Senin, 30 Agustus 2010

Tiga Faktor Pengurang Nilai Puasa



Oleh KH Didin Hafidhuddin

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah SAW menyatakan, banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak menghasilkan apa pun dari puasanya, selain lapar dan haus. (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).

Hadis ini mengisyaratkan secara tegas bahwa hakikat shaum (puasa) itu, sesungguhnya, bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi, puasa adalah menahan diri dari ucapan dan perbuatan kotor yang merusak dan tidak bermanfaat. Termasuk juga kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap cercaan dan makian orang lain. Itulah sebagian dari pesan Rasulullah SAW terhadap kaum Muslimin yang ingin puasanya diterima Allah SWT.

Pada umumnya, orang yang berpuasa mampu menahan diri dari makan dan minum, dari terbit fajar sampai terbenam matahari, sehingga puasanya sah secara hukum syariah. Akan tetapi, banyak yang tidak mampu (mungkin juga kita) mengendalikan diri dari hal-hal yang mereduksi, bahkan merusak pahala puasa yang kita lakukan.

Pertama, ghibah, menyebarkan keburukan orang lain, tanpa bermaksud untuk memperbaikinya. Hanya agar orang lain tahu bahwa seseorang itu memiliki aib dan keburukan yang disebarkan di televisi dan ditulis dalam surat kabar dan majalah, lalu semua orang mengetahuinya. Penyebar keburukan orang lain pahalanya akan mereduksi sekalipun ia melaksanakan puasa, bahkan mungkin hilang akibat perbuatan ghibah yang dilakukannya.

Kedua, memiliki pikiran-pikiran buruk dan jahat, dan berusaha melakukannya, seperti ingin memanfaatkan jabatan dan kedudukan untuk memperkaya diri, terus-menerus melakukan korupsi, mengurangi takaran dan timbangan, mempersulit orang lain, dan melakukan suap-menyuap. Jika hal itu semua dilakukan, perbuatan tersebut pun dapat mereduksi pahala puasa, bahkan juga dapat menghilangkan pahala serta nilai-nilai puasa itu sendiri.

Ketiga, sama sekali tidak memilik empati dan simpati terhadap penderitaan orang lain yang sedang mengalami kelaparan atau penderitaan, miskin, dan tidak memiliki apa-apa. Orang yang berpuasa, akan tetapi tetap berlaku kikir dan bakhil, nilai puasanya akan direduksi atau dihilangkan oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, marilah kita berpuasa dengan benar, baik secara lahiriah (tidak makan dan minum) maupun memuasakan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang buruk. Latihlah pikiran dan hati kita untuk selalu lurus dan jernih, disertai dengan kepekaan sosial yang semakin tinggi. Berusahalah membantu orang-orang yang sedang mengalami kesulitan hidup. Wallahu a'lam

Keutamaan Memohon Ampunan

=
Keutamaan Memohon Ampunan
Shalat

Oleh Syahruddin El-Fikri

Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam agar senantiasa memperbanyak amal ibadah di bulan Ramadhan. Sebab, terdapat banyak keutamaan yang akan diperolehnya. Ibadah sunah menjadi bernilai fardhu, makan sahur merupakan berkah, bersedekah akan dilipatgandakan, membaca Alquran akan menjadi syafaat, dan beribadah pada malam Lailatul Qadar nilainya lebih baik daripada seribu bulan.

“Wahai manusia! Sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan ampunan Allah. Bulan yang mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah yang paling utama. Malam-malamnya adalah yang paling utama. Waktu demi waktunya adalah yang paling utama.” (HR Ibnu Khuzaimah).

Salah satu amalan yang disunahkan adalah memperbanyak ampunan dan tobat kepada Allah. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat.” (Al-Baqarah [2]: 222). “Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini.” (HR Ibnu Khuzaimah).

Rasulullah SAW membagi bulan Ramadhan itu menjadi tiga. Pertama, bulan rahmat pada 10 hari pertama (awwaluhu rahmah), bulan ampunan pada 10 hari kedua (wa awsathuhu maghfirah), dan bulan pelepasan dari siksa neraka pada 10 hari terakhir (wa akhiruhu itqun min an-nar).

Kini, kita semua telah berada pada 10 hari kedua Ramadhan. Inilah kesempatan bagi kita untuk terus memperbanyak amal ibadah, memohon ampunan kepada Allah, dan bertobat atas segala kesalahan dan kekhilafan. “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (QS at-Tahrim [66]: 8).

Tobat yang sebenarnya (taubatan nasuha) adalah berhenti melakukan dosa, menyesali perbuatan tersebut, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Rasulullah SAW adalah seorang hamba Allah yang paling mulia dan telah diampuni segala dosa-dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Namun, beliau tetap memohon ampunan kepada Allah, sebagai wujud kecintaan dan syukurnya. “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah dan mohon ampunlah kepada-Nya karena sesungguhnya aku saja setiap hari bertobat sebanyak 100 kali.” (HR Muslim).

“Sesungguhnya dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)-mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. (HR Ibnu Khuzaimah).

Banyak keutamaan bagi orang yang senantiasa memohon ampunan dan bertobat kepada Allah. Pertama, segala dosanya akan diampuni dan berubah menjadi kebaikan (QS Al-Furqan [25]: 70). Kedua, didoakan para malaikat (QS Al-Mu'min [40]: 7-8). Ketiga, menjadi penduduk surga. (QS Ali Imran [3]: 135-136). Keempat, diberikan nikmat yang baik, seperti panjang umur dan harta berlimpah. (QS Hud [11]: 3). Dan Allah berjanji akan mengampuni segala dosa hamba-hamba-Nya yang senantiasa memohon ampunan kepada-Nya. (QS Al-Baqarah [2]: 186).

Di bulan yang agung dan mulia ini, hendaknya kita senantiasa memperbanyak amal ibadah, sekaligus memohon ampunan atas segala kesalahan dan kekhilafan. Amien.

Jumat, 27 Agustus 2010

Definisi Amanah

Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

Macam-macam Amanah

Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)

Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)

Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)

Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)

Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)

Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Rabu, 25 Agustus 2010

Menggapai Derajat Mental Malaikat

Menggapai Derajat Mental Malaikat
ilustrasi

Oleh Dr A Ilyas Ismail MA

Ibadah puasa merupakan sarana latihan untuk pengembangan diri. Ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, dalam bukunya Fiqh al-Shiyam, memandang puasa Ramadhan sebagai lembaga pendidikan par-excellent (madrasah mutamayyizah) yang dibuka oleh Allah SWT setiap tahun. Siapa yang mendaftar dan mengikuti “perkuliahan” dengan baik sesuai petunjuk Islam, ia akan lulus ujian dengan predikat “sukses besar”. Karena, tak ada keuntungan yang lebih besar ketimbang meraih ampunan Tuhan dan bebas dari siksa neraka.

Di antara hikmah paling penting ibadah puasa, bagi al-Qaradhawi, adalah pencucian atau peningkatan kualitas diri (tazkiyyat al-nafs). Puasa diharapkan dapat meninggikan kualitas jiwa dan mentalitas manusia sehingga ia menjadi manusia yang benar-benar tunduk dan menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Inilah potret manusia bertakwa yang ingin dicapai melalui ibadah puasa.

Dalam pemikiran Islam, jiwa atau mental (al-nafs) memiliki empat tingkatan mulai dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Pertama, mental tumbuh-tumbuhan (nafs al-nabat). Wilayah kerja (domain) mental tumbuh-tumbuhan adalah makan dan minum. Manusia dengan mental ini tentu tidak dapat menjalankan ibadah puasa.

Kedua, jiwa binatang (nafs al-hayawan). Domain jiwa binatang adalah gerak, harakah (motion), memangsa, dan seksualitas. Jiwa binatang tidak mengenal rambu-rambu hukum. Yang kuat memangsa dan menerkam yang lemah. Inilah yang dinamakan hukum rimba. Manusia dengan mental ini juga tak dapat melaksanakan ibadah puasa.

Ketiga, jiwa manusia (nafs al-insan). Domain jiwa manusia adalah berpikir dan berprestasi. Jiwa ini jauh lebih tinggi dari dua jiwa terdahulu. Tapi, bukan tanpa kelemahan. Dalam berpikir dan mencapai prestasi, jiwa manusia sering diliputi penyakit sombong (kibr), serakah (al-thama`), serta dengki (al-hasad), dan iri hati (al-hiqd wa al-hasad).

Keempat, jiwa atau mental malaikat (nafs al-malakut). Domain mental ini adalah kebenaran dan kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT tanpa reserve. “Penjaganya ialah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS Al-Tahrim [66]: 6).

Mental malakut, seperti dipaparkan di atas, merupakan mental yang paling tinggi. Ibadah puasa sesungguhnya dimaksudkan agar manusia memiliki semangat dan jiwa malakut ini. Ini tidak bermakna bahwa manusia harus bertransformasi (merubah bentuknya) menjadi malaikat. Tidak. Tapi, transformasi dalam arti peningkatan kualitas diri dengan semangat kebenaran (tahaqquq) dan pengabdian (ta`abbud) yang tinggi kepada Allah SWT. Wallahu a`lam.

Belajar dari Puasanya Kupu-kupu


Belajar dari Puasanya Kupu-kupu
Kupu-kupu

Oleh H Jatiman Karim

Kupu-kupu adalah hewan yang sangat indah dan menarik. Sayapnya yang berwarna-warni dengan motif yang sangat rapi serta kelincahannya terbang dari satu bunga ke bunga yang lain, menjadi daya tarik bagi setiap orang untuk mengagumi makhluk ini.

Kupu-kupu tak hadir begitu saja ke muka bumi, tapi melalui proses metaformosis dari binatang yang bernama ulat. Menyebut namanya, mungkin ada sebagian orang yang jijik, geli, takut, penyebab kulit gatal, perusak tanaman, dan sebagainya. Ia begitu identik dengan sifat yang tidak baik. Hampir tak ada orang yang mau menyentuhnya.

Namun, ketika seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah, semua orang pun berusaha memilikinya dan bahkan mengaguminya. Mereka tak merasa takut dengan seekor kupu-kupu yang sesungguhnya berasal dari ulat. Itulah kupu-kupu. Hewan yang indah dan menarik. Makanannya pun bahan pilihan, dan selalu membantu proses penyerbukan tanaman.

Untuk menjadi kupu-kupu, ulat terlebih dahulu menjadi kepompong. Itulah sebuah metamorfosis, yang dalam bahasa manusianya sedang menjalani puasa, menjauhkan dari dari makan dan minum, menutup dirinya dari hiruk pikuk kehidupan dunia. Ia begitu mirip dengan cara kita beriktikaf, yaitu merenung diri dan melakukan pertobatan, sehingga keluar menjadi kupu-kupu yang indah, disayang semua orang dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Itulah barangkali gambaran puasa Ramadhan yang diharapkan oleh Allah SWT terhadap orang-orang yang beriman. Kita, umat manusia yang banyak berbuat salah dandosa, hendaknya biasa belajar dari ulat dan mengubah diri menjadi manusia yang bertakwa dan disayang Allah SWT.

Tipe manusia yang disayang Allah itu adalah; pertama, orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati (tidak sombong) dan apabila orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS Al-Furqan [25]: 63).

Demikianlah gambaran orang mukmin yang berpuasa, senantiasa menyebarkan kelembutan dan keindahan, serta tidak suka berbuat keonaran dan kerusakan, di manapun dia berada. Sebagaimana sifat kupu-kupu yang hinggap di sebuah dahan yang tak akan pernah ada yang patah sekecil apa pun dahan yang dihinggapinya.

Kedua, mereka yang senantiasa mendirikan shalat lima waktu dan shalat tahajjud di malam hari sebagai wujud syukur kepada Allah (Al-Furqan [25]: 64, 73). Seperti kupu-kupu, di manapun seorang mukmin berada, dia akan selalu melaksanakan perintah Allah, menebarkan kasih sayang, dan menolong orang lain. Sebab, ia menyadari bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah seorang hamba yang juga tidak memiliki kemampuan apa-apa tanpa anugerah dari Allah SWT.

Ketiga, orang yang berhasil dalam pusanya, ia akan memilih makanannya dari yang halal dan yang baik-baik saja, layaknya kupu-kupu yang hanya memilih sari madu bunga sebagai makanannya. Orang yang berpuasa dan mukmin sejati, akan senantiasa menjauhkan diri dari yang haram, seperti korupsi, mencuri, menipu, dan lainnya. (QS Al-Baqarah [2]: 168).

Sabtu, 21 Agustus 2010

Melestarikan Iktikaf

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Salah satu amalan yang menjadi tradisi dan kekhasan Ramadhan adalah iktikaf. Yaitu, berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu untuk mencari ridha Allah. "... Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud." (QS Albaqarah [2]: 125, 187).

Pada bulan Ramadhan, iktikaf sangat dianjurkan. Di dalam sebuah hadis dinyatakan, "Rasulullah SAW selalu beriktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau dipanggil oleh Allah. Setelah beliau wafat, istri-istri beliau meneruskan kebiasaan iktikaf ini." (HR Bukhari Muslim).

Mengapa 10 akhir Ramadhan? Karena diyakini oleh kebanyakan umat Islam bahwa pada malam-malam tersebut ada Lailatul Qadar. Kadar ibadah yang dilakukan pada saat itu bernilai lebih baik dari seribu bulan.

Amalan yang biasa tampak dari orang-orang yang iktikaf adalah membaca dan menadaburi Alquran, berzikir, memperbanyak shalat sunah, membaca buku-buku keagamaan, mengikuti pengajian, mendengarkan tausiyah, dan lain sebagainya. Iktikaf menjadi program unggulan sejumlah masjid, termasuk di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Iktikaf dapat dilaksanakan kapan saja, baik selama bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Saat yang terbaik adalah 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Jumhur ulama sepakat, iktikaf hukumnya sunah, kecuali iktikaf nazar.

Mazhab Hanafi membaginya kepada yang wajib, yakni iktikaf nazar--sunnah mu'akkadah pada 10 hari terakhir Ramadhan dan sunnah mustahab pada waktu selain 10 hari terakhir Ramadhan.

Ulama dari Mazhab Syafi'i mensyaratkan iktikaf harus tinggal dalam waktu tertentu yang lamanya sama dengan waktu tuma'ninah (berhenti sebentar) dalam rukuk atau sujud. Adapun menurut ulama Mazhab Hambali, iktikaf sekurang-kurangnya berlangsung selama satu jam.

Iktikaf dimaksudkan untuk menyucikan roh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (Al-A'raf [7]: 172) dan fitrah Islam (Ar-Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungan fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (Asy-Syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al-dunia wa qarahiyah al-maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).

Di antara hikmah lainnya adalah kita akan mudah mengusir nafsu dari dalam diri melalui upaya taqarrub (mendekatkan) kepada Allah SWT serta memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Senantiasa merasa belum cukup dengan yang diharamkan, lalu menjauhi yang dimakruhkan.

Menurut Ibnu Atho'illah as-Sakandary, yang terbaik bagi kita untuk selamat dari kejaran setan dan para anteknya adalah berlari dan berlindung di rumah Allah. Niscaya rumah Allah akan sangat kuat dan kokoh. Pada akhirnya, kita akan selalu terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat. Karena dalam melestarikan iktikaf, ruang hati selalu tertambat dengan rumah Allah. Wallahu a'lam.

Waktu Paling Utama untuk Iktikaf


Waktu Paling Utama untuk Iktikaf
ilustrasi

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Salah satu amalan yang menjadi tradisi dan kekhasan Ramadhan adalah iktikaf. Yaitu, berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu untuk mencari ridha Allah. "... Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud." (QS Albaqarah [2]: 125, 187).

Pada bulan Ramadhan, iktikaf sangat dianjurkan. Di dalam sebuah hadis dinyatakan, "Rasulullah SAW selalu beriktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau dipanggil oleh Allah. Setelah beliau wafat, istri-istri beliau meneruskan kebiasaan iktikaf ini." (HR Bukhari Muslim).

Mengapa 10 akhir Ramadhan? Karena diyakini oleh kebanyakan umat Islam bahwa pada malam-malam tersebut ada Lailatul Qadar. Kadar ibadah yang dilakukan pada saat itu bernilai lebih baik dari seribu bulan.

Amalan yang biasa tampak dari orang-orang yang iktikaf adalah membaca dan menadaburi Alquran, berzikir, memperbanyak shalat sunah, membaca buku-buku keagamaan, mengikuti pengajian, mendengarkan tausiyah, dan lain sebagainya. Iktikaf menjadi program unggulan sejumlah masjid, termasuk di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Iktikaf dapat dilaksanakan kapan saja, baik selama bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Saat yang terbaik adalah 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Jumhur ulama sepakat, iktikaf hukumnya sunah, kecuali iktikaf nazar. Mazhab Hanafi membaginya kepada yang wajib, yakni iktikaf nazar --sunnah mu'akkadah-- pada 10 hari terakhir Ramadhan dan sunnah mustahab pada waktu selain 10 hari terakhir Ramadhan.

Ulama dari Mazhab Syafi'i mensyaratkan iktikaf harus tinggal dalam waktu tertentu yang lamanya sama dengan waktu tuma'ninah (berhenti sebentar) dalam rukuk atau sujud. Adapun menurut ulama Mazhab Hambali, iktikaf sekurang-kurangnya berlangsung selama satu jam.

Iktikaf dimaksudkan untuk menyucikan roh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (Al-A'raf [7]: 172) dan fitrah Islam (Ar-Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungan fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (Asy-Syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al-dunia wa qarahiyah al-maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).

Di antara hikmah lainnya adalah kita akan mudah mengusir nafsu dari dalam diri melalui upaya taqarrub (mendekatkan) kepada Allah SWT serta memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Senantiasa merasa belum cukup dengan yang diharamkan, lalu menjauhi yang dimakruhkan.

Menurut Ibnu Atho'illah as-Sakandary, yang terbaik bagi kita untuk selamat dari kejaran setan dan para anteknya adalah berlari dan berlindung di rumah Allah. Niscaya rumah Allah akan sangat kuat dan kokoh. Pada akhirnya, kita akan selalu terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat. Karena dalam melestarikan iktikaf, ruang hati selalu tertambat dengan rumah Allah. Wallahu a'lam.

Ketika Bilal tak Sanggup Menyebut Nama Rasulullah dalam Adzannya

Ketika Bilal tak Sanggup Menyebut Nama Rasulullah dalam Adzannya
Menara Masjid Nabi di Madinah

Lama lengkapnya Bilal bin Rabah Al-Habasyi. Ia biasa dipanggil Abu Abdillah dan digelari Muadzdzin Ar-Rasul. Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ia berpostur tubuh tinggi, kurus, warna kulitnya hitam, pelipisnya tipis, dan rambutnya lebat.

Ibunya adalah hamba sahaya (budak) milik Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumuh. Bilal menjadi budak mereka, hingga akhirnya ia mendengar tentang Islam. Dihadapan Rasulullah SAW, dia mengikrarkan diri masuk Islam. Hingga akhirnya, Abu Bakar memerdekakan dirinya.

Saat Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, Bilal turut serta. Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Rasulullah mensyariatkan adzan. Rasulullah kemudian menunjuk Bilal untuk mengumandangkan adzan, karena ia memiliki suara yang merdu. Lalu Bilal mengumandangkan adzan, dan menjadi muadzin pertama dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah seraya berseru, ''Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan)''. Lalu, ketika Rasulullah SAW keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Ketika Rasulullah menaklukan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan muslim bersama Bilal. Bilal pulalah yang ditunjuk Nabi untuk mengumandangkan adzan di atap Ka'bah sebelum menunaikan shalat Zuhur. Adzan itu pun menjadi adzan yang pertama dikumandangkan di Makkah.

Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah hidup. Begitu pun ketika Rasulullah wafat. Saat jasad Rasulullah masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan, dia pula yang mengumandangkannya. Namun kali ini suasanya berbeda. Saat Bilal sampai pada kalimat, ''Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)'', tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana pun tak kuasa menahan tangis.

Dalam Shuwar min Hayaatis Shahabah karya DR Abdurrahman Ra’fat Basya dipaparkan bahwa sejak kepergian Rasulullah, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, ''Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi'', ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Kemudian Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Abu Bakar. Karenanya, sejak saat itu Bilal menolak untuk menjadi muadzin bagi seseorang.

Selain sebagai muadzin, semasa hidupnya Bilal pernah menjabat sebagai bendahara Rasulullah di Bait Al-Mal. Ia tidak pernah absen mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah. Bilal juga merupakan salah satu sahabat yang telah diisyaratkan Nabi bakal menjadi salah seorang penghuni surga.

Suatu hari di waktu subuh, Rasulullah bertanya kepada Bilal,''Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku mengenai amalan yang menurutmu paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam. Sesungguhnya aku pernah mendengar suara jalanmu di hadapanku di surga.'' Bilal menjawab,''Aku tidak pernah mengerjakan amalan yang menurutku besar pahalanya, tapi aku tidak wudhu di waktu malam dan siang, melainkan aku menunaikan shalat yang diwajibkan bagiku untuk mengerjakannya.''

Rasulullah Mendengar Suara Langkah Bilal di Surga

Rasulullah Mendengar Suara Langkah Bilal di Surga


-Rasulullah mempunyai banyak sahabat yang turut serta dalam perjuangan menegakkan syariah Islam. Mereka bersama-sama dalam suka maupun duka. Para sahabat itu tak hanya berasal dari kalangan suku-suku Arab.

Mereka juga datang dari kalangan non-Arab, seperti halnya Bilal bin Rabah. Sebagai mana keturunan Afrika, Bilal memiliki postur tinggi, kurus, dan warna kulit hitam. Dia memiliki nama lengkap Bilal bin Rabah Al-Habasyi. Ia biasa dipanggil Abu Abdillah dan digelari Muadzdzin Ar-Rasul. Habasyah merupakan Ethiopia saat ini.

Ibunya adalah sahaya milik Umayyah bin Khalaf dari Bani Jumuh. Bilal menjadi budak mereka, hingga akhirnya ia mendengar tentang Islam. Tanpa ada keraguan, ia menemui Nabi dan mengikrarkan diri masuk Islam.

Umayyah bin Khalaf pernah menyiksanya dan membiarkannya di tengah gurun pasir selama beberapa hari. Di perutnya diikat sebuah batu besar dan lehernya diikat dengan tali. Lalu, orang-orang kafir menyuruh anak-anak mereka untuk menyeretnya di antara perbukitan Makkah.

Meski disiksa, keimanan Bilal tak pernah luntur. Saat dijemur di panas terik padang pasir, Bilal selalu mengucapkan ''Ahad-Ahad'' dan menolak mengucapkan kata kufur. Abu Bakar lalu memerdekakannya. Saat itu Umar bin Khattab berujar,''Abu Bakar adalah seorang pemimpin (sayyid) kami, dan dia telah memerdekakan seorang pemimpin (sayyid) kami.''

Setelah hijrah, adzan disyariatkan. Lalu Bilal mengumandangkan adzan. Ia adalah muadzin pertama dalam Islam, karena ia memiliki suara yang bagus. Pada saat pembebasan kota Makkah, Rasulullah menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan di belakang Ka'bah.

Adzan itu adalah adzan yang pertama dikumandangkan di Makkah. Pasca wafatnya Rasulullah, ia menolak untuk menjadi muadzdzin lagi karena tak sanggup menyebut nama Rasulullah dalam adzannya. Usai wafatnya Nabi, bahkan dia hanya sanggup melantunkan adzan selama tiga hari. Itu pun disertai tangisannya tatkala mengucapkan nama Rasulullah dalam adzan.

Ia juga pernah menjabat sebagai bendahara Rasulullah di Bait Al-Mal. Ia tidak pernah absen mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah. Tentang Bilal, Rasulullah SAW mengatakan,''Bilal adalah seorang penunggang kuda yang hebat dari kalangan Habasyah.'' (Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibn Asakir)

Suatu ketika, selesai sholat Subuh, Rasulullah pernah bertanya kepada Bilal, ''Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amalan yang paling bermanfaat yang telah kamu lakukan setelah memeluk Islam. Karena semalam aku mendengar suara langkahmu di depanku di surga.''

Bilal menjawab, ''Aku tidak pernah melakukan suatu amalan yang paling bermanfaat setelah memeluk Islam selain aku selalu berwudhu dengan sempurna pada setiap malam dan siang, kemudian melakukan sholat sunat dengan wudhu itu sebanyak yang Allah kehendaki.'' (Hadist riwayat Abu Hurairah ra)

Kamis, 19 Agustus 2010

Puasa dan Kemerdekaan

Fajar Kurnianto
penulis buku


Ramadhan menurut bahasa artinya panas membakar. Ia disebut demikian karena bulan ini dosa-dosa dan kesalahan orang yang berpuasa di masa sebelum Ramadhan dibakar habis. Rasulullah mengatakan, 'Siapa yang berpuasa Ramadhan semata-mata karena keimanan serta mengharap rahmat dan pahala dari Allah, maka dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya akan diampuni oleh Allah.'
(HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Akan tetapi, lebih daripada sekadar membakar dosa, Ramadhan juga bisa dimaknai sebagai membakar spirit dan semangat juang dalam ketaatan kepada Allah. Bahkan, Ramadhan adalah api semangat itu sendiri. Dalam 'sirah' (biografi) Rasulullah, perang Badar, pada tahun kedua hijrah, terjadi pada bulan Ramadhan. Inilah perjuangan pertama mengangkat senjata yang dilakukan oleh kaum Muslimin melawan kaum Quraisy Makkah yang menindas mereka sehingga harus hengkang berhijrah ke Madinah, meninggalkan tanah airnya. Dan, pada perang ini, kaum Muslimin memperoleh kemenangan meyakinkan meskipun jumlah personelnya hanya tiga ratusan orang.

Perang Badar yang terjadi di bulan Ramadhan ini memberikan pesan perjuangan yang luar biasa. Baik itu perjuangan fisik maupun mental. Perjuangan fisiknya bahkan lebih berat, karena selain berperang juga harus berpuasa. Dan, kaum Muslimin ketika itu mampu melewatinya, bahkan meraih kemenangan gemilang. Maka itu, Ramadhan sesungguhnya adalah bulan perjuangan di jalan Allah. Berjuang menahan lapar dan haus karena menaati Allah dan Rasulullah, serta berjuang menahan keinginan hawa nafsu yang ingin bebas terumbar. Ramadhan sesungguhnya bukan bulan santai-santai, istirahat, dan tanpa aktivitas bermanfaat. Atau, bulan glamor dan hura-hura yang menghabis-habiskan dana.

Kaum Muslimin Indonesia masuk dalam bulan Ramadhan tidak dalam suasana perang seperti halnya Rasulullah dan kaum Muslimin. Maka itu, spirit perjuangannya lebih pada perjuangan mengekang hawa nafsu, selain menahan diri untuk tidak makan dan minum hingga sore hari. Perjuangan melawan hawa nafsu tidak kalah hebatnya dengan perjuangan secara fisik. Manusia mungkin bisa menahan lapar dan haus, tetapi tidak banyak yang berhasil menahan hawa nafsu. Itulah yang Rasulullah sitir dalam salah satu hadisnya, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi yang ia dapat hanya lapar dan haus." (HR Ahmad dari Abu Hurairah)

Menuju kemerdekaan

Perjuangan melalui puasa di bulan Ramadhan memiliki tujuan atau target yang ingin dicapai. Allah menyebutkan bahwa tujuan itu adalah menjadikan orang-orang yang berpuasa itu menjadi orang-orang yang bertakwa, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Albaqarah: 183).

Takwa berasal dari kata 'wiqayah' yang secara bahasa salah satu maknanya adalah menjaga atau memelihara diri. Dalam Alquran, misalnya, disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu (quu anfusakum) dan keluargamu dari api neraka." (QS At-Tahrim: 6). Ini selaras dengan puasa yang disebut oleh Rasulullah sebagai tameng yang menjaga atau memelihara pelakunya agar tidak melakukan hal-hal buruk, "Puasa adalah tameng. Karena itu, janganlah berkata-kata kotor dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya untuk bertarung atau bertengkar, katakanlah, 'Aku sedang berpuasa'." (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Jadi, puasa mengerem hawa nafsu yang mengarah pada hal-hal negatif, dan pada saat yang sama melepas sebanyak-banyaknya dorongan diri untuk melakukan kebaikan-kebaikan atau hal-hal yang bermanfaat. Ketika ada orang yang memprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan atau memprovokasi untuk bertengkar, mengumpat, dan mencaci maki, Rasulullah mengimbau orang yang berpuasa untuk menahan diri dan mengatakan bahwa dirinya sedang berpuasa.

Puasa melindungi orang yang berpuasa sehingga tidak termakan hasutan. Justru, dengan jawaban bahwa ia sedang berpuasa secara implisit menunjukkan sikap bijaksana dan tidak reaktif secara berlebihan dalam menghadapi provokasi itu. Ketika segala keinginan hawa nafsu terkekang, saat itulah ia menjadi orang yang merdeka, lepas dari belenggu hawa nafsu. Menjadi manusia yang selalu meniti jalan Allah, jalan kebenaran, yang membuat dirinya hidup dalam kebahagiaan dan kegembiraan, setelah melalui perjuangan panjang melawan hawa nafsu. Rasulullah menyebut hal ini sebagai sebagai kegembiraan, "Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan; gembira saat ia menjadi fitri, dan gembira saat ia bertemu dengan Tuhannya." (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Idul Fitri menjadi puncak seleberasi kemerdekaan ini. Bukan merdeka karena sudah tidak lagi berpuasa, tapi merdeka karena lepas dari penjajahan dan kendali hawa nafsu. Kemerdekaan ini juga tidak berarti bahwa perjuangan telah usai. Justru, selepas Ramadhan, perjuangan itu terus berlanjut. Yakni, perjuangan menjaga dan mempertahankan kemerdekaan secara konsisten. Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan kaum kolonial bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tetapi, setelah itu perjuangan baru dimulai, yakni konsisten mempertahankan dan membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Maka secara individual, Ramadhan menjadi ajang perjuangan manusia untuk menjadi manusia yang berkarakter merdeka dari segala penjajahan hawa nafsunya.

Dalam konteks bangsa Indonesia saat ini, puasa menjadi ajang perjuangan mengerem ambisi kotor atau kepentingan sesaat yang mengorbankan kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara. Rasulullah pasca pembebasan Makkah (Fathu Makkah) mengatakan, "Setelah pembebasan ini, tidak ada lagi hijrah kecuali jihad dan niat." (HR Bukhari dari Ibnu Abbas). Hijrah adalah perjuangan berat meninggalkan kampung halaman demi kebenaran dan lepas dari penindasan dan penjajahan. Setelah Makkah dibebaskan, hijrah seperti itu tidak ada. Yang ada adalah jihad dan niat. Jihad menurut bahasa adalah sikap sungguh-sungguh, konsisten, dan penuh komitmen dalam berusaha. Sedangkan niat adalah keinginan, harapan, dan cita-cita ke depan (visi) perubahan ke arah yang lebih baik.

Saat ini, bangsa terjajah oleh kemiskinan, kebodohan, komunalisme, eksklusivisme minus toleransi, serta pragmatisme dan ketidakpedulian sebagian elite penguasa dan elite politik, membuat bangsa ini berjalan pelan ala keong. Ramadhan kali ini yang bertepatan dengan bulan kemerdekaan bangsa Indonesia, menjadi momen reflektif memaknai lagi arti perjuangan menuju kemerdekaan sejati. Wallahu a'lam.

Menemukan Kebahagiaan Abadi

Oleh A Riawan Amin

Sebuah kalimat bijak menyebutkan, “Semua perjalanan adalah perjalanan kejiwaan.” Kita adalah jiwa yang sedang hidup di alam raga. Menurut Teilhard de Chardin, “We are not human beings having a spiritual experience, we are spiritual beings having a human experience.” (Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit”).

Menyandar spiritualitas kejiwaan sebagai sentral kehidupan manusia, Islam menekankan perlunya terus membina dan menjaga konstelasi dan integritas spiritualitas tersebut. Sayangnya, sebagai makhluk spiritual kita kerap “terjebak” pada fisik, emosi, dan pikir, manusia kurang memperhatikan jati dirinya yang sejati.

Pada kondisi inilah Ramadhan dihadirkan oleh Allah SWT. Bulan yang dijadikan sarana untuk kembali menemui dan mengasah jati diri sejati, spiritual. Proses pengendalian diri sebagai inti dari puasa telah menempatkan manusia kembali pada posisinya yang tepat. Melepaskan semua belenggu-belenggu fisik, emosi, dan pikiran yang kerap mengontaminasi spiritualitasnya. Karena, sesungguhnya saat manusia mampu melepaskan diri dari ketertawanan fisik, emosi, dan pikir, maka ia seolah terlahir kembali dari rahim ibunya. Bersih tanpa noda sedikit pun

“Barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan penuh harap kepada Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitupun, bila puasa yang dilakukan hanya sebatas fisik semata, tidak mampu menelisik hingga ke relung-relung jiwa, maka ia tak akan memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga semata. (HR An-Nasai).

Dalam konteks manajemen hidup, Ramadhan memberikan banyak pelajaran. Di sini, kita mampu menemukan kesejatian diri. Menyambut kehadiran Ramadhan dengan suka cita, sebagaimana mengisinya dengan gembira dan penuh antuasias, sesungguhnya menjadi awal pembuka kebahagiaan abadi sebagai puncak kesuksesan diri yang dicari manusia.

Mampu memanfaatkan Ramadhan sebagai bagian ibadah terindah, berbagi yang terbaik, dan berjuang dengan sepenuh hati, merupakan mekanisme perjalanan jiwa menuju kesejatiannya. Menemukan diri yang sebenarnya. Itulah diri spiritual.

“Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya itu untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya. Puasa itu adalah perisai. Jika datang hari puasa seseorang di antara kalian, maka janganlah ia berkata rafats dan jangan memaki. Jika ada orang memakinya atau memancing berkelahi, hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'. Demi Zat yang jiwa Muhammad di tangannya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: jika ia berbuka, ia berbahagia; dan jika ia bertemu Tuhannya, ia berbahagia karena puasanya.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad).

Berlatih Memimpin Diri Sendiri

Oleh Prof Dr H Imam Suprayogo

Memimpin orang lain, biasanya lebih sulit dilakukan. Karena itu, tidak semua orang berhasil melakukannya. Akan tetapi, memimpin diri sendiri ternyata jauh lebih sulit dibandingkan memimpin orang lain. Seseorang bisa saja memimpin orang lain dan bahkan masyarakat luas dengan menjadi lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, dan bahkan juga menjadi menteri. Namun, belum tentu ia berhasil memimpin dirinya sendiri.

Seseorang bisa saja melarang orang lain berbicara tidak baik karena dapat menyebabkan orang lain tersinggung dan marah. Namun, dia belum tentu berhasil menahan nafsunya sendiri. Sehingga tatkala menghadapi persoalan, terkadang terlontar ucapan yang menyinggung perasaan.

Seorang suami juga demikian. Ia bisa saja memimpin istri dan anak-anaknya agar selalu berbuat baik, dermawan, sabar, ikhlas, dan istikamah. Akan tetapi, belum tentu nilai-nilai luhur itu bisa diterapkan dirinya sendiri.

Seorang pemimpin bisa saja mempengaruhi orang lain, tetapi belum tentu berhasil mengendalikan dirinya sendiri. Ia bisa mengingatkan anak buahnya agar bertindak jujur, terbuka, dan disiplin dalam mengurus uang negara atau uang perusahaan. Namun, mampukah ia menjalankan nilai-nilai yang diajarkannya itu kepada anak buahnya.

Para koruptor yang mengambil uang berjuta-juta atau bahkan miliaran rupiah, bukan tidak mengerti bahwa korupsi itu jelek dan dilarang oleh negara. Mereka tahu bahwa akibat perilaku korupnya itu, jika tertangkap maka akan mendapatkan hukuman berat. Mereka juga tahu bahwa risikonya demikian berat. Jika masuk penjara, semua anak, istri, saudara-saudaranya, dan bahkan kenalannya akan malu dan sedih.

Orang yang berbuat korup itu lantaran tidak bisa memimpin dirinya sendiri. Ia berhasil melarang atau mengatakan "jangan" terhadap orang lain, tetapi gagal mengatakan hal serupa kepada dirinya sendiri. Artinya, ternyata melarang berbuat buruk pada diri sendiri, lebih berat dan sulit daripada melarang pada orang lain.

Inilah yang disindir oleh Allah. "Hai orang-orang, mengapa kamu hanya pandai mengatakan, tapi tidak bisa melakukannya. Dosa besarlah di sisi Allah, orang yang pandai mengatakan, tetapi tidak pandai mengerjakannya." (QS As-Shaff [61]: 2-3).

Puasa mengandung makna berlatih. Ibadah puasa ini hanya diketahui oleh dirinya sendiri dan Tuhan. Apakah seseorang itu puasa atau tidak, atau sekadar pura-pura, maka tidak ada orang lain yang tahu. Karena itu, orang yang berpuasa, sesungguhnya ia sedang belajar memimpin dirinya sendiri. Jika lulus maka akan mendapatkan kemenangan, yaitu berhasil memimpin dirinya sendiri. Wallahu a'lam.

Tetap Sehat di Bulan Penuh Rahmat


Oleh Dr Briliantono M Soenarwo SpOT PhD



Makanan yang masuk ke dalam perut kita, tidaklah masuk begitu saja, meskipun sudah dikunyah terlebih dahulu di mulut. Ia mengalami proses yang panjang, rumit, dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Lambung kita memerlukan waktu sedikitnya enam jam untuk mencerna makanan sampai halus.

Setelah itu, makanan ini dikirim ke usus halus sedikit demi sedikit, sampai akhirnya lambung benar-benar kosong. Di dalam usus halus, makanan mengalami proses pencernaan lagi selama kurang lebih 4 jam sehingga makanan ini benar-benar bisa diserap oleh darah. Itu artinya, sejak masuk ke dalam mulut, sampai makanan itu diserap oleh darah, memerlukan waktu lebih kurang 10 jam.

Subhanallah, itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW selalu mengunyah sampai halus makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Hal itu bertujuan untuk meringankan kerja lambung dan organ-organ pencernaan lainnya.

Melihat kerja organ-organ pencernaan yang demikian, kita patut bersyukur, Allah SWT mewajibkan kita berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Dengan kewajiban itu, seakan-akan Allah "mewajibkan" kita tetap sehat. Sebab, selama kurang lebih 15 jam kita puasa, organ-organ pencernaan akan mendapat istirahat total, kurang lebih lima jam.

Puasa yang dilaksanakan secara benar, tidak hanya akan menyehatkan organ-organ pencernaan, tetapi juga sistem syaraf pusat, menormalisasi metabolisme tubuh, membuang racun dan zat-zat kimia yang bisa membahayakan tubuh, serta menghilangkan lemak yang tidak dibutuhkan.

Hanya yang perlu diperhatikan adalah setiap mukmin hendaknya tetap menjaga dan mengendalikan nafsu makan saat berbuka dan sahur. Sebab, setelah 15 jam lambung tidak kemasukan makanan, lalu secara tiba-tiba dibebani tugas berat, akibatnya bisa bahaya.

Ketika waktu berbuka tiba, segeralah berbuka, terutama dengan yang manis-manis. Tapi, jangan berlebihan, yang penting sudah cukup menghilangkan haus agar saat shalat maghrib tidak kepayahan. Bila ingin makan berat, sebaiknya setelah tarawih. Itu pun tetap jangan berlebihan. Karena, setelah itu kita tidur dan beberapa jam kemudian makan sahur. Sebagai catatan, sahur, meskipun hanya dengan seteguk air, harus tetap dilaksanakan karena di dalamnya ada keberkahan. (HR Khuzaimah).

Bagi yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga rutin dan teratur, sebaiknya jangan memaksakan diri berolahraga saat sedang berpuasa, kecuali sekadarnya. Olahraga yang baik adalah berjalan kaki, untuk membakar kalori. Tak perlu lama, cukup sampai berkeringat.

Tapi, sesungguhnya, shalat tarawih yang kita laksanakan bisa menjadi sarana relaksasi bagi tubuh dan tulang asalkan tidak tergesa-gesa dilaksanakan. Santai saja. Dengan demikian, tubuh bisa merasakan gerak yang ritmis dan tulang mengalami tekanan, kemampatan, dan peregangan yang bisa memperlancar sirkulasi darah. Wallahu a'lam.

(-)

Menahan Diri

Oleh Prof Dr Asep S Muhtadi

Ramadhan datang setiap tahun untuk mengingatkan kita agar memperbanyak perenungan dan pembelajaran. Tujuannya, untuk mempertajam sikap solidaritas dan meningkatkan kesadaran akan eksistensi sebagai manusia yang wajar, agar tidak terjebak pada sikap mempertuhan diri dan memperbudak yang lainnya.

Ramadhan memiliki pesan sosial untuk kita renungkan, terutama ketika masyarakat dan bangsa ini tengah menghadapi berbagai tantangan dan ketidakseimbangan dalam hidupnya. Ketidakseimbangan hidup itu berakibat pada munculnya berbagai pelanggaran sosial, ketidakadilan, permusuhan, eksploitasi hak-hak asasi, kompetisi yang tidak sehat, dan lain sebagainya.

Tantangan modernitas dewasa ini tidak hanya menantang untuk berpikir kritis dan bersikap dewasa, tapi juga dapat menggiring pada pola-pola kehidupan manusia yang tidak manusiawi: manusia yang berakal cerdas tapi berhati kering, manusia yang berbadan sehat tapi bermental sakit, manusia yang berwawasan luas tapi berperasaan sempit, manusia yang memahami alam tapi diperbudak alam, manusia-manusia yang merasa kesepian di tengah keramaian, manusia-manusia yang miskin di tengah tumpukan harta.

Beberapa gejala lainnya yang mencerminkan kehidupan tanpa akhlak pada beberapa waktu terakhir ini adalah munculnya sikap mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi hak-hak orang lain. Atas nama demokrasi orang berani berbuat anarkis, atas nama keadilan orang tega memperkosa kebebasan orang lain, dan atas nama hukum tidak sedikit orang memandang lumrah sikap dan perilaku menindas dengan menyatakan sesuatu bukan yang sesungguhnya.

Dalam perspektif pesan universal puasa Ramadhan, di antara faktor penyebab merebaknya berbagai krisis di negeri ini, adalah karena ketidakmampuan menahan diri. Menahan diri untuk sanggup merasakan lapar dan dahaga; lapang dalam menghadapi berbagai godaan; tidak korupsi, dan optimistis dalam menempuh masa depan, tanpa harus melarutkan diri dalam kubangan kemungkaran.

Puasa merupakan proses transendensi untuk menetralisasi berbagai sifat buruk manusia. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan, dia amat kikir." (QS 70: 19-21).

Lihatlah, para pelaku yang menjadi sumber terjadinya sejumlah krisis di negeri ini. Mereka yang diduga atau bahkan telah terbukti melakukan tindak korupsi, perusak lingkungan, provokator tindak kekerasan, penipu, perampok, dan lain sebagainya, semuanya ada di depan mata kita.

Mungkin mereka juga sama-sama melaksanakan puasa selama bulan Ramadhan. Bahkan, mereka paling awal mengeluarkan zakat, paling besar berinfak untuk pembangunan masjid, dan tampak paling peduli menyapa fakir miskin.

Tapi, mereka telah mengingkari pesan utama puasa, yaitu kesanggupan menahan diri. Kesanggupan menahan diri menjadi pintu masuk ruang kemanusiaan yang hakiki. Sementara kegagalan menahan diri berarti telah membuka lebar pintu hilangnya martabat kemanusiaan.

Minggu, 15 Agustus 2010

Enam Keutamaan Bulan Ramadhan

Enam Keutamaan Bulan Ramadhan
ilustrasi

Oleh Hj Yuyu Yuhanah

Ramadhan adalah bulan berkah, bulan sejuta hikmah, dan bulan kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Pendek kata, beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan Ramadhan dan bisa berbuat kebajikan di dalamnya. Kemuliaan dan keberkahan Ramadhan telah disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

“Wahai segenap manusia, telah datang kepada kalian bulan yang agung penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa di siang harinya sebagai kewajiban, dan qiyam di malam harinya sebagai sunah. Barangsiapa menunaikan ibadah yang difardukan, maka pekerjaan itu setara dengan orang mengerjakan 70 kewajiban.

Ramadhan merupakan bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga. Ramadhan merupakan bulan santunan, bulan yang di mana Allah melapangkan rezeki setiap hamba-Nya. Barangsiapa yang memberikan hidangan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka akan diampuni dosanya, dan dibebaskan dari belenggu neraka, serta mendapatkan pahala setimpal dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang berpuasa tersebut.” (HR Khuzaimah).

Dari hadis di atas, ada beberapa keutamaan Ramadhan. Pertama, syahrul azhim (bulan yang agung). Azhim adalah nama dan sifat Allah. Namun, juga digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap kebesaran dan kemuliaan sesuatu. Ramadhan mulia dan agung, karena Allah sendiri telah mengagungkan dan memuliakannya.

Kedua, syahrul mubarak. Bulan ini penuh berkah, berdayaguna dan bermanfaat. Detik demi detik, waktu yang berjalan pada bulan suci ini, ia bagaikan rangkaian berlian yang sangat berharga bagi orang beriman. Karena semuanya diberkahi dan amal ibadahnya dilipatgandakan.

Ketiga, syahru shiyam. Pada bulan Ramadhan dari awal hingga akhir kita menegakkan satu dari lima rukun (tiang) Islam yang sangat penting, yaitu shaum (puasa). Keempat, syahru nuzulil qur'an. “Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan bagi petunjuk, dan furqan (pembeda).” (Al-Baqarah [2]: 185).

Kelima, syahrul musawwah (bulan santunan). Di bulan Ramadhan sangat dianjurkan bagi setiap Muslim untuk saling bederma, berkasih sayang dengan sesamanya yang keadaannya jauh memprihatinkan daripada kita.

Keenam
, syahrus shabr (bulan sabar). Bulan Ramadhan melatih jiwa Muslim untuk senantiasa sabar tidak mengeluh dan tahan uji. Sabar adalah kekuatan jiwa dari segala bentuk kelemahan mental, spiritual, dan operasional. Orang bersabar akan bersama Allah sedangkan balasan orang-orang yang sabar adalah surga. Semoga semua bisa memanfaatkan momentum Ramadhan ini untuk memperbanyak ibadah kepada Allah. Amin.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Kedalaman Makna Surat Al Ikhlash

Kedalaman Makna Surat Al Ikhlash
ilustrasi

Oleh Mahmud Yunus

Allah SWT berfirman: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (QS Al- Bayyinah [98]: 5). Dalam ayat lainnya: "Luruskanlah mukamu (dirimu) pada setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya." (QS Al-'Araf [7]: 29).

Ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud dengan lurus adalah menghindari perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT dalam segala bentuknya dan terhindar dari penyimpangan sekecil apa pun). Kewajiban menjaga keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT ditegaskan berulang-ulang di dalam Alquran.

Bahkan, surah ke-112 dinamai dengan Al-Ikhlash (memurnikan keesaan Allah). Secara fisik surah Al-Ikhlash itu terdiri atas empat ayat pendek, namun kandungannya sangat panjang dan luar biasa.

Rasulullah SAW bersabda, "Membaca 'Qul huwa Allahu ahad' pahalanya setara dengan membaca sepertiga Alquran." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'I, Ibn Majah, Malik, Ahmad, Thabrani, Al-Bazzar, dan Abu 'Ubaid).

Oleh karena itu, Saja' Al-Ghanawi RA mengatakan, "Barang siapa membaca 'Qul huwa Allahu ahad' tiga kali, maka ia seakan-akan membaca Alquran seluruhnya." Atau, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, bahwa Muadz ibn Anas RA berkata, "Barangsiapa membaca 'qul huwa Allahu ahad' sebelas kali, maka Allah (akan) membangunkan sebuah rumah untuknya di Surga."

Atau, seperti yang diriwayatkan Thabrani, bahwa Fairuz RA berkata, "Barangsiapa membaca 'Qul huwa Allahu ahad' seratus kali, di dalam shalat atau lainnya, maka ia dicatat oleh Allah sebagai orang yang terbebas dari siksa Neraka." Dan, masih ada beberapa riwayat yang lainnya. Namun, perlukah kita menghitung-hitung "kebaikan" atau "ketaatan" kita sendiri?

Menurut Ibn Sina sebagaimana dikutip Muhammad Quraish Shihab dalam salah satu karyanya, niat atau motivasi beribadah itu bertingkat-tingkat. Pertama, tipe pedagang (mengharap keuntungan). Kedua, tipe budak atau pelayan (takut terhadap majikannya).

Ketiga, tipe 'arif (bersyukur atas segala yang diberikan Allah SWT kepadanya). Dan tipe lainnya dinamakan sebagai tipe robot (otomatis, tanpa pemikiran, tanpa pemahaman, dan tanpa penghayatan).

Tentu bijaksana, jika kita terbiasa melaksanakan ibadah menurut tipe 'arif. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya bahwa tidak sedikit amal (ibadat) yang dibatalkan atau dihapuskan pahalanya akibat niatnya tidak murni karena Allah SWT. Wallahu 'alam.

Salman Al-Farisi: Penjaga Kuil Api yang Menjadi Sahabat Rasulullah



Salman Al-Farisi: Penjaga Kuil Api yang Menjadi Sahabat Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Nama lengkapnya Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Nama panggilannya adalah Abu Abdillah dan digelari dengan Salman Al-Khair.

Ia berasal dari desa Ji di Isfahan, Persia. Ia adalah sosok sahabat yang terkenal memiliki ide-ide brilian, memiliki tubuh yang kuat, dan pandai dalam ilmu-ilmu syariat. Ia pernah menjadi penjaga api di kuil tempat pemujaan orang-orang Persia.

Sebelum Islam datang, Salman memeluk agama Nasrani, karena ia terpikat dengan model sembahyang mereka. Suatu ketika, atas saran seorang pendeta yang ditemuinya di Mosul, Salman pergi menemui Rasul yang saat itu sudah hijrah ke Madinah. Sang pendeta mengabarkan bahwa seorang Nabi akan diutus pada zaman itu. Ia berpesan agar Salman mengikuti Nabi tersebut dan Nabi itu akan hijrah ke sebuah daerah yang banyak ditumbuhi pohon kurma dan daerahnya diapit dua bidang tanah yang berbatu hitam.

Setibanya di Madinah, pada malam harinya, ia pergi menemui Rasulullah sambil membawa makanan sembari berkata, ''Makanan ini adalah sedekah.'' Nabi tidak memakan makanan tersebut dan mempersilahkan para sahabatnya untuk menyantapnya. Kemudian Salman datang lagi dan membawa makanan sambil mengatakan, ''Makanan ini adalah hadiah.'' Kali ini Nabi memakan sebagiannya dan sebagiannya Beliau berikan kepada para sahabatnya.

Suatu hari, Salman melihat cap kenabian di pundak Nabi. Takala ia melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi, di mana Beliau tidak makan sedekah, menerima hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian, Salman pun langsung mengikrarkan diri masuk Islam dan menceritakan liku-liku perjalanannya kepada Beliau.

Rasulullah menasehati Salman untuk menulis surat kepada tuannya, seorang warga Yahudi dari Bani Quraizhah, dan Beliau meminta bantuan para sahabatnya untuk memerdekakan Salman. Rasulullah kemudian mempersaudarakannya dengan Abu Darda'.

Ia ikut serta dalam perang Khandaq (parit). Salmanlah orang yang mengusulkan untuk menggali parit dalam perang ini berdasarkan pengalamannya dalam peperangan di Persia. Orang-orang Arab takjub dengan usulan Salman untuk menggali parit tersebut.

Tentang Salman, Nabi pernah mengatakan, ''Surga merindukan tiga orang, yakni Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, dan Salman Al-Farisi.'' Sementara Ali bin Abi Thalib pernah berkata, ''Siapa orang yang kalian miliki yang seperti Lukman Al-Hakim? Ia diberi pengetahuan tentang syariat terdahulu dan syariat yang turun belakangan; ia membaca dan mempelajari kitab suci yang terdahulu dan kitab suci yang turun paling akhir. Ilmunya bak lautan yang tidak pernah kering.''

Saat menjabat sebagai gubernur Al-Madain, Salman bertemu dengan seorang saudagar yang baru pulang berniaga dari Syam membawa kurma dan buah tin. Saudagar itu menyuruh Salman untuk mengangkut barang dagangannya karena ia mengira Salman seorang kuli angkut barang. Salman pun membawa barang dagangan saudagar tersebut. Ketika si saudagar mengetahui bahwa Salman adalah gubernur Al-Madain, ia meminta maaf atas kelancangannya. Akan tetapi Salman tetap membawa barang dagangan tersebut sampai ke tempat tujuan.

Inilah Tujuh Golongan yang akan Bernaung di Bawah Arsy

Inilah Tujuh Golongan yang akan Bernaung di Bawah Arsy

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi oang yang beriman dan beramal shaleh, tiada ganjaran bagi mereka selain surga. Dalam al-Quran pun demikian. Iman selalu disandingkan dengan amal shaleh. Jika hanya beriman tanpa diisi dengan amal shaleh, maka keimanan itu akan kurang sempurna. Begitu pun sebaliknya. ’’Demi masa. Sesungguhnya manusia sangat merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, yang saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.’’ (QS. Al-’Ashr: 1-3).

Banyak amal shaleh yang dapat dilakukan dalam bulan suci Ramadhan ini. Beberapa di antaranya bersedekah, tadarus al-Quran, i’tikaf di masjid, shalat malam dan lain sebagainya. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat melaksanakan ibadah-ibadah tersebut serta menyeimbangkan urusan duniawi dengan ukhrawi agar siap melewati cobaan di hari akhir nanti. Dalam hadits Rasulullah disebutkan, ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah berupa naungan ’Arsy-Nya di hari kiamat. Sebab tidak ada satu pun yang dapat menolong kita dari sulitnya hari kiamat, selain pertolongan dari-Nya.

Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: ’’Tujuh golongan yang akan berteduh di bawah ’Arsy Allah, pada hari yang tiada bisa berteduh kecuali keteduhan ’Arsy pada hari kiamat yaitu:

Pertama
, imam yang adil. Imam di sini, menurut Hajar Al-Atsqolany, ialah khalifah ata dapat pula disebut dengan pemimpin yang adil terhadap rakyatnya. Pemimpin yang mencontoh kesahajaan para Khulafaur Rasyidiin yang senantiasa memikirkan nasib rakyat. Pemimpin yang dapat memecahkan masalah yang menimpa rakyatnya, sehingga membuat rakyat tersebut menaruh kepercayaan dan keridhaan yang besar atas amanat yang ia emban.

Dua, pemuda-pemudi yang giat beribadah. Alangkah beruntungnya jika masa muda kita isi dengan ibadah. Penguatan mental dan rohani tidak serta merta kita dapat begitu saja. Perlu waktu yang cukup lama untuk menjadi pemuda yang cerdas. Tak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas spiritual. Dalam kitab Ta’lim Muta’lim, ada beberapa tahapan yang harus dilalui seorang hamba untuk mendapatkan ilmu, salah satunya thuula al-waqt (waktu yang lama). Oleh karena itu, sudah seyogyanya pemuda-pemudi Indonesia yang sudah terjamah oleh dahsyatnya perkembangan teknologi, lebih meningkatkan kualitas ibadah mereka. Dengan pondasi iman yang kokoh, Insya Allah takkan tergoyahkan oleh badai yang menghantam sedahsyat apa pun itu.

Tiga, orang yang suka berdizikir pada waktu dan tempat yang sunyi, kemudian air matanya mengalir karena Allah. Dzikir, adalah salah satu bukti kecintaan kita pada Allah. Dzikir lisan, jika dibarengi dengan dzikirnya hati, pasti akan mendapatkan ketentraman batin yang tak terhingga. Manusia tak luput dari khilaf dan dosa, karena itu Allah menganjurkan manusia untuk banyak berdzikir, banyak mengingat dosa dan mengingat-Nya. ’’ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.’’ (QS. Ar-Ra’d: 28).

Empat. Orang yang hatinya selalu teringat kepada masjid ketika keluar hingga kembali lagi ke masjid. Seseorang yang senantiasa terpaut ke masjid untuk melakukan ibadah, tidak ada pahala terbaik dari Allah selain ampunan, cinta dan surga-Nya. Tempat bernaung terbaik di dunia adalah masjid. Masjidlah tempat seluruh Muslim bersujud dan sebaik-baiknya tempat untuk memohon ampunan-Nya.

Lima. Orang yang suka bersedekah, kemudian dia merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahaui apa yang dilakukan oleh tangan kanananya. Sedekah secara sirri (sembunyi-sembunyi) itu jauh lebih utama ketimbang sedekah yang hanya diniatkan agar orang lain mengetahui sedekah kita. Dalam Qs Al-Baqarah disebutkan,’’Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’’ (Al-Baqoroh: 262).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa ikhlas, lahir dari hati dan tidak menyebut-nyebut berapa banyaknya pemberian kita. Menurut Ibnu Hajar Al-Atsqolany dalam kitabnya yang berjudul Nashoihul ’Ibad (Kumpulan nasihat-nasihat), sedekah tatthawu’ (sedekah sunnah) dianjurkan jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sedangkan sedekah wajib, seperti zakat fitrah, sunnah dilakukan secara terang-terangan.

Enam, dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul karena Allah, mereka berpisah pun karena Allah. Mencintai karena Allah, berarti ikhlas dan ridha mengikuti semua perintah Allah dan Rosul-Nya. Dalam QS Ali Imroon Allah berfirman, ’’Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imraan: 31).

Tujuh. Laki-laki yang diajak mesum oleh perempuan, tetapi dia menolaknya seraya berkata, ’’Aku takut pada Allah,’’. Masih ingat kisah Nabi Yusuf as? Beliau pernah diuji oleh Allah dengan cukup berat; cobaan hawa nafsu. Zulaikha, istri sang majikan pernah mengajaknya untuk berzina saat suaminya tidak di rumah. Namun, Yusuf bersikeras menolak, karena ia takut akan azab Allah jika ia menuruti hawa nafsu syaithan tersebut.

Kisah ini terangkum dalam QS Yusuf,’’ Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.(QS: Yusuf: 23).

Kendati Yusuf sudah bersikeras, godaan itu semakin besar menghantam keimanannya. Namun, Allah menguatkan hatinya. ’’Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (QS. Yusuf: 24).

Kamis, 12 Agustus 2010

Khutbah Jum'at: Ramadhan dan Kemerdekaan Hakiki



Ada keistimewaan Ramadhan 1431 H di Indonesia. Yakni bertepatannya Ramadhan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-65, mengingatkan kita dengan kemerdekaan Republik Indonesia yang juga bertepatan dengan bulan Ramadhan. Karenanya Khutbah Jum'at Terbaru ini berusaha membahas Korelasi Ramadhan dengan Kemerdekaan Hakiki. Harapannya, semoga kaum muslimin menyadari bahwa kemerdekaan dari penjajahan Belanda bukanlah kemerdekaan yang final, dan Ramadhan merupakan momentum bagi perbaikan diri dan bangsa untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya. Dengan demikian, tema Khutbah Jum'at edisi 3 Ramadhan 1431 H yang bertepatan dengan 13 Agustus 2010 M ini adalah: Ramadhan dan Kemerdekaan Hakiki.

KHUTBAH PERTAMA

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ.
وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
اللَّهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Merupakan nikmat yang sangat besar dan tiada tara, bahwa hari ini kita dipertemukan Allah Azza wa jalla dengan Ramadhan dalam keadaan Islam dan Iman. Dengan pertemuan ini kita mendapatkan kesempatan besar untuk mendapat ampunan dari Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq 'Alaih)

Juga dalam sabdanya yang lain, saat redaksi shama (puasa) diganti dengan qaama (qiyamullail):

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa yang qiyam (lail) Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala) akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Muttafaq 'Alaih)

Maka ini adalah kesempatan besar, sekaligus nikmat yang agung. Akan tetapi, peluang besar ini juga menjadi sebuah kecelakaan bagi orang-orang yang menyia-nyiakannya sehingga ia keluar dari Ramadhan tanpa ampunan dari Rabb-nya. Maka malaikat Jibril pun mendoakan dengan diamini Rasulullah:

بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani)

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Ramadhan kita kali ini bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65. Kita pun perlu mensyukuri nikmat kemerdekaan itu. Bahwa kemerdekaan itu kita raih di bulan Ramadhan pada tanggal 17 Agustus 1945, para pendahulu kita pun telah menyatakan bahwa ia merupakan rahmat dari Allah SWT. Di samping itu, sungguh peristiwa ini menjadi penguat bagi salah satu nama bulan Ramadhan. Yakni syahrul jihad. Bahwa Ramadhan adalah bulan di saat kaum muslimin memiliki gairah besar untuk berjihad menegakkan agama Allah, bukan bulan yang memperlemah umat Islam dalam hari-hari yang penuh kelesuan.

Maka sejarah umat bicara. Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan dan kaum muslimin menuai kemenangan yang gemilang. 313 pasukan Islam berhasil mengalahkan 1000 pasukan kafir Quraisy yang bersenjatakan lengkap. Kemenangan gemilang pertama yang diraih umat Islam ini kemudian menjadi penguat eksistensi kaum muslimin di Madinah dan pembuka bagi kemenangan-kemenangan Islam berikutnya. Adakah pakar militer saat itu yang bisa memprediksi bahwa Rasulullah dan para sahabatnya bisa memenangkan peperangan? Dan kemenangan jihad ini terjadi di bulan Ramadhan!

Enam tahun kemudian terjadi peristiwa yang jauh lebih besar dan mempesona. Inilah penaklukan paling indah dalam sejarah umat manusia. Penaklukan tanpa korban jiwa. Kemenangan besar tanpa tetesan darah! Sepuluh ribu pasukan Islam yang dipimpin oleh Rasulullah memasuki Makkah dengan tenang, menang tanpa perlawanan. Bukan hanya kemenangan secara fisik yang membuat pasukan Makkah tidak berani memberontak, tetapi juga kemenangan jiwa sehingga keimanan masuk ke jiwa-jiwa mayoritas penduduk Makkah menggantikan seluruh kekufuran dan permusuhan mereka. Maka, tak ada satupun yang membela saat 360-an berhala di sekeliling ka’bah dihancurkan. Tak ada yang meratapi atau melakukan demontrasi saat berhala-berhala itu dilenyapkan. Sebab, sesaat sebelum dilenyapkan dari masjidil haram, Allah telah melenyapkan dari hati mereka. Inilah jihad dan kemenangan besar yang juga terjadi di bulan Ramadhan.

650 tahun kemudian juga terjadi peperangan yang dikenal dengan nama Ain Jaluth. Pasukan Islam melawan pasukan Tartar. Dua tahun sebelumnya Tartar di bawah pimpinan Hulako Khan telah menyerang Baghdad. Maka, bulan-bulan berikutnya adalah masa penderitaan dan kekalahan kaum muslimin, jatuhnya Baghdad, serta terbunuhnya khalifah. Hingga akhirnya jihad dikumandangkan yang terkenal dengan sebutan Perang Ain Jaluth. Kaum muslimin berhasil menuai kemenangan atas Tartar. Dan ini juga terjadi pada bulan Ramadhan.

Masih banyak sejarah jihad yang dimenangkan kaum muslimin di bulan Ramadhan.
Pada Ramadhan tahun 15 Hijrah, terjadi perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia ditumbangkan. Pada Ramadhan tahun 53 H, umat Islam memasuki pulau Rhodes di Eropa. Pada bulan Ramadhan tahun 91 H, umat Islam memasuki selatan Andalusia. Pada Ramadhan tahun 92 H., umat Islam keluar dari Afrika dan membuka Andalusia dengan komandan Thariq bin Ziyad.

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Jika Ramadhan telah menjadi bulan jihad, maka mari kita berdiri untuk memandangi wajah negeri ini. Sudahkah ia merdeka secara hakiki? Dan sudahkah kita mendapatkan kemerdekaan hakiki sebagai umat Islam Indonesia?

Kemerdekaan pertama yang harus dimiliki oleh manusia adalah kemerdekaan dari segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Jika seorang manusia masih dicekam ketakutan kepada sesama manusia, atau makhluk lain, lalu bisakah ia disebut merdeka? Padahal manusia sama derajatnya di sisi Allah. Yang membedakan hanyalah ketaqwaannya.

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa (QS. Al-Hujurat : 13)

Jika dengan sesama manusia saja tidak boleh menghamba, maka bagaimanakah kiranya orang yang menghamba kepada makhluk lain selain manusia yang kedudukannya lebih rendah. Baik itu makhluk hidup, makhluk ghaib, maupun materi seperti harta dan kekuasaan.

Kemerdekaan pertama adalah kemerdekaan aqidah. Bahwa kita hanya beribadah kepada Allah, takut kepada Allah, dan berharap hanya pada Allah. Bertauhid dengan benar. Sehingga seorang mukmin tidak lagi memiliki kekhawatiran dan ketakutan, ia merdeka!

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran : 139)

Kemerdekaan beraqidah ini tentu saja berimplikasi pada kemerdekaan menjalankan syariat. Maka jika Islam hendak dilaksanakan secara kaffah tetapi justru dihalangi dan dibatasi, sesungguhnya kemerdekaan hakiki belum kita peroleh.

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kemerdekaan hakiki berikutnya mensyaratkan kemerdekaan ekonomi dari riba dan kemiskinan sistemik. Maka kita lihat, selain membangun masjid, Rasulullah di Madinah juga membangun pasar. Para pebisnis Islam seperti Abdurrahman bin Auf juga bergerak untuk memerdekakan ekonomi Madinah dari dominasi ribawi Yahudi. Akhirnya, kehidupan ekonomi membaik. Pelaksanaan zakat yang menjadi salah satu rukun Islam juga mendukung perekonomian umat, mengurangi kesenjangan dan menciptakan keharmonisan hubungan dalam bermasyarakat.

Ketika ekonomi terjajah, mudah sekali seseorang atau sebuah negara sekalipun didikte untuk mengikuti segala kemauan pihak yang berkuasa secara ekonomi. Jika keputusan-keputusan hidup kita atau kebijakan negara ini kemudian tidak mandiri melainkan diintervensi asing karena ketergantungan ekonomi, sudahkah kita merdeka? Pada hakikatnya belum. Karena merdeka berarti tidak dipengaruhi oleh siapapun dan bebas menentukan jalan hidup agar sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Kita jadi merenung, kalau begitu ada benarnya ungkapan:

كاد الفقر أن يكون كفرا

Hampir saja kemiskinan menyebabkan kekufuran

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Kemerdekaan hakiki juga berarti kita merdeka untuk memperbanyak kebaikan sekaligus merdeka dari anasir-anasir negatif atau kemaksiatan. Hari ini kita mendapatkan fakta bahwa, muslimah yang berjilbab sebagian masih kesulitan bekerja di tempat publik dengan alasan jilbabnya; entah itu rumah sakit atau yang lainnya. Masih ada instansi-instansi yang tidak memberikan kesempatan luas kepada kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tetap pada waktunya. Sebaliknya, kita seakan dibanjiri dengan berbagai kemaksiatan yang sebagiannya tidak bisa kita hadang karena masuk dalam wilayah privasi dan menerobos dalam keluarga kita. Media elektronik yang kaya dengan kemaksiatan namun miskin pendidikan, lokalisasi dan perjudian yang dilindungi, serta pergaulan bebas yang bahkan difasilitasi dengan penjualan kondom secara legal benar-benar membuat kemerdekaan tidak mencapai hakikatnya.

Belum lagi ketika hak umat untuk hidup sejahtera harus terampas karena praktik korupsi yang meraja lela. Baru beberapa hari yang lalu, koran-koran nasional memberitakan bahwa korupsi di berbagai daerah demikian parah, hingga masuk kategori menggurita. Lalu yang dirugikan tentu saja adalah umat, rakyat kecil yang senantiasa taat membayar pajak. Tentu banyak hal yang menjadi catatan hingga kita sampai pada kesimpulan bahwa kemerdekaan sejati belum menjadi milik kita, umat Islam Indonesia.

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
Lalu apa yang bisa kita perbuat untuk meraih kemerdekaan hakiki? QS. An-Nisa ayat 97 memberikan ibrah kepada kita mengenai orang yang berdiam diri dalam keterjajahan.

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, (QS. An-Nisa' : 97)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan asbabun nuzul ayat ini. Bahwa ada sebagian orang makkah yang berislam secara sembunyi-sembunyi. Namun mereka tidak ikut hijrah ke Madinah. Maka saat perang Badar, mereka dipaksa oleh kafir Quraisy untuk ikut berperang di pihak mereka. Saat melihat orang dari kelompok ini terbunuh, sebagian sahabat yang tahu hendak mendoakan mereka, namun Allah SWT menurunkan ayat ini.

Artinya apa? Kita tidak boleh berdiam diri dalam kelemahan. Kita tidak boleh menyerah dalam kondisi yang tidak ideal. Maka bulan Ramadhan merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk bangkit. Bangkit dalam aqidah Islam yang benar, bangkit untuk menjalankan Islam. Bangkit untuk menunjukkan semua potensi kita. Bahwa kita bisa. Bahwa kita, dengan identitas keislaman kita, siap mencapai kemerdekaan hakiki. Mencapai hidup yang mulia dan berazam mendapatkan ridha dan surga-Nya.

وقل رب اغفر وارحم و انت خير الراحمين

KHUTBAH KEDUA

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ } [آل عمران: 102]
{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا } [الأحزاب: 70، 71].

Jama'ah jum'at yang dirahmati Allah,
Ramadhan menjadi momentum yang luar biasa bagi kita untuk menjadi pribadi yang merdeka dan bangsa yang merdeka pula. Di saat kita dimudahkan Allah melalui Ramadhan ini dengan segala kebaikan yang terbuka seluas-luasnya dan keburukan menjadi minimal, saatnya kita datang kepada Allah dengan jiwa yang bersih dan hati ikhlas. Kita buka Al-Qur'an, kita pelajari, kita aktif dalam taklim, kita mulai bergabung dengan dakwah. Dan bersamaan dengan tekad kita memperbaiki diri, kita pun turut berupaya memperbaiki umat. Kita bergerak menuju seruan Allah untuk berislam secara kaffah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah : 208)

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِيْنَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنْ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا.
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَ كُلاًّ مِنَّا لِسَانًا صَادِقًا ذَاكِرًا، وَقَلْبًا خَاشِعًا مُنِيْبًا، وَعَمَلاً صَالِحًا زَاكِيًا، وَعِلْمًا نَافِعًا رَافِعًا، وَإِيْمَانًا رَاسِخًا ثَابِتًا، وَيَقِيْنًا صَادِقًا خَالِصًا، وَرِزْقًا حَلاَلاًَ طَيِّبًا وَاسِعًا، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.

اللَّهُمَّ رَبَّنَا احْفَظْ أَوْطَانَنَا وَأَعِزَّ سُلْطَانَنَا وَأَيِّدْهُ بِالْحَقِّ وَأَيِّدْ بِهِ الْحَقَّ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.
اللَّهُمَّ رَبَّنَا اسْقِنَا مِنْ فَيْضِكَ الْمِدْرَارِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ لَكَ في اللَيْلِ وَالنَّهَارِ، الْمُسْتَغْفِرِيْنَ لَكَ بِالْعَشِيِّ وَالأَسْحَارِ.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاء وَأَخْرِجْ لَنَا مِنْ خَيْرَاتِ الأَرْضِ، وَبَارِكْ لَنَا في ثِمَارِنَا وَزُرُوْعِنَا وكُلِّ أَرزَاقِنَا يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ.
رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ.

عِبَادَ اللهِ :إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

[Khutbah Jum'at edisi 3 Ramadhan 1431 H, 13 Agustus 2010 M; Bersama Dakwah]

RAMADHAN & KEMERDEKAAN


RAMADHAN & KEMERDEKAAN

Bulan Ramadhan ialah bulan (awal) turunnya al-Qur`an, berupa petunjuk untuk manusia dan penjelasan tentang petunjuk itu dan menjadi penegak kebenaran, membedakan antara haq dan bathil (QS. 2:85). Kemerdekaan, dari kata merdeka yang artinya bebas, tidak terikat, atau tidak dijajah, dapat diartikan lepas dari segala ikatan yang tidak pantas (layak), sehingga menjadi bebas untuk menentukan nasib sendiri demi segala kebaikan.

Kata merdeka berasal dari kata Sanskerta merdika yang artinya pandai, terhormat, bijaksana, dan tidak tunduk kepada seseorang selain raja atau Tuhan. Dalam bahasa Melayu, merdika berarti bebas, baik dalam pengertian fisik, kejiwaan, maupun dalam arti politik. Dalam pengertian Negara, kemerdekaan merupakan suatu keadaan atau kondisi Negara yang tidak dijajah atau berada di bawah kekuasaan atau ideologi lain. (Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 8: h. 341).

Jum’at Legi, 17 Agustus 1945 pagi jam 10.00 WIB bertepatan dengan 17 Ramadhan 1362 di rumah kediaman Bung Karno, Jalan Proklamasi no. 56 Jakarta yang kini Gedung Pegangsaan Timur, diproklamirkan kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. PROKLAMASI. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan KEMERDEKAAN INDONESIA. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia, SOEKARNO-HATTA. Dengan demikian, Negara merdeka yang bersangkutan memberi jaminan kebebasan/kemerdekaan kepada warga negaranya. Oleh sebab itu, kemerdekaan bagi warga negara adalah suatu hak yang bebas, sekaligus mengandung kewajiban. Dengan kata lain, kemerdekaan dapat pula diartikan sebagai keleluasaan bagi setiap warga negara untuk melibatkan diri dalam kegiatan politik dan sosial kemasyarakatan, tanpa adanya berbagai paksaan atau tekanan dari pihak masyarakat dan pemerintah/Negara. Secara umum, dapat disebutkan, misalnya, kebebasan beragama, berkumpul, berserikat, berbicara atau mengeluarkan pendapat secara lisan dan tertulis, dan sebagainya. Semuanya itu dilatarbelakangi oleh hak kemerdekaan atau hak asasi manusia yang secara resmi telah dinyatakan dalam Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) dan dinyatakan pula oleh Undang-Undang Dasar 1945. (ENI. jilid 8:341-342).

Terkait dengan bulan suci Ramadhan, dari Abu Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda : Celakalah orang yang tidak bersalawat kepadaku tatkala namaku diucapkan (orang kedua) di sisinya, dan celakalah orang yang menyia-nyiakan peluang emas berbakti memenuhi hak kedua orang tua faktor penyebab masuk sorga, pada hal ayah-ibu atau salah satu dari mereka hidup di sisinya, namun ia tidak melakukannya, dan celakalah orang yang tidak mau memohon rahmat dan ampunan Allah selama bulan Ramadhan, pada hal ia berkesempatan hidup sejak awal hingga akhir Ramadhan, maka tertipulah ia. (Zubdah al-Wa’izhin). Nabi saw bersabda: Siapa lega hati, menyambut kehadiran bulan Ramadhan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas neraka apa saja. (Al-Hadis). Dari Ibnu Abbas ra katanya, aku mendengar Rasul saw bersabda : Andaikata umatku tahu pasti tentang sesuatu yang tersembunyi dalam bulan Ramadhan, pasti mereka mengharap seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan Ramadhan. Sebab ia menghimpun segala kebaikan dan taat yang dikabulkan, doa-doa yang dipenuhi (mustajab), segala laku dosa diampuni, dan sorga merindukan mereka. (Zubdah al-Wa’izhin).

Begitulah Ramadhan, dan demikianlah kemerdekaan yang dianugerahkan Allah Yang Maha Kuasa kepada bangsa Indonesia. Umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya tidak memanfaatkan Ramadhan dan Kemerdekaan dengan maksimal dan sebaik-baiknya. Sebagian besar meski bulan Ramadhan umat tidak banyak yang fokus meningkatkan ibadahnya menjadi lebih maksimal dan sempurna. Terkadang lebih banyak yang biasa-biasa saja, malahan ada pula mereka yang bersikap tidak perduli dengan bulan suci ini dan terus saja maksiat bahkan meningkatkan prilaku durhakanya. Demikian pula dengan anugerah kemerdekaan, ada memangnya mereka yang bersungguh-sunguh dengan jiwa merdeka mengabdi Negara dan bangsanya, namun banyak pula yang sebaliknya. Mereka bukan mempertahankan, mengembangkan, dan membangun Negara dan bangsanya, akan tetapi mereka berebut kekuasaan dan jabatan, selanjutnya tidak berkiprah dengan ikhlas untuk membangun kesejahteraan rakyat dan negaranya. Malahan banyak pula yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan serta jabatannya demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, karena keberangkatannya meraih jabatan dengan money politik sehingga setelah memperoleh jabatan maunya hanya ingin mengeruk aset-aset Negara demi mengembalikan modalnya bahkan berlebih . Demikian pula DPR yang bolos, rekening gendut perwira polri, koruptor diberbagai departemen terutama perpajakan, pejabat malah jadi penjahat, penegak hukum malah melanggar hukum, pengadilan malah jadi penghianatan, direktur bank malah jadi pelacur bank, singkat kata kemerdekaan Indonesia telah meluncur jadi Negara penghutang terbesar, Negara terkorup terbesar, dan lain-lain yang rasanya sungguh memalukan.

Kini 65 tahun sudah kemerdekaan, apabila hidayah, hikmah dan fadhilah Ramadhan benar-benar diejawantahkan dalam mensyukuri untuk membangun kemerdekaan Republik Indonesia yang dianugerahkan Allah swt melalui perjuangan para pejuang bangsa, insya Allah negeri ini akan menjadi lebih baik daripada yang ada sekarang. Berbagai komentar bangsa ini menyebutkan bahwa negeri ini telah mengalami krisis akhlak dan kebejatan moral di berbagai komunitas baik rakyat pejabat politikus tokoh pemimpin bahkan akhir-akhir ini dengan beredarnya video porno yang diakses masyarakat tak terbatas, tidak ada penegakan hukum kecuali amat sedikit dan pembenaran hanya berpihak kepada yang kuat sedangkan yang lemah cenderung selalu jadi pihak yang disalahkan, negeri koruptor dan bahkan pihak-pihak yang melaksanakan atau mencoba melaksanakan pemberantasan korupsi dimusuhi malahan dimusnahkan, ekonumi menindas rakyat pengusaha kecil dan sebaliknya hanya menguntungkan kapitalis serta para pemilik modal besar, penguasa sewenang-wenang dengan kekuasaannya bahkan seenaknya memproduk berbagai perundang-undangan yang sesuai dengan hajat kepentingan dan kemauannya dengan cara-cara menyuap yang berwenang, polisi yang semestinya mengayomi rakyat malah bermusuhan dengan rakyat lebih-lebih polisi pamongpraja dengan prilaku penggusuran dan eksekusi-eksekusi yang tidak adil serta memihak dengan cara-cara arogan bagai di negeri penjajahan, maraknya pembunuhan tawuran dan kriminalitas lainnya yang seolah tidak akan pernah berhenti bahkan semakin meningkat baik modus operandinya maupun jumlahnya, lebih-lebih akhir-akhir ini sudah terasa tidak ada lagi penghargaan dan penghormatan terhadap jasa-jasa pejuang dan pemimpin serta pahlawan bangsa seperti Roesmini dan Soetarti sebagai janda pahlawan yang dituduh menyerobot tanah dan bangunan menurut versi pengacara pegadaian terkait yang tentunya hal itu hanyalah sekedar ulah dan mengada-ada saja, dan lain sebagainya.

Sesungguhnya semua ini terwujud, karena kemerdekaan RI yang diproklamasikan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan itu, tidak disyukuri dengan prilaku yang semestinya mengikuti petunjuk al-Qur`an, yang sebagiannya diimplementasikan Bung Karno dalam Pancasila yang selanjutnya kemudian telah ditetapkan sebagai falsafah bangsa dan Negara, serta telah dicanangkan petunjuk-petunjuk itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-65, semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmat taufik dan hidayah-Nya kepada Negara dan bangsa Indonesia. (Achmad Muhammad).


Telaga Ramadhan

Oleh Arif Munandar Riswanto


Ramadhan bagaikan sebuah telaga yang sangat besar. Di dalam telaga tersebut berisi kekayaan yang melimpah ruah. Ia mengalirkan air yang sangat jernih, sejuk, dan tidak pernah kering. Segala kebutuhan yang diperlukan oleh manusia bisa terpenuhi di dalam telaga tersebut. Dan manusia bisa membersihkan kotoran, memenuhi hajat hidup, dan mendapatkan berbagai kekayaan dari telaga tersebut.

"Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat, dan Ramadhan ke Ramadhan akan menjadi kifarat dosa selama menjauhi dosa-dosa besar," (HR Muslim). Namun, meskipun telaga yang luas dan jernih tersebut telah menghampar di depan mata, tidak semua orang bisa memanfaatkannya dengan benar. "Banyak orang yang shaum (berpuasa), tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari shaumnya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga," (HR Ahmad).

Orang-orang yang seperti itu adalah orang-orang yang tidak bisa menghampiri telaga Ramadhan dengan baik. Telaga tersebut dibiarkan mengalir begitu saja. Bahkan, mereka cenderung menjauhinya. Karena, puasa hanya sekadar menahan makan dan minum. Dengan demikian, maka telaga tersebut tidak bisa didekati dengan rasa lapar dan haus.

Jika rasa lapar dan dahaga tidak cukup untuk mengantarkan seseorang kepada telaga Ramadhan, maka telaga tersebut harus didekati dengan iman dan muhasabah. "Barangsiapa yang puasa Ramadhan dengan penuh iman dan pengharapan, maka segala dosanya yang terdahulu akan diampuni," (HR Bukhari dan Muslim).

Secara etimologi, iman berarti percaya sedangkan muhasabah berarti introspeksi. Ketika mengomentari hadis tersebut, An-Nawawi menerangkan bahwa iman adalah percaya bahwa shaum adalah kebenaran yang memiliki keutamaan sedangkan muhasabah berarti mengharap ridha Allah semata.

Telaga Ramadhan tidak bisa didekati hanya dengan rasa lapar dan dahaga, sebab ibadah shaum (puasa) bukan ibadah simbolik-ritual semata. Telaga Ramadhan harus didekati dengan ibadah substantif yang harus meresap ke dalam hati. Jika shaum bisa dilakukan dengan penuh keimanan dan muhasabah (ikhlas), maka segala manfaat yang ada di dalam telaga Ramadhan pasti akan bisa diambil.

Orang-orang yang bisa memanfaatkan telaga Ramadhan dengan baik, dialah orang-orang yang kembali kepada fitrah (suci). Dosa-dosa dari orang-orang seperti itu akan diampuni dan mereka berhak membawa segala bentuk kekayaan yang ada di dalam perut telaga Ramadhan.

Inilah rahasia mengapa ibadah Ramadhan ditutup dengan perayaan Idul Fitri. Secara etimologi Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah. Fitrah ketika manusia bisa kembali kepada nilai-nilainya yang asasi dan belum pernah terkontaminasi oleh nafsu-nafsu duniawi. Mudah-mudahan kita bisa memanfaatkan telaga Ramadhan ini dengan penuh iman dan muhasabah.

Ramadhan Penuh Keberkahan

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc


Sungguh merupakan sebuah kenikmatan yang sangat luar biasa, karena saat kita mulai memasuki dan berada di bulan Ramadhan 1431 H. Bulan yang penuh dengan keberkahan, ampunan, rahmat dan kasih sayang Allah SWT. Di bulan ini pula, Allah SWT mewajibkan kepada seluruh orang yang beriman, untuk melaksanakan ibadah shaum (puasa), dengan tujuan untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183). Pada bulan Ramadhan ini juga Allah SWT menurunkan Alquran yang menjadi petunjuk bagi umat manusia, dan terutama bagi orang-orang yang bertakwa. Yakni, orang-orang senantiasa menginginkan hidupnya dapat meraih kebahagiaan dan kesuksesan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ...” (QS Al-Baqarah [2]: 185).

Di bulan ini pula dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan diikat serta dibelenggu setan-setan (sehingga sulit menggoda dan mengganggu orang yang berpuasa). Keberkahan dan keistimewaan lainnya, di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Itulah malam Lailatuil Qadar. Dengan berbagai keistimewan dan keberkahan itu, beruntunglah orang-orang yang dengan tulus ikhlas memanfaatkannya untuk memperbanyak ibadah kepada Allah.

Sebaliknya, barangsiapa yang terhalang mendapatkan kebaikan di bulan ini, maka sungguh merugilah ia. (HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah). Bulan Ramadhan, menjadi bulan latihan untuk mengendalikan diri dari ucapan, hawa nafsu, dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Dengan demikian, seluruh waktunya hanya dipergunakan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Dan ia memaksimalkan waktunya itu untuk memberikan manfaat optimal bagi sesama umat manusia.

Oleh karena itu, marilah kita sambut bulan Ramadhan 1431 H ini, dengan penuh suka cita dan kegembiraan untuk meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah SWT. Mari kita bulatkan tekad dan niat kita untuk melaksanakan ibadah shaum dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Selamat menunaikan ibadah shaum, semoga keberkahan akan terlimpah dan tercurah pada kita semuanya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Al Quran On Line