifkan puasanya selain Ramadhan, kecuali puasa Asyura.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda, “Puasa Asyura itu dapat menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah, umat Islam dilatih dan dibiasakan untuk dapat menahan diri agar tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu, termasuk nafsu dendam dan amarah, sehingga perdamaian dan ketenteraman hidup dapat diwujudkan dalam pluralitas berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan Muharam agaknya juga harus menjadi momentum islah bagi semua pihak. Agar perdamaian dan ketentramaan terwujud, Muharam juga harus dimaknai sebagai bulan antimaksiat, yakni dengan menjauhi larangan-larangan Allah SWT, seperti fitnah, pornoaksi, pornografi, judi, korupsi, teror, dan narkoba.
Muharram juga penting dijadikan sebagai bulan keselamatan bersama dengan menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menyengsarakan manusia, baik di darat, laut, maupun di udara.
Esensi Hijrah
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Momentum pergantian tahun Hijriah selalu mengingatkan umat Islam pada peristiwa hijrah Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Peristiwa maha penting dalam sirah Rasulullah itulah yang menjadi dasar pijakan di balik pemilihan nama kalender Islam tersebut.
Tentu bukan tanpa alasan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab menetapkan peristiwa hijrah sebagai dasar perhitungan tahun dalam kalender kaum Muslimin. Hijrah berarti berpindah dengan meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain, atau berubah dengan meninggalkan suatu kondisi untuk menuju kondisi yang lain. Dalam Islam, hijrah memang ada dua macam.
Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari darul khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju darul amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah.
Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
Jika hijrah hissiyyah bersifat kondisional dan situasional serta harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, hijrah ma'nawiyyah bersifat mutlak dan permanen, serta sekaligus merupakan syarat dan landasan bagi pelaksanaan hijrah hissiyyah.
Hijrah ma'nawiyyah inilah yang sebenarnya merupakan hakikat dan esensi dari perintah hijrah itu. Kuncinya ada pada kata perubahan! Ya, ketika seseorang telah berikrar syahadat dan menyatakan diri telah beriman dan berislam, ia harus langsung ber-hijrah ma'nawiyyah ke arah perubahan total--tentu tetap mengikuti prinsip tadarruj (pentahapan)--sesuai shibghah rabbaniyah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 138) dan memenuhi tuntutan berislam secara kaffah (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Guna menyambut--dan bukan memperingati--tahun baru 1432 Hijriah, kita harus melakukan muhasabah dan introspeksi diri dengan bertanya, sejauh mana perubahan, peningkatan dan perbaikan Islami telah terjadi dalam diri dan kehidupan kita, baik dalam skala individu, kelompok, jamaah, masyarakat, bangsa, maupun dalam skala umat Islam secara keseluruhan?
Marilah kita jadikan momentum pergantian tahun Hijriah ini sebagai faktor pemotivasi semangat dan pembaru tekad untuk senantiasa menghijrahkan diri dan kehidupan menuju totalitas Islam sebagai syarat dan dasar dalam mengemban amanah dakwah dan menegakkan kewajiban jihad fi sabilillah untuk memenangkan dinullah dan menggapai surga serta ridha Allah.
Kemiskinan Bukan Takdir Allah yang tak Dapat Diubah
Kemiskinan senantiasa menjadi isu sentral di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-negara lain pun, termasuk negara adidaya, tak luput dari kemiskinan. Pun begitu dengan Indonesia. Negara kita setelah kemerdekaan hingga sekarang memiliki problem kemiskinan. Sebagai salah satu negara dengan jumlah Muslim terbesar, hendaknya kita berpikir untuk menyelesaikan kemiskinan dengan landasan nilai-nilai luhur keislaman.
Secara hakikat, seluruh manusia tak berada pada kemiskinan. Ayat yang dikutip di atas mengindikasikan semiskin dan sefakir apa pun seseorang, ia masih diberikan nikmat tak terhingga oleh Allah. Kendati mendapatkan kesulitan dalam memperoleh keamanan finansial, kita masih diberi nikmat-nikmat dalam bentuk lain. Kenikmatan tersebut dapat berupa kesehatan, umur panjang, dan memperoleh tempat teduh meskipun seadanya.
Istilah 'miskin' diambil dari bahasa Arab. Merujuk pada kamus Al-Munawwir (1997: 649), kata 'miskin' berasal dari sakana yang berarti diam, tidak bergerak, atau tenang. Faidhullah Al-Hisn menulis, kata 'miskin' dalam bentuk mufrad disebutkan Alquran sekitar 12 kali, kemudian dalam bentuk jamak (masaakin) disebut juga sekitar 12 kali. Dari sekian ayat itu, seluruhnya menempatkan posisi si miskin sebagai orang yang perlu dibantu.
Dalam bahasa lain, si miskin dan si fakir memiliki ketidakberdayaan akibat berbagai hal. Dua di antaranya ialah akibat penindasan struktural dan kemalasan mental berusaha (kultural). Misalnya, secara struktural kemiskinan diakibatkan rakyat tidak diperhatikan dengan adanya kebijakan prorakyat, yang berdampak pada aspek kultural sehingga mereka putus asa karena kesulitan mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Sebetulnya, kemiskinan bukan takdir dari Allah yang tak dapat diubah. Apabila setiap individu memiliki semangat dalam mencari penghasilan, kemiskinan dapat diberantas dari muka bumi. Kolektivitas dan kepedulian sejatinya dimanifestasikan dalam keseharian saat negeri ini dipenuhi kemiskinan.
Allah SWT berfirman, "Apabila telah selesai shalat (Jumat), bertebaranlah di bumi dan carilah fadl (kelebihan) dari Allah." (QS Al-Jumu'ah [62]: 10). Ayat ini mengindikasikan bahwa kerja keras mencari nafkah sebagai tahap mencari fadhilah-Nya.
Tanpa mengabaikan kerja keras orang miskin, tugas individu yang bernasib baik (baca: kaya dan mampu) ialah memberikan sebagian hartanya. Pelaksanaan zakat, infak, dan sedekah menuntut pengelolaan profesional agar kemiskinan dapat diminimalisasi. Wallahua'lam.
Selasa, 07 Desember 2010
Kamis, 02 Desember 2010
Keadilan Sebagai Sunatullah
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Konsep tentang adil dan keadilan dalam agama Islam mendapatkan porsi yang begitu penting. Dalam Alquran, tercatat sekitar 56 ayat yang berbicara soal keadilan. Dalam bahasa Arab, keadilan disebut sebagai al-'Adalah. Pengertiannya adalah keadilan dalam semua cakupan.
Ayat-ayat Alquran yang menyerukan pentingnya adil dan keadilan antara lain adalah “haruslah berlaku adil” (QS An-Nisa [4]: 135, Al-Maidah [5]: 8, Al-An'am [6]: 152, An-Nahl [16]:90); “wajib berlaku adil dalam perniagaan” (QS Al-Isra [17]: 35); “adil terhadap lawan” (An-Nisa [4]: 105, Al-Maidah [5]: 8); dan “pernyataan Allah tentang keadilan-Nya” (Ali Imran [3]: 18).
Dalam etika pergaulan manusia, tiada prinsip yang didambakan umat sepanjang sejarah, seperti keadilan. Istilah adil berasal dari bahasa Arab yang berarti tengah atau seimbang. Keadilan artinya mizan (kesimbangan), yakni suatu sikap tak berlebih-lebihan yang terkait dengan sifat kearifan.
Prof Muhammad Abu Zahrah membagi keadilan dalam tiga bagian, yakni keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan global. Keadilan hukum adalah diberlakukannya hukum secara merata kepada semua strata sosial yang ada. Tidak membedakan yang kaya ataupun yang papa, yang mulia ataupun yang hina. Semua orang di depan hukum dan perundangan adalah sama.
Keadilan sosial adalah sesuatu yang menuntut setiap individu dalam suatu kelompok agar dapat hidup secara terhormat tanpa ada tekanan dan halangan serta mampu memanfaatkan kemampuan sesuai dengan apa yang berfaedah bagi diri dan orang lain sehingga bisa berkembang secara kolektif. Keadilan global ialah prinsip utama sebagai landasan ditegakkannya hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim.
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang sangat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Tiada bukti keadilan yang begitu komplet, kecuali dalam ayat Alquran. Dari situ, jelas kiranya kedudukan prinsip keadilan dalam Islam.
Dalam kasus keluarga, misalnya, Alquran menyebutkan, “Jika kamu sekalian takut berlaku tidak adil, ambillah seorang istri saja.” (QS An-Nisa [4]:3). Dalam skala kecil, yakni unit keluarga saja, kita diperintahkan untuk adil.
Keadilan itu harus menjadi pertimbangan seseorang dalam mengambil keputusan untuk poligami atau tidak. Maka itu, adanya sikap seperti itu sebenarnya dimaksudkan agar tindakan seseorang tidak berakibat merugikan orang lain. Bukankah adil itu berarti meletakkan sesuatu secara proporsional pada tempatnya?
Kewajiban berlaku adil dalam penulisan kontrak kerja sama bidang niaga (mu'amalah) juga secara tegas dijelaskan dalam Alquran. Kontrak perjanjian kerja, sewa-menyewa, atau utang-piutang itu harus ditulis secara jelas dan adil demi melindungi hak masing-masing pihak yang terkait. Keadilan merupakan sunatullah yang tidak dapat diganti.
Rabu, 01 Desember 2010
Mari Kita Mewariskan Kebaikan
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar (leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.
Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena kebanyakan orang ('ammat al-nas).
Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial, silaturahim, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations).
Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.
Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, "Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Al-Dzariyat [51]: 56).
Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi SAW, "Khair-u al-nas anfa'uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain)." (HR Thabrani dari Jabir).
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material, atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada kebaikan.
Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a'lam.