REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dalam menjalankan roda pemerintahan, Khalifah Harus Ar Rasyid tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Tanpa ragu-ragu, ia memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir).
Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.
Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun ArRasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.
Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.
Dari uang kas tersebut, negara juga mampu memberi gaji yang tinggi kepada para ulama dan ilmuwan. Mereka ditempatkan pada kedudukan status sosial yang tinggi. Setiap tulisan dan penemuan yang dihasilkan ulama dan ilmuwan dibayar mahal oleh negara. Dengan pendapatan negara yang melimpah ini, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan para pejabat negara juga dapat memperoleh dan menikmati segala kemewahan menurut ukuran zaman itu. Sebab, kehidupan rakyatnya juga berada dalam kemakmuran dan kesejahteraan.
Kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid tidak terlepas dari kemampuannya dalam menjaga keutuhan wilayah yang dikuasainya. Di masa kepemimpinannya, Abbasiyah menguasai wilayah kekuasaan yang terbentang luas dari daerah-daerah di Laut Tengah di sebelah Barat hingga ke India di sebelah Timur.
Berbagai pemberontakan pun tercatat sempat terjadi di era kepemimpinannya. Pemberontakan yang sempat terjadi pada masa kekuasaannya, antara lain, pemberontakan Khawarij yang dipimpin Walid bin Tahrif (794 M), pemberontakan Musa Al-Kazim (799 M), serta pemberontakan Yahya bin Abdullah bin Abi Taglib (792 M).
Salah satu puncak pencapaian yang membuat namanya melegenda adalah perhatiannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa kepemimpinannya, terjadi penerjemahan karya-karya dari berbagai bahasa. Inilah yang menjadi awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada era itu pula berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan dan peradaban yang ditandai dengan berdirinya Baitul Hikmah--perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masanya. Harun pun menaruh perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu keagamaan.
Rabu, 24 November 2010
Belajar Melawan Korupsi dari Khalifah Harun Ar Rasyid Sabtu, 20 November 2010, 0
Jejak Sosial Ibadah Kurban
Seperti dikisahkan Alquran, peristiwa kurban bermula dari drama kenabian yang sangat tak masuk akal. Seorang Ibrahim diminta menyembelih anaknya sendiri, Ismail. Sebuah dialog yang sangat humanis-edukatif pun berlangsung antara ayah dan anak untuk memastikan kebenaran perintah itu.
Setelah diyakini bahwa itu merupakan perintah Tuhan, meskipun sangat irasional, Ibrahim pun melakukannya dengan diiringi sikap pasrah Ismail. Inilah jejak kenabian yang terus kita warisi dengan kesanggupan yang tulus untuk bekurban dengan melepaskan semua yang kita cintai sekalipun.
Kisah yang sarat hikmah itu terus dilakukan setiap kali datang Idul Adha. Setiap Muslim ikut merayakannya. Di tengah gemuruh takbir menjelang Idul Adha itu tumbuh rasa keadilan untuk saling menyapa kebersamaan sambil menelusuri jejak hikmah dari perjalanan sejarah Ibrahim dan Ismail. Takbir inilah yang kemudian membuka pintu kurban.
Dalam konteks pelaksanaan rukun Islam yang kelima, Idul Adha merupakan haflah umat untuk mengapresiasi saudara-saudaranya yang tengah berkumpul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Pertemuan raksasa di Padang Arafah itu memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki.
Itu kebersamaan yang senantiasa dirindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat sulit ditemukan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada ukuran-ukuran pragmatisme dalam kalkulasi untung dan rugi.
Untuk mewujudkan spirit Idul Adha, hal terpenting adalah menumbuhkan kembali semangat Arafah. Semangat itu hendaknya tetap mengikat kebersamaan umat. Di tengah cobaan kebersamaan yang saat ini tengah melilit bangsa, pada momentum Idul Kurban kali ini kita berharap dapat jujur mengakui kekeliruan serta mengikatkan kembali tali solidaritas.
Terlebih, saat ini saudara kita tengah menangis di bawah guyuran debu Merapi, sisa guncangan gempa dan tsunami Mentawai, atau kelelahan menghadapi banjir bandang. Karena itu, pada Idul Kurban ini kita perlu bermuhasabah dengan tulus dan penuh kejujuran.
Mengapa kepekaan dan kesantunan sikap terasa semakin pudar, padahal kita telah merintis dan membinanya selama berabad-abad. Dan, mengapa jarak antara kaum kaya dan kaum papa kian lebar menganga.
Rasulullah pernah bersabda, "Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, sungguh mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpin yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam," (HR Al-Dailami).
Kita sesungguhnya hendak menjawab, "Tidak!" Tapi, sudahkah perjalanan ibadah kurban itu berdampak dalam membentuk karakter pribadi dan masyarakat? Jika bekurban mengisyaratkan sikap peduli melalui simbolisasi pembagian daging hewan, apakah kepedulian itu juga telah menjadi watak yang berperan fungsional, bukan saja pada saat kurban dilaksanakan, tapi juga dalam keseluruhan perjalanan hidup?
Memahami Makna Idul Kurban
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Merupakan kehendak Allah SWT, semua bentuk ibadah dalam Islam memiliki hikmah dan landasan filosofis. Hari raya senantiasa tiba seusai umat Islam melaksanakan ibadah cukup berat.
Idul Fitri datang setelah ibadah puasa Ramadhan. Idul Kurban tiba setelah umat Islam beramal saleh selama 10 pertama Dzulhijjah dan puasa Arafah. Esensi hari raya hanyalah peristirahatan sebentar setelah perjalanan ibadah yang berat atau hadiah kemenangan dari Allah untuk kaum Mukminin yang telah sukses melawan godaan setan.Hari raya bukanlah peristiwa tahunan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan ketaatan sebagaimana yang sering disalahpahami sejumlah orang. Setiap insan hanyalah sebagai hamba Allah dalam segala ucapan dan perbuatannya. Agama tidak menginginkan seorang hamba kehilangan hubungannya dengan Allah walau sekejap.
Kehidupan Muslim bagaikan perjalanan panjang yang ditempuhnya, sekali-sekali istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan perjuangan spiritual dan kehidupannya yang lurus dan bersih. Istirahat sebentar itu adalah hari raya, yang di dalamnya diperbolehkan bergembira ria dengan berbagai hiburan yang mubah (dibolehkan).
Itulah sebabnya, dalam bahasa Arab disebut dengan 'id' yang artinya senantiasa kembali dengan membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan.
Hari raya dalam perspektif Islam harus diisi dengan berbagai nasihat, syiar, dan ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial, di samping merupakan kesempatan untuk membahagiakan setiap insan di muka bumi. Allah SWT telah mengaitkan Idul Adha ini dengan nilai sosial yang abadi dalam bentuk pengorbanan.
Pengorbanan artinya menyerahkan sesuatu yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkannya. Pada hari raya ini dan hari-hari tasyrik, Allah mensyariatkan bagi yang mampu untuk menyembelih hewan kurban yang dibagikan kepada fakir miskin, karib kerabat, dan sebagian untuk keluarganya sebagai upaya menebar kebahagiaan di muka bumi.
Dalam syariat kurban terkandung makna pengokohan ikatan sosial yang dilandasi kasih sayang, pengorbanan untuk kebahagiaan orang lain, ketulusikhlasan, dan amalan baik lainnya yang mencerminkan ketakwaan.
Kilasan esensi ini diungkap Allah dalam surah al-Hajj ayat 37, "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keridhaan Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik."
Di antara nilai sosial yang harus menghiasi setiap Muslim pada hari raya adalah menghilangkan berbagai bentuk kedengkian dan iri hati dalam diri, melupakan macam-macam permusuhan dan pertentangan, serta kita tingkatkan kepedulian kepada saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Mari bersama mengorbankan hawa nafsu, membuang sikap individualistis dan fanatis mekelompok, demi ukhuwah insaniyah. Dengan Idul Kurban, kita teladani Ibrahim dan Ismail AS, serta bersama menebar kasih sayang.
Haji, Perjalanan Keimanan Seorang Muslim
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berabad-abad sebelum Rasulullah diutus, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyeru manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj (22): 27-28). Beliau melaksanakannya dan berdoa agar semua hati manusia cenderung dan rindu ke Tanah Haram (QS Ibrahim (14): 37). Maka itu, berbondong-bondonglah umat Islam ke Tanah Suci untuk memenuhi seruan ini.
Barangkali dari asal-usul panggilan inilah banyak umat Islam meminta dipanggil di Makkah, khususnya di Jabal Qubeis. Padahal panggilannya sudah lama, tapi sebagian umat tidak memenuhi seruan ini karena tidak mampu atau lalai atau bahkan tuli disihir gemerlapnya dunia. Sejak seseorang mendaftar haji, yang ada dalam niatnya adalah keikhlasan dan kesiapan berkorban demi mencari ridha Ilahi. Ketika kuota diperolehnya, ia mempersiapkan semua kebutuhan selama ibadah haji.
Dia membekali dirinya dengan ketakwaan. Belajar manasik dan ilmu yang berkaitan dengan ibadah harian yang wajib selama di perjalanan. Dia korbankan waktu, harta, dan kepentingan dunianya untuk menggapai haji mabrur. Perjalanan haji adalah rihlah (tour) keimanan. Saat keluar rumah menuju ke Tanah Haram, calon haji ini membaca, "bismillahi tawakkaltu 'ala Allah wa laa haula wa laa quwwata illa billah." Ketika duduk di kendaraan pun berdoa safar.
Dalam segala situasi dan kondisi ia pun senantiasa doa, zikir, dan beribadah. Sungguh hebat jamaah haji ini. Dia menjadi hamba Allah yang terbaik. Semua aspek hidupnya dijadikan ibadah seperti yang diperintah Allah. (QS Az-Zariyat (51):56).
Kala sampai miqat, semua tamu Allah berniat ihram dan membaca talbiyah, yang artinya, "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan hanyalah bagi-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu."
Jamaah yang mengumandangkannya berderai air mata kekhusyukan dan kebahagiaan sambil mengharap ampunan. Ia sedang menjadi hamba Allah yang utuh karena sedang memenuhi panggilan-Nya dan menjadi tamu-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan duta-duta/tamu-tamu Allah. Maka itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan, dan jika mereka meminta ampun pastilah diampuni-Nya." (HR Ibnu Majah hadis No 2883).
Sebagai tamu, seorang hamba harus tahu diri terhadap yang dikunjungi. Kita wajib mengikuti semua peraturan Allah yang mengundang kita. Kita harus tahu tatakrama sebagai tamu undangan-Nya. Selama dalam perjalanan haji tidak boleh ada kesyirikan, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.
Sebagai imbalannya, kita diistimewakan sebagai tamu-Nya. Sudah pasti Allah Yang Maharahman dan Maharahim akan mengampuni dosa-dosa kita, mengabulkan semua doa dan permohonan kita. Berapa pun biaya dan pengorbanan yang kita berikan untuk ibadah haji, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keutamaan haji, ampunan, dan anugerah-Nya.
Sosok Pemuda Ideal di Mata Allah
Bentuk jamak dari fatan adalah fityah (pemuda-pemuda), seperti kisah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi pada surah al-Kahfi [18] ayat 13. "Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya, mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk."
Dalam hadis, pemuda sering diistilahkan dengan kata-kata syaabun. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, disebutkan bahwa di antara tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari ketika tak ada naungan, selain naungan-Nya, adalah syaabun nasya'a fii 'ibaadatillaah (pemuda yang tumbuh berkembang dalam pengabdian kepada Allah SWT).
Eksistensi dan peranan pemuda sangat penting. Dalam Alquran ataupun hadis, banyak diungkapkan karakteristik sosok pemuda ideal yang harus dijadikan teladan oleh pemuda yang bercita-cita sebagai orang atau pemimpin sukses. Pertama, memiliki keberanian (syaja'ah) dalam menyatakan yang hak (benar) itu hak (benar) dan yang batil (salah) itu batil (salah). Lalu, siap bertanggung jawab serta menanggung risiko ketika mempertahankan keyakinannya.
Contohnya adalah pemuda Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala kecil, lalu menggantungkan kapaknya di leher berhala yang paling besar untuk memberikan pelajaran kepada kaumnya bahwa menyembah berhala itu (tuhan selain Allah SWT) sama sekali tidak ada manfaatnya. Kisah keberaniannya dikisahkan dalam surah al-Anbiya [21] ayat 56-70.
Kedua, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiosity) untuk mencari dan menemukan kebenaran atas dasar ilmu pengetahuan dan keyakinan. Artinya, tidak pernah berhenti dari belajar dan menuntut ilmu pengetahuan (QS al-Baqarah [2]: 260). Ketiga, selalu berusaha dan berupaya untuk berkelompok dalam bingkai keyakinan dan kekuatan akidah yang lurus, seperti pemuda-pemuda Ashabul-Kahfi yang dikisahkan Allah SWT pada surah al-Kahfi [18] ayat 13-25. Jadi, berkelompok bukan untuk hura-hura atau sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Keempat, selalu berusaha untuk menjaga akhlak dan kepribadian sehingga tidak terjerumus pada perbuatan asusila. Hal ini seperti kisah Nabi Yusuf dalam surah Yusuf [12] ayat 22-24. Kelima, memiliki etos kerja dan etos usaha yang tinggi serta tidak pernah menyerah pada rintangan dan hambatan. Hal itu dicontohkah pemuda Muhammad yang menjadikan tantangan sebagai peluang hingga ia menjadi pemuda yang bergelar al-amin (tepercaya) dari masyarakatnya.
Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, sosok pemuda ideal yang dicontohkan dalam Alquran dan hadis diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemuda Indonesia masa kini. Wallahu a'lam.
Ingatlah Saat Kematian Mu!
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Di dunia ini, menurut al-Ghazali, tak ada yang pasti, kecuali kematian. Hanya kematian yang pasti, lainnya tak ada yang pasti. Namun, manusia tak pernah siap menghadapi maut dan cenderung lari darinya. "Sesungguhnya, kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu." (QS Al-Jumu'ah [62]: 8).
Bagi al-Ghazali, kematian tidak bermakna tiadanya hidup (nafi al-hayah), tetapi perubahan keadaan (taghayyur hal). Dengan kematian, hidup bukan tidak ada, melainkan bertransformasi dalam bentuknya yang lebih sempurna. Diakui, banyak orang semasa hidup mereka tertidur (tak memiliki kesadaran), tetapi justru setelah kematian, meraka bangun (hidup). "Al-Nas niyam, fa idza matu intabihu," demikian kata Imam Ali.
Dalam Alquran, ada beberapa istilah yang dipergunakan Allah SWT untuk mengartikan kematian. Pertama, kata al-maut (kematian) itu sendiri. Kata ini dalam bentuk kata benda diulang sebanyak 35 kali. Al-maut menunjuk pada terlepasnya (berpisah) ruh dari jasad manusia. Kepergian ruh membuat badan tak berdaya dan kemudian hancur-lebur menjadi tanah.
Allah SWT berfirman, "Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu, dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain." (QS Thaha [20]: 55).
Kedua, kata al-wafah (wafat). Kata ini dalam bentuk fi`il diulang sebanyak 19 kali. Al-Wafah memiliki beberapa makna, antara lain sempurna atau membayar secara tunai. Jadi, orang mati dinamakan wafat karena ia sesungguhnya sudah sempurna dalam menjalani hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, kita tak perlu berkata, sekiranya tak ada bencana alam si fulan tidak akan mati.
Ketiga, kata al-ajal. Kata ini dalam Alquran diulang sebanyak 21 kali. Kata ajal sering disamakan secara salah kaprah dengan umur. Sesungguhnya, ajal berbeda dengan umur. Umur adalah usia yang kita lalui, sedangkan ajal adalah batas akhir dari usia (perjalanan hidup manusia) di dunia. Usia bertambah setiap hari; ajal tidak. (QS Al-A'raf [7]: 34).
Keempat, kata al-ruju' (raji'). Kata ini dalam bentuk subjek diulang sebanyak empat kali, dan mengandung makna kembali atau pulang. Kematian berarti perjalanan pulang atau kembali kepada asal, yaitu Allah SWT. Karena itu, kalau ada berita kematian, kita baiknya membaca istirja', Inna Lillah wa Inna Ilaihi Raji'un (QS Al-Baqarah [2]: 156).
Sesungguhnya, kematian itu sama dengan mudik, yaitu perjalanan pulang ke kampung kita yang sebenarnya, yaitu negeri akhirat. Mudik itu menyenangkan. Dengan satu syarat, yakni membawa bekal yang cukup, berupa iman dan amal saleh. "Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya (dalam perkenan dan rida-Nya), hendaklah ia mengerjakan amal saleh." (QS Al-Kahfi [18]: 110). Wallahu a'lam.
Ibrahim, Bapak Monoteisme
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nabi Ibrahim AS, selain dikenal sebagai bapak nabi-nabi, ia juga dikenal sebagai bapak monoteisme. Keagamaan Ibrahim dicapai tak melulu melalui iman, tetapi juga melalui penyelidikan ilmiah terhadap fenomena alam yang mengantarnya sampai kepada kesimpulan tauhid (QS al-An'am [6]: 79).
Berkali-kali Allah SWT menguji Ibrahim dengan cobaan yang berat. Hebatnya, ia selalu lulus dan mampu melewati berbagai ujian itu dengan sukses. Karena itu, ia layak dan pantas dinobatkan sebagai imam dan pemimpin umat. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikan dengan sebaik-baiknya." (QS al-Baqarah [2]: 124).
Ada banyak tafsir tentang makna pada ayat di atas. Pakar tafsir Ibnu Katsir memahaminya sebagai syariat dari Allah berupa sejumlah perintah (al-awamir) dan sejumlah larangan (al-nawahi). Selain bermakna syariat, kalimat itu, menurut al-Alusi, juga bermakna ujian dan cobaan. Al-Alusi mengungkapkan, ada tujuh macam cobaan yang dihadapi Ibrahim. Namun, ada yang menyebut 13 hingga 30 cobaan.
Dari semua ujian dan cobaan yang dihadapinya, ada empat ujian yang sungguh berat. Pertama, ia pernah dibakar hidup-hidup oleh Raja Namrud. Kedua, ia diminta melakukan khitan pada usia tua. Ketiga, ia tidak diberi keturunan sampai usia senja, tetapi ia tidak berhenti berdoa. "Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh." (QS al-Shaffat [37]: 100).
Keempat, setelah mendapat anak (Ismail), ia diminta menyembelihnya. Ujian yang mahaberat itu pun ditunaikan Ibrahim dengan penuh ketaatan. Ia memenuhi semua perintah Allah (QS al-Najm [53]: 37) dan membuktikan kebenaran mimpinya. "Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-Shaffat [37]: 105).
Sebagai muwahid sejati dan bapak monoteisme, Ibrahim memberikan apa saja yang diminta oleh Allah, termasuk Ismail, "aset" paling berharga yang dimilikinya. Menurut Doktor Ali Syari'ati, Ismail adalah simbol dari sesuatu yang paling dicintai oleh manusia. Setiap orang tentu memiliki "Ismail"-nya dalam bentuk dan rupa yang berbeda-beda.
Tauhid pada hakikatnya mengandung makna ketundukan manusia secara total kepada Allah SWT. Hal ini dilakukan dengan menunjukkan cintanya hanya kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim adalah contoh par-excellent dalam soal ini. Itu sebabnya namanya disebut dan diabadikan oleh Allah dalam semua kitab suci dan terutama dalam kitab suci Alquran.
Nabi Muhammad SAW dan seluruh kaum beriman disuruh mengikuti agama (millah) Ibrahim. Dikatakan, hanya orang-orang "dungu" yang membenci dan menolak agama bapak monoteisme ini. "Dan, tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri."(QS al-Baqarah [2]: 130). Wallahu a'lam.
Pemimpin yang Dicintai Rakyatnya
Setelah dibagi rata, Umar kebagian sehelai pakaian. Karena kekecilan, pakaian itu hanya sampai menutupi pahanya. Ia kemudian meminta putranya, Abdullah, untuk memberikan pakaian jatahnya. Umar pun memermak kedua pakaian itu, hingga menutup di atas mata kakinya.
Ia lalu naik mimbar, "Wahai kalian semua, dengarlah apa yang akan kusampaikan .…" Tiba-tiba, Salman al-Farisi menginterupsi, "Wahai Amirul Mukminin, aku tidak akan mendengar dan mematuhi kata-katamu!" Umar bertanya, "Mengapa begitu?"
"Engkau mengenakan dua helai pakaian, sementara kami hanya satu pakaian; di mana letak keadilan? Anda telah berlaku zalim kepada rakyatmu?" ujar Salman protes. Mendengar kritik Salman, Umar tak marah. Ia hanya tersenyum simpul. "Hai Abdullah, berdirilah dan jelaskan duduk persoalannya kepada mereka," ungkap Umar.
Abdullah lalu berkata, "Postur tubuh ayahku itu tinggi. Pakaian jatahnya tidak cukup, lalu jatahku kuberikan kepadanya. Ia lalu menyambungkannya agar bisa menutupi auratnya." Semua sahabat terdiam. Salman kembali berkata, "Kalau begitu, sampaikanlah pesan-pesanmu wahai Amirul Mukminin, kami akan mendengarnya. Instruksimu akan kami laksanakan."
Kisah tentang keteladanan seorang pemimpin juga pernah dicontohkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz berada di suatu majelis. Ketika tiba siang hari, ia gelisah dan merasa bosan. Ia lalu berkata kepada yang hadir, "Kalian tetap di tempat sampai saya kembali."
Ia lantas masuk ke peraduannya untuk beristirahat. Tiba-tiba anaknya, Abdul Malik, mengingatkannya, "Wahai Amirul Mukminin, apa yang menyebabkan engkau masuk kamar?" Khalifah menjawab, "Saya ingin beristirahat sejenak."
Putranya kemudian bertanya lagi, "Yakinkah engkau bahwa setiap kematian akan datang, sedangkan rakyatmu menunggu di depan pintumu, sementara engkau tidak melayani mereka?" Sang Khalifah pun terkejut. "Engkau benar, wahai anakku." Ia lalu bangun dan menemui rakyat yang sedang menunggunya.
Kisah kepemimpinan dua Umar di atas telah membuktikan kepada sejarah bahwa pemimpin yang dicintai rakyatnya adalah yang mampu mengesampingkan egoisme pribadi serta kelompoknya. Hati nurani rakyat dan nurani dirilah yang menjadi "pengawal" kepemimpinannya.
Hanya pemimpin berhati nurani yang mau "mewakafkan" jiwa dan raganya untuk berdedikasi demi kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan umat serta bangsanya. Pemimpin berhati nurani dan tulus akan selalu memberi layanan prima bagi rakyatnya. Nabi SAW pernah bersabda, "Mintalah fatwa kepada hati nuranimu." (HR Muslim). Termasuk, dalam memimpin dan mengambil kebijakan.
Senin, 08 November 2010
Manusia Penyebab Bencana?
(Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Air mata warga Mentawai, Sumatra Barat, pun belum kering. Gempa bumi terus menerjang mereka. Bencana itu menewaskan ratusan warga dan memorak-porandakan berbagai fasilitas dan infrastruktur penting. Ibu Pertiwi pun berlanjut menangis menyaksikan nasib sedih warga Sleman, Malang, dan Yogyakarta. Merapi kembali meletus menghancurkan lahan warga. Puluhan orang tewas mengenaskan.
Bencana alam yang mendera, berbagai peristiwa yang memorak-porandakan umat manusia, makin membuka mata bahwa manusia tidak punya kuasa apa pun. Namun, harus kita yakini bahwa Tuhan pun tidak mungkin menjatuhkan bencana sekecil atau sedahsyat apa pun jika manusia tidak "meminta". Sebenarnya, manusialah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana di muka bumi ini.
Banyak umat manusia yang memiliki frame bahwa hasil pemikiran umat manusia di bumi ini telah mendekati kebenaran. Manusia begitu bangga dengan berbagai keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, tak sedikit di antara manusia yang mulai angkuh, sombong, dan takabur karena merasa telah berhasil menemukan kebenaran yang padahal semu, menggali potensi alam, sekaligus memanfaatkannya.
Kita tidak sadar dan tidak tahu bahwa ranjau-ranjau kehidupan telah menghadang. Kita buta sehingga apa yang tadi kita anggap benar dan bermanfaat ternyata malah dapat menyengsarakan umat manusia. Bagaimana bangganya para penemu gas freon lima puluh tahun yang lalu. Penemuan mereka dapat diaplikasikan bagi kehidupan manusia lewat pembuatan lemari pendingin (kulkas), AC, dan sejenisnya. Namun, kini kita baru menyadari bahwa uap gas freon tersebut mengakibatkan bolongnya lapisan ozon yang kini besarnya nyaris seukuran Benua Australia. Kita baru sadar bahwa penemuan itu dapat mengakibatkan wabah bencana bagi umat manusia. Berbagai penyakit kulit sulit disembuhkan, tekstur tanah mulai hilang kesuburannya, musim yang tidak menentu, hujan besar yang tidak diharapkan, dan banjir serta longsor pun terjadi di mana-mana.
Betapa bangganya para penemu pupuk kimia karena dapat meningkatkan hasil panen di seluruh tanah pertanian di dunia. Indonesia pun sempat dapat swasembada pangan karena menggunakan pupuk kimia. Namun, setelah puluhan tahun pemakaian pupuk itu, kita baru sadar bahwa pupuk tersebut telah mengekploitasi kesuburan tanah yang lama-kelamaan dapat habis. Kini, banyak lahan pertanian mulai kehilangan kesuburan dan sulit dicari obatnya. Akhirnya, ratusan lahan pertanian mati dan sulit ditanami. Maka, terjadilah longsor. Tanah serapan pun mulai habis. Banjir pun menggelombang menyeret permukiman, kemudian memakan kerugian ratusan miliar rupiah dan ratusan jiwa jadi korban.
Gedung-gedung berbeton mencakar langit: hotel, bank, rumah sakit, vila, dermaga, dan gedung lainnya berdiri di pusat kota serta di sudut kota, mengalahkan pepohonan yang telah setia menunggu puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun. Pohon-pohon itu dibantai dalam keangkuhan bapak-bapak pembangunan dan ilmuwan-ilmuwan pembangunan.
Selama ini, muncul pandangan bahwa otak manusia itu cemerlang sehingga dikategorikan dapat menembus kebenaran. Penelitian muktahir menunjukkan bahwa otak manusia terdiri atas bermiliar-miliar sel aktif; minimal ada 100 miliar sel otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel dapat membuat jaringan sampai 20.000 sambungan tiap detik. Yang menakjubkan, saat awal kehidupan manusia, otak berkembang melalui proses belajar-alamiah-dengan kecepatan tiga miliar sambungan per detik. Sambungan-sambungan itu adalah kunci kekuatan otak sehingga Gordon Dryden menyatakan, "Manusia adalah pemilik komputer paling hebat, yakni otak."
Namun, pada kenyataannya tidak. Otak manusia itu ternyata memiliki cacat. Otak manusia ini tidak dapat menembus akibat-akibat sequential, yakni akibat-akibat yang bakal terjadi pada masa mendatang, tentu berbeda dengan masa sekarang atau masa lalu.
Inilah yang menuntun penemuan gas freon begitu membanggakan sembari tidak tahu esok lusa akan membolongi lapisan ozon. Inilah yang mendorong pemakaian pupuk kimia berlebihan, tapi tidak tahu puluhan tahun ke depan akan mematikan kesuburan tanah. Inilah yang mendorong pembangunan menjadi program utama pemerintah, sedangkan pelestarian hanya program sampingan.
Semuanya bermuara pada ketidaktahuan hari esok dan hari lusa. Inilah kelemahan otak manusia yang tidak dapat menangkap akibat sequential ini. Inilah yang dalam analogi Emha Ainun Najib disebutkan bahwa manusia itu buta, manusia tidak tahu apa yang bakal terjadi esok lusa, bahkan dalam sedetik ke depan.
Kecacatan otak manusia tersebut diperparah lagi karena hanya dipandu oleh kekuatan indrawi yang ternyata banyak kelemahan. Dalam pandangan para filsuf dulu, pancaindra manusia ini dapat menangkap seluruh fenomena alam dengan tepat dan akurat. Namun, dalam pandangan filsuf masa kini, pancaindra manusia ini hanya dapat menangkap bagian luaran. Pancaindra ini hanya dapat menangkap fenomena suatu benda (dunia luar), tetapi tidak dapat menangkap apa di balik benda tersebut yang menurut para filsuf noumena. Kendati para ilmuwan eksakta berusaha mempertajam kemampuan indrawi dengan berbagai alat, misalnya mikroskop, itu hanya berfungsi memperbesar dan tidak dapat membantu untuk menemukan noumena.
Ilmuwan Islam, Mohammad Arkoun, memberi saran agar hasil-hasil mutakhir ilmuwan Barat tersebut tetap digunakan, tetapi melengkapinya dengan wacana Islami yang selama ini mengalami kebekuan. Herman Soewardi (1991) menyodorkan sebuah wacana Islami yang dapat melanjutkan wacana Barat yang disebut naqliah memandu aqliah. Dalam pandangan ini, akal manusia (fitrah)-yang dalam analogi ilmuwan Barat adalah otak-bukan harus dipandu oleh pancaindra, tetapi oleh wahyu (petunjuk Allah).
Kegagalan alur Barat sekuler telah menunjukkan bahwa ilmu itu harus diungkapkan berdasarkan petunjuk dari Penciptanya. Ilmu Barat yang beroperasi tanpa petunjuk Penciptanya akhirnya mengalami kegagalan. Ilmuwan Islam, Ismail Faruqi, juga menganjurkan Islamization of Knowledge. Wacana Islami adalah implikasi tauhid pada thought atau nalar.
Kunci utama nalar Islami adalah petunjuk Allah yang terkumpul dalam Alquran dan sunah berupa nash-nash (teks-teks). Oleh karena itu, Alquran dan sunahlah yang harus dijadikan panduan atau pedoman dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk aplikasinya dalam masyarakat, bukan sains Barat. Inilah yang akan membawa keselamatan dan terhindar dari berbagai bencana.
Bencana dan Teologi
(Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina)
Bencana silih berganti menimpa negeri ini: erupsi Gunung Merapi Yogya, gempa dan tsunami Mentawai, serta banjir bandang Wasior. Ratusan nyawa manusia telah melayang akibat bencana. Temuan investigasi Komnas HAM menyebutkan, banjir bandang Wasior, misalnya, akibat human error karena telah terjadi eksploitasi besar-besaran atas tanah di daerah tersebut. Misalnya, aktivitas penambangan yang tak memandang persoalan ekologis
Anehnya, masih ada pihak-pihak yang menganggap hal itu hanya sebatas bencana alam biasa atau faktor alam an sich. Misalnya, Presiden SBY menganggapnya begitu, entah karena alasan politis atau apa pun, seakan menutup mata atas keadaan di tanah Papua yang benar-benar telah dieksploitasi secara hebat karena terjadi penambangan yang cukup masif dan destruktif oleh korporasi asing atau manusia-manusia tak bertanggung jawab.
Masyarakat pun kadang melihat hal itu sebatas bencana. Dalam pengertian, tidak dilihat sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia, melainkan atas kehendak Tuhan. Dalam istilah teologis, keyakinan semacam itu disebut sebagai masyarakat agamis yang menggariskan sesuatu berdasarkan paksaan Tuhan (jabariah). Mereka meyakini bahwa Tuhan murka kepada penduduk sebuah negeri yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sangat rajin dan pandai membuat serta memelihara dosa-dosa.
Keyakinan semacam itu jelas berbahaya karena Tuhan akan dipersalahkan sebagai biang dari segala bencana di dunia. Dalam bahasa Gottfried Leibniz (Roth, 2003: 151), Tuhan di situ seakan-akan menjadi terdakwa (blaming the God) karena terjadinya bencana. Padahal, menurut Leibniz, Tuhan tak patut dipersalahkan, bahkan kemuliaan dalam eksistensi-Nya tak terpengaruh dengan adanya dosa-dosa atau kebaikan-kebaikan di dunia. Manusialah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia (blaming the men).
Pergeseran teologi
Pandangan teologi yang memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan mestinya diubah atau teologi yang lebih menekankan pada kehendak bebas manusia (qadariah) sebetulnya lebih relevan untuk menjelaskan fenomena, seperti bencana alam. Relevan bukan sebatas penjelasannya yang adil dan bijaksana dalam menempatkan kodrat manusia (theodice) yang dihubungkan dengan alam atau lingkungannya, tetapi dengan keberadaan musibah itu sendiri.
Teologi semacam ini juga relevan sebab dapat menghindarkan manusia dari mitologi-mitologi sosial yang biasanya merebak dan akhirnya membawa pada kesesatan dan kegelapan alam pikiran manusia. Teologi itu pada prinsipnya ingin menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak untuk berbuat sebebas-bebasnya. Dia juga harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang sudah diperbuatnya. Maka itu, jika ada fenomena bencana alam, sebetulnya itu merupakan cermin seakan-akan mempertanyakan sudah berbuat dan bertindak apa saja manusia di bumi ini.
Berbuat dan bertindak bukan dalam pengertian manusia telah melakukan dosa-dosa, kemudian Tuhan murka dan menimpakan bencana itu. Tapi, lebih karena tindakan dan perbuatan manusia yang dilakukan atas alam dan lingkungan, seperti aktivitas penambangan yang eksploitatif, pengeboran atas kekayaan perut bumi yang semena-mena, pengerukan pasir laut dalam skala yang cukup masif, penggundulan hutan, dan sebagainya. Segala tindakan dan perbuatan itulah yang kemudian lambat laun akan membuat alam menjadi murka sehingga fenomena bencana alam tak bisa terhindarkan.
Hal itu sesungguhnya sesuai dalam kitab suci yang secara bebas berbunyi, "Kerusakan di darat dan di laut yang tampak disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Maka, sebagai akibat dari perbuatannya (datanglah bencana) supaya manusia merasakan sebagian dari ulah dan perbuatannya agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Alquran 30: 41).
Jelaslah bahwa fenomena bencana alam tak lain dan tak bukan karena diakibatkan oleh kita sebagai manusia. Banyak dari kita yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan alam dan lingkungan.
Berhentilah kita menyalahkan sesuatu yang ada di luar kita, seperti Tuhan. Bahkan, menurut Ignaz Goldziher (1991), karena ulah tangan manusia, manusia pun sesungguhnya dilarang untuk menyalahkan setan sekalipun. Setan menolak dimintai pertanggungjawabannya pada hari akhir nanti karena kesalahan dan dosa perbuatan manusia.
Membangun teologi bencana
Hassan Hanafi dalam karyanya Religion, Ideology, and Developmentalism (1990) menawarkan apa yang dikenal sebagai teologi untuk memperlakukan bumi. Bagaimana semestinya bumi ini diperlakukan?
Menurut Hanafi, bumi merupakan ciptaan Tuhan yang harus dikelola manusia secara baik dan benar. Tak ada satu pun manusia yang sesungguhnya berhak mengklaim memiliki barang sejengkal pun terhadap bumi karena bumi ini adalah milik-Nya. Oleh karena itu, tak dibenarkan jika manusia menjadi arogan ketika merasa memiliki tanah di bumi.
Arogansi dalam pengertian, misalnya, ketika manusia merasa memiliki jengkal tanah di bumi, lalu dia berbuat seenaknya: mengebor, mengeruk, mengeksploitasi, dan tanpa memikirkan akibatnya. Arogansi lain adalah manusia hidup dengan seenaknya mengotori dan mencemari alam serta lingkungan dengan polusi dan berbagai perbuatan lainnya yang sesungguhnya akan merusak bumi.
Teologi selama ini sangat jarang diperkenalkan oleh para penceramah keagamaan melalui pendekatan yang direlevansikan dengan alam dan lingkungan. Seakan-akan tak ada kaitan antara teologi keagamaan dan alam serta lingkungan. Jarang umat beragama menyentuh persoalan itu. Sesungguhnya, sebagai konsekuensi dari teologi itu, umat beragama semestinya mengimplementasikannya ke seluruh aspek dalam kehidupan, tak terkecuali dengan masalah-masalah alam dan lingkungannya (environmentalism).
Jika selama ini kita menganggap diri sebagai kaum beragama, sudah semestinya teologi agama kita tak hanya cukup sampai pada keyakinan. Namun, tak ada aktualisasinya dalam kehidupan. Misalnya, kita mengaku bahwa kita orang beragama, tapi perbuatan kita masih mencemari polusi udara, membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi bumi secara semena-mena, dan sebagainya. Perbuatan dan tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh orang beragama. Saatnya kita membumikan teologi agama ini dalam realitas dan praksis kehidupan. Agama yang mengajarkan kebaikan-kebaikan harus diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga pada akhirnya kita akan dapat terhindar dari segala marabahaya.
Perjalanan Rohani
Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Maka, di Arafahlah seluruh jamaah haji menuntaskan harapannya menunaikan rukun Islam yang kelima. Karena itu, sehari sebelum pelaksanaan wukuf pada 9 Zulhijah, seluruh jamaah haji mulai mengalir menuju Padang Arafah.
Dalam suasana riuh pada hari yang dikenal dengan tarwiyah itu, suara suci berbisik di setiap telinga jamaah, "Berzikirlah, wahai hamba-hamba Allah. Siapkan segala perlengkapan lahir ataupun batin, karena esok kita akan berwukuf untuk menumpahkan segala pinta pada Yang Mahakuasa."
Di bawah terik matahari Padang Arafah, jamaah bersimpuh menelanjangi segala khilafnya. Khutbah Arafah pun terasa membakar segala dosa yang pernah menjadi pakaian kehidupan yang sulit dihindari. Lewat khutbah itulah, jamaah menelanjangi diri sendiri dan berusaha meluluhlunakkan segala egoisme insani.
Jika haji itu adalah Arafah, haji merupakan lambang kesederhanaan dan kesetaraan. Perkumpulan raksasa itu menjadi simbol kesatuan umat yang dalam kehidupan sehari-hari masih saja sering dipersoalkan. Dalam perkumpulan ini, semuanya menjadi sederhana dan setara. Sebuah perjalanan rohani yang selalu menyisakan pengalaman batin yang sangat mendalam.
Setelah tuntas melewati padang spiritualitas Arafah, jamaah kembali mengalir menuju Mina via Muzdalifah. Di sinilah jamaah melaksanakan jumrah, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat setan yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari.
Mereka bergantian dan saling melindungi untuk mendekati pilar demi pilar: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu per satu. Inilah gambaran perjalanan yang bagi kebanyakan jamaah mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ibadah haji, yang dalam bayangan sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur layaknya seorang hamba.
Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal, doa menyiratkan transenden yang sulit dipahami oleh kepala telanjang. Ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang untuk memenuhi perintah ajaran, seperti diisyaratkan rukun Islam secara keseluruhan.
Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.
Tapi, dapatkah rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Tidak mudah memang. Tentu, fasilitas utamanya adalah sikap yang tulus dalam mengikuti setiap tahapan meski terasa berat. Sesungguhnya, bekal utama ibadah haji adalah takwa (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam bingkai takwa inilah, potret perjalanan rohani itu tampak semakin bercahaya.
Haji dan Ukhuwah Islamiah
Salah satu hikmah yang mendasar dari ibadah haji adalah persaudaraan atau ukhuwah. Ketika semua umat Islam berkumpul di Padang Arafah, jamaah yang datang dari segala penjuru dunia itu terdiri atas berbagai bangsa, warna kulit, dan status yang berbeda-beda. Namun, mereka melebur di satu tempat dengan kain yang rata-rata berwarna sama-ihram putih-untuk merenungi diri dengan doa-doa dalam kebersamaan.
Berinteraksi satu dengan lainnya sembari bertukar informasi, saling berkomunikasi, dan bersilaturahim. Pada saat-saat tertentu, saling tolong-menolong menyelesaikan masalah untuk kepentingan bersama: melaksanakan manasik bersama, shalat berjamaah, makan dan minum bersama, dengan tujuan yang sama pula. Labbaik Allahumma Labbaik¸ memenuhi undangan Allah sebagai tamu-Nya yang istimewa (Dhuyufurrahman).
Dalam suka dan duka perjalanan haji, beragam rintangan dan onak duri mungkin dialami setiap jamaah, yang dalam kebersamaan dan saling tolong-menolong sesamanya itu direspons dengan kesabaran. Suatu pemandangan alam mahsyar yang divisualisasikan dalam drama kolosal wukuf (berhenti sejenak untuk merefleksikan diri bersama jamaah haji yang lain) terasa pada puncak ritual haji (hajju Arafah) ini.
Kebersamaan dalam haji inilah momentum yang tepat untuk merajut persaudaraan universal (ukhuwah Islamiah). Ukhuwah berasal dari kosakata akha - ya'khu - ukhuwwah. Kata ini dengan berbagai derivasinya banyak sekali terdapat di dalam Alquran, baik dalam arti saudara kandung maupun dalam arti saudara lain. Yang berkaitan dengan ukhuwah ini terdapat sekitar 80 ayat dalam berbagai surah. Pada Alquran surah Al-Hujurat [49] ayat 10, misalnya, dinyatakan bahwa antara sesama mukmin adalah saudara.
Makna ukhuwah kemudian dijelaskan oleh Rasul SAW dalam beberapa sabdanya, di antaranya dengan menggunakan analogi yang mudah dipahami, "Al-Mukmin li al-Mukmin ka al-Bunyan yasyuddu ba'dhuhu ba'dlan" (Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya itu bagaikan beton bangunan yang saling menguatkan satu dengan lainnya).
Rasulullah SAW telah meletakkan batu-bata ukhuwah ini dengan susah payah sejak pascahijrah ke Madinah. Para sahabat dipersaudarakan, antara Muhajirun dan Anshar. Di tengah Muhajirun dan Anshar sendiri, kemudian di antara individual para sahabat. Untuk mempererat persaudaraan yang hakiki, Nabi mengawini putri sahabat dan beliau pun mengawinkan putri-putrinya dengan para sahabat dekat, baik dari Bani Hasyim (suku Nabi sendiri) maupun dari Bani Umayah. Begitulah persaudaran ini terpelihara sampai pada masa berikutnya.
Spirit ukhuwah yang hakiki yang telah diteladankan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya pada 622 Hijriah ini merupakan fenomena luhur yang diabadikan oleh Alquran, misalnya, dalam surah Al-Hasyr [59] ayat 9. Dengan haji ini mestinya kita konkretkan ukhuwah yang sejati. Boleh jadi dalam kebersamaan itu ada perbedaan, tetapi kita sebagai umat yang satu harus satu dalam keyakinan akidah.
Menjauhi Kekufuran Sosial
REPUBLIKA.CO.ID,"Kefakiran dapat berpotensi pada kekufuran." Demikian di antara pesan moral yang sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Meskipun diyakini para ahli hadis bahwa kalimat itu tidak termasuk qaul Nabi SAW, ia memiliki substansi pesan yang baik, paling tidak untuk direnungkan.
Kekufuran kini telah mengambil tempat yang semakin membahayakan. Ia merupakan satu dari sekian banyak penyakit sosial yang sering mengganggu kehidupan, merusak kebersamaan, dan bahkan tidak jarang muncul dalam wujud tindak kekerasan. Kekerasan pun pecah di banyak tempat. Secara sosial ataupun material, kekerasan kini telah melewati batas toleransi. Padahal, jika ditelusuri, sumber penyebabnya sangat sederhana.
Potret kesederhanaan yang menjadi sumber kekerasan itu dapat kita lihat dalam sejumlah tragedi sosial, seperti tawuran antarwarga, bentrok antarpemuda, atau saling lempar antarmahasiswa, yang kesemuanya hanya berakar pada persoalan yang tidak seberapa. Tragedi berdarah itu lalu pecah hanya karena masing-masing pihak tidak sanggup menahan diri.
Kekerasan yang akhir-akhir ini banyak terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini, seperti diyakini banyak pakar, salah satunya merupakan akibat langsung dari semakin lebarnya jarak sosial antara yang punya dan yang tak punya. Ketidakadilan ekonomi merupakan sumber semakin rentannya ketahanan psikis yang dalam perspektif pesan di atas dapat berpotensi merebaknya kekufuran.
Karena itu, dalam logika Alquran, kekerasan bisa saja terjadi sebagai bentuk peringatan keras Allah atas ketidakadilan ekonomi yang hingga saat ini belum sanggup menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Masih tingginya angka pengangguran menjadi sumber ketidaksanggupan manusia menerima kenyataan. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini pula yang pada gilirannya telah menggeser ketulusan untuk bersedia menerima perbedaan.
Padahal, seperti diisyaratkan Nabi SAW, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan dalam hal apa pun. Perbedaan pendapat dapat memperkaya wawasan. Sementara itu, perbedaan pendapatan pun dapat menjadi lahan beramal dalam berbagi rasa dengan sesama. Tapi, mengapa kenyataan mengungkap pemandangan sebaliknya. Perbedaan kini justru banyak menuai laknat. Mungkin, kenyataan inilah yang digambarkan Allah dalam Alquran surah Ibrahim (14) ayat 7, "Jika kalian bersyukur, akan Aku tambah nikmat-Ku kepadamu; tapi sebaliknya, jika kalian mengingkari atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan, azab-Ku sangat pedih."
Pernyataan Alquran yang sarat muatan pesan persuasi ini seolah tengah menampar bangsa kita yang akhir-akhir ini sering menuai derita. Pesannya tegas bahwa manusia wajib bersyukur, yang salah satu ekspresinya adalah sikap tulus menerima kenyataan sambil tetap berikhtiar memperbaiki kehidupan.
Jadi, untuk menghindari semakin suburnya kekerasan di negeri ini, perlu diperkuat agenda meringankan beban kekufuran sosial melalui usaha mewujudkan pesan Alquran. "Memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4).
Merenungi Bencana yang Datang
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berbagai musibah dan bencana kembali menimpa saudara-saudara kita di sejumlah daerah. Salah satunya bencana banjir bandang yang melanda Kota Wasior, Papua Barat. Sekitar 147 orang meninggal dunia, 103 orang masih hilang, dan ribuan orang mengalami luka-luka akibat bencana itu.
Ditambah lagi kerugian material yang cukup besar. Bencana ini telah menambah panjang daftar musibah yang telah menimpa bangsa kita. Tidak ada suatu bencana dan kejadian apa pun di dunia ini, kecuali memang atas kehendak dan izin Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hadid [57]: 22-23.
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."Setidaknya, ada dua pesan penting dari ayat tersebut yang harus terus-menerus kita tadabburi (direnungkan). Pertama, menambah serta memperkuat keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya Zat yang mengendalikan dan mengurus alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya. Sebagai contoh, kita diperintahkan untuk berikhtiar atau berusaha dengan semaksimal mungkin (misalnya dalam membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur dalam konteks membangun bangsa), tetapi hasil akhirnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Ketundukan hati dan pikiran terhadap segala aturan-Nya merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak boleh sombong dan arogan menolak aturan dan ketentuan-Nya, termasuk tidak boleh mengeksploitasi alam ciptaan-Nya tanpa kendali hanya untuk memuaskan keserakahan hawa nafsu serta memperkaya diri dan kelompok. Kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Ruum [30]: 41.
Kedua, memperkuat kembali semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial di antara sesama komponen bangsa. Musibah sejatinya sering serta dapat merekatkan dan mendekatkan hati di antara sesama umat manusia. Rasa empati dan simpati serta keinginan untuk membantu sesama biasanya terbangun dengan baik. Penderitaan dan musibah mereka adalah musibah kita semua.
Karena itu, marilah berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar semua musibah yang telah menimpa ini membuat kita menjadi bangsa yang kuat imannya dan baik pertahanan dirinya, sekaligus memperkuat solidaritas dan keseti
Haji, Perjalanan Keimanan Seorang Muslim
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berabad-abad sebelum Rasulullah diutus, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyeru manusia untuk berhaji (QS Al-Hajj (22): 27-28). Beliau melaksanakannya dan berdoa agar semua hati manusia cenderung dan rindu ke Tanah Haram (QS Ibrahim (14): 37). Maka itu, berbondong-bondonglah umat Islam ke Tanah Suci untuk memenuhi seruan ini.
Barangkali dari asal-usul panggilan inilah banyak umat Islam meminta dipanggil di Makkah, khususnya di Jabal Qubeis. Padahal panggilannya sudah lama, tapi sebagian umat tidak memenuhi seruan ini karena tidak mampu atau lalai atau bahkan tuli disihir gemerlapnya dunia. Sejak seseorang mendaftar haji, yang ada dalam niatnya adalah keikhlasan dan kesiapan berkorban demi mencari ridha Ilahi. Ketika kuota diperolehnya, ia mempersiapkan semua kebutuhan selama ibadah haji.
Dia membekali dirinya dengan ketakwaan. Belajar manasik dan ilmu yang berkaitan dengan ibadah harian yang wajib selama di perjalanan. Dia korbankan waktu, harta, dan kepentingan dunianya untuk menggapai haji mabrur. Perjalanan haji adalah rihlah (tour) keimanan. Saat keluar rumah menuju ke Tanah Haram, calon haji ini membaca, "bismillahi tawakkaltu 'ala Allah wa laa haula wa laa quwwata illa billah." Ketika duduk di kendaraan pun berdoa safar.
Dalam segala situasi dan kondisi ia pun senantiasa doa, zikir, dan beribadah. Sungguh hebat jamaah haji ini. Dia menjadi hamba Allah yang terbaik. Semua aspek hidupnya dijadikan ibadah seperti yang diperintah Allah. (QS Az-Zariyat (51):56).
Kala sampai miqat, semua tamu Allah berniat ihram dan membaca talbiyah, yang artinya, "Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kerajaan hanyalah bagi-Mu, dan tiada sekutu bagi-Mu."
Jamaah yang mengumandangkannya berderai air mata kekhusyukan dan kebahagiaan sambil mengharap ampunan. Ia sedang menjadi hamba Allah yang utuh karena sedang memenuhi panggilan-Nya dan menjadi tamu-Nya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, "Orang-orang yang sedang menunaikan haji dan orang yang sedang mengerjakan umrah merupakan duta-duta/tamu-tamu Allah. Maka itu, jika mereka memohon kepada-Nya, pastilah dikabulkan, dan jika mereka meminta ampun pastilah diampuni-Nya." (HR Ibnu Majah hadis No 2883).
Sebagai tamu, seorang hamba harus tahu diri terhadap yang dikunjungi. Kita wajib mengikuti semua peraturan Allah yang mengundang kita. Kita harus tahu tatakrama sebagai tamu undangan-Nya. Selama dalam perjalanan haji tidak boleh ada kesyirikan, tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal.
Sebagai imbalannya, kita diistimewakan sebagai tamu-Nya. Sudah pasti Allah Yang Maharahman dan Maharahim akan mengampuni dosa-dosa kita, mengabulkan semua doa dan permohonan kita. Berapa pun biaya dan pengorbanan yang kita berikan untuk ibadah haji, tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan keutamaan haji, ampunan, dan anugerah-Nya.
Minggu, 07 November 2010
Haji yang Membebaskan
Muhbib Abdul Wahab
Suatu ketika, Ibrahim bin Adham menunaikan haji ke Baitullah dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang Arab Badui yang menaiki unta. Orang Badui itu bertanya, "Wahai kakek, mau kemanakah Engkau?" Kemudian, Ibrahim menjawab, "Ke Baitullah."
"Bagaimana bisa sampai ke sana, padahal Anda berjalan kaki dan tidak punya kendaraan?" tanya si Badui. "Saya punya banyak kendaraan," jawab Ibrahim. "Kendaraan apa sajakah itu?" tanya si Badui lagi.
Ibrahim menjawab, "Jika ada kesialan menimpaku, aku mengendarai 'sabar'. Jika kenikmatan diberikan kepadaku, aku mengendarai 'syukur'. Jika ada yang ditakdirkan untukku, aku kendarai 'kerelaan'. Dan, jika nafsuku mengajak untuk melakukan sesuatu, aku kendarai 'pengetahuanku', bahwa apa yang tersisa dari umurku tak lebih banyak dari yang telah kugunakan."
Sepenggal kisah di atas sarat pelajaran moral. Sejatinya, ibadah haji merupakan perjalanan demi pembebasan diri dari penjara dunia (status sosial, ekonomi, dan politik), penjara nafsu, dan penjara masa lalu (sejarah) menuju orbit spiritualitas dan otentisitas sebagai hamba.
Haji bukan semata ritualitas fisik yang menguras tenaga, tapi otentisitas cinta Ilahi yang melejitkan kedalaman spiritual dan keluhuran moral. Sebagai pembebas dari penjara dunia, haji harus dimulai, dikawal, dan diparipurnakan dengan kendaraan keikhlasan.
"Dan, hanya karena Allahlah mengerjakan haji itu adalah kewajiban manusia, yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah..." (QS Ali Imran [3]: 97). "Dan, sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah... " (QS Al-Baqarah [2]: 196).
Haji yang ikhlas karena Allah semata adalah kunci pembebasan diri dari segala aksesori duniawi. Dalam Alquran, hanya ibadah haji yang redaksi pengwajibannya diawali dan diakhiri dengan kata Lillahi. Jika tidak Lillahi, boleh jadi haji tak berpengaruh apa-apa terhadap kualitas hidup seseorang.
Sebagai pembebas nafsu, haji ibarat proses pembelajaran dan pembekalan hidup bermakna, yakni hidup yang terbebas dari penjajahan nafsu, syahwat, angkara murka, serakah, egoisme, dan sebagainya. Karena itulah, modal pembelajaran yang terbaik untuk perjalanan haji adalah takwa. "Dan, bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa..." (QS Al-Baqarah [2]: 197). Takwa adalah pakaian integritas moral yang membentengi dari segala godaan hawa nafsu, baik selama berhaji maupun sepulang haji.
Ibadah haji juga harus didesain untuk membebaskan diri dari masa lalu yang tak baik dan sarat dengan dosa personal serta sosial. Karena itu, ketika memenuhi panggilan-Nya, hamba harus melakukan taubatan nashuha dan berkomitmen tak kembali ke masa silam yang kelam.
Ia harus mereformasi iman, ilmu, dan amal demi masa depan yang lebih bermakna. Sepulang haji, moralitasnya wajib menjadi lebih terpuji, etos belajarnya dan kinerjanya semakin meningkat. Kemabruran haji tak bisa dibeli, tapi harus diniati, diperjuangkan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan Rohani
Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu adalah Arafah." Maka, di Arafahlah seluruh jamaah haji menuntaskan harapannya menunaikan rukun Islam yang kelima. Karena itu, sehari sebelum pelaksanaan wukuf pada 9 Zulhijah, seluruh jamaah haji mulai mengalir menuju Padang Arafah.
Dalam suasana riuh pada hari yang dikenal dengan tarwiyah itu, suara suci berbisik di setiap telinga jamaah, "Berzikirlah, wahai hamba-hamba Allah. Siapkan segala perlengkapan lahir ataupun batin, karena esok kita akan berwukuf untuk menumpahkan segala pinta pada Yang Mahakuasa."
Di bawah terik matahari Padang Arafah, jamaah bersimpuh menelanjangi segala khilafnya. Khutbah Arafah pun terasa membakar segala dosa yang pernah menjadi pakaian kehidupan yang sulit dihindari. Lewat khutbah itulah, jamaah menelanjangi diri sendiri dan berusaha meluluhlunakkan segala egoisme insani.
Jika haji itu adalah Arafah, haji merupakan lambang kesederhanaan dan kesetaraan. Perkumpulan raksasa itu menjadi simbol kesatuan umat yang dalam kehidupan sehari-hari masih saja sering dipersoalkan. Dalam perkumpulan ini, semuanya menjadi sederhana dan setara. Sebuah perjalanan rohani yang selalu menyisakan pengalaman batin yang sangat mendalam.
Setelah tuntas melewati padang spiritualitas Arafah, jamaah kembali mengalir menuju Mina via Muzdalifah. Di sinilah jamaah melaksanakan jumrah, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat setan yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari.
Mereka bergantian dan saling melindungi untuk mendekati pilar demi pilar: Jumratul Ula, Jumratul Wustha, dan Jumratul Aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu per satu. Inilah gambaran perjalanan yang bagi kebanyakan jamaah mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Ibadah haji, yang dalam bayangan sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian doa-doa, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur layaknya seorang hamba.
Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal, doa menyiratkan transenden yang sulit dipahami oleh kepala telanjang. Ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang untuk memenuhi perintah ajaran, seperti diisyaratkan rukun Islam secara keseluruhan.
Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.
Tapi, dapatkah rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah? Tidak mudah memang. Tentu, fasilitas utamanya adalah sikap yang tulus dalam mengikuti setiap tahapan meski terasa berat. Sesungguhnya, bekal utama ibadah haji adalah takwa (QS al-Baqarah [2]: 197). Dalam bingkai takwa inilah, potret perjalanan rohani itu tampak semakin bercahaya.