Selasa, 19 Juni 2012
Shalatkan Kehidupanmu
Kamis, 14 Juni 2012, 13:36 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Malikul Mahfudh Rustamaji
Banyak di antara kita yang mengaku taat beragama, tetapi masih saja berlaku tidak baik kepada sesama. Di antara kita ada orang-orang yang korupsi, menggelapkan pajak, menzalimi rakyat, tidak menjalankan amanah, dan lainnya. Padahal, mereka juga shalat, puasa, bahkan berhaji. Tetapi, masih saja shalatnya tidak bisa mencegah sifat buruk, keji, dan kemungkaran. (QS al Ankabut [29]:45).
Siapakah yang salah? Tuhan tidak akan pernah salah. Kitalah yang salah. Kita hanya bertakbir, tahmid, membaca fatihah, dan salam dengan lisan saja. Kita hanya mengangkat tangan, rukuk, sujud, dan menoleh kanan kiri hanya saat berada di depan-Nya saja. Kita merasa dilihat dan dekat dengan-Nya hanya saat shalat.
Kita tahu shalat itu dilakukan dengan niat hanya karena Allah, tetapi kita lupa atau melupakan bahwa hidup ini berawal dan bermuara kepada-Nya. Semua akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Kita tahu shalat itu diawali dengan takbir (mengagungkan Allah) dan diakhiri dengan salam ke kiri dan kanan. Tetapi, kita lupa atau melupakan bahwa seharusnya mengawali hari dengan pengakuan bahwa semua ini milik Allah, kita tidak punya hak untuk memakainya secara berlebihan.
Kita tidak punya hak untuk memakai yang bukan hak kita. Kita juga lupa mengakhiri hari ini dengan memberikan kedamaian di sekitar kita. Kita tahu saat shalat kita serasa berada di dekat-Nya. Tetapi, saat di luar shalat kita merasa jauh dari-Nya. Sehingga, kita masih saja menzalimi orang lain, memakai yang bukan hak kita, mengambil yang bukan milik kita, atau dosa lainnya. Padahal, Dia sangat dekat, lebih dekat dari urat leher kita.
Kehidupan ini, dengan berbagai seluk beluknya, berawal dan bermuara kepada Allah. Sebelum berangkat kerja kita shalat Subuh. Sesampainya di tempat kerja, melakukan shalat Dhuha. Saat siang kita shalat Zhuhur, dan sebelum pulang, kita mendirikan shalat Ashar.
Lalu, tiba di rumah melakukan shalat Maghrib dan selanjutnya sebelum menikmati kebersamaan dengan keluarga dan istirahat malam, mendirikan shalat Isya. Di akhir malam pun bangun bermunajat kepada-Nya.
Tetapi, shalat bukan hanya sebatas dimensi ibadah. Shalat merupakan manifestasi dari puncak kehidupan kita. Shalat kita harus teraplikasi dan integral dalam kehidupan kita sehari-hari. Berbahagialah orang-orang yang telah menshalatkan kehidupannya. Mereka khusyuk dalam shalat, tenang, tekun, dan patuh dalam bekerja.
Selalu merasa dekat dan diperhatikan oleh Allah, baik saat shalat maupun saat bekerja. Tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, apalagi yang merugikan atau menzalimi orang lain. Mengeluarkan zakat dan berbagi kepada sesama. Menyayangi keluarga dengan sepenuh hati. Menjaga diri dari maksiat. Tidak melampui batas. Menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya.
Di akhir harinya pun, mereka bersyukur kepada-Nya atas segala karunia-Nya dengan selalu menjaga shalatnya. Merekalah yang mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Inilah yang dimaksud menshalatkan kehidupan kita. (Lihat QS al-Mukminun [23]:1-11).
Mari Beristiqamah
Minggu, 17 Juni 2012, 07:16 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nawawi
Zaman boleh berganti, waktu boleh berlalu. Tetapi, keimanan harus tetap dalam hati hingga tiba waktunya pulang menghadap Ilahi. Tekanan boleh muncul dari kiri kanan, paksaan boleh datang menantang, tapi keimanan harus tetap dikedepankan.
Iman tidak boleh bengkok, rapuh, apalagi lenyap ditelan zaman. Iman harus tetap kuat, kokoh, dan eksis dalam menghadapi ujian, cobaan, tantangan, bahkan ancaman dan serangan. Dalam Islam, iman adalah perkara asasi. Ia lebih penting dari segala urusan penting manusia. Iman menjadi penentu diterima tidaknya segala kebaikan setiap insan. Tanpa iman segala amal baik tidak bernilai di sisi Allah. Dengan iman, sesederhana apa pun, segala amal baik akan mendapat balasan yang lebih baik (QS [16]: 97).
Dengan demikian tidak ada urusan yang paling mendasar, penting, dan utama bagi setiap Muslim selain menjaga kualitas iman dan senantiasa meningkatkannya.
Dari Abu Amr atau Abu Amrah Sufyan bin Abdullah, ia berkata, “Saya berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tolong ajari saya suatu ucapan yang mengandung ajaran Islam dan saya tidak perlu lagi bertanya kepada siapa pun selain Anda’.” Rasulullah menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian bersikap istiqamah.” (HR Muslim).
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi menjabarkan bahwa istiqamah adalah sikap konsisten dalam taat kepada Allah. Allah berfirman, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu .…” (QS [11]: 112).
Hal inilah yang mendorong seorang Umar bin Khathab tetap dalam kesederhanaan sekalipun telah mengemban amanah sebagai seorang khalifah. Begitu pula halnya dengan Ali bin Abi Thalib yang tetap bahagia meskipun bekerja sebagai pengangkut air pada seorang majikan yang beragama Yahudi. Termasuk Sayyidah Fathimah, putri kesayangan Rasulullah SAW. Sebagai putri nabi, Fathimah tetap memilih hidup dengan usaha sendiri. Setiap hari Fathimah bekerja menggiling gandum hingga melepuh telapak tangannya.
Demikian pula halnya dengan Ashabul Kahfi, sekelompok pemuda yang teguh memegang iman dalam situasi zaman yang penuh kejahiliyahan. Dalam situasi seperti itu, pemuda Ashabul Kahfi itu memohon keselamatan dan keteguhan iman (QS [18]: 10, 13, 14).
Semua itu dilakukan bukan karena mereka antidunia, tetapi lebih karena ingin kedekatan hatinya kepada Allah SWT tidak terganggu (istiqamah). Dunia cukuplah bisa menegakkan tulang rusuk guna beribadah kepada-Nya, demikian salah satu pesan nabi.
Harta, tahta, dan wanita kadang membuat manusia tidak istiqamah dalam iman, seperti Qarun dan Tsa’labah. Demi dunia, keduanya rela melepas imannya. Padahal, balasan bagi Muslim yang istiqamah adalah surga.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS [46]: 13, 14).
Memaknai Isra Mi'raj
Sabtu, 16 Juni 2012, 05:58 WIB
.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad Sofwan
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya.
Redaktur: Heri RuslanMemaknai Isra Mi'raj
Sabtu, 16 Juni 2012, 05:58 WIB
.
Memaknai Isra Mi'raj
Masjid Al Aqsha
Berita Terkait
Keutamaan Shalat Tahajud
Shalatkan Kehidupanmu
Imam Malik dan Narkoba
Inilah Tiga Tanda Kematian
Hadiah yang Paling Utama
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mohammad Sofwan
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang sebenarnya.
Redaktur: Heri Ruslan
nilah Persinggahan Rasulullah dalam Isra Mi'raj
Minggu, 17 Juni 2012, 11:10 WIB
.
I
REPUBLIKA.CO.ID, Isra Mi’raj merupakan peristiwa terbesar dalam sejarah manusia ketika seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung. Peristiwa ini hanya dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Mengendarai tunggangan khusus yang disebut buraq, Rasulullah didampingi Malaikat Jibril berangkat dari Makkah menuju Masjidil Aqsha. Seperti termaktub dalam Hadis yang diriwayatkan Imam Nasa’i, dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah SAW sempat singgah di sejumlah tempat. Seperti Madinah, Bukit Thursina, kemudian singgah di Bethlehem, dan selanjutnya menuju Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).
Rasul SAW sempat berjumpa dengan sejumlah nabi di Masjid al- Aqsha. Selanjutnya, Rasul melanjutkan perjalanan menuju Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Bukit Thursina
Hampir semua ahli tafsir sepakat, Bukit Thursina adalah bukit saat Musa menerima wahyu dari Allah. Mereka pun meyakini bahwa Bukit Thursina sebagaimana disebutkan dalam surah at-Tin ayat 1-3 ber ada di wilayah Mesir yang lokasinya berada di Gunung Munajah, di sisi Gunung Musa. Lokasi ini dikaitkan dengan keberadaan Semenanjung Sinai. Pendapat ini didukung oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an. Menurut Quthb, Thursina atau Sinai itu adalah gunung tempat Musa dipanggil berdialog dengan Allah SWT.
Baitul Maqdis
Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha) yang berada di Kota Yerusalem (Al-Quds) memiliki arti sangat penting bagi umat Islam. Selain menjadi tempat singgah Rasullah dalam Isra Mi’raj, Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat shalat umat Islam sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah.
Baitul Maqdis memiliki sejarah panjang. Konon, kompleks peribadatan ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Sulaiman AS. Dalam perkembangannya, Sulaiman meneruskan pembangunannya sekaligusmenambahkan bangunan Kuil Sulaiman. Di kemudian hari, kuil ini dihancurkan oleh bala tentara Babilonia.
Bethlehem
Berada di wilayah Palestina, Bethlehem (Baitullahmi) merupakan kota budaya dan wisata, khususnya wisata rohani. Secara geografis, Bethlehem terletak sekitar 10 km sebelah selatan Yerusalem. Berada pada ketinggian 765 meter dpl, Bethlehem dikelilingi perbukitan yang membentang ke arah Gurun Yudea. Sejarah mencatat, kota ini telah dihuni manusia sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Orang-orang Kanaan adalah kelompok manusia yang diyakini menjadi penduduk pertama Bethlehem.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Wachidah Handasah
Inilah Doa yang tak Didengar
Minggu, 17 Juni 2012, 17:27 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Habib Nabiel al-Musawa
Ada satu doa Nabi Muhammad SAW yang amat indah. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang serta dari doa yang tidak lagi didengar.” ( Jami’us Shaghir, hadis sahih).
Doa ini singkat, padat, tetapi maknanya amatlah mendalam. Hadis ini mengupas tuntas empat pangkal masalah utama manusia. Masalah yang pertama dan utama adalah jika hatinya sudah tidak bisa lagi khusyuk sehingga tak ada lagi rasa takut kepada Allah SWT. Maka itu, amaliah ibadahnya menjadi rutinitas yang menjemukan dan kering tanpa kenikmatan ibadah.
Jika kondisi ini sudah menguasainya, ia akan dikenai penyakit berikutnya, yaitu ilmunya menjadi tidak lagi bermanfaat bagi akhiratnya. Semua cara akan dikerahkan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, yakni dunia semata. Lalu, jika ia sudah dihinggapi penyakit kedua tersebut, jika dibiarkan, ia akan melangkah pada stadium ketiga, yaitu nafsu yang tidak akan bisa kenyang, tak pernah mengenal puas, apa pun akan diterabas demi memuas kan keinginan hawa nafsunya.
Dan, jika ia telah mengalami tingkat ini, ia akan terkena stadium terakhir yang mematikan, yakni doanya tak lagi didengar oleh Allah. Jika ini yang terjadi, mau tinggal di mana lagi kita ini. Bumi mana yang akan kita injak, langit mana tempat kita berteduh, jika doa kita sudah tidak lagi didengar oleh Allah SWT?
Manusia semacam ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT: “Atau, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-menindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS an-Nuur: 40).
Melalui momen peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, saya menasihati diri saya sendiri dan kita sekalian untuk selalu merasa takut kepada Allah SWT dari kemaksiatan. Jika beribadah, lakukanlah dengan khusyuk, teteskan air mata saat menghadap Allah, karena dari-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kita berharap, ilmu yang dimiliki dapat menjadi cahaya yang selalu menuntun kita pada kebenaran, menjauhi kemaksiatan dan kemungkaran, agar doa kita layak di dengar dan dikabulkan Allah SWT. “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakanakan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat-(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nuur:35). Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan
Langganan:
Postingan (Atom)