Jumat, 22 Oktober 2010

Khadijah Tak Berpuasa Ramadan

Oleh Abdul Moqsith Ghazali

Dari kupasan itu kita tahu bahwa sejumlah Sahabat Nabi banyak yang meninggal dunia tanpa menjalankan puasa Ramadan. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad, pun tak pernah menjalankan puasa Ramadan. Bahkan, Khadijah juga tak sempat menjalankan shalat lima waktu, juga zakat, karena semuanya disyariatkan ketika yang bersangkutan sudah meninggal dunia.

Sebagian besar agama mengenal tradisi puasa atau pantang. Ada banyak ragam puasa yang diperkenalkan agama-agama. Dalam al-Qur’an (Mariam [19]: 26) disebut bahwa Bunda Maria (Siti Mariam) bernazar puasa untuk tak bicara dengan manusia manapun. “Inni nadzartu li al-rahman shawma fa lan ukallima al-yawma insiya” (Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini).

Puasa juga bisa dalam bentuk tak melakukan hubungan seksual. Jika umat Islam pantang melakukan kontak seksual pada siang bulan Ramadan, maka para Romo dan Pastur Katolik berpuasa dari hubungan seksual sepanjang hayat atau selama yang bersangkutan masih menjadi pastur. Bentuk-bentuk puasa kian banyak dijumpai jika kita memperhatikan adat dan tradisi. Ada puasa dengan tidak makan dan minum selama tiga hari tiga malam. Sebagian masyarakat juga mengenal tradisi pantang memakan “yang bernyawa”, seperti hewan, ikan, dan lainnya.

Sebagaimana agama lain, Islam pun mensyariatkan puasa. Bentuknya adalah dengan tak makan-minum dan menahan hubungan seksual di siang hari. Dalam periode Mekah, umat Islam menjalankan puasa tiga hari dalam setiap bulan plus puasa Asyura. Dalam Shahih Bukhari (hadits ke-1893) disebutkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam sudah biasa melakukan puasa Asyura. Orang-orang Yahudi saat itu juga berpuasa pada hari Asyura, karena hari itu diyakini sebagai hari diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran dan ancaman bunuh Fir’aun. Begitu Islam datang, Nabi Muhammad memerintahkan umat Islam untuk puasa Asyura. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid I, hlm. 660).

Dengan demikian, ibadah puasa sebetulnya didasarkan pada syari’at sebelum Islam (syar’u man qablana). Al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 183) menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, supaya kalian bertakwa”.

Sejumlah referensi menjelaskan bahwa Islam dalam fase Mekah tak mengenal puasa Ramadan. Puasa baru disyariatkan dalam periode Madinah. Menurut al-Juzairi, puasa Ramadan diundangkan tanggal 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atau 1,5 tahun setelah hijrah (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 416). Menurut Syatha al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (Juz II, hlm. 215), selama 10 tahun tinggal di Madinah, Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadan hanya sembilan kali. Satu tahun pertama di Madinah, puasa Ramadan belum disyariatkan. Pada tahun itu, Nabi Muhammad dan umat Islam masih menjalankan puasa Asyura, melanjutkan kebiasaan puasa Asyura selama 13 tahun di Mekah. Dengan demikian, selama 14 tahun, Islam berjalan tanpa puasa Ramadan.

Dari kupasan itu kita tahu bahwa sejumlah Sahabat Nabi banyak yang meninggal dunia tanpa menjalankan puasa Ramadan. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad, pun tak pernah menjalankan puasa Ramadan. Bahkan, Khadijah juga tak sempat menjalankan shalat lima waktu, juga zakat, karena semuanya disyariatkan ketika yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Namun, kita tak perlu panik dan masygul. Khadijah tetap akan masuk surga walau tanpa shalat, tanpa zakat, dan tanpa puasa Ramadan. Tuhan Khadijah (tentu Tuhan kita semua) adalah Tuhan inklusif yang akan memasukkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh seperti Khadijah ke dalam surga. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Senin, 18 Oktober 2010

Hamba yang Taat Beribadah

Dunia Diperintahkan Melayani Hamba yang Taat Beribadah
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA--Setiap kejadian di atas muka bumi selalu diputuskan dengan rahmat-Nya, serta kudrat dan iradat-Nya. Seluruh ciptaan tak ada yang luput dari pengawasan-Nya, termasuk aktivitas manusia. Allah jua yang telah menuliskannya dalam lauh mahfuzh-Nya (QS Al-Hadid [57]: 22).

Meski semua telah tertulis di zaman azali, manusia tetap diperintahkan untuk berikhtiar menjemput kebaikan. Tak ada satu kebaikan pun yang diraih dengan berpangku tangan. Semua itu meniscayakan adanya sebuah gerak, usaha, dan akselarasi.

Diam hanya akan membuat seseorang berkubang dalam penderitaan dan kegagalan. Jika kita adalah seorang pedagang atau pebisnis, mutlak untuk melakukan sesuatu. Sebaik-baik ikhtiar manusia adalah merujuk pada syariat-Nya, sebagai Zat yang mengatur kehidupan. Ikhtiar berikut boleh disebut sebagai kunci pelaris bagi usaha perniagaan kita.

Pertama, bertobat dan beristighfar. "Dan, hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan, Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik." (QS Hud [11]: 3). Baca juga ayat ke-15 dan QS Nuh ayat 10-12.

Seseorang yang telah bertobat dan terus-menerus beristighfar berada dalam pengampunan Zat yang Maha Menggerakkan. Dan, itu artinya, doa dan harapannya bisa segera dikabulkan.

Kedua, sungguh-sungguh bertakwa. "Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan, Dia memberinya rezeki dari arah yang tak terduga." (QS At-Thalaq [65]: 2-3). Di saat-saat sulit, gagal, pailit, dan sepi pembeli, haqul yaqin akan ada saja jalan kemudahan jika selalu bertakwa kepada-Nya. Dengan bertakwa, pintu kemudahan akan terbuka. Ia adalah bekal terbaik dalam menjalani hidup (QS Al-Baqarah [2]: 197), serta pengait untuk memintal setiap urusan.

Ketiga, tawakal. "Barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan cukupkan (keperluannya)." (QS At-Thalaq [65]: 3). Setelah berusaha dengan kerja keras dan ikhtiar, serahkan sepenuhnya kepada Allah. Seseorang tetap harus melibatkan dan memasrahkan usahanya itu kepada Zat yang Maha Menentukan.

Keempat, silaturahim dan sedekah. "Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Dan, apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya. Dialah Pemberi rezeki yang terbaik." (QS Saba [34]: 39).

Menjalin tali silaturahim lebih dari sekedar saling mengunjungi. Ia sangat efektif untuk menjaring relasi dan perkongsian yang positif. Apalagi, jika saling memberi kail sedekah, bisa dipastikan semakin terbukalah pintu-pintu kemudahan.

Kelima, beribadah sepenuh hati hanya mencari rida Allah SWT. Di antaranya adalah mengerjakan yang wajib dan menghidupkan yang sunah. "Barang siapa yang beribadah kepada-Ku dengan sepenuh hati, aku perintahkan dunia untuk melayaninya." (Hadis Qudsi). Walahu a'lam.

Minggu, 17 Oktober 2010

Dakwahtainment

Abdi Kurnia Djohan
Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar

Kata dakwah di Indonesia dipahami sebatas aktivitas menyampaikan ceramah agama. Demikian pula dengan istilah dai, yang selalu diartikan dengan sebutan penceramah. Istilah-istilah lain dalam agama yang di Indonesia maknanya menjadi sempit adalah ulama dan ustaz. Di dalam kamus al-Wasith, kata dakwah dimaknakan sebagai mengajak kepada sesuatu dengan argumentasi yang kuat. Terminologi dakwah di dalam Alquran dijumpai sebanyak 10 kali dalam bentuk isim (kata benda), 10 kali dalam bentuk amr (kata kerja perintah), dan 49 kali dalam bentuk mudhari' (kata kerja present). Dari ke-69 kali penyebutan itu, dua penyebutan mengarah pada makna seruan atau ajakan agar orang melakukan kebaikan, yaitu di dalam surah Ali Imran ayat 104 dan surah Al-Nahl ayat 125.

Namun, makna dakwah di dalam Alquran tidak hanya dibatasi pada pengertian menyeru atau mengajak. Bunyi teks surah Ali Imran ayat 104 secara jelas menyebutkan definisi kerja dakwah, sebagaimana dapat dipahami berikut; "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." Dari uraian itu, dapat dipahami bahwa dakwah memainkan fungsi kontrol terhadap perilaku umat atau manusia secara keseluruhan.

Luasnya jangkauan kerja dakwah, bukan berarti bahwa kerja tidak membutuhkan ilmu. Kerja dakwah membutuhkan ilmu agar seorang dai dapat dengan sukses menjalankan tugasnya, yaitu sampainya pesan-pesan dakwah kepada objek dakwah (mad'u). Alquran menjelaskan prinsip-prinsip penting dalam dakwah yang seyogianya diperhatikan seorang dai, yaitu bersikap lemah lembut (QS 3: 159), mengedepankan hikmah dan nasihat yang baik (QS 16: 125), memelihara kehormatan diri (iffah) (QS 2: 273), menyampaikan pesan dengan kasih sayang (QS 90: 17), mengutamakan sikap sabar dengan keteguhan berpegang kepada kebenaran (QS 103: 3), dan bersikap konsisten dengan tidak memedulikan celaan orang lain (QS 5: 54). Pemahaman seorang dai terhadap prinsip-prinsip di atas bersifat urgen karena perilaku seorang dai menggambarkan karakter nilai yang akan disampaikannya. Luas jangkauan kerja, pentingnya penguasaan ilmu dakwah, dan kemampuan penguasaan dai terhadap ilmu akan menempatkan dakwah dalam posisinya sebagai katalisator kehidupan manusia.

Dakwahtainment
Dalam kurun waktu 1970-an sampai dengan 1990-an, fungsi dakwah di Indonesia dijalankan sebagaimana makna dakwah yang dimaksudkan oleh Alquran. Tumbuh suburnya halaqah-halaqah dakwah di kampus-kampus umum semakin menegaskan pengertian dakwah yang luas jangkauannya. Tayangan-tayangan dakwah di televisi, terutama di era 'Mimbar Agama Islam' TVRI pada 1980-an, menampilkan sosok-sosok dai yang memahami konsepsi dakwah yang sesungguhnya.

Meskipun fungsi dakwah dijalankan di tengah tekanan penguasa yang represif ketika itu, pesan-pesan dakwah yang disampaikan para dai dapat ditangkap dengan baik oleh masyarakat. Geliat kerinduan akan kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh nilai-nilai agama bertumbuhan di mana-mana. Para dai bermunculan mengampanyekan cita kehidupan yang Islami.

Fenomena itu ditambah dengan keunikan latar belakang pendidikan para dai yang tidak berlatar belakang pendidikan pesantren atau perguruan tinggi Islam, tapi justru berlatar belakang pendidikan umum. Dakwah di tengah pusaran politik yang represif, dalam kenyataannya, mampu memunculkan koreksi terhadap kekuasaan dan kemudian menawarkan solusi atas persoalan bangsa yang karut-marut ketika itu.

Memasuki tahun 2000-an, dunia dakwah mengalami masa stagnasi. Krisis ekonomi yang demikian hebat menghantam sendi-sendi kehidupan bangsa dan umat pada gilirannya mendorong munculnya sikap pragmatisme masyarakat di dalam menyikapi persoalan hidup. Dakwah kehilangan semangat seiring dengan semakin menguatnya sikap pragmatis umat. Di tengah kekosongan ruhani bangsa akibat krisis, semestinya dakwah hadir memainkan fungsi tilawah (informatif) dan tazkiyah (penyucian diri).

Ketidakhadiran dakwah di tengah situasi itu disebabkan oleh terkurasnya energi sebagian besar aktivis dakwah pada upaya perbaikan sistem politik. Kehadiran dakwah yang berorientasi pada pengelolaan hati (qalbun salim) memang sempat menghibur kegersangan hati umat yang ditinggal oleh ruh dakwah yang penuh semangat dan heroik.

Namun, dislokasi model dakwah yang heart-oriented ini telah menggiring opini publik ke arah pembentukan idola yang silau dengan selebritas. Masyarakat tidak lagi melihat ke arah mana sesungguhnya dakwah hendak dibawa. Masyarakat lebih tertarik kepada figur sang dai yang dipandangnya mampu memberikan solusi semua masalah kehidupan.

Di titik ini, dakwah kemudian diasosiasikan dengan hiburan (entertainment). Bahkan, di dalam sebuah wawancara pagi di sebuah stasiun televisi tahun 2006, seorang penceramah dengan bangga menyebut bahwa esensi dakwah itu sendiri adalah hiburan atau dakwahtainment.

Sejak saat itu, para penceramah atau dai berlomba-lomba meningkatkan kapasitas seninya agar dapat mempertahankan eksistensinya. Malah di dalam sebuah diskusi di antara para kiai, muncul informasi yang menyebutkan adanya monopoli hak siar dakwah oleh agensi penceramah tertentu agar dapat terus tayang di hadapan publik.

Di dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Jalaludin Rahmat pernah mengemukakan bahwa di Indonesia dakwah tidak lagi membutuhkan kapasitas intelektual karena yang diinginkan oleh publik Islam dari dakwah adalah kapasitas seni artisifial dari sang pendai itu sendiri. Secara santai, Kang Jalal menegaskan bahwa para penceramah tidak perlu memahami ilmu-ilmu agama, tapi mereka perlu mempelajari teknik bernyanyi dan berakting yang baik agar kelak diminati oleh publik.

Karena itu, bobot muatan dakwah di Indonesia mungkin dapat disejajarkan dengan komedi slapstick yang berakibat hilangnya maruah dakwah sebagaimana diamanatkan Alquran. Keadaan yang berbeda dapat dibandingkan dengan di Malaysia, Singapura, Brunei, atau negara-negara Muslim lainnya. Demikian pula dapat dibandingkan dengan penyampaian dakwah di kalangan Katolik atau Protestan di dalam tayangan televisi.

Dakwah disampaikan dengan penyajian yang santai, tetapi serius penekanannya karena persoalan yang dikupas di dalam dakwah adalah persoalan serius. Dakwah ditempatkan sebagai sebuah usaha untuk membangun karakter umat dan juga karakter bangsa.

Tadabur Bencana


Oleh Hilman Hakiem Hafidhuddin

Berbagai musibah dan bencana kembali menimpa saudara-saudara kita di sejumlah daerah. Salah satunya bencana banjir bandang yang melanda Kota Wasior, Papua Barat. Sekitar 147 orang meninggal dunia, 103 orang masih hilang, dan ribuan orang mengalami luka-luka akibat bencana itu. Ditambah lagi kerugian material yang cukup besar. Bencana ini telah menambah panjang daftar musibah yang telah menimpa bangsa kita.

Tidak ada suatu bencana dan kejadian apa pun di dunia ini, kecuali memang atas kehendak dan izin Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hadid [57]: 22-23. "Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."

Setidaknya, ada dua pesan penting dari ayat tersebut yang harus terus-menerus kita tadabburi (direnungkan). Pertama, menambah serta memperkuat keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya Zat yang mengendalikan dan mengurus alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya. Sebagai contoh, kita diperintahkan untuk berikhtiar atau berusaha dengan semaksimal mungkin (misalnya dalam membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur dalam konteks membangun bangsa), tetapi hasil akhirnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Ketundukan hati dan pikiran terhadap segala aturan-Nya merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak boleh sombong dan arogan menolak aturan dan ketentuan-Nya, termasuk tidak boleh mengeksploitasi alam ciptaan-Nya tanpa kendali hanya untuk memuaskan keserakahan hawa nafsu serta memperkaya diri dan kelompok. Kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Ruum [30]: 41.

Kedua, memperkuat kembali semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial di antara sesama komponen bangsa. Musibah sejatinya sering serta dapat merekatkan dan mendekatkan hati di antara sesama umat manusia. Rasa empati dan simpati serta keinginan untuk membantu sesama biasanya terbangun dengan baik. Penderitaan dan musibah mereka adalah musibah kita semua.

Karena itu, marilah berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar semua musibah yang telah menimpa ini membuat kita menjadi bangsa yang kuat imannya dan baik pertahanan dirinya, sekaligus memperkuat solidaritas dan kesetiakawanan sosial antarsesama anak bangsa. Wallahu A'lam.

Haji dan Ukhuwah

Oleh Prof Dr Achmad Satori Ismail


Sudah merupakan ketentuan Ilahi, semua ibadah dalam Islam menyimpan berbagai hikmah nan mulia. Hikmah itu ada yang bersifat lahir, bisa diketahui setiap Mukmin, dan ada pula yang tersembunyi, hanya diketahui oleh orang-orang alim yang rasikh (mendalam ilmunya).

Haji termasuk ibadah yang hikmahnya bi sa dilihat secara kasat mata, seperti pengorbanan dengan harta dan jiwa, kepedulian pada sesama, dan lain sebagainya. Selain itu, haji pun memiliki banyak hikmah yang sulit kita indra, kecuali oleh para khawwas (ulama istimewa).

Haji mabrur atau diterima oleh Allah SWT adalah haji yang dilaksanakan secara sempurna dengan memenuhi semua syarat, wajib, dan rukunnya. Tidak ada rafats (bersebadan, omong kotor atau jorok), fusuq (kedurhakaan atau pelanggaran terhadap ajaran agama Allah), dan tidak ada jidal (bantah-bantahan) selama ibadah tersebut. (Al-Baqarah [2]: 197).

“Barang siapa yang melakukan ibadah haji karena Allah kemudian tidak berkata kotor dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan fasik atau durhaka, ia akan pulang tanpa dosa sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya. ( Muttafaq alaih).

Ibadah haji bila ditunaikan dengan syarat, rukun, wajib dan sunahnya secara baik akan menghasilkan Muslim bertakwa yang mencerminkan keindahan dalam semua sepak terjangnya.

Sasaran utama haji adalah membersihkan diri dari syirik dan pera ngai tercela, menghiasi diri de ngan akhlak terpuji, serta membekalinya dengan takwa.

Hikmah lainnya adalah mempererat persaudaraan, baik dari aspek sosial, politik, eko nomi, dan agama. Islam adalah agama ukhu wah dan kesatuan: akidah, perasaan, dan pendapat. (QS Al-Anbiyaf [21]: 92)

Semua manasik yang disyariatkan dalam haji merealisasi ukhuwah Islamiyah. Se tiap jamaah yang berihram berpakaian sama, tidak ada perbedaan.

Ibadah haji memberikan peringatan abadi kepada setiap Muslim bahwa mereka adalah umat yang satu, dengan kiblat, kitab, dan manasik yang satu. Mereka be rtemu di Masyfaril Haram terus ke Arafah dan berkumpul di padang Arafah untuk bertaaruf, menebar kasih sayang, untuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah.

Meski ibadah haji bisa diselesaikan dalam tiga hari, Allah memberikan waktu cukup panjang, yaitu Syawal , Dzulqadah, dan Dzulhijjah. Supaya umat Islam menyaksikan berbagai hikmah dalam ibadah haji.

(-)

Menjadi Manusia yang Pandai Bersyukur


Menjadi Manusia yang Pandai Bersyukur
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,Ketika kita menggemakan takbir-terutama saat berhari raya-tersirat pemahaman bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Mahabesar, sementara kita yang diciptakannya adalah kecil. Kita hina dan tak punya daya dan kekuatan untuk berkiprah, kecuali karena kemurahan dan kebesaran Allah. Karena itu, ketika kita telah merampungkan sebuah perjuangan (baca; Ramadhan), maka perbanyaklah takbir.

"Dan hendaklah bertakbir atas anugerah yang telah Allah berikan. Semoga kalian menjadi hamba-Nya yang bersyukur." (QS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan perintah puasa (QS [2]: 183).

Ramadhan mencetak kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa, akan senantiasa mengingat kebesaran Allah, termasuk semua nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Di lidah ia mengucapkan kalimat takbir, dalam amal perbuatan ia menerjemahkannya dengan rasa syukur. Karena itu, menjadi pribadi yang bertakwa belum cukup bila tidak dibarengi dengan pribadi yang bersyukur. Kenapa? Karena maqam syukur lebih tinggi dari maqam takwa. Sebab, syukur menjadi maqam-nya para nabi dan rasul. Karenanya, Allah menegaskan, hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersukur (QS Saba [34]: 13).

Syukur merupakan satu stasiun hati yang akan menarik seseorang pada zona damai, tenteram, dan bahagia. Ia juga akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus mendapatkan insentif pahala dan kenikmatan yang terus bertambah dari Allah SWT (QS Ibrahim [14:] 7).

Rasul SAW adalah manusia yang pandai bersyukur. Suatu ketika, beliau pernah ditanya Bilal, "Apakah yang menyebabkan baginda menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?" Beliau menjawab, "Tidakkah engkau suka aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?"

Dzunnun al-Mishri memberi tiga gambaran tentang manifestasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, kepada yang lebih tinggi urutan dan kedudukannya, maka ia senantiasa menaatinya (bit-tha'ah). "Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara kalian …" (QS an-Nisa [4]: 59).

Kedua, kepada yang setara, kita mengejawantahnya dengan bil-hadiyyah. Saling tukar pemberian. Kita harus sering-sering memberi hadiah kepada istri atau suami, saudara, teman seperjuangan, sejawat dan relasi. Dengan cara itu, maka akan ada saling cinta dan kasih.

Ketiga, kepada yang lebih bawah dan rendah dari kita, rasa syukur dimanifestasikan dengan bil-ihsan. Selalu memberi dan berbuat yang terbaik. Kepada anak, adik-adik, anak didik, para pegawai, buruh, pembantu di rumah dan semua yang stratanya di bawah kita, haruslah kita beri sesuatu yang lebih baik. Jalinlah komunikasi dan berinteraksilah dengan baik, dan kalau hendak men-tasharuf-kan rezeki, berikan dengan sesuatu yang baik (QS as-Syu'ara [26]: 215 dan al-Baqarah [2]:195). Wallahu a'lam.

Rahmatan Lil 'Alamin

Rahmatan Lil 'Alamin
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?'' Para sahabat pun menjawab, "Ya, Rasulullah, orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak lagi mempunyai uang dan harta.''

"Bukan itu," jawab Rasulullah. "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka suka mencuri, menjelek-jelekkan orang lain, suka memakan harta orang lain (korupsi), menumpahkan darah, dan memukul orang lain tanpa hak.''

Dengan demikian, kata Rasulullah, pahala shalat, puasa, dan zakat orang itu dialihkan oleh Allah SWT kepada si anu, si anu, dan si anu, yaitu orang yang dicaci, dicuri hartanya, dan dibunuh. "Akan tetapi, pahala kebaikan orang yang pailit itu habis sebelum tertebus semua kejahatannya, sampai-sampai ganjaran kejahatan orang lain dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'' (HR Muslim, tercantum dalam Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah 'Allam al-Ghuyub fi 'ilm at-Tashawwuf).

Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat Indonesia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa kekerasan (terorisme), konflik horizontal, tawuran antarkelompok masyarakat, pencurian, korupsi, dan pembunuhan yang melanggar hukum. Semua kejadian itu tentunya mengarah pada terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.

Sebagai agama rahmat bagi semesta alam, Islam tak membenarkan dan melarang semua tindakan tersebut. "Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil 'alamin.'' (Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam). (QS Al-Anbiya [21]: 107).

Quraish Shihab mengemukakan bahwa redaksi ayat tersebut mencakup empat hal pokok. Pertama, rasul utusan Allah itu adalah Nabi Muhammad. Kedua, yang mengutusnya adalah Allah SWT. Ketiga, rasul itu diutus kepada mereka (al-'alamin). Keempat, risalah yang disampaikan mengisyaratkan sifat-sifat kedamaian dan kasih sayang yang mencakup semua waktu dan tempat.

Ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin itu mengandung makna bahwa kehadirannya memberikan rahmat kepada seluruh alam, termasuk di dalamnya lingkungan hidup, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh umat manusia tanpa membedakan agama, golongan, etnis, dan peradaban. Rasulullah SAW bersabda, "Khair an-naas 'anfa'uhum li an-naas.'' (Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainnya).

Oleh karena itu, sebagai umat Islam, tentu kita tidak menginginkan seluruh amal ibadah yang dikerjakan selama menjadi bangkrut (tak bersisa) karena perbuatan menjelek-jelekkan orang lain, mencuri, membunuh, korupsi, berzina, dan lainnya. Kita diajarkan untuk menyayangi dan mengasihi sesama, apa pun latar belakangnya. Wallahu A'lam

Menjauhi Kekufuran Sosial

Rabu, 13 Oktober 2010, 09:26 WIB
Smaller Reset Larger
Menjauhi Kekufuran Sosial
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,"Kefakiran dapat berpotensi pada kekufuran." Demikian di antara pesan moral yang sering kita dengar atau bahkan kita ucapkan. Meskipun diyakini para ahli hadis bahwa kalimat itu tidak termasuk qaul Nabi SAW, ia memiliki substansi pesan yang baik, paling tidak untuk direnungkan.

Kekufuran kini telah mengambil tempat yang semakin membahayakan. Ia merupakan satu dari sekian banyak penyakit sosial yang sering mengganggu kehidupan, merusak kebersamaan, dan bahkan tidak jarang muncul dalam wujud tindak kekerasan. Kekerasan pun pecah di banyak tempat. Secara sosial ataupun material, kekerasan kini telah melewati batas toleransi. Padahal, jika ditelusuri, sumber penyebabnya sangat sederhana.

Potret kesederhanaan yang menjadi sumber kekerasan itu dapat kita lihat dalam sejumlah tragedi sosial, seperti tawuran antarwarga, bentrok antarpemuda, atau saling lempar antarmahasiswa, yang kesemuanya hanya berakar pada persoalan yang tidak seberapa. Tragedi berdarah itu lalu pecah hanya karena masing-masing pihak tidak sanggup menahan diri.

Kekerasan yang akhir-akhir ini banyak terjadi di negeri yang mayoritas Muslim ini, seperti diyakini banyak pakar, salah satunya merupakan akibat langsung dari semakin lebarnya jarak sosial antara yang punya dan yang tak punya. Ketidakadilan ekonomi merupakan sumber semakin rentannya ketahanan psikis yang dalam perspektif pesan di atas dapat berpotensi merebaknya kekufuran.

Karena itu, dalam logika Alquran, kekerasan bisa saja terjadi sebagai bentuk peringatan keras Allah atas ketidakadilan ekonomi yang hingga saat ini belum sanggup menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Masih tingginya angka pengangguran menjadi sumber ketidaksanggupan manusia menerima kenyataan. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini pula yang pada gilirannya telah menggeser ketulusan untuk bersedia menerima perbedaan.

Padahal, seperti diisyaratkan Nabi SAW, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan dalam hal apa pun. Perbedaan pendapat dapat memperkaya wawasan. Sementara itu, perbedaan pendapatan pun dapat menjadi lahan beramal dalam berbagi rasa dengan sesama. Tapi, mengapa kenyataan mengungkap pemandangan sebaliknya. Perbedaan kini justru banyak menuai laknat. Mungkin, kenyataan inilah yang digambarkan Allah dalam Alquran surah Ibrahim (14) ayat 7, "Jika kalian bersyukur, akan Aku tambah nikmat-Ku kepadamu; tapi sebaliknya, jika kalian mengingkari atas nikmat-nikmat yang telah Aku berikan, azab-Ku sangat pedih."

Pernyataan Alquran yang sarat muatan pesan persuasi ini seolah tengah menampar bangsa kita yang akhir-akhir ini sering menuai derita. Pesannya tegas bahwa manusia wajib bersyukur, yang salah satu ekspresinya adalah sikap tulus menerima kenyataan sambil tetap berikhtiar memperbaiki kehidupan.

Jadi, untuk menghindari semakin suburnya kekerasan di negeri ini, perlu diperkuat agenda meringankan beban kekufuran sosial melalui usaha mewujudkan pesan Alquran. "Memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 4).

Merenungi Bencana yang Datang

Merenungi Bencana yang Datang
Bencana alam di Wasior

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berbagai musibah dan bencana kembali menimpa saudara-saudara kita di sejumlah daerah. Salah satunya bencana banjir bandang yang melanda Kota Wasior, Papua Barat. Sekitar 147 orang meninggal dunia, 103 orang masih hilang, dan ribuan orang mengalami luka-luka akibat bencana itu.

Ditambah lagi kerugian material yang cukup besar. Bencana ini telah menambah panjang daftar musibah yang telah menimpa bangsa kita. Tidak ada suatu bencana dan kejadian apa pun di dunia ini, kecuali memang atas kehendak dan izin Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Hadid [57]: 22-23.

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."

Setidaknya, ada dua pesan penting dari ayat tersebut yang harus terus-menerus kita tadabburi (direnungkan). Pertama, menambah serta memperkuat keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT. Dialah satu-satunya Zat yang mengendalikan dan mengurus alam semesta ini, termasuk manusia di dalamnya. Sebagai contoh, kita diperintahkan untuk berikhtiar atau berusaha dengan semaksimal mungkin (misalnya dalam membangun sarana dan prasarana serta infrastruktur dalam konteks membangun bangsa), tetapi hasil akhirnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Ketundukan hati dan pikiran terhadap segala aturan-Nya merupakan sebuah keniscayaan. Kita tidak boleh sombong dan arogan menolak aturan dan ketentuan-Nya, termasuk tidak boleh mengeksploitasi alam ciptaan-Nya tanpa kendali hanya untuk memuaskan keserakahan hawa nafsu serta memperkaya diri dan kelompok. Kerusakan alam semesta ini sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana firman-Nya dalam QS Ar-Ruum [30]: 41.

Kedua, memperkuat kembali semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial di antara sesama komponen bangsa. Musibah sejatinya sering serta dapat merekatkan dan mendekatkan hati di antara sesama umat manusia. Rasa empati dan simpati serta keinginan untuk membantu sesama biasanya terbangun dengan baik. Penderitaan dan musibah mereka adalah musibah kita semua.

Karena itu, marilah berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar semua musibah yang telah menimpa ini membuat kita menjadi bangsa yang kuat imannya dan baik pertahanan dirinya, sekaligus memperkuat solidaritas dan kesetiakawanan sosial antarsesama anak bangsa. Wallahu A'lam.

Selasa, 05 Oktober 2010

Memberikan yang Terbaik

Memberikan yang Terbaik
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,--Dalam Alquran, Allah menegaskan bahwa baru dinamakan berbuat kebajikan bila mereka dengan rela memberikan nafkah yang paling dicintainya kepada orang yang membutuhkan.

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS Ali Imran [3]: 92).

Pada zaman dulu, di Yatsrib (Madinah, sekarang), kaum Anshar telah lama menanti kedatangan kaum Muhajirin, saudara seiman mereka yang berasal dari Makkah. Ketika Muhajirin benar-benar tiba, kaum Anshar sangat senang. Mereka pun menjamu saudara seiman ini dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang Anshar berkata kepada seorang Muhajirin. "Ini adalah kekayaanku; ambillah separuh. Dan ini adalah dua istriku; lihatlah mana yang lebih menyenangkanmu dan katakan kepadaku, maka aku akan menceraikannya dan ia akan menjadi istrimu setelah ia menyelesaikan idahnya."

Orang Muhajirin ini membalas kebaikan Anshar ini suatu jawaban yang lebih baik. Ia berkata: "Semoga Allah memberi rahmat atas kekayaan dan istrimu kepadamu. Aku tidak memerlukan mereka. Tolong, tunjukkan kepadaku di mana pasar yang aku dapat bekerja."

Dalam riwayat lain, seorang Anshar memberikan ucapan selamat datang kepada orang Muhajirin dan menganggapnya sebagai tamu. Ia pun berusaha menjamu tamunya ini dengan baik. Sayangnya, ia tidak memiliki makanan yang cukup. Namun, sebagai rasa sayangnya, ia memerintahkan istrinya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada tamunya.

"Bawa anak-anak ke tempat tidur dan matikan lampu lalu sediakan apa yang engkau punya untuk tamu kita. Kita akan duduk dengannya di meja dan membuatnya berpikir bahwa kita makan meskipun kita tidak makan."

Maka, mereka duduk bersama sambil melayani tamunya. Si tamu ini pun makan dengan lahapnya, sementara tuan rumah terpaksa menahan lapar sepanjang malam. Pada pagi berikutnya, seorang Anshar pergi kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata kepada beliau atas apa yang terjadi. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Allah meridai atas apa yang engkau lakukan untuk tamumu malam ini." (Muttafaqun alaih).

Orang-orang Muhajirin sangat bergembira atas sambutan yang baik dari kaum Anshar. Mereka berkata kepada Nabi Muhammad SAW. "Ya, Rasulullah, kami tidak pernah melihat sesuatu pun seperti orang-orang ini. Jika memiliki sedikit (harta), mereka tetap memberikan bantuan. Dan jika kaya, mereka sangat murah hati. Mereka membantu dan membagi harta mereka dengan kami sehingga kami khawatir bahwa mereka akan menerima semua pahala." Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak, selama engkau menghormati (menyanjung) mereka dan berdoa kepada Allah untuk mereka." (HR Bukhari, Ahmad, Abud Dawud, Tirmidzi, dan Nasai).

Alangkah indah dan mulianya akhlak orang-orang Anshar. Mereka merelakan harta yang dimiliki untuk saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mereka rela kelaparan demi menghormati saudaranya yang kekurangan. Semoga kita bisa mengambil teladan dari akhlak mulia sahabat Anshar ini. Wallahu A'lam.

Muslim Wajib Mendamaikan Perseteruan


Muslim Wajib Mendamaikan Perseteruan

REPUBLIKA.CO.ID,Belakangan ini, berbagai konflik sosial kembali marak terjadi. Konflik yang berujung pada jatuhnya korban jiwa ini jelas sangat merugikan kita semua, baik sebagai umat maupun bangsa. Karena itu, pertikaian dan perseteruan semacam ini harus segera dicegah dan diatasi.

Dalam Islam, usaha mendamaikan pihak-pihak yang berseteru merupakan ajaran dasar yang bersifat sosial. Upaya damai itu dalam Alquran dikaitkan dengan iman dan takwa sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. "Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu. Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (QS Al-Anfal [8]: 1).

Upaya damai itu, dalam ayat di atas, dinamakan dengan ishlah, yang secara bahasa bermakna memperbaiki sesuatu (ja`l-u al-syay'i shalahan). Menurut Zamachsyari, ishlah itu merupakan kelanjutan logis dari iman, dan menjadi kewajiban manusia. Jadi, tidak ada iman dalam arti yang sebenarnya manakala kita tidak memiliki kepedulian untuk membangun kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat.

Rasul SAW menerangkan, usaha mendamaikan kelompok masyarakat yang bertikai itu merupakan kebaikan yang derajatnya lebih tinggi daripada puasa, shalat, dan sedekah. Sebaliknya, rusaknya keharmonisan dan komunikasi antarkelompok masyarakat tersebut dipandang sebagai al-haliqah, yaitu sesuatu yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan. (HR Abu Daud dan Ahmad dari Abu Darda).

Untuk itu, dalam jangka panjang, upaya damai ini sedikitnya memerlukan tiga langkah. Pertama, membangun dan menciptakan keadilan di tengah masyarakat, yakni keadilan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sosial budaya.

Kedua, adanya kepastian dan penegakan hukum. Semua pihak yang berseteru harus digiring untuk mematuhi dan mengikuti hukum sebagai ketetapan dari Allah. Hukumnya sendiri, baik material maupun formal, haruslah adil. Begitu juga dengan aparat dan petugas penegak hukum. Mereka harus bertindak adil, tidak memihak, dan tanpa pandang bulu, sesuai prinsip equal before the law.

Ketiga, partisipasi dan dukungan dari semua pihak untuk membangun kehidupan yang damai dan sejahtera. Lihat QS Al-Hujurat [49]: 10). Wallahu alam.

Al Quran On Line