Selasa, 21 September 2010

Memperbaiki Diri Setelah Idul Fitri

Yuyu Yuhannah

Hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kebesaran umat Islam telah pergi meninggalkan kita semua. Setelah sebulan lamanya umat Islam ditempa dan diuji tingkat keimanan dan ketakwaan yang dibalas Allah SWT oleh pahala yang berlipat-lipat dan pengampunan dosa, kini bulan sejuta hikmah dan anugerah itu pun telah berlalu.

Pertanyaannya, masihkah tingkat keimanan kita pada bulan-bulan berikutnya selevel dengan saat beribadah puasa pada bulan Ramadhan? Dalam tinjauan terminologi, kata "idul fitri" mengandung dua makna. Pertama, kembali kepada keadaan umat Islam dihalalkan makan dan minum pada siang hari. Kedua, kembali kepada fitrah manusia yang suci setelah sebulan lamanya diuji iman dan takwanya. Ila al-fitroti min al-a'idin wa anil hawa wa as-syayatin min al-fi'zin. Artinya, kita kembali kepada fitrah (suci) dan kita telah menang dari hawa nafsu dan setan.

Hari Raya Idul Fitri mencerminkan tiga sikap yang mesti dimiliki setiap Muslim. Pertama, mempertahankan nilai-nilai kesucian yang diraih umat Islam pada hari fitri. Berlalunya momentum puasa hendaknya tidak dijadikan sebagai kembalinya manusia ke kebiasaan dan perilaku yang jauh dari perintah Allah atau malah dekat dengan segala larangan-Nya.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 102, "Wahai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan Muslim."

Kedua, berharap bahwa Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa umat Islam yang telah lalu dan meminta selalu dibimbing agar dijauhkan dari perbuatan dosa pada kemudian hari. Allah akan mengampuni segala dosa kaum Muslim yang pada bulan Ramadhan melaksanakan ibadah puasa dan derivasinya secara bersungguh-sungguh.

Ketiga, hendaknya melakukan evaluasi dan kontemplasi diri bahwa ibadah puasa kita sudah sesuai dengan apa yang diharapkan Allah SWT. Jangan sampai kita seperti yang disabdakan Nabi SAW, "Banyak sekali orang yang berpuasa, yang puasanya sekadar menahan lapar dan dahaga."

Dengan berakhirnya Ramadhan, bukan berarti kita mengendorkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah. Sebaliknya, "sekolah" Ramadhan yang telah berlalu sepatutnya dijadikan sebagai wahana pembelajaran untuk semakin meningkatkan kadar ibadah kita.

Mari, kita sama-sama meraih kemenangan Ramadhan pada Idul Fitri 1431 H. Isi lembaran baru dalam keseharian kita dengan identitas baru sebagai orang yang bertakwa.

Kita bisa memulainya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal. Seperti diriwayatkan Abu Aiyub al-Anshari, Nabi Saw bersabda, barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diiringi dengan enam hari bulan Syawal, seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa. Kita tentunya tak bisa menahan Ramadhan selalu bersama kita, tapi semangat Ramadhan sudah semestinya terus kita pelihara.

Senin, 20 September 2010

Ibnu Al-Haitsam, Ilmuwan Tulen Pertama

berita
Al-Hassan Ibnu Al-Haitsam (fotografiegeschiedenis.nl)


ISAAC Newton diyakini banyak orang sebagai fisikawan terhebat sepanjang masa. Setidaknya, dilihat sebagai Bapak Fisika Cahaya Modern, atau itulah yang dikatakan buku-buku pelajaran di sekolah.

Buku tersebut membahas berbagai percobaan Isaac dengan lensa dan prisma yang terkenal, studi tentang cahaya alami dan refleksi, serta refraksi cahaya dan pemisahan cahaya dalam pelangi. Namun, menurut Profesor Jim Al-Khalili dari Universitas Surrey, kenyataannya itu adalah hal yang abu-abu.

"Saya merasa perlu menegaskan, khususnya dalam fisika optik bahwa Newton sendiri mengikuti jejak ilmuwan hebat lain yang hidup 700 tahun sebelumnya," ucapnya.

Jelas, dia menyebutkan, fisikawan akbar lain yang patut disetarakan dengan Newton adalah ilmuwan yang lahir pada 965 Masehi di daerah yang sekarang dikenal sebagai negara Irak.

"Dia dikenal dengan nama al-Hassan Ibnu al-Haitsam," sebutnya seraya menambahkan, kebanyakan orang di Barat mungkin belum pernah mendengar namanya.

Sebagai seorang fisikawan, Jim menyadari betul betapa besar kontribusi pria ini dalam bidang yang digelutinya.

Dalam buku-buku populer tentang sejarah ilmu alam, biasanya disebut bahwa tidak ada kemajuan penting yang dicapai antara peradaban Yunani kuno dan masa Renaisans di Eropa. Jim mengatakan karena Eropa Barat terjerumus ke dalam Masa Kegelapan, bukan berarti kemajuan tidak terjadi di belahan dunia lainnya. Kenyataannya, dia mengatakan, antara abad ke-9 dan ke-13 menandai Masa Keemasan dalam ilmu pengetahuan Arab.

"Berbagai terobosan terjadi di bidang matematika, astronomi, kedokteran, fisika, kimia, dan filsafat. Dibandingkan banyak pemikir jenius yang hidup pada masa itu, prestasi Ibnu al-Haitsam adalah yang paling hebat. Dia dilihat sebagai Bapak Metode Ilmiah Modern," ucapnya.

Seperti yang biasa dijelaskan, Jim menuturkan, ini adalah pendekatan dalam menyelidiki sebuah fenomena ilmu alam, untuk memahami ilmu pengetahuan baru, atau untuk memperbaiki dan menggabungkan ilmu lama berdasarkan pengumpulan data melalui pemantauan dan pengukuran.

Proses ini diikuti tahap formulasi dan pengujian hipotesa guna menjelaskan data yang didapat. Inilah cara ilmu alam ditangani sekarang. Karena itu Jim percaya kemajuan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan modern. Namun, metode ilmiah modern ini sering kali dikatakan baru ditemukan pada awal abad ke-17 oleh Francis Bacon dan Rene Descartes.

"Tetapi saya yakin, Ibnu al-Haitsam sudah jauh mendului mereka. Penekanannya pada data eksperimental dan kemampuan untuk memproduksi kembali hasilnya, membuat Ibnu al-Haitsam sering disebut sebagai 'ilmuwan' sesungguhnya yang pertama di dunia," sebutnya.

Memahami Cahaya

Profesor Jim Al-Khalili juga mengungkapkan bahwa ilmuwan pertama yang memberi penuturan yang tepat tentang bagaimana kita melihat sebuah objek adalah al-Hassan Ibnu al-Haitsam.

Jim menyebutkan, al-Hassan Ibnu al-Haitsam membuktikan dengan melakukan percobaan, misalnya teori emisi yang menyatakan cahaya dari mata kita menyinari objek yang kita lihat. Teori ini diyakini para pemikir terkenal seperti Plato, Euclid, dan Ptolemy adalah teori yang keliru.

"Ibnu al-Haitsam menginformasikan bahwa kita bisa melihat karena cahaya masuk ke mata kita, satu gagasan yang dipercaya sampai saat ini," ucapnya.

Ibnu al-Haitsam juga merupakan ilmuwan pertama yang menggunakan matematika untuk menggambarkan dan membuktikan proses ini. Jadi, Jim menyimpulkan, dia bisa juga dianggap sebagai fisikawan teori pertama. Ibnu al-Haitsam mungkin paling dikenal dengan penemuan kamera lubang jarum yang dioperasikan tanpa lensa.

Seharusnya, dia mengatakan, Ibnu al-Haitsam diakui sebagai penemu hukum refraksi. Dia juga orang pertama yang melakukan percobaan tentang pembagian cahaya menjadi beberapa warna dan meneliti bayangan, pelangi, dan gerhana.

"Dengan memantau sinar matahari masuk ke bumi dari atmosfer, dia dapat memperkirakan tinggi atmosfer yang menurutnya sekitar 100 kilometer," katanya bersemangat.

Peneliti Canggih

Sama halnya dengan banyak ilmuwan modern, Ibnu al-Haitsam sangat bergantung pada waktu dan membutuhkan kesunyian untuk menulis banyak teorinya, termasuk penelitian penting tentang lensa.

Menurut Jim, Ibnu al-Haitsam pernah diminta kalifah di Kairo untuk menyelesaikan masalah pengaturan banjir Sungai Nil. Sewaktu masih di Basrah, Ibnu al-Haitsam mengklaim bahwa banjir tahunan di Sungai Nil bisa diatur dengan jaringan kanal sehingga air dapat tersimpan sampai masa kemarau. Namun begitu, tiba di Kairo, dia menyadari bahwa rencana itu tidak praktis dari segi teknis.

Gerakan Planet

Setelah kembali ke Irak, Jim menuturkan, dia menyusun 100 penelitian lainnya dalam berbagai topik di bidang fisika dan matematika. Seorang pakar di Iskandariyah menyebutkan, Ibnu al-Haitsam mengembangkan apa yang disebut sebagai mekanisme benda angkasa.

Mekanisme ini menjelaskan orbit planet yang kemudian mengilhami penelitian astronomi Eropa seperti Copernicus, Galileo, Kepler, dan Newton.

"Adalah hal yang menakjubkan bahwa kita baru sekarang menyadari betapa besar utang para fisikawan modern kepada seorang ilmuwan Arab yang hidup 1.000 tahun lalu," tulisnya.
(jri)

Ibnu Sina, Ilmuwan Semua Bidang dari Bukhara

berita

Ibnu Sina (pre-renaissance.com)

Tak berlebihan jika intelektual Barat, George Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai "ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu." Sebab, sebagai seorang ilmuwan, Ibnu Sina menguasai banyak cabang ilmu yang dipelajarinya dari berbagai tempat.

Ibnu Sina yang memiliki nama asli Abu Ali al-Husain bin Abdullah merupakan dokter dan filsuf Islam termasyhur. Dia dilahirkan di Afsyanah, Bukhara (kini Uzbekistan) pada 370 H/980 M). Di Barat dia terkenal dengan nama Avicenna. Ayahnya seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395 H/819/1005 M).

Sejak kecil di usia 5 tahun Ibnu Sina belajar menghafal Alquran dan ilmu-ilmu agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum Islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian, ia menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan.

Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannnya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997 M), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.

Sebagai penghargaan, Ibnu Sina diminta raja untuk menetap di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus. Dia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Namun siapa sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.

Ketika dia berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah kematian ayahnya itulah dia mulai berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari ilmu yang baru. Tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah Jurjan, sebuah kota di Timur Tengah. Di sinilah dia bertemu dengan sastrawan dan ulama besar Abu Raihan Al-Biruni. Ia kemudian berguru kepada Al-Biruni.

Dia dua kali menjabat sebagai menteri pada Dinasti Hamdani (293/394 H/905-1004 M). Karena terlibat persoalan politik, ia dipenjarakan dan dipecat dari kedudukannya sebagai menteri.

Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadanya, seperti asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja) di bidang filsafat dan Pangeran Para Dokter di bidang kedokteran.

Dia banyak meninggalkan karya tulis, semuanya ada kurang dari 200 buah, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya, kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia.

Bukunya yang terkenal antara lain as-Syifa' (Penyembuhan), al-Qanuun fi at-Tibb (Peraturan-Peraturan dalam Kedokteran) yang selama 15 abad menjadi literatur penting bagi fakultas-fakultas kedokteran di Eropa, al-Isyaaraah wa at-Tanbihaat (Isyarat dan Penjelasan), Mantiq al-Masyriqiyyiin (Logika Timur), dan Uyuun al-Hikmah (Mata Air Hikmah).

Perkembangan dunia kedokteran awal tidak bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Ia juga banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran. Dalam al-Qanuun fi at-Tibb misalnya, dia menulis ensiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Dia juga memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan ini dijadikan rujukan selama tujuh abad lamanya.

Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya.

Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam filsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya filsuf yang terlalu banyak berpikir.

Mengikuti pendahulunya, al-Farabi, ia mengakui bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dari-Nya-lah memancar segala yang ada. Tuhan sebagai al-wujuud al-awwal berpikir tentang diri-Nya, lalu dari pemikiran itu timbullah wujud kedua yang disebut akal pertama. Akal pertama ini mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, dirinya sebagai waajib al-wujuud, dan dirinya sebagai mumkin al-wujuud. Pemikiran akal pertama tentang Tuhan melahirkan akal-akal berikutnya sampai kepada akal kesepuluh.

Pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai waajib al-wujuud memancarkan jiwa-jiwa dan pemikiran akal tentang dirinya sebagai mumkin al-wujuud melahirkan semua langit. Demikianlah seterusnya, setiap akal yang jumlahnya 10 itu mempunyai tiga objek pemikiran dan dari pemikiran akal inilah kemudian memancar alam ini.

Karena itu dia tidak menerima konsep penciptaan alam dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) seperti yang dipahami oleh kebanyakan teolog Islam. Baginya alam ini qaadim (tidak mempunyai permulaan dari segi waktu). Antara Tuhan dan terjadinya alam tidak terdapat kesenjangan waktu. Pendapat ini mendapat tantangan keras dari al-Ghazali dalam bukunya Tahaafut al-Falaasifah (Kekacauan Para Filsuf).

Ditulis dari Ensiklopedi Islam dan berbagai sumber lainnya.

Abu Dzar, Pembasmi Korupsi Pecinta Kaum Papa

berita
(Ilustrasi: ecotality.com)

Di Lembah Waddan yang menghubungkan Makkah dan dunia luar, tinggallah suku Ghifar. Suku itu hidup mengandalkan sedikit pemberian kafilah perdagangan Quraisy yang melintas antara Syam (kini Suriah) dan Makkah.

Sering pula mereka hidup dengan menggerebek kafilah yang tidak memenuhi kebutuhan mereka. Jundub bin Junadah alias Abu Dzar adalah anggota suku tersebut. Dia dikenal karena keberanian, ketenangan, pemikiran yang jauh, dan juga kebenciannya pada pemujaan berhala.

Suatu ketika, saat dia berada di gurun Waddan, kabar tentang hadirnya seorang nabi baru di Makkah sampai ke telinganya. Dia sangat berharap kehadiran sosok nabi itu akan membantu mengubah hati dan pikiran masyarakat dan membawa mereka keluar dari kegelapan takhayul.

Tanpa banyak membuang waktu, dia memanggil saudara lelakinya, Anis, dan berkata kepadanya: "Pergilah ke Makkah dan carilah informasi apapun yang kamu bisa mengenai lelaki yang mengklaim dialah rasul dan wahyu datang kepadanya dari surga. Dengarkan apa yang dia katakan, dan ceritakan kembali kepadaku."

Anis pergi ke Makkah dan bertemu Nabi Muhammad SAW. Dia mendengarkan apa yang dikatakan, dan kembali ke gurun Waddan. Abu Dzar yang tak sabar langsung menanyakan ucapan sang nabi.

"Saya telah melihat seorang lelaki," lapor Anis. "Dia menyeru orang-orang untuk berbuat baik. Kata-katanya jelas, dan bukan syair."

"Apa yang orang bilang tentang dia?" tanya Abu Dzarr.

"Mereka bilang dia adalah seorang penyihir, tukang ramal, dan penyair."

"Keingintahuanku belum terpuaskan. Aku belum puas dengan hal ini. Maukah kau menjaga keluargaku ketika aku pergi dan menguji misi nabi ini?".

"Ya, tapi hati-hati dengan penduduk Makkah".

Singkat cerita, tibalah Abu Dzar di Makkah dan langsung jatuh cinta dengan ajaran Muhammad. Dia menjadi orang kelima (kisah lain menyebut keenam) yang pertama-tama masuk Islam. Tanpa keraguan bahkan dia berani mendeklarasikan agama barunya di keramaian Kota Makkah, hingga membuatnya sempat dipukuli warga Makkah ketika itu.

Abu Dzar merupakan sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah. Saking cintanya, Abu Dzar menyebut Nabi Muhammad dengan panggilan "khalili", yang artinya sahabatku. Yang juga menonjol dari Abu Dzar adalah kecintaannya kepada kaum papa, hingga membuatnya dijuluki sebagai "bapak kaum fakir miskin".

Abu Dzar juga dikenal gigih memberantas korupsi semenjak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab hingga Khalifah Utsman bin Affan. Ketika dia tinggal di Damaskus yang dipimpin Gubernur Muawiyah yang bergelimang kemewahan, Abu Dzar pernah berfatwa bahwa orang Muslim tidak boleh menyimpan harta lebih dari tiga malam. Harus segera diserahkan kepada fakir miskin yang mustahiq (yang berhak).

Abu Dzar memegang betul wasiat Rasulullah. Dalam hadist yang diriwayatkan Anas bin Malik, suatu ketika Rasulullah menyapa Abu Dzar. Sambil memegang tangan Abu Dzar, Nabu berkata, "Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya di antara kedua tanganmu ada bukit penghalang. Ia sukar untuk didaki, kecuali orang yang ringan bawaaannya".

Abu Dzar bertanya "Wahai Nabi, apakah aku termasuk yang ringan atau berat bawaanku?" Nabi bertanya, "Adakah kau punya makanan untuk besok pagi?" Dijawab ada. "Untuk lusa?" Abu menjawab, tidak ada! Nabi bertutur, "Andai kau punya makanan untuk lusa. Niscaya termasuk orang yang berat bawaannya".

(Diolah dari witness-pioneer.org dan sumber lainnya) (jri)

Berziarah ke Makam Tokoh Sattariyah

berita
Peziarah di makam Syekh Burhanuddin. (Rus Akbar

ULAKAN - Siapa yang tak kenal dengan Kecamatan Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ulakan merupakan pusat penyebaran Agama Islam dengan aliran Sattriyah, atau lebih dikenal tarekat Sattariyah.

Di daerah tersebut juga terdapat makam tokoh penyebar agama Islam dengan Terekat Sattariyah, Syekh Burhanuddin. Tiap tahun ribuan orang penganut ajaran ini membanjiri makam tersebut untuk berziarah dan memohon berkah dari tokoh tersebut.

Orang yang datang ke makam Syekh Buhanuddin tersebut percaya kalau berziarah dan berdoa akan terkabulkan permintaan mereka. Warga yang berkunjung ke makam tersebut dinamakan bersyafar atau bersapa ke makan Syekh Burhanuddin.

Menurut juru kunci makam Syekh Burhanuddin, Ali Imran TR Radhi pada okezone beberapa waktu lalu mengatakan warga yang datang ke Makam tersebut biasanya pada bulan Syafar sesuai dengan tahun hijriah.

"Jamaah yang datang itu biasanya berasal dari luar Ulakan bahkan dari luar Sumatera Barat juga datang ke sini untuk berziarah," ungkap Ali.

Biasanya para penziarah datang ke kuburan Syekh Burhanuddin ini membawah bunga tujuh rupa, jeruk nipis serta air dalam botol mineral. Air tersebut diambil di kawasan makam itu kemudian mereka letakkan dekat kuburan Syekh Burhanuddin.

Dalam kesempatan itu juru kunci dan panitia Syafar akan memimpin doa para penziarah. "Dalam ziarah tersebut mereka membacakan Alfatihah, tahlil serta membaca zikir dan akhirnya mereka membaca nazar mereka untuk mendapatkan berkat," kata Ali.

Jika acara ziarah telah usai itu mereka juga mengambil tanah kuburan serta air yang mereka letakkan di kuburan tersebut untuk di bawah pulang. Namun mereka tidak serta merta pulang. sebelumnya, para penziarah membasuh wajah serta tangan dan kaki mereka. Dengan mengusapkan air yang ada di makam tersebut maka dipercaya niat para penziarah akan terkabulkan.

Air dan tanah yang mereka bawah pulang dipercayai akan memberikan berkah, itu biasanya mereka kasih untuk tanah perkebunan, rumah karena jamaah ini menganggap bahwa dengan membawah tanah dari kuburan seorang syekh akan mendapatkan rezeki.

Di dalam makam tersebut ada dua petak kuburan, petak pertama tersebut berisi sekitar 30 kuburan yang sudah dipagari luasnya sekitar seperdelapan hektare. Masih dalam kawasan makam tersebut tersebut ada tiga kuburan yang memang sudah dipagari itu terkesan agak istimewa karena makam tersebut diberi pintu besi.

Di dalam makam itu ada tiga makam, di posisi di tengah itulah makam Syehk Burhanunddin, sampai kiri dan kana ada makam Syekh Abul Rahman dan Idris Khatib Rajo Lelo. Mereka ini adalah teman akrab Syekh Burhanuddin yang sama menjadi penyiar agama Islam di Ulakan. Sementara kuburan yang berada di luar tersebut merupakam makam para khalifah.

Syekh Burhanuddin sendiri meninggal pada 10 Syafar tahun 1111 Hijriah dan itu dijadikan sebagai hari peziarah. Jumlah orang datang ke lokasi tersebut mencapai ribuan orang tiap hari mereka terus datang namun puncaknya 10 Syafar. (fit)

Kata Intelektual Barat Tentang Alquran

berita
(Foto: muslimbychoice.wordpress.com)

"Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" (QS Al-Baqarah (2):2)

Alquran adalah sumber pengetahuan dan pelajaran bagi umat Islam. Kitab suci ini merupakan mukjizat yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW untuk membimbing umat manusia.

Lantas, bagaimana pandangan para intelektual Barat mengenai kitab suci yang diturunkan di bulan Ramadan ini? Berikut beberapa penuturan mereka yang dikutip dari buku Sejarah Alquran karangan Prof Dr Abubakar Aceh dan sumber lainnya:

Maurice Bucaille (19 Juli 1920-1998), ahli bedah Prancis, penulis Bible, Quran, and Modern Science:

Saya menyelidiki keserasian teks Alquran dengan sains modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula, saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa Alquran menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang samar (ringkas). Dengan membaca teks Arab secara teliti sekali saya dapat mengadakan inventarisasi yang membuktikan bakwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman modern ini.

Edward Gibbon (1737-1794), ahli sejarah Inggris:

Alquran adalah sebuah kitab agama, kitab kemajuan, kenegaraan, persaudaraan, kemahkamahan, dan undang-undang tentara dalam agama Islam. Alquran mengandung isi yang lengkap, mulai dari urusan ibadah, ketauhidan, sampai kepada hal yang mengenai jasmani, mulai dari pembicaraan hak-hak dan kewajiban segolongan umat sampai kepada akhlak dan perangai, sampai kepada hukum siksa dunia ini.

Di dalam Alwuran dijelaskan segala pembalasan amal. Alquranlah yang menjadi sumber peraturan negara (bagi umat Islam), sumber undang-undang dasar, memutuskan sesuatu perkara yang berhubungan dengan kehartaan, maupun dengan kejiwaan."

Geogre Bernard Shaw (lahir 26 Juli 2856), pengarang Inggris:

Agama Islam cukup untuk mengobati penyakit kemanusiaan dan orang-orang yang berkemajuan sekarang sudah mulai insaf akan hakekatnya. Berat sangkaku untuk mengatakan, bahwa dua abad lagi kemudian, orang akan Islam semuanya.

JW Goethe (1749-1832), pengarang dan ahli filsafat Jerman:

Bagaimana jua pun saya membaca Alquran itu, tidak habis-habisnya saya bertemu dengan ajaran-ajaran yang menggerakkan saya kepada mendalamkan pengetahuan agama. Susunan kalimatnya sangat molek dan indah, isi dan tujuannya bolehlah menjadi pedoman untuk jalan bahagia, kemuliaan yang tinggi, dan beberapa pelajaran yang menakutkan untuk pekerjaan jahat. Demikian pada pikiran saya kitab Alquran ini akan berjalan terus melalui tiap zaman dan sangat berpengaruh.

IOM Deutsch (1829-1873), ahli ketimuran Jerman:

Saya melihat keajaiban dalam Alquran, satu kitab yang sudah menolong umat Arab dalam membuka dunia, jauh lebih besar dari apa yang telah diperbuat Alexander de Groote, juga lebih besar daripada apa yang telah dicapai oleh Bangsa Rumania. Pengaruh Alquranlah yang menarik bangsa Arab dalam sedikit waktu masuk ke Eropa dan menjadi raja dunia.

Bangsa Arab pernah ke Eropa sebagai tuan dan ahli dagang yang terkenal, yang demikian digerakkan oleh Alquran yang dibawanya ke sana sebagai suluh dalam gelap-gulita. Mereka membawa peradaban, kecerdasan, pengetahuan dan kebijaksanaan, memberi pelajaran tentang ilmu falsafah, ilmu bintang, kedokteran, ilmu syair, yang kemajuannya pernah berkilau-kilau di Eropa sebagai juga di tanah Timur.

Dengan Alquran itulah bangsa Arab berdiri dan tegak menyiarkan ilmu pengetahuian, dan dengan mengenangkan jasa mereka yang amat mulia itu, kita membuat air mata, tatkala mereka pergi dari Andalusia, ketika Granada terlepas dari tangan mereka.

M de Montaigne (1533-1592), pujanga Prancis:

Kalau kita memandang Islam dengan kacamata pengetahuan yang adil (pandangan umum), meskipun hanya sebagian kecil, maka mengertilah kita bahwa Islam itu agama yang memberi contoh tentang kemajuan, kemerdekaan, keadilan di dalam hidup masyarakat dengan politik yang teratur. Islam itu adalah pokok kemajuan yang amat hebat, yang telah mengibarkan benderanya diua atas mercu Barat dan Timur. Sesudah itu dunia Islam lalu jatuh dan kini telah (mulai) bangun lagi, hendak mengambil panji kemuliaan dan kedudukannya yang telah hilang itu, dan yang demikian itu sudah menjadi tabiat lantaran kitab sucinya Alquran.

GM Rodwell:


Ilmu yang berhubung dengan ketuhanan di dalam Alquran itu sangat dalamnya. Keterangan-keterangan yang ringkas dan jelas penuh berisi dengan hikmah dan pelajaran, yang dapat menunjukkan jalan ke arah yang betul. (jri)

Kisah Salman al-Farisi Mencari Kebenaran

berita
(Ilustrasi: weathersavvy.com)

Salman al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia yang menganut agama Majusi. Namun dia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Pergolakan batin itulah yang mendorongnya untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya.

Kisah Salman diceritakan langsung kepada seorang sahabat dan keluarga dekat Nabi Muhammad bernama Abdullah bin Abbas:

Salman dilahirkan dengan nama Persia, Rouzbeh, di kota Kazerun, Fars, Iran. Ayahnya adalah seorang Dihqan (kepala) desa. Dia adalah orang terkaya di sana dan memiliki rumah terbesar.

Ayahnya menyayangi dia, melebihi siapa pun. Seiring waktu berlalu, cintanya kepada Salman semakin kuat dan membuatnya semakin takut kehilangan Salman. Ayahnya pun menjaga dia di rumah, seperti penjara.

Ayah Salman memiliki sebuah kebun yang luas, yang menghasilkan pasokan hasil panen berlimpah. Suatu ketika ayahnya meminta dia mengerjakan sejumlah tugas di tanahnya. Tugas dari ayahnya itulah yang menjadi awal pencarian kebenaran.

"Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu (di gereja) dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan."

"Ketika saya melihat mereka, saya menyukai salat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya (yakni agama). Saya berkata (kepada diriku), 'Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami'".

Salman memiliki pemikiran yang terbuka, bebas dari taklid buta. "Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku."

Dan ketika pulang, ayahnya bertanya. Salman pun menceritakan bertemu dengan orang-orang Nasrani dan mengaku tertarik. Ayahnya terkejut dan berkata: "Anakku, tidak ada kebaikan dalam agama itu. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik."

"Tidak, agama itu lebih baik dari milik kita," tegas Salman.

Ayah Salman pun bersedih dan takut Salman akan meninggalkan agamanya. Jadi dia mengunci Salman di rumah dan merantai kakinya.

Salman tak kehabisan akan dan mengirimkan sebuah pesan kepada penganut Nasrani, meminta mereka mengabarkan jika ada kafilah pedagang yang pergi ke Suriah. Setelah informasi didapat, Salman pun membuka rantai dan kabur untuk bergabung dengan rombongan kafilah.

Ketika tiba di Suriah, dia meminta dikenalkan dengan seorang pendeta di gereja. Dia berkata: "Saya ingin menjadi seorang Nasrani dan memberikan diri saya untuk melayani, belajar dari anda, dan salat dengan anda."

Sang pendeta menyetujui dan Salman pun masuk ke dalam gereja. Namun tak lama kemudian, Salman menemukan kenyataan bahwa sang pendeta adalah seorang yang korup. Dia memerintahkan para jemaah untuk bersedekah, namun ternyata hasil sedekah itu ditimbunnya untuk memperkaya diri sendiri.

Ketika pendeta itu meninggal dunia dan umat Nasrani berkumpul untuk menguburkannya, Salman mengatakan bahwa pendeta itu korup dan menunjukkan bukti-bukti timbunan emas dan perak pada tujuh guci yang dikumpulkan dari sedekah para jemaah.

Setelah pendeta itu wafat, Salman pun pergi untuk mencari orang saleh lainnya, di Mosul, Nisibis, dan tempat lainnya.

Pendeta yang terakhir berkata kepadanya bahwa telah datang seorang nabi di tanah Arab, yang memiliki kejujuran, yang tidak memakan sedekah untuk dirinya sendiri.

Salman pun pergi ke Arab mengikuti para pedagang dari Bani Kalb, dengan memberikan uang yang dimilikinya. Para pedagang itu setuju untuk membawa Salman. Namun ketika mereka tiba di Wadi al-Qura (tempat antara Suriah dan Madinah), para pedagang itu mengingkari janji dan menjadikan Salman seorang seorang budak, lalu menjual dia kepada seorang Yahudi.

Singkat cerita, akhirnya Salman dapat sampai ke Yatsrib (Madinah) dan bertemu dengan rombongan yang baru hijrah dari Makkah. Salman dibebaskan dengan uang tebusan yang dikumpulkan oleh Rasulullah SAW dan selanjutnya mendapat bimbingan langsung dari beliau.

Betapa gembira hatinya, kenyataan yang diterimanya jauh melebihi apa yang dicita-citakannya, dari sekadar ingin bertemu dan berguru menjadi anugerah pengakuan sebagai muslimin di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.

Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel. Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari dalam kota.

Rasulullah SAW pun meminta masukan dari sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah SAW, saran tersebut diterima.

Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.

Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.

Diolah dari: Wikipedia, The Search for The Truth -by a Man Known as Salman the Persian karangan Dr Saleh as-Saleh, dan sumber-sumber lainnya.
(jri)

Percakapan Khadijah dan Waraqah bin Naufal

berita
(Ilustrasi: ecotality.com)

MUHAMMAD sedang tidur. Khadijah menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan.

Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus.

Tetapi, sungguh pun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, khawatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu.

Selalu dia melihat malaikat itu ke mana saja dia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.

Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri Al-Amin kelak.

Tidak tahan dia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasihat.

Untuk itu, kemudian dia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqah bin Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqah adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya.

Waraqah menekur sebentar, kemudian berkata: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah."

Pada umumnya kata 'namus besar' (an-namus'l-akbar) oleh beberapa penulis yang datang kemudian diberi anotasi, bahwa kata namus berarti 'Jibril.'

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:

"Wahai orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (QS 74:1-7)

Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqah tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu, dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan.

Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari Hua Hira', sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.

Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.

Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Kakbah. Di tempat itu Waraqah bin Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqah berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pemah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula."

Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammad pun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqah itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.

Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak kaum Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.

Sungguh pun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu.

Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi.

Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.

Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.

Diambil dari buku Sejarah Hidup Muhammad yang ditulis Muhammad Husain Haekal (jri)

Awal Kegelapan Eropa

-
berita

Polemik Alquran terhadap orang Yahudi sebetulnya bukan menyangkut ketuhanan tetapi manusia, bahwa mereka sombong sekali dan mengklaim diri sebagai the choosen people, umat pilihan Tuhan. Klaim seperti ini kemudian mengakibatkan universalisme ajaran Tuhan dikebiri untuk hanya menjadi suatu ajaran nasional, bahkan tribal (kesukuan).

Agama Kristen, mungkin sudah sejak Nabi isa, dengan sedikit ekses melalui Paulus membuat penyimpangan yang sangat serius, yakni hendak penguniversalkan ajaran Tuhan. Akibatnya, agama yang semula diperuntukkan intern Yahudi, oleh Paulus diuniversalkan sehingga bisa menjadi agamanya kaum Gentiles (orang Yunani, Romawi, dan sebagainya).

Polemik Alquran terhadap Kristen yang utama adalah mengenai teologinya, sedangkan kemanusiaannya banyak mendapat pujian. Misalnya, ...dan Kami tanamkan ke dalam hati mereka yang menjadi pengikutnya rasa cinta (santun-NM) dan kasih sayang (Q.,57:27). Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi hukum pada agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam orientasi kemanusiaan. Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih. Dengan adanya unsur kasih, maka konsep kemanusiaan dalam Kristen lebih universal dibanding dengan Yahudi.

Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan doktrin kejatuhan Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat. Untuk mendukung ini, kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat, sebuah pesimisme kepada kemanusiaan. Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan Eropa mengalami zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul kembali melalui zaman pencerahan.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Arsitektur dan Gambaran Surga

-
Dalam Islam tidak ada lukisan. Walaupun sekarang orang Islam mulai menyukai lukisan, tetapi sebetulnya ekspedisi seni Islam adalah di bidang arsitektur. Karena itu, umat Islam sangat unggul di bidang ini. Maka seindah-indahnya Borobudur atau Prambanan, warnanya tetaplah warna batu, yaitu warna abu-abu. Tidak ada permainan warna di sana. Berbeda dengan bangunan-bangunan orang Islam yang memakai warna sebagai bagian dari rasa estetika.

Semua orang akan mengatakan bahwa seindah-indah bangunan di muka bumi ini, sampai sekarang, adalah Taj Mahal. Selain bentuk dan kecanggihan di dalam pelukisan kaligrafi dan arabesknya, permainan warna juga digunakan. Warna putih yang dipadukan dengan lingkungan di tepi sungai menebarkan keindahan yang luar biasa, dan pada saat bulan purnama menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan. Sayangnya sekarang ada polusi dari cerobong-cerobong pabrik sehingga warnanya mulai kabur. Selain di Taj Mahal, permainan warna – selain keindahan bentuk – juga sangat terlihat pada bangunan-bangunan masjid di Iran, istana Al-Hamra di Granada, atau masjid Cordova.

Konsep-konsep Alquran tentang keindahan, misalnya tentang surga sangatlah inspiratif. Penggambaran Alquran bahwa surga itu mengalir air di bawahnya, digunakan sebagai sumber inspirasi untuk keindahan. Maka di depan bangunan Taj Mahal, misalnya, ada kolam panjang yang sebetulnya diinspirasi oleh Alquran. Karena di kolam ini ada air mancur dan sebagainya, yang mungkin terlalu mahal untuk diperlihatkan sepanjang masa, sehingga sekarang hanya dalam waktu-waktu tertentu saja air mancurnya diaktifkan.

Itu adalah unsur rasa keindahan sebagai deskripsi mengenai surga ( di dalamnya mengalir sungai [Q.,2:25, 266, dan sebagainya]). Menjadikan sungai yang tinggi, pasti mempertimbangkan faktor konteks lingkungan kultural. Karena orang Arab ketika menerima Al-Quran hidup di padang pasir yang, tentu saja, tidak ada sungainya, maka dambaan kepada air, sungai, kebun, taman, dan sejenisnya sangatlah tinggi sekali. Tidak heran ketika orang-orang Arab mulai mempunyai kemampuan untuk menyatakan rasa keindahannya, mereka merujuk kepada hal-hal yang kira-kira seperti surga.

Di Al-Hamra (Spanyol), misalnya, kebun atau taman itu luar biasa indahnya, di mana komponen air digunakan sebagai elemen arsitektur yang diadaptasi dari deskripsi tentang surga dalam Alquran.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholis Madjid

Antara Yerusalem dan Makkah

-
berita
Mengapa Nabi lebih suka salat menghadap ke Makkah daripada ke Yerusalem? Secara historis Makkah sebetulnya lebih tua daripada Yerusalem. Yerusalem baru didirikan atau baru dijadikan kota suci agama Tuhan setelah jatuh ke Nabi Daud. Itu terjadi kurang lebih 3.000 tahun yang lalu. Tetapi Makkah dengan Ka'bahnya, paling tidak dalam Alquran disebutkan bahwa Ka'bah itu sebagai rumah suci pertama yang didirikan untuk umat manusia:

Sesungguhnya rumah suci yang pertama yang didirikan untuk umat manusia adalah yang dilembah Bakkah itu sebagai rumah yang diberkahi Allah dan sebagai petunjuk bagi seluruh Alam (Q.,3:96).

Legenda menyatakan bahwa yang mendirikan Ka'bah itu adalah Nabi Adam a.s. Jadi waktu Nabi Adam diusir dari surga dengan segala kesedihannya, ada satu yang paling disedihkan oleh Adam, yaitu dia tidak lagi secara spiritual bisa mengikuti ibadahnya para Malaikat, berkeliling mengnitari Singgasana Allah (`Arasy). Kemudian, konon, menurut legenda yang ditulis dalam beberapa kitab, Adam dihibur oleh Allah dengan dibolehkannya Adam membuat Ka'bah sebagai tiruan dari 'Arasy Allah. Dan Adam diperintahkan mengelilingi Ka`bah itu (thawaf). Jadi, thawaf (tawaf) adalah semacam cara ibadah menirukan Malaikat mengelilingi `Arasy Tuhan. Dan ternyata, seluruh jagat raya ini melakukan tawaf. Misalnya, bulan tawaf mengelilingi matahari. Dan matahari dan seluruh familinya yang terdiri dari planet-planet juga tawaf mengelilingi pusat dari galaksi, yang oleh para astronom internasional disebut Milky-way, atau dalam bahasa Indonesia disebut Galaksi Bimasakti.

Galaksi Bimasakti adalah salah satu anggota dari banyak galaksi yang ada miliaran galaksi. Dan besarnya- saking besarnya- tidak bisa lagi diukur dengan kilometer, melainkan dengan satuan perjalanan cahaya. Galaksi kita saja, yaitu gugusan bintang Bimasakti- yang kalau malam terang sekali, kelihatan seperti kabut membujur utara-selatan, karena kita melihatnya seperti cakram- meskipun bukan yang terbesar, namun sangat besar menurut ukuran kita. Besarnya itu hanya bisa dihitung dengan perjalanan tahun cahaya. Garis tengah galaksi Bimasakti- yang dianggap oleh para astronom tidak terlalu besar- adalah 400 tahun (perjalanan) cahaya. Jadi, cahaya itu memerlukan waktu 400 tahun untuk dapat menempuh jarak dari tepi ke tepi. Nah, coba kita bayangkan, cahaya matahari itu untuk sampai ke bumi hanya memerlukan waktu 8 menit. Galaksi yang menurut ukuran kita sangat besar itu, sebagaimana benda angkasa yang lain, adalah juga melakukan tawaf, mengelilingi pusat galaksi.

Mungkin banyak dari kita yang sudah hafal ayat kursi. Ternyata ayat kursi itu merupakan ayat yang sangat dalam untuk memahami kemahabesaran Allah Swt. Mengapa? Karena dalam ayat kursi itu digambarkan bahwa kursi Allah, atau singgasana Allah itu meliputi seluruh langit dan bumi. Jadi, ayat kursi itu merupakan suatu ilustrasi tentang kemahabesaran Allah yang sangat luar biasa. Kemahabesaran itu semakin terbukti dengan meningkatnya pengetahuan manusia tentang antariksa.

Dengan demikian, thawaf sebetulnya warisan dari Nabi Adam a.s., yang menirukan gerakan seluruh alam ini. Tawaf yang dilakukan seluruh alam ini merupakan pertanda bahwa semua makhluk itu harus tunduk kepada Sang Khalik. Karenanya, bila melakukan tawaf, seakan-akan kita menyatakan diri bahwa kita bagian dari seluruh jagat raya yang muslim, yang islam, yang tunduk dan patuh kepada Tuhan.

Kita kembali ke Ka`bah. Jadi pada mulanya Ka`bah itu dibangun oleh Nabi Adam a.s. Tapi karena Ka`bah didirikan dengan bahan-bahan yang sangat sederhana, maka keberadaannya tidak bisa bertahan lama, kemudian hilang tertumbun pasir. Sebagaimana bisa kita lihat sendiri, dalam perjalanan dari Jeddah ke Madinah, sering terlihat badai pasir yang menimbuni jalan raya. Padahal, jalan raya sekarang ini sudah menggunakan teknologi yang sangat canggih, dan dibuat agak lebih tinggi. Bisa kita bayangkan betapa mudahnya bangunan dulu (yang masih menggunakan bahan dan teknologi sederhana) hilang tertimbun pasir. Dan ini terbukti, pernah terjadi dulu, Arabia mengenal minyak, dan dibuat pertama kali jalan raya, maka jalan raya itu banyak yang hilang tertimbun oleh pasir.

Nah, singkat cerita, yang membangun kembali Ka`bah adalah Nabi Ibrahim dan putranya, Isma`il. Alquran menyebutkan: Ingatlah ketika Ibrahim mengangkat kembali fondasi dan rumah suci itu bersama putranya, Isma`il (Q., 2:127).

Kalau Ka`bah dihitung dari dibangunnya kembali oleh Nabi Ibrahim saja, maka peristiwa itu terjadi 4.000 tahun yang lalu. Itu berarti 1.000 tahun lebih tua dari Yerusalem. Karena itu, Alquran juga menyebut Ka`bah sebagai Rumah Suci yang sangat tua (Al-Bayt Al-Atiq). Kata “atiq” ini mungkin bisa diasosiasikan dengan bahasa Inggris, antique.

Rumah Suci (Ka`bah) itulah yang akan kita kunjungi (dalam `umrah). Dan mengapa Nabi memohon kepada Allah untuk pindah kiblat ke Ka`bah, adalah karena pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas. Tentu saja orang Yahudi dan orang Kristen tidak mengakui adanya asosiasi antara Ibrahim dengan Ka`bah. Bagi mereka, itu hanya reka-reka dari orang Arab saja. Begitu juga mereka (orang-orang Yahudi dan Kristen) mengakui bahwa yang dikorbankan itu adalah Ishaq. Tapi keyakinan itu sama sekali tidak didukung oleh fakta dan kebiasaan sejarah yang berlaku.

Dalam catatan orang-orang Yunani Kuno, kota Makkah itu dikenal sebagai Macoraba, yang artinya tempat mengorbankan atau tempat menjalankan korban. Dan Isma`il serta ibundanya, Hajar, tinggal di Makkah. Jadi, sebenarnya ada asosiasi antara tempat mengorbankan (Makkah) dengan Isma`il. Artinya kepercayaan bahwa Isma`il itu dikorbankan oleh Ibrahim dan tempatnya di Makkah, sudah merupakan bagian dari cerita turun-temurun di kalangan orang Arab yang mangaku dan merasa sebagai keturunan Isma`il. Dan cerita turun-temurun itu dipertahankan, antara lain, dengan ibadah korban hari raya Idul Adha. Sementara di Yerusalem, sama sekali tidak ada bekas dan jejak dari pengorbanan itu. Tidak ada dongeng dan praktik sedikit pun yang berkaitan dengan upacara, pengorbanan. Dengan demikian, jauh lebih kuat dukungan kepada pendapat bahwa Isma`il yang dikorbankan oleh Ibrahim, bukan Ishaq. Dan tempatnya tidak di Yerusalem, tapi di Makkah.

Karena itu, di Makkah kita bisa menyaksikan maqam Nabi Ibrahim. Orang Indonesia banyak yang salah paham tentang arti maqam. Mereka mengira maqam itu sama artinya dengan makam dalam bahasa Indonesia, yang artinya kuburan. Maqam di sini artinya tempat berdiri, atau tempat menetap. Ada juga yang mengatakan bahwa maqam Ibrahim itulah bedengnya (tempat berteduh) Nabi Ibrahim ketika membangun Ka`bah. Kemudian di Makkah itu ada Hijrnya Isma`il. Katanya, hijr (batu) itulah tempat Isma`il dulu membantu ayahnya mendirikan Ka`bah.

Al-Kindi Filosof Islam Mula-Mula

-
berita
Al Kindi (Ist)
Sebagian besar umat, khususnya mereka yang berada di bawah naungan ideologi Jamaah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, terhadap Hellenisme itu. Tapi secara umum terdapat banyak kaum Muslim yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebasan berpikir yang masih lebih besar lagi daripada kaum Mu'tazilah, mengembangkan falsafah itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara teknis disebut falsafah. Dari kalangan mereka ini tumbuh kelompok baru kaum terpelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum failasuf), suatu penamaan khusus kepada kaum inteletual Muslim yang sangat terpengaruh oleh falsafah Yunani.

Di antara para failasuf itu yang mula pertama secara sistematis mempopulerkan falsafah Yunani di kalangan umat ialah Abu Ya`qub ibn Ishaq Al-Kindi (w, sekitar 257 H/870 M). Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai failasuf bangsa Arab (faylasuf al-Arab), tidak saja dalam pengertian etnis (ia berasal dari daerah selatan Jazirah Arab, suku Kindah, maka disebut Al-Kindi), tapi juga dalam pengertian kultural. Ia menghidangkan falsafah Yunani kepada kaum Muslim setelah pikiran-pikiran asing dari arah Barat itu “diislamkan”, jika tidak boleh disebut “diarabkan”.

Al-Kindi diketahui sebagai seorang penulis yang ensiklopedis dalam falsafah dan ilmu pengetahuan. Banyak dari karyanya yang hilang, tapi dari yang tersisa sebagiannya telah diterbitkan. Sampai dimana Al-Kindi berhasil menjinakkan pikiran pagan dari Yunani itu, dapat sepintas lalu kita ketahui dari dua risalah pendeknya. Risalah pertama jelas dibuat untuk menopang ajaran pokok Islam tentang Tauhid, tapi dengan sepenuh-penuhnya menggunakan sistem argumentasi falsafah. Namun dari situ juga kita ketahui bahwa Al-Kindi, sejalan dengan pikiran Islam yang ada, khususnya yang dalam bentuk sistematisnya terwakili dalam ilmu kalam. Mu`tazilah, dengan tegas menolak paham Aristoteles tentang keabadian alam. Sedangkan risalahnya yang kedua merupakan tulisan paling dini oleh pemikir Muslim mengenai akal atau intelek. Dalam risalah ini Al-Kindi mengatakan sebagai hanya menuturkan pendapat “orang-orang Yunani kuno yang terpuji”, khususnya Aristoteles, mengenai akal itu.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholis Madjid

Utsman ibn Mazh'un: Al-Hanifiyyat Al-Samhah

-
berita
Ada seorang Sahabat bernama Utsman ibn Mazh`un, yang kisahnya terkait dengan ajaran Islam tentang al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang.

Istri Utsman ibn Mazh`un bertandang ke rumah para istri Nabi Saw., dan mereka ini melihatnya dalam keadaan yang buruk. Maka mereka bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi dengan engkau? Tidak ada di kalangan kaum Quraisy orang yang lebih kaya daripada suamimu!” Ia menjawab: “Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadah dan siang harinya ia berpuasa!” Merekapun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Maka Nabi pun menemui dia (Utsman ibn Mazh`un), dan bersabda:”Hai Utsman! Tidakkah padaku ada teladan bagimu?!” Dia menjawab: “Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian. “Lalu Nabi bersabda: “Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur (beribadah) setiap malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.” Nabi bersabda: “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak atas engkau, dan keluargamu punya hak atas engkau! Maka salatlah dan tidurlah, puasalah, dan makanlah!”

Dalam cerita lain dikisahkan bahwa Utsman ibn Mazh`un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw, maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.

Mengenai hal yang sama juga ada sebuah berita sampai kepada Nabi Saw, bahwa segolongan sahabat beliau menjauhi wanita dan menghindari makan daging. Mereka berkumpul, dan bercerita tentang sikap manjauhi wanita dan makan daging itu. Maka Nabi pun memberi peringatan keras, dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah al-hanifiyyat al-samhah”.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Al-Ghazali: Hujjat Al-Islam

-
berita
Kira-kira pada awal abad keenam Hijriah, tampil Al-Ghazali (Abu Hamid Ibn Muhammad Al-Ghazali, w.505 H/1111 M), seorang pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik falsafah, khususnya Neo Platonisme Al-Farabi dan Ibn Sina. Diakui sebagai salah seorang pemikir paling hebat dan paling orisinal tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia, Al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern Muslim maupun bukan Muslim, adalah orang terpenting sesudah Nabi Muhammad Saw, ditinjau dari segi pengaruh dan peranannya menata dan mengukuhkan ajaran-ajaran keagamaan.

Sekalipun Al-Ghazali menolak falsafah, namun ia mempelajari dan menguasai seni itu sedalam-dalamnya. Ini membuat kritik-kritiknya dilakukan dengan kompetensi yang tak bisa dipersoalkan lagi. Justru ia berhasil karena ia menggunakan metode falsafah itu sendiri yang ia pinjam terutama dari Ibn Sina. Tujuan Al-Ghazali dengan tour de force-nya itu ialah membela dan menggiatkan kembali kajian keagamaan, sehingga karya utamanya pun berhudul Ihya`-u `Ulum-i `l-Din (Menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama”). Dan begitu pula, bahwa ia menulis karya polemisnya yang besar dan abadi. Tahafut Al-Falasifah (“Kekacauan Para Failasuf”), adalah katanya sendiri, karena terdorong oleh gejala berkecamuknya pikiran bebas waktu itu yang banyak membuat orang meninggalkan ibadah. Meskipun ia sendiri seorang pemikir sistematis dan rasional besar yang pada intinya menggabungkan falsafah dengan ilmu Kalam, namun ia dengan jelas melihat keterbatasan ilmu Kalam itu, dan meyakini bahwa agama haruslah terutama berupa pendekatan diri pribadi kepada Tuhan dalam suatu kehidupan zuhud seorang sufi.

Dalam banyak hal Al-Ghazali adalah penerus langsung peranan Al-Asy`ari, hanya dengan kapasitas intelektual yang jauh lebih besar. Sebagaimana Al-Asy`ari dengan meminjam metode Mu`tazilah berhasil merumuskan dan mengonsolidasi paham Sunni, Al-Ghazali, juga dengan meminjam metode lawan-lawannya, yaitu Neo-Platonisme dan Aristotelianisme, berhasil membangun lebih kukuh lagi Sunnisme dan membuatnya, sebegitu jauh, tak terpatahkan. Al-Ghazali telah membendung bahaya gelombang Hellenisme yang kedua, sebagaimana daya serang gelombang pertamanya. Maka tidaklah terlalu berlebihan ia digelari “Hujjat Al-Islam” (Argumentasi Islam), dan menjadi simbol kaum Sunni.

Sekalipun begitu, pengalaman Al-Asy`ari yang mula-mula ditolak dan dicurigai umat juga berulang pada Al-Ghazali. Meskipun ia dengan sepenuhnya membela agama, tapi pembelaan itu dilakukan dengan memperkenalkan berbagai cara berpikir dan metode yang saat itu dirasakan sebagai heterodoks dan bid`ah, karena menyalahi tradisi pemikiran keagamaan yang dikenal.

Sesungguhnya berkat pikiran-pikiran Al-Ghazali itulah Asy`arisme mendapatkan kemenangannya yang terakhir, yang kemudian menjadi ciri utama paham Sunni. Juga karena karya-karya Al-Ghazali, maka kesenjangan antara lainnya, khususnya akidah dan syariah menjadi semakin menciut. Bahkan Al-Ghazali telah berhasil membmeri tempat yang mapan kepada esoterisme Islam dalam keseluruhan paham keagamaan yang dianggap sah atau ortodoks.

Penyelesaian yang ditawarkan Al-Ghazali begitu hebatnya, sehingga memukau dunia intelektual Islam dan membuatnya seolah-olah terbius tak sadarkan diri. Menurut lukisan seorang sarjana, Al-Ghazali sedemikian komplitnya memberi penyelesaian masalah-masalah keagamaan Islam, sehingga yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa dia bagaikan telah menciptakan sebuah kamar untuk umat yang walaupun sangat nyaman, tapi kemudian mempunyai efek pemenjaraan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.

Bahwa sejak itu umat Islam terkungkung dalam kamar sel nyaman Ghazalisme, memang banyak yang mengatakan begitu. Gejala-gejala pada umat pun banyak yang bisa ditunjuk sebagai mendukung penilaian demikian. Dan menurut pandangan itu, umat Islam tidak akan mendapatkan kembali dinamika intelektualnya jika tidak berhasil memecahkan kamar sel Ghazalisme itu.

Tapi, betapapun, Al-Ghazali amat berjasa dalam menstabilkan pemahaman umat kepada agamanya. Berkat Al-Ghazali, berbagai kekacauan dalam pemahaman itu teratasi. Hanya saja, justru stabilitas inilah yang mengesankan keterpenjaraan dan kemandekan. Walaupun demikian, masih merupakan tanda tanya besar, benarkah umat secara keseluruhan, dan sama sekali dikuasai oleh sistem pemahaman yang dibangun oleh orang dari Kota Thus di Persia itu? Tampaknya tidaklah demikian.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Saladin

berita
Patung untuk mengenang Saladin di Damaskus, Suriah (Foto: Wikipedia)

Nama Salahuddin Ayyubi identik dengan Perang Salib. Panglima perang dengan kepemimpinan yang bijak itu adalah pahlawan besar Islam, yang juga dihormati di dunia Barat.

Saladin, begitu dia dikenal di Barat, adalah pejuang Kurdi dari Tikrit (utara Irak saat ini) yang hidup pada 1138-1193. Dia menyatukan kembali Mesir, Suriah, dan Mesopotamia (Irak), serta terkenal dengan kesuksesannya mengusir Pasukan Salib Eropa keluar dari Yerusalem. Pasukan Salib adalah manifestasi pertama imperialisme Eropa.

Saladin dilahirkan dari keluarga Kurdi yang terkemuka. Pada malam kelahiran Saladin, ayahnya, Najm ad-Din Ayyub, mengumpulkan keluarganya dan pindah ke Aleppo. Di sana, ayahnya mengabdi kepada Imaduddin Zangi bin Aq Sonqur, gubernur Turki yang berkuasa di Suriah utara.

Tumbuh di Balbek dan Damaskus, Saladin awalnya tak berbeda dengan anak muda kebanyakan, lebih banyak mempelajari agama daripada memperoleh latihan militer. Namun, panglima perang bernama asli Salahuddin Yusuf ini mempersatukan dan memimpin dunia Muslim pada 1187, merebut kembali Yerusalem untuk Muslim setelah mengalahkan Raja Yerusalem dalam Perang Hattin di dekat Danau Galilee.

Ketika pasukannya memasuki kota Yerusalem, mereka tidak diizinkan untuk membunuh orang sipil, merampok, atau menghancurkan kota. Menjelang penyerbuan ke Yerusalem itu, Saladin memberi kesempatan kepada penguasa Kristen untuk mempersiapkan diri agar bisa melawan pasukannya dengan terhormat. Saladin pun tak menjadikan warga Nasrani sebagai budak, melainkan malah membebaskan sebagian besar mereka.

Kebaikan hati Saladin ini bertolak belakang ketika Pasukan Salib dari Eropa merebut Yerusalem pada 1099. Saat itu 70 ribu orang Muslim di Yerusalem dibantai, sementara sisa-sisa warga Yahudi digiring ke sinagog dan dibakar.

Orang-orang Kristen dari barat Eropa terheran-heran dengan kesuksesan Saladin merebut Yerusalem. Paus Gregory VIII kemudian memerintahkan pasukan salib yang lain untuk mendapatkan kembali Yerusalem untuk Kristiani. Ini adalah awal Perang Salib Ketiga. Perang ini dipimpin oleh Richard I (Richard the Lionheart), Kaisar Frederick Barbarossa dari Jerman, dan Raja King Philip II dari Prancis. Mereka adalah tiga tokoh penting di barat Eropa. Perang ini berlangsung antara 1189-1192.

Saladin dan Richard the Lionheart adalah dua nama yang mendominasi kisah-kisah Perang Salib. Salah satu kisah yang membuktikan kelembutan hati Saladin adalah ketika Richard jatuh sakit di tengah-tengah masa pertempuran. Bukannya memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang, Saladin justru mengirimkan dokter untuk Richard, juga buah pir yang dikemas dalam salju.

Itulah Saladin. Selain dikagumi di kalangan Muslim, dia memiliki reputasi besar di kalangan Kristen Eropa. Kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.

Sepanjang berjuang, Saladin selalu membawa sebuah peti yang tertutup rapat. Banyak yang menyangka isi peti itu adalah batu permata atau barang-barang berharga lainnya. Namun, ketika Saladin wafat pada 4 Maret 1193 dan peti itu dibuka, ditemukan sehelai surat wasiat dan kain kafan, serta segumpal tanah.

Dalam suratnya Saladin berpesan, "Kafankanlah aku dengan kain kafan yang pernah dibasaih air zam-zam ini, yang pernah mengunjungi Kakbah yang mulia dan makam Rasulullah. Tanah ini adalah sisa-sisa perang. Buatlah kepalan untuk alas kepalaku di dalam kubur." (jri)

Thariq bin Ziyad, Sang Penakluk Spanyol

berita
(wordpress)

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, ajaran Islam menyebar dengan cepatnya ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa, ajaran Islam berangkat dari Afrika Utara dan masuk melalui Spanyol.

Kisah masuknya Islam ke Spanyol tak bisa dilepaskan dari sosok heroik Thariq bin Ziyad, yang ditugaskan Gubernur Afrika Utara Musa bin Nushair. Menurut catatan, Thariq dilahirkan pada 15 November 689, dan merupakan budak yang dimerdekakan oleh Musa bin Nushair.

Alkisah, penugasan untuk Thariq didasarkan atas kondisi Spanyol yang tengah dilanda konflik antara sesama penganut Kristen. Raja Roderick yang berkuasa saat itu memaksakan ajaran Trinitas yang dianutnya kepada umat Nasrani Aria. Sementara Nasrani Aria meyakini Nabi Isa adalah semata-mata utusan Allah.

Roderick pun dikenal dengan kekejamannya. Dia menerapkan pajak tinggi bagi rakyat, serta menyuburkan pelecehan terhadap kaum perempuan. Kondisi itulah yang membuat banyak penduduk Spanyol eksodus ke Afrika, yang ketika itu dipimpin pemerintahan Islam.

Salah satu dari warga yang eksodus adalah Gubernur Ceuta, Julian, yang putrinya, Florinda, dinodai oleh Roderick. Kepada Musa bin Nushair, Julian meminta agar Spanyol dibebaskan dari penindasan Roderick.

Pada Ramadan 92 Hijriyah, bertepatan dengan 711 Masehi, Thariq bin Ziyad tiba di Spanyol untuk misi dakwah. Namun ajakan dakwah tersebut mendapatkan respons yang tidak baik dari Roderick.

Tak banyak pasukan yang dibawa Thariq ketika itu. Menurut catatan, hanya ada 12.000 orang, sementara tugas penaklukan yang dibebankan tidaklah mudah. Terlebih, jumlah pasukan Visigothic ketika itu mencapai 100.000.

Perbedaan jumlah kekuatan itu tak membuat Thariq mundur. Dia malah memerintahkan kapal-kapal yang membawa pasukannya dibakar. Keputusan Thariq itu jelas menimbulkan tanda tanya. Namun dalam pidatonya, Thariq kembali membakar semangat prajurit Islam untuk terus maju berjuang:

"Di belakang kita ada lautan luas, di hadapan kita pasukan musuh. Jadi, kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa (syahid)?".

Namun kemenangan berpihak kepada pasukan Islam, yang mengalahkan pasukan Roderick di Bakkah. Selanjutnya giliran kota-kota seperti Cordova, Granada, dan Toledo ditaklukkan. Toledo ketika itu merupakan ibu kota Kerajaan Visigothic,.

Untuk menandakan kesuksesan Thariq, bukit di pantai tempat pendaratannya lalu diberi nama Jabal Thariq, yang kini dikenal dengan nama Gibraltar. Bahkan Thariq dianggap sebagai salah satu komandan militer terpenting dalam sejarah Iberia.

Setelah penaklukan oleh Thariq, Islam menyebar dengan cepat. Bahkan kota-kota semacam Andalusia dan Cordova ketika itu menjadi pusat peradaban dunia.

Dari Spanyol Islam memasuki Austria. Selanjutnya pada akhir abad 1800, ajaran Islam semakin meluas di tanah Eropa.

(Diolah dari berbagai sumber) (jri)

Dari Bukit Sinai ke Bukit Zaitun

-
berita

Hal mendasar yang tidak disadari oleh umat beragama sendiri di zaman akhir ini adalah masing-masing menjadi tawanan (the captives) dari kepentingan-kepentingan jangka pendek atau expediency, dan terlupa dari prinsip-prinsip. Kecenderungan apologetik mengatakan bahwa yang salah bukanlah agamanya, melainkan para pemeluknya. Dengan perkataan lain, para pemeluk agama telah mengalami alienasi dari agamanya sendiri atau agama menjadi terasa asing karena tidak cocok dengan harapan penuh nafsunya (nafsu memusuhi, membenci, menyerang, dan lain-lain akibat salah pengertian, kurangnya saling berkomunikasi, atau karena warisan-warisan masa lalu yang tidak terlalu jauh seperti zaman kolonial, dan seterusnya).

Dalam Islam sendiri, menurut sebuah sabda Nabi (hadis) juga ada peringatan bahwa agama itu datang sebagai “hal yang aneh” dan nanti akan kembali menjadi “hal yang aneh” lagi seperti semula. Maka para pemikir Islam seperti Muhammad Abduh mengatakan bahwa “Islam tertutup oleh kaum Muslim sendiri”, atau seperti dikatakan oleh Karen Armstrong, berkenaan dengan kedudukan kaum wanita dalam Islam sekarang, Islam, sama dengan agama Kristen, telah “dibajak” oleh para pemeluknya sendiri, yakni dengan memberi tafsiran dan penalaran yang sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh Kitab Suci Alquran. Kalau itu semua betul, maka bagaimana dengan ide “memperkenalkan kembali” ajaran agama kepada para pemeluknya sendiri? Suatu kegiatan yang salah akan tampil sangat pretensius, namun tentu tidak ada jeleknya jika dicoba.

Menurut Ibn Taimiyah dan Ayatullah Khomeini- yang masing-masing mewakili secara berturut-turut dunia pemikiran Islam Sunni Hanbali dari zaman klasik dan dunia pemikiran Islam Syi`i-Ja`fari dari zaman modern-beriman kepada para nabi berarti menerima dan mengikuti ajaran mereka (“yang masih absah”, yakni, tidak terkena pembatalan atau abrogasi, naskh). Maka yang langsung terkait dengan persoalan etika sumber daya manusia ialah inti ajaran agama-agama, yang secara simbolik-representatif dicerminkan kepada kontinum inti ajaran tiga agama Semitik (atau Abrahamik), yaitu: Yahudi, Kristen, dan Islam, dan secara prinsipil analog dengan inti ajaran agama-agama yang lain dikalangan umat manusia. Inti ajaran agama Semitik itu, setidaknya demikian menurut banyak ahli tafsir Alquran, menjadi dasar bagi adanya sumpah Ilahi dengan pohon tin (Inggris: fig), pohon zaitun, Bukit Sinai dan negeri yang sangat aman, Makkah.

Pohon tin adalah pohon yang umum tumbuh di sekitar daerah Laut Tengah bagian timur, khususnya Palestina. Tuhan menyebutkan pohon itu sebagai isyarat kepada negeri ini, khususnya Kanaan, sebagai negeri tempat Ibrahim memantapkan dirinya dalam mengemban tugas membawa paham Ketuhanan Yang Maha Esa kepada umat manusia (yang oleh Ibrahim, dengan meminjam istilah masyarakat setempat saat itu, Tuhan Yang Maha Esa itu disebut El-yakni Tuhan tau Sesembahan- atau El Elyon- yakni, Tuhan Yang Mahatinggi, Allah Ta`ala). Di negeri itu pula Ibrahim, dalam usianya yang lanjut, dianugrahi dua orang putra dari dua orang istri, yaitu Isma`il (Isma-El, “Tuhan telah mendengar”) dan Ishaq melalui Ya`qub (Israil, Isra-El, “hamba Tuhan”) tampil para nabi (Al-asbath). Dan masih di Palestina pula- tempat banyak tumbuh pohon Zaitun- Isa Al Masih a.s tampil, dengan sari ajaran yang disampaikannya dalam khutbah dari atas Bukit Zaitun. Inilah relevansi sumpah Allah dengan pohon atau Bukit Zaitun.

Bukit Sinai (Arab: Thur Sina) adalah bukit atau gunung tempat Nabi Musa a.s menerima Sepuluh Perintah (The Ten Commandments, Al-Kalimat Al-`asyr) dari Tuhan yang merupakan perjanjian antara Tuhan dengan kaum Israil (anak keturunan Israil atau Yaqub), dan menjadi inti Kitab Taurat. Inilah inti dari apa yang oleh orang Barat sering dinamakan pandangan hidup Juddeo-Christian (Yahudi-Kristen), yang dinilai sebagai dasar pandangan etis dan moral peradaban Barat pada umumnya. Sedangkan, “negeri yang sangat aman”, yaitu Makkah, disebutkan sebagai acuan kepada kerasulan Nabi Muhammad Saw. Agama yang diajarkannya, sepanjang pandangan Alquran sendiri, adalah kelanjutan agama-agama sebelumnya, dan berhubungan dengan semua agama Tuhan bagi seluruh umat manusia. Sebanding dengan “Sepuluh Perintah” Tuhan lewat Nabi Musa a.s. tersebut, Alquran memuat “Sepuluh Wasiat” (Al-Wasaya Al-Asyr) dari Tuhan kepada umat manusia.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Cerita Nabi Musa dan Khidir

-
berita

Alquran banyak menggunakan air sebagai simbol kehidupan.” Ma`an ghadaqan “ (air yang melimpah) berarti kehidupan bahagia, lahir dan batin. Dalam sistem agama lain, air juga dijadikan sebagai simbol kehidupan, seperti digambarkan dalam cerita tentang Nabi Musa yang mau bertemu dengan Nabi Khidir. Ketika Nabi Musa ditanya oleh para pengikutnya tentang siapa yang lebih darinya, ia menjawab tidak ada. Mendengar kesombongan Nabi Musa, Tuhan marah dan berkata, “Ada yang lebih hebat dari kamu!” “Di mana dia?” “Cari saja di tepi laut!”

Ketika Nabi Musa mencari dan beristirahat di sebuah batu, bekal ikan yang sudah digoreng ternyata hidup kembali dan masuk ke laut. Ini seperti diceritakan dalam surat Al-Kahfi tentang pertemuan antara dua air yang kemudian menjadi landasan kaum tarekat sebagai tempat ideal untuk berzikir.

Di tempat ini, Nabi Musa mendapatkan orang yang tidak begitu mengesankan. Ketika ditanya apakah dia yang dikatakan lebih hebat darinya, Nabi Khidir menjawab tidak tahu. Karena merasa penasaran dan hendak mengetahui siapa dia, Nabi Musa meminta untuk ikut dengannya. Dengan tegas Nabi Khidir menolak karena yakin Nabi Musa tidak akan tahan melihat tingkah lakunya nanti. Tapi dengan janji tidak akan macam-macam, hanya ikut tunduk saja tanpa protes, akhirnya Nabi Musa diizinkan ikut juga.

Mereka kemudian menyeberangi selat dan naik perahu. Di tengah perjalanan ketika melihat perahu, perahu itu rusak. Nabi Musa tidak tahan melihat kejadian itu dan protes. Dengan enak orang itu menjawab,” kan sudah saya bilang kalau kamu tidak tahan mengikuti aku.” Ketika sampai di pantai dan bertemu dengan anak-anak yang sedang bermain riang, diambil salah satu dari mereka dan ditempeleng sampai mati. Nabi Musa marah sekali dan berkata,” Aqaltata nafsan zakiyatan bi ghayi nafsin” (Apakah engkau membunuh seorang jiwa yang suci bersih tanpa kesalahan seperti ini? [Q., 18: 74). Lagi-lagi, orang itu dengan tenang berkata “Kan saya sudah bilang kalau kamu tidak akan tahan ikut aku. “Kemudian Nabi Musa minta maaf.

Sampai di sebuah desa dan keduanya sudah lapar dahaga, tetapi tidak seorang pun menjamu mereka walau sudah diminta. Meskipun demikian, ketika melilhat rumah yang mau roboh, Nabi Khidir mengajak Nabi Musa untuk memperbaikinya. Dengan dalih perlakukan desa yang tidak bersahabat tadi, Nabi Musa keberatan untuk memperbaiki rumah itu.

“Protes yang ketiga. Dan inilah saatnya kita harus berpisah karena kamu tidak tahan mengikuti aku. Tetapi sebelum berpisah, saya akan menerangkan dahulu mengapa saya melakukan itu semua. Tentang perahu, saya merusaknya karena di seberang sana sedang menunggu perampok-perampok yang akan merampasnya. Jadi, saya rusak supaya tidak dirampas oleh perampok-perampok itu. Tentang anak kecil yang sedang bermain itu, saya membunuhnya karena saya mendapat wahyu dari Tuhan bahwa ketika besar nanti, ia akan durhaka kepada kedua orangtuanya, padahal kedua orangtuanya itu saleh. Jadi, saya bunuh dengan harapan nanti Allah akan menggantinya dengan anak yang saleh. Sedangkan rumah yang mau roboh tadi, di dalamnya ada harta yang tersimpan untuk anak-anak yatim yang sekarang berada di kota. Jadi, rumah itu kita bangun agar harta itu tetap utuh sampai saatnya anak yatim itu dewasa dan bisa memanfaatkannya.”

Cerita di atas sering dipandang sebagai cerita konflik atau ketegangan antara lahir yang tidak sanggup menerobos orientasi batin. Maka pencernaan yang dimaksud adalah dalam arti penembusan batas, `ibrah, `i`tibar, tingkah laku atau tindakan menyeberang. Maksudnya, orang tidak berhenti pada aspek lahir, tetapi mencoba memahami apa yang ada di sebelahnya. Hal demikian penting mengingat agama sebenarnya merupakan sistem simbol; orang baru akan mengerti dengan benar jika sanggup menyeberangi simbol-simbol itu. “Fa`tabiu ya `uli `l-abshar” , karena itu menyeberanglah wahai orang-orang yang mempunyai pikiran mendalam (Q., 59: 2). “Wa ma ya`qilu ha illa `l-`alimun, artinya tidak ada yang bisa memahami secara rasional kecuali mereka yang berpengalaman (Q., 29: 43).

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Dari Warisan Islam ke Revolusi Industri

-
berita

Kaum empirisis kebanyakan lahir di Inggris, sehingga menjadikan Inggris sebagai pelopor Revolusi Industri. Gejala ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ilmu pengetahuan yang dikembangkan terutama oleh Oxford dan Cambridge. Sampai sekarang kita masih melihat persaingan antara dua lembaga itu, di mana salah satu gejalanya ialah perbedaan antara kamus Oxford dan Cambridge. Ini persis seperti persaingan antara Arab yang diajarkan di pesantren-pesantren, selalu saja dikatakan, “menurut orang Kufah begini dan menurut orang Bashrah begini.”

Pertanyaannya kemudian, mengapa kaum emperisis lahir di Inggris, dan bukan di Spanyol, padahal yang terakhir ini mewarisi banyak sekali ilmu pengetahuan Islam? Ketika Spanyol berhasil melakukan penaklukan kembali – atau sebetulnya lebih tepat pengusiran – orang Islam dari daratan Spanyol, mereka lalu melakukan pelayaran – dengan menggunakan sisa-sisa teknologi Islam dalam pelayaran – sampai berhasil menemukan sebuah dunia baru, yaitu Amerika. Dari dunia itu mereka membawa banyak sekali kekayaan Amerika ke Spanyol, terutama emas, yang dirampas dari orang-orang Inka. Dengan emas itu mereka menjadi sangat kaya. Tetapi, mungkin karena orang Spanyol masih punya kenangan kepada orang Islam sebagai musuh, maka mereka membuat suatu kesalahan yang fatal, yaitu tidak meneruskan ilmu pengetahuan warisan Islam. Bahkan, mereka kemudian membiarkannya pindah ke mana-mana.

Emas yang dirampas Spanyol dari Amerika kemudian dijual kepada Inggris. Uang yang diperolehnya digunakan untuk mendirikan gereja dan katedral-katedral yang megah. Sebaliknya Inggris dengan modal emas yang diperoleh dari Spanyol itu mendirikan Universitas Oxford dan Cambridge, dan kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan. (Kita tahu bahwa negeri kita sendiri juga pernah menjadi korban percekcokan yang sengit antara Spanyol dan Inggris). Sampai sekarang Spanyol boleh berbangga dengan gereja-gerejanya yang megah, tetapi secara ekonomi mereka sebenarnya masih merupakan negara miskin. Bahkan ada kelakar bahwa Spanyol adalah “negeri copet”, karena para pencoleng dan rampok jalanan banyak berkeliaran di sana, suatu gejala yang merebak karena kemiskinan. Sementara itu, Inggris dengan ilmu pengetahuannya mengembangkan etos riset dan inovasi, termasuk mengembangkan empirisisme, dan akhirnya mereka melangkah ke zaman industri.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholis Madjid

Awal Perang Saudara

berita


Salah satu kebijakan `Umar yang dilanjutkan atau diwarisi oleh `Utsman ialah yang berkenaan dengan sistem keuangan negara. `Umar disebut sebagai “yang pertama menciptakan lembaga-lembaga” (Arab; Awwalu man dawwana al-dawawin), khususnya lembaga atau sistem penggajian tentara dengan besar dan kecilnya gaji (sesungguhnya lebih tepat disebut lump sum [jumlah bulat]) itu menurut tingkat kepeloporan seseorang dan jasanya dalam agama Islam.

Maka untuk menunjang sistemnya inilah antara lain `Umar tidak mengizinkan tentara memiliki tanah-tanah produktif (pertanian) di daerah-daerah yang telah mereka bebaskan, khususnya di kawasan Bulan Sabit Subur. Kebijakan `Umar di bidang ini dan di bidang finansial pada umumnya sangat dihargai oleh para ahli sejarah Islam (khususnya, tentu saja, kalangan Sunni) dan diakui oleh para ahli non-Muslim sebagai suatu tindakan seorang genius dan bijak. (Juga Umar lah yang memprakarsai pendirian lembaga keuangan yang dikenal dengan bait al-mal, harfiah berarti “rumah harta”).

Tetapi ketika `Utsman mewarisinya, ternyata sedikit demi sedikit sistem `Umar itu mulai menunjukkan segi-segi kelemahannya. Ditambah lagi, `Utsman tidak memiliki wibawa dan kecakapan seperti pendahulunya. Tentara di berbagai kota garnisun mulai merasakan tidak adilnya penghasilan daerah mereka dikontrol dan dibawa ke Madinah sebagai fay` (milik negara). Mereka menginginkan untuk secara langsung mengontrol dan menguasai penghasilan daerahnya masing-masing itu. Ketidakpuasan ini masih harus ditambah dengan gejala-gejala nepotisme Umawi yang semakin terasa pada masa `Utsman, khususnya dalam bidang-bidang keuangan ini. Maka, mengulangi, perdebatan di masa Umar sekitar masalah tanah-tanah pertanian daerah taklukan itu, para tentara menghendaki agar tanah-tanah produktif itu langsung dibagikan kepada tentara penakluk bersangkutan, dan dilepaskan dari pengawasan Madinah, sama dengan harta rampasan perang mana pun juga. Jadi berbeda dengan pandangan `Umar yang tidak melihatnya demikian.

Akumulasi dari semua ketidakpuasan terhadap `Utsman itu yang jelas sebagian bukan karena kesalahan `Utsman sendiri yang berakhir dengan pembunuhan Khalifah. Dengan begitu dimulailah perang saudara selama lima tahun, hanya selang sekira seperempat abad sejak wafat Nabi.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Awal Mula Maulid

-
berita


Sebetulnya maulid adalah ide Salahuddin Al-Ayyubi, seorang sultan dari Mesir yang terlibat dalam Perang Salib ketika orang Islam menderita kekalahan; pada saat itu Yerusalem dan Palestina dikuasai orang-orang Kristen dan tentara Salib.

Salahuddin Al-Ayyubi berpikir bagaimana membangkitkan semangat tentara Islam. Lalu dia mendapat inspirasi dari Natal di mana orang-orang Kristen memperingati hari kelahiran Isa Al-Masih. Natal dari bahasa Latin, artinya kelahiran, dalam bahasa Arab disebut Milad.

Natal itu kemudian ditiru oleh Salahuddin Al-Ayyubi untuk membangkitkan semangat tentara Islam. Sejak itu, orang-orang Islam banyak memperingati hari kelahiran Nabi, yang dinamakan milad dan kemudian menjadi maulid. Orang Kristen lebih dulu menggunakan perkataan milad daripada orang Islam menggunakan kini disebut penanggalan nasional dalam bahasa Arab disebut tahun miladi, artinya tahun yang dihitung sejak kelahiran Isa Al-Masih, yakni tahun Masehi (tahun Kristen).

Ketika Salahuddin mempunyai ide memperingati kelahiran Nabi, maka yang dibaca ialah riwayat-riwayat kepahlawanan Nabi yang dalam bahasa Arab disebut Maghazi (peristiwa-peristiwa perang Nabi). Semua itu memuat kisah bagaimana Nabi memimpin Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandak, dan sebagainya, yang di dalamnya memang terkesan kuat sekali tindakan-tindakan heroik Nabi dan para sahabat.

Ternyata apa yang diharapkan Salahuddin Al-Ayyubi itu terwujud. Semangat umat Islam bangkit dan kemudian mereka berhasil mengusir tentara Salib. Tegasnya, tentara Salib itu kalah oleh tentara Islam karena maulid.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madji

-


Belajar dari Kaum Mu'tazilah

-
berita

Telah umum diketahui bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah pelopor pembahasan masalah akal dan wahyu. Dalam pandangan mereka, kedua hal itu tidak mungkin bertentangan. Sebab wahyu adalah kebenaran, dan akal adalah anugerah Tuhan untuk mampu menangkap kebenaran itu. Pandangan ini seluruhnya sejalan dengan berbagai dorongan dalam Alquran agar kita menggunakan akal, berpikir, merenung (ya`qilu, yatafakkaru, dan yatadabbaru, dengan tashrif derivatif masing-masing). Ayat-ayat Alquran banyak sekali diakhiri dengan perkataan-perkataan ini, baik yang bernada pujian kepada yang melakukannya ataupun yang bernada gugatan kepada yang tidak melakukannya.

Secara populer diketahui bahwa pelopor gerakan Mu`tazilah ialah Washil ibn `Atha (w. 131 H/749 M.) dari Bashrah, (bekas) murid Hasan Bashri (Al-Hasan Al-Bashri w. 110 H./728M.). Meskipun riwayat menyebutkan bahwa pikiran i`tizAl-nya tumbuh karena kekecewaan kepada gurunya dalam menjawab tentang status seseorang yang mengaku beriman namun berdosa besar, Washil dapat dipahami lebih baik hanya jika diperhitungkan pengaruh gurunya itu. Sebab Hasan Bashri adalah seorang tokoh ulama yang sangat cenderung kepada paham Qadariyah, yang menyebabkan ia banyak berhadapan dengan rezim Umayah di Damaskus (yang terkenal sangat kuat berpegang kepada paham Jabariyah).

Paham Qadariyah sendiri merupakan salah satu tema pokok pandangan keagamaan kaum Khawarij. Lagi-lagi, sekalipun kaum “pemberontak “ ini “memberontak” kepada Ali ibn Abi Thalib, namun banyak wawasan kaum Khawarij yang rasional dan demokratis berakar dalam wawasan khalifah keempat itu. Bahkan meskipun paham kaum Khawarij akhirnya berkembang menjadi ekstrem sehingga kelak mereka dinyatakan oleh kaum Sunni sebagai pembuat bid`ah (ahlu `l-bid`ah atau al-mubtadi`ah) dan golongan penurut keinginan sendiri (ahl-u `l-ahwa`). Namun secara keagamaan, pribadi mereka itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah, adalah orang-orang yang saleh dan sangat dapat dipercaya.

Dalam penilaian kalangan ahli sejarah politik dan pemikiran Islam, kaum Mu`tazilah adalah “titisan” kaum Khawarij, kecuali bahwa mereka itu tidak terlalu berat terobsesi kepada kekuasaan politik. Tapi, ketika paham Mu`tazilah itu diambil oleh Khalifah Al-Ma`mun dan diputuskannya sebagai paham “resmi” negara (dengan ekses negatif yang ironis berupa mihnah atau pemeriksaan paham pribadi), kelompok Muslim “rasionalis” itu mampu menggerakkan wawasan keilmuan dan etos intelektual dalam peradaban Islam yang hasil-hasilnya masih menjadi topik kebanggaan kaum Muslim sampai sekarang. Ekses paham i`tizal memang ada, tapi merupakan hal sekunder.

Kaum Muslim zaman modern mungkin tidak perlu mengulang kembali secara keseluruhan paham Mu`tazilah. Tetapi jelas sekali bahwa mereka perlu membangkitkan kembali wawasan keilmuan dan etos intelektual pada “zaman keemasan” Islam itu.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Buya Hamka Pemikir Islam Modernis

-
berita

Buya Hamka
Tidaklah berlebihan kiranya jika disebutkan bahwa Buya Hamka adalah seorang pemikir Islam modernis yang paling subur di Indonesia. Beliau bukanlah seorang sarjana dengan pendidikan formal yang memadai, melainkan seorang autodidak. Namun, beliau adalah seorang pribadi yang memiliki kemampuan kognitif yang sedemikian tingginya sehingga hanya dengan beberapa bekal pendidikan masa kecilnya saja beliau sanggup menghimpun dan kemudian memproduksi sedemikian luas ilmu pengetahuan agama melebihi kebanyakan mereka yang berpendidikan formal.

Kelebihan lain Buya Hamka ialah kesanggupannya menyatakan pikiran dalam ungkapan modern dan kontemporer. Oleh karena itu, Buya Hamka berhasil menjalin komunikasi intelektual dengan kalangan terpelajar tanpa hambatan. Pikiran-pikirannya diterima di kalangan luas, khususnya kalangan umat Islam Indonesia yang sering diindentifikasi sebagai “kaum modernis” atau “kaum pembantu”.

Sebagai tokoh kelahiran Tanah Minang, dan lebih-lebih lagi sebagai putra seorang pendekar pembaruan yang tersohor (Dr Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul), Buya Hamka memang tidak dapat dilepaskan dari jiwa dan semangat pembaruan dan modernisme Islam. Tanah Minang adalah bagian dari negeri kita yang paling banyak mendapat pengaruh dari pikiran-pikiran reformasi Islam. Pengaruh itu mula-mula datang dari pemikiran “reformasi klasik” – seperti yang dibawa oleh Haji Miskin (dan kawan-kawannya) dari Hijaz (yang kemudian menyulut api Perang Padri) – yaitu pemikiran reformasi Salafiyah menurut gerakan Muhammad ibn Abd Al-Wahab dan para pendukungnya (“Kaum Wahabi”).

Tidak lama kemudian disusul pengaruh pemikiran reformasi jenis “modernis”, seperti yang dibawakan oleh mereka yang datang dari Mesir. Mereka ini mewakili gerakan triad Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Rasyid Ridla. Dalam suasana yang penuh pengaruh reformasi itulah Buya Hamka hidup. Suasana reformasi itu sangat memengaruhi perkembangan pemikiran beliau sehingga mengantarkannya menjadi salah seorang tokoh pembaruan yang sangat unik dan penuh pesona.

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Dampak Politik Mu'awiyah

-
berita


Dari sejarah Islam, kita mengetahui para tokoh sahabat Nabi Saw, yang terlihat dalam pertikaian politik dan perpecahan sesama mereka. Yang paling seru, dan bekasnya masih amat berpengaruh sampai sekarang, ialah antara `Ali dan Mu`awiyah. Sebenarnya, orang cukup mudah membuat penilaian untuk kemudian memihak kepada `Ali atau membenarkannya – dan itulah pendapat yang dominan di seluruh dunia Islam hingga kini - namun kenyataannya, dari segi perpolitikan Islam, Mu`awiyah adalah orang yang dituduh, secara benar, mengubah sistem perpolitikan kaum Muslim dari yang semula bersifat terbuka, egaliter, dan partisipatif, menjadi bersifat tertutup, hierarkis, dan otoriter.

Jelasnya, dari sistem kerajaan. Hendaknya kita ketahui bahwa masa kekhalifahan yang sejati itu hanya berlangsung selama 30 tahun (dari Abu Bakar sampai `Ali), dan sejak itu sampai sekarang, selama lebih kurang 14 abad, yang ada ialah sistem kerajaan, meskipun raja-raja itu mengklaim dan menamakan diri mereka sebagai khalifah, termasuk yang terakhir dan ditumbangkan oleh Kemal Attaturk di Turki Utsmani.
Hanya di zaman modern tentang negara dan politik, banyak negeri Muslim yang berbentuk bukan lagi kerajaan, tapi republik, seperti Aljazair, Tunis, Lybia, Mesir, Sudan, Somalia, Jibouti, Yaman, Suriah, Irak, Iran, Afganistan, Pakistan, Bangladesh, Maladewa, dan Indonesia. Sedangkan selebihnya, yaitu Maroko, Yordania, Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, Oman, dan Malaysia dapat disebut sebagai kelanjutan konsisten tradisi perpolitikan Islam sesudah masa kekhalifahan, yakni sejak masa Mu`awiyah. (Uni Emirat Arab adalah unik, karena merupakan uni dari sistem politik pimpinan seorang syaikh – di sebut dalam Inggris sheikhdom- namun uni itu sendiri dipimpin oleh seorang Presiden).

Demikianlah pengaruh Mu`awiyah dan sistem poitiknya. Dari segi keagamaan, khususnya berkat rintisan Khalifah `Umar ibn Abdul Aziz, Dinasti Umayah yang didirikan oleh Mu`awiyah mewariskan paham Sunni yangn lebih terkonsolidasi. Bahkan kaum Abbasi pun, yang dalam revolusi mereka menumbangkan Dinasti Umayyah melakukan kekejaman luar biasa yang jelas sekali merupakan genocide atau ethnic cleansing terhadap dinasti yang ditumbangkannya, akhirnya justru memeluk ideologi keagamaan Sunnisme warisan Umayah, dengan menindas dan berusaha membasmi kaum Syi`ah dan Khawarij.

Permulaan dari perubahan yang dilakukan oleh Mu`awiyah yang membawa dampak permusuhan lebih parah dalam Islam itu tercermin dalam wasiatnya kepada Yazid, anaknya sendiri yang ia tetapkan untuk menggantikan dirinya: Wasiat Mu`awiyah kepada anaknya, Yazid: “....Aku tidak mengkhawatirkan kepada engkau akan ada yang menentangmu kecuali dari empat tokoh kalangan Quraisy, Al-Husain ibn `Ali, `Umar, `Abdullah ibn Al-Zubair, dan `Abdurrahman ibn Abi Bakar. Tentang (`Abdullah) ibn `Umar, dia adalah tokoh yang sibuk beribadah, dan jika tidak ada seorang pun selain dia, dia akan membaiat engkau; tentang Al-Husain, penduduk Irak tidak akan mendukungnya kecuali dengan mendorongnya untuk memberontak kepadamu dan engkau menang, tunjukkan sikap yang lembut kepadanya, sebab dia itu memiliki rasa cinta yang memikat dan hak yang agung; tentang ('Abdurrahman) ibn Abi Bakar, dia adalah seorang lelaki yang jika melihat para sahabatnya berbuat sesuatu dia akan juga memperbuatnya seperti mereka, namun ia tidak mempunyai perhatian kecuali kepada wanita dan kesenangan; tetapi yang bakal menerkam engkau bagaikan harimau dan mencakar engkau bagaikan serigala, dan yang jika ada kesempatan pasti akan meloncat, itulah (Abdullah) ibn Al-Zubair. Jika ia lakukan itu dan engkau dapat mengalahkannya, maka cincanglah ia sehabis-habisnya.

Adalah Mu`awiyah yang mampu menulis wasiat seperti itu yang juga telah bertindak sendiri, kemudian mewariskan berbagai praktik-praktik yang tidak terpuji dalam sejarah awal perpolitikan Islam. Dari sekian banyak peristiwa kekejaman Mu`awiyah, beberapa di antaranya menyangkut keluarga `A`isyah, bekas istri Nabi yang digelari Umm Al-Mu`minin (Ibu Kaum Beriman), seperti bagaimana Mu`awiyah membunuh dengan kejam saudara `A`isyah, Muhammad ibn Abu Bakar yang menjadi Gubernur Mesir dari pihak `Ali. Juga peristiwa-peristiwa kekejaman Mu`awiyah yang mendorong `A`isyah untuk melakukan oposisi kepadanya, seperti pembunuhan kejam terhadap Hujr ibn `Abdi dan kawan-kawan atas dasar kesalahan menginterupsi khutbah Jumat Ziyad ibn Abih, Gubernur Kufah dari pihak Mu`awiyah, yang berkhutbah terlalu panjang dan waktu salat Jumat hampir habis. `A`isyah melindungi Abdurrahman ibn Abu Bakar, saudaranya, ketika yang terakhir ini menentang keputusan Mu`awiyah menunjuk anaknya sendiri Yazid, dan menuduh Mu`awiyah menganut “Hirqaliyah” (“Herakliusisme”, yakni sistem penunjukan anak atau keluarga sendiri sebagai calon pengganti raja, atau sistem kerajaan yang diketahui orang Arab dipraktikkan oleh Romawi Timur atau Byzantium yang saat itu kaisarnya ialah Heraklius).

Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Al Quran On Line