Sabtu, 29 Mei 2010

Langkah-langkah Menguatkan Tauhid



Langkah-langkah Menguatkan Tauhid
ilustrasi

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Tauhidullah atau mengesakan Allah dalam segala hal, baik dengan hati, lisan (ucapan), maupun amal perbuatan sehari-hari adalah merupakan inti utama ajaran Islam. Karena, hal itu menjadi inti utama ajaran para Rasul Allah, sejak dari rasul pertama sampai terakhir. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS Al-Anbiya: 25, ''Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'.''

Tauhidullah ini harus termanifestasikan melalui keinginan yang kuat untuk membangun persaudaraan dan menebarkan cita-cita ukhuwah Islamiyyah dalam bingkai wihdatul ummah (kesatuan umat). Sebab, harus disadari bahwa hanya dengan kedua pilar inilah (tauhidullah dan wihdatul ummah), umat Islam tidak akan pernah mendapatkan kehinaan dan kemiskinan kapan dan di manapun berada. Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran: 112, ''Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia ....''

Semua praktik ibadah dalam syariat Islam selalu mencerminkan kedua hal ini. Shalat, sebagai contoh, diawali dengan takbiratul ihram yang bermakna meyakini bahwa tidak ada yang mahabesar kecuali hanya Allah SWT, dan karena itu tidaklah pantas beribadah, ruku, dan sujud kecuali hanya kepada-Nya. Diakhiri dengan salam ke kanan dan kiri yang bermakna menebarkan salam kedamaian bagi semua umat. Karena itu, orang yang shalatnya khusyuk akan semakin rendah hati pada Allah SWT dan semakin mencintai sesama umat yang rukuk dan sujud bersama-sama.

Ibadah puasa yang wajib dilakukan selama bulan Ramadhan maupun puasa sunah lainnya, mencerminkan keikhlasan yang sungguh-sungguh untuk selalu diawasi oleh Allah SWT dalam segala tindakan dan perbuatan. Implementasinya, orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan akan menjadi orang yang jujur dalam hidupnya dan memberikan kebaikan kepada sesamanya.

Bahkan, di akhir bulan Ramadhan, kaum Muslimin diperintahkan untuk membayar zakat fitrah sebagai simbol kepedulian dan perhatian yang penuh terhadap kelompok fakir miskin. Demikian pula ibadah zakat maal lainnya penuh dengan simbolisasi kecintaan kepada sesama umat manusia dan terutama kepada kelompok dhuafa yang sedang mengalami kesulitan dan masalah dalam hidupnya.

Praktik ibadah haji yang merupakan rukun Islam terakhir, yang diawali dengan berpakaian ihram dan diakhiri dengan tahallul, semuanya menggambarkan kecintaan kepada Allah SWT dan kerinduan untuk membangun kesatuan umat dari manapun jamaah haji itu berasal. Predikat haji mabrur, seperti kata para ulama, adalah orang yang kecintaannya kepada Allah SWT menjadi bertambah kokoh dan kedekatan kepada sesama manusia semakin kuat.

Karena itu, penguatan tauhidullah harus disertai dengan penguatan wihdatul ummah, yaitu umat yang menyatu dalam keyakinan, keimanan, dan ibadah kepada Allah SWT, serta memberikan kemanfaatan pada sesama manusia. Wa Allahu a’lam.

Jumat, 28 Mei 2010

Undangan itu Pasti Tiba

Oleh Dr H Mujar Ibnu Syarif MAg

Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un. Indonesia kembali berduka. Dalam satu minggu terakhir ini bangsa dan negara Indonesia kehilangan dua orang putra dan putri terbaiknya. Pertama, Gesang Martohartono, sang maestro atau komponis kawakan Indonesia pada Kamis (20/5).

Kedua, mantan ibu negara, Ny Hasri Ainun Habibie, almarhumah istri tercinta mantan presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang wafat pada Sabtu (23/5).

Kematian merupakan suatu keniscayaan, yang pasti akan datang menjemput setiap makhluk yang bernyawa. Dan ketika jadwal kematian telah tiba, tidak ada seorang pun yang dapat menundanya. "Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian." (QS Ali Imran [3]: 183). "Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya." (QS An-Nahl [16]: 61).

Kematian bukanlah cara Allah SWT untuk menimpakan sesesuatu yang menyakitkan kepada umat manusia. Tetapi, kematian adalah undangan Allah, agar hamba-hamba-Nya yang beriman untuk segera datang menjumpai-Nya.

Imam al-Ghazali menuturkan, ketika Malaikat Izrail datang hendak mencabut nyawanya, Nabi Musa AS, berkata, "Bagaimana mungkin Sang Kekasih akan tega menyakiti kekasih yang dicintai dan disayangi-Nya?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Malaikat Izrail segera menghadap Allah guna memohon petunjuk-Nya untuk menjawab pertanyaan kritis Nabi Musa itu. Allah SWT memerintahkan Malaikat Izrail untuk kembali lagi menemui Nabi Musa. Ketika Nabi Musa mengajukan pertanyaan yang sama, malaikat Izrail menjawab, "Kekasih mana yang tidak sudi bertemu Kekasihnya, ketika Kekasihnya itu memintanya untuk segera menemuinya?" Mendengar jawaban itu, dengan penuh keceriaan, Nabi Musa mengikhlaskan nyawanya kembali ke hadirat-Nya.

Dari narasi tersebut jelas tergambar bahwa pada hakikatnya kematian merupakan undangan Allah, supaya orang-orang beriman yang dikasihi-Nya, segera datang menjumpai-Nya. Karena itu, pada suatu pagi, ketika dikunjungi Malaikat Izrail di saat sakit, Nabi Muhammad SAW dengan bertanya kepada Malaikat Izrail, "Maksud kedatanganmu ke rumahku pagi ini, hanya untuk berziarah ataukah untuk mencabut nyawaku?"

"Aku datang untuk berziarah sekaligus juga untuk menjemputmu, bila engkau mengizinkannya. Tapi aku akan segera kembali, bila engkau keberatan kujemput hari ini. Ya, Rasul Allah, sampaikanlah kepadaku, apa yang kau ingin kulakukan untukmu hari ini," pinta Malaikat Izrail. "Pertemukanlah aku dengan Tuhanku sekarang juga!" jawab Nabi SAW tanpa ragu.

Orang yang bertakwa kepada Allah, tak perlu merasa takut dengan kematian. Sebab, saat itu pasti akan tiba. Dan saat kematian datang, maka mereka akan tersenyum bahagia, kendati ia akan dilepas dengan derai air mata oleh orang-orang yang menyayanginya.

Bagi orang yang bertakwa, kematian merupakan kesempatan terbaik untuk bertemu dengan Allah. Karena, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu daripada dunia" (QS Al-Dhuha ;93]: 4).

Kamis, 27 Mei 2010

Tiga Tanda Kematian

Oleh Imam Nur Suharno

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya'kub AS. Suatu ketika Nabi Ya'kub berkata kepada malaikat maut. "Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita."

"Apakah itu?" tanya malaikat maut. "Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku." Malaikat maut berkata, "Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku." Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya'kub. Kemudian, Nabi Ya'kub bertanya, "Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?"

"Aku datang untuk mencabut nyawamu." Jawab malaikat maut. "Lalu, mana ketiga utusanmu?" tanya Nabi Ya'kub. "Sudah kukirim." Jawab malaikat, "Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya'kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam.

Kisah tersebut di atas mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. "Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan." (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, "Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Teruntuk Ibu Hasri Ainun Habibie. Selamat Jalan, Ibu ….

Rabu, 26 Mei 2010

Antara Tauhidullah dengan Wihdatul Ummah

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Tauhidullah atau mengesakan Allah dalam segala hal, baik dengan hati, lisan (ucapan), maupun amal perbuatan sehari-hari adalah merupakan inti utama ajaran Islam. Karena, hal itu menjadi inti utama ajaran para Rasul Allah, sejak dari rasul pertama sampai terakhir. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS Al-Anbiya: 25, ''Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'.''

Tauhidullah ini harus termanifestasikan melalui keinginan yang kuat untuk membangun persaudaraan dan menebarkan cita-cita ukhuwah Islamiyyah dalam bingkai wihdatul ummah (kesatuan umat). Sebab, harus disadari bahwa hanya dengan kedua pilar inilah (tauhidullah dan wihdatul ummah), umat Islam tidak akan pernah mendapatkan kehinaan dan kemiskinan kapan dan di manapun berada. Allah SWT berfirman dalam QS Ali Imran: 112, ''Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia ....''

Semua praktik ibadah dalam syariat Islam selalu mencerminkan kedua hal ini. Shalat, sebagai contoh, diawali dengan takbiratul ihram yang bermakna meyakini bahwa tidak ada yang mahabesar kecuali hanya Allah SWT, dan karena itu tidaklah pantas beribadah, ruku, dan sujud kecuali hanya kepada-Nya. Diakhiri dengan salam ke kanan dan kiri yang bermakna menebarkan salam kedamaian bagi semua umat. Karena itu, orang yang shalatnya khusyuk akan semakin rendah hati pada Allah SWT dan semakin mencintai sesama umat yang rukuk dan sujud bersama-sama.

Ibadah puasa yang wajib dilakukan selama bulan Ramadhan maupun puasa sunah lainnya, mencerminkan keikhlasan yang sungguh-sungguh untuk selalu diawasi oleh Allah SWT dalam segala tindakan dan perbuatan. Implementasinya, orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan akan menjadi orang yang jujur dalam hidupnya dan memberikan kebaikan kepada sesamanya.

Bahkan, di akhir bulan Ramadhan, kaum Muslimin diperintahkan untuk membayar zakat fitrah sebagai simbol kepedulian dan perhatian yang penuh terhadap kelompok fakir miskin. Demikian pula ibadah zakat maal lainnya penuh dengan simbolisasi kecintaan kepada sesama umat manusia dan terutama kepada kelompok dhuafa yang sedang mengalami kesulitan dan masalah dalam hidupnya.

Praktik ibadah haji yang merupakan rukun Islam terakhir, yang diawali dengan berpakaian ihram dan diakhiri dengan tahallul, semuanya menggambarkan kecintaan kepada Allah SWT dan kerinduan untuk membangun kesatuan umat dari manapun jamaah haji itu berasal. Predikat haji mabrur, seperti kata para ulama, adalah orang yang kecintaannya kepada Allah SWT menjadi bertambah kokoh dan kedekatan kepada sesama manusia semakin kuat.

Karena itu, penguatan tauhidullah harus disertai dengan penguatan wihdatul ummah, yaitu umat yang menyatu dalam keyakinan, keimanan, dan ibadah kepada Allah SWT, serta memberikan kemanfaatan pada sesama manusia. Wa Allahu a’lam.

Senin, 24 Mei 2010

Bahagianya Hidup Sehat

Dr Briliantono M Soenarwo

"Pertanyaan pertama yang diajukan kepada seorang hamba pada hari kiamat kelak mengenai kenikmatan dunia adalah, 'Bukankah Aku telah memberimu badan yang sehat'?" (HR Tirmidzi).

Sehat adalah pilihan, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang menginginkan sakit. Sebisa mungkin, penyakit harus dihindari. Wajar saja bila pemerintah mencanangkan program imunisasi dini bagi balita. Tujuannya untuk mencegah kemungkinan seorang balita terkena suatu penyakit. Dan, sebagian dari kita berusaha menjaga kesehatan tubuh dan menghindari penyakit dengan berbagai cara; olahraga, menjaga pola makan dan istirahat, diet khusus, me-manage stres, mengonsumsi suplemen, atau memperbaiki pola hidup.

Orang-orang yang dengan sadar menjaga pola dan gaya hidup, aktivitas dan makanannya, agar tetap bisa tampil bugar dan prima, adalah mereka yang mengerti akan arti penting kesehatan. Bahkan, tidak jarang mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak demi menjaga kesehatan. Sebab mereka yakin, bila sakit, ongkos yang harus dikeluarkan akan lebih mahal dibandingkan dengan menjaga kesehatan.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tubuhmu mempunyai hak atas dirimu." Itu artinya, tubuh kita juga harus mendapatkan perhatian. Kasihan, kalau menit demi menit dia dimanfaatkan, dieksploitasi, tapi tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Ibarat mesin, tubuh juga memerlukan perawatan rutin dan kontinu agar tidak cepat rusak. Termasuk dalam perawatan tubuh adalah tidak memberinya asupan makanan yang buruk dan berbahaya, semisal narkoba dan minuman beralkohol.

Kita baru merasakan betapa bahagianya hidup sehat ketika sedang sakit, atau ada sebagian anggota tubuh kita yang sakit. Berbagai rencana tiba-tiba muncul di benak kita apabila nanti kembali sehat. Kita akan rutin berolahraga, mengurangi makan makanan yang berlemak, berhenti merokok, mengurangi begadang, dan lain sebagainya. Tapi, ketika kita sudah sehat, semua rencana itu segera terabaikan.

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah teladan sempurna dalam berbagai hal, termasuk dalam menjaga kesehatan. Itu terbukti dari jarangnya beliau sakit, sepanjang 63 tahun usia beliau. Beliau penah sakit karena dizalimi oleh kaum kafir, dilempari batu hingga pelipis beliau berdarah, atau terkena senjata musuh kala berperang dan diracun seorang wanita Yahudi. Kalaupun sakit, maka beliau akan segera berobat dengan dibekam (hijamah). Selebihnya, Rasulullah SAW hidup dalam keadaan sehat karena selalu menerapkan pola dan gaya hidup sehat, baik melalui aktivitas fisik yang seimbang, menjaga pola makan dan istirahat, serta terinteraksi sosial yang bermanfaat. Sebagai Muslim, sudah selayaknya kita meneladani Rasulullah dalam segala hal, termasuk menjaga kesehatan.

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi
ilustrasi

Oleh Hj Lily Musfirah Nurlaily

Dalam kompleksitas kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyikapinya dengan amarah dan penuh emosi.

Secara etimologis, kata 'emosi' adalah terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. "Dan, tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, 'Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.'" (QS al-A'raf [7]: 150).

Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karena saking marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah al-A'raf [7]: 154.

Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi menjawab, "La taghdlab", hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Bagaimana menguasai marah atau me-manage emosi? Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. "Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat."

Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan syaraf, terutama syaraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa nafsu yang mahadahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan dengan kekuatan setan.

Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan fisik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan syaraf otak dan syaraf-syaraf lainnya. Jika gerakan fisik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan setan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A'lam.

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi

Ajaran Rasulullah tentang Manajemen Emosi
ilustrasi

Oleh Hj Lily Musfirah Nurlaily

Dalam kompleksitas kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyikapinya dengan amarah dan penuh emosi.

Secara etimologis, kata 'emosi' adalah terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. "Dan, tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, 'Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.'" (QS al-A'raf [7]: 150).

Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karena saking marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah al-A'raf [7]: 154.

Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi menjawab, "La taghdlab", hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Bagaimana menguasai marah atau me-manage emosi? Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. "Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat."

Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan syaraf, terutama syaraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa nafsu yang mahadahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan dengan kekuatan setan.

Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan fisik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan syaraf otak dan syaraf-syaraf lainnya. Jika gerakan fisik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan setan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A'lam.

Sabtu, 22 Mei 2010

Iskandar Zulkarnain, Sang Penakluk Yang Saleh (Bagian Pertama)

Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan kami telah memberikannya jalan untuk mencapai sesuatu.

Dialah Raja Muslim yang sangat berkuasa namun saleh. Daerah taklukannya membentang dari bumi bagian barat sampai timur. Ia mendapat julukan Iskandar “Zulkarnain”. “Zul”, artinya “memiliki”, Qarnain, artinya “Dua Tanduk”. Maksudnya, Iskandar yang memiliki kekuasaan antara timur dan barat.

Dia juga telah membangun dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, diantara dua Gunung. Para ahli sejarah meyakini, dinding tersebut terbuat dari besi yang dicampur dengan tembaga itu terletak tepat di pengunungan Kaukasus. Daerah itu kini disebut Georgia, negara pecahan Uni Soviet.

Secara topografis, deretan pegunungan Kaukasus itu memang terlihat memanjang dari laut Hitam sampai ke laut Kaspia sepanjang 1.200 kilometer tanpa celah. Kecuali pada bagian kecil sempit yang disebut celah Darial sepanjang 100 Meter kurang lebih. Pada bagian celah itulah Zulkarnain membangun tembok penghalang dari Ya’juj dan Ma’juj.

Kisah ketokohan Iskandar Zulkarnain ini juga tertulis dalam catatan sejarah orang-orang barat. Dalam catatan tersebut diceritakan bagaimana ia berjaya meluaskan daerah taklukannya dalam masa yang sangat singkat. Oleh karena kejayaannya ini, ia diberi gelar “Alexander The Great”, Alexander Yang Agung”. Belakangan cerita ini diadaptasi ke film layar lebar oleh Sutradara Amerika Serikat, Oliver Stone, dengan judul Alexander The Great.

Namun cerita dari orang-orang barat tersebut sangat bertentangan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Para Mufasir menyatakan, “Alexander The Great” adalah orang yang berbeda dengan tokoh yang di tulis dalam Al-Qur’an, Yakni, Iskandar Zulkarnain. Alexander Thr Great itu dalam sejarahnya tidak diberitakan pernah membangun sebuah dinding besar berteknologi tinggi untuk ukuran saat itu, yang terbuat dari besi dicampur tembaga. Bahkan, ia adalah seorang musyrik. Sejarah tidak mencatatnya sebagai seorang Raja Muslim yang taat kepada agama Tauhid.

Sejarawan Muslim yang juga ahli tafsir, Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidayah Wan Nihayah menjelaskan, meski punya nama yang sama dan plot cerita yang sama, yaitu kekuasaannya membentang dari Barat sampai ke Timur, keduanya adalah sosok yang berbeda. Antara mereka terbentang jarak dan waktu sampai 2000 tahun. “Hanya mereka yang tidak mengerti sejarah yang bisa terkecoh oleh identitas kedua orang itu,” katanya.

Ibnu Katsir lebih jauh menjelaskan, Zulkarnain adalah nama gelar atau julukan seorang penglima penakluk sekaligus Raja saleh. Karena kesalehannya ia selalu mengajak manusia untuk menyembah Allah. Namun mereka ingkar, malah memukul tanduknya – Qarnun, yaitu rambut kepala yang di ikat – sebelah kanan, hingga ia mati. Lalu Allah menghidupkannya kembali, dan ia pun kembali berdakwah. Tetapi sekali lagi tanduknya yang kiri dipukul, sehingga ia mati lagi. Allah SWT menghidupkannya kembali dan menjulukinya Zulkarnain, pemilik duaTanduk, serta memberinya kekuasaan.

Cerita yang sama juga di jumpai dalam kitab Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Aiji Asy-Syafi’i. Dalam kitab tersebut disebutkan, Zulkarnain adalah seorang hamba yang taat kepada Allah dan mengajak kaumnya menyembah Allah. Lalu mereka memukul tanduknya yang kanan hingga mati. Kemudian Allah menghidupkannya lagi, dan dia kembali mengajak kaumnya mengesakan Allah. Tetapi mereka malah memukul tanduknya yang kiri hingga mati lagi. Lalu Allah menghidupkannya lagi dan menganugrahinya kekuasaan yang tak tertandingi. Oleh karena itu ia dijuluki Zulkarnain.

Di samping kedua kitab tersebut, Mufassir Muslim Ibnu Jarir Ath-Thabari juga mengisahkannya dalam kitab tafsir Ath-Thabari. Dikatakan, Iskandar Zulkarnain adalah seorang laki-laki yang berasal dari Romawi, ia anak tunggal seorang yang paling miskin diantara penduduk kota. Namun dalam pergaulan sehari-hari, ia hidup dalam lingkungan kerajaan, bergaul dengan para perwira dan berkawan dengan wanita-wanita yang baik dan berbudi serta berakhlak mulia.

Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Qur’annya yang populer, Tafsir Al-Qurtubi, menceritakan, sejak masih kecil dan masa pertumbuhannya Iskandar berakhlak mulia. Melakukan hal-hal yang baik sehingga terangkat nama baiknya. Ia juga menjadi mulia di kalangan kaumnya, sehingga Allah berkenan memberinya kewibawaan.

Setelah mencapai usia akil balig, Iskandar menjadi seorang hamba yang saleh, sehingga Allah Berfirman, “Wahai Zulkarnain, Sesungguhnya aku mengutusmu kepada umat-umat di bumi. Mereka adalah umat yang berbeda-beda bahasanya dan mereka adalah umat yang berada disegala penjuru bumi. Mereka terbagi dalam beberapa golongan.”

Mendapat amanat tersebut, Zulkarnain lalu berkata, “Wahai Tuhanku, Engkau telah menugasiku melakukan seuatu hal yang aku tidak kuasa melakukannya kecuali engkau sendiri, maka beritahukan kepadaku tentang umat-umat itu, dengan kekuatan apa aku bisa melawan mereka? Dengan kesabaran apa aku bisa menahan mereka? Dan dengan bahasa apa aku harus bicara dengan mereka? Bagaimana pula aku bisa memahami bahasa mereka sedangkan aku tidak mempunyai kemampuan.”

Kemudian Allah SWT berfirman”Aku membebanimu sesuatu yang kamu mampu melakukannya, aku akan melapangkan pendengaran dan dadamu hingga kamu bisa mendengar dan memperhatikan segala sesuatu. Memudahkan pemahamanmu sehingga kamu bisa memahami segala sesuatu, meudahkan lidahmu, hingga kamu bisa berbicara tentang sesuatu, membukakan penglihatanmu, sehingga kamu bisa melihat segala sesuatu, melipatgandakan kekuatanmu hingga tak terkalahkan oleh sesuatu apapun, menyingsingkan lenganmu, hingga tidak ada sesuatupun yang berani meyerangmu, menguatkan hatimu, hingga kamu tidak takut pada apapun, menguatkan kedua tanganmu hingga kamu bisa menguasai segala sesuatu, menguatkan pijakanmu hingga kamu bisa mengatasi segala sesuatu, memberimu kemuliaan hingga tidak ada apapun yang menakutimu, menundukkan untukmu cahaya dan kegelapan dan menjadikan salah satu tentaramu. Cahaya itu akan menjadi petunjuk di depanmu, dan kegelapan itu akan berkeliling di belakangmu.

Bersambung

Alexander Yang Agung, Penyatuan Timur dan Barat (Bagian Kedua)

Sejak kecil, Iskandar sudah tidak senang melihat peperangan antara timur, yaitu kerajaan Persia, dan Barat, Kerajaan Romawi. Perang itu tak ada hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad. Ribuan manusia tewas, kerugian harta benda tak terhitung lagi jumlahnya, apalagi kerusakan lingkungan hidup, merugikan manusia itu sendiri.

Untuk menghentikan permusuhan antara timur dan barat, Iskandar bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan yang dapat menyatukan wilayah timur dan barat.

Iskandar pun tumbuh menjadi manusia dewasa yang saleh, berakhlak dan berbudi tinggi. Atas segala kesalehannya itu, Allah mengaruniakan kepadanya segala kelebihan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, lalu Allah memerintahkan untuk menyeru manusia kepada agama tauhid.

Mula-mula dengan tentaranya yang lengkap dan kuat, dia menuju ke barat wilaya Maroko, tempat terbenamnya matahari. Dilihatnya matahari itu terbenam di mata air yang berlumpur, lautan Atlantik sekarang ini.

Di situ ia bertemu dengan bangsa yang senantiasa berbuat kerusakan dan kejahatan. Bukan saja merusak permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Bahkan mereka tidak beragama.

Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Iskandar menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam, apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan, atau akan dibiarkan begitu saja?

Allah lalu memberinya dua pilihan: digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka, atau di ajar dan didik agar mereka kembali kepada kebenaran dan menyembah Allah serta meninggalkan segala kejahatan.

Iskandar Zulkarnain memutuskan menggempur mereka yang durhaka dan jahat, sedangkan orang yang baik akan dilindungi. Sebelumnya ia berkata kepada bangsa tersebut, “Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan siksa yang lebih pedih lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi, dan kepadanya kami hanya akan memerintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan.”

Kemudian tentaranya bergerak menewaskan setiap orang yang kejam, melindungi setiap orang yang baik. Akhirnya negeri itu dapat diamankan dan di tentramkan serta di atur sebaik-sebaiknya, penuh dengan kehidupan bahagia dan makmur,

Setelah selesai menunaikan kewajiban terhadap bangsa dan negeri itu, Iskandar dengan tentaranya menuju ke arah timur, India. Dilihatnya matahari di atas bangsa yang musyrik, yang menyembah banyak tuhan, yaitu bangsa Hindustan.

Bangsa dan negeri itu pun dapat ditaklukkan, diamankan dan ditentramkannya, serta diatur sebaik-baiknya sehingga setiap orang dapat merasakan hidup aman, tentram dan bahagia. Bangsa itu juga dapat dikeluarkan dari lembah kesesatan.

Selesailah sudah kewajibannya terhadap bangsa dan negeri itu. Ia lalu menuju ke utara, negeri Armenia, melalui Persia dan Azarbaijan. Kemenangan demi kemenangan dicapainya selama dalam perjalanan itu, akhirnya sampailah di suatu tempat, di sana ia bertemu dengan suatu bangsa yang selalu dalam ketakutan dan ke khawatiran, karena ternyata negeri itu berbatasan dengan bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang terkenal kuat dan kejam. Bukan sekali dua kali saja, tetapi seringkali bangsa Ya’juj dan Ma;juj itu datang menyerang mereka, menghancurkan apa saja yang didapatinya dan membunuh siapa saja yang dijumpainya.

Kedatangan Iskandar ini, mereka sambut dengan segala kehormatan dan kegembiraan, karena mereka tahu dari kabar yang beredar bahwa Iskandar adalah Raja yang kuat dan paling adil di muka bumi ini.

Lalu mereka meminta bantuan kepada Iskandar, agar dilindungi dari serangan Ya’juj dan Ma’juj. Mereka memohon supaya antara negeri mereka dan negeri Ya’juj dan Ma’juj dibangun dinding raksasa yang tidak dapat ditembus. Sebagai imbalannya mereka sanggup membayar mahal Iskandar.

Mendengar permohonan itu, Iskandar Zulkarnain menjawab, “Saya tidak mengharapkan upah dari kalian, nikmat dan pemberian Tuhanku lebih berharga daripada upah itu. Hanya kepada kalian saya minta kaum pekerja dan alat-alatnya: besi, tembaga, arang batu dan kayu.”

Setelah semuanya terkumpul, ia mulai bekerja dengan bantuan para pekerja. Mula-mula menyalakan api dengan kayu dan arang batu, diambilnya besi, lalu dileburkannya dengan api, setelah besi itu mencair, dituangkannya tembaga, dan diaduk menjadi satu. Dengan bahan campuran inilah di dirikan dinding raksasa antara negeri itu dan negeri Ya’juj dan Ma’juj. Dinding besi raksasa itu tidak dapat di tembus dan di lubangi oleh siapapun dan oleh apapun.

“Dinding ini adalah rahmat dari Tuhan kepada kalian, hanya tuhanlah yang dapat menembus dinding ini, jika dikehendakinya,” kata Iskandar. Maka aman dan tentramlah negeri tersebut.

Iskandar Zulkarnain dapat menaklukkan negeri-negeri yang terbentang antara timur dan barat. Dengan demikian cita-citanya untuk mempersatukan kerajaan di timur dan barat tercapai. Negeri yang berada di bawah kekuasaannya, antara lain Maroko, Romawi, Yunani, Mesir, Persia dan India.

Berkat ilmu dan pengetahuannya yang luas, serta dasar ketuhanan yang selalu dipagang teguh dalam mendirikan kerajaan yang besar itu. Penduduknya hidup dengan aman, tentrem dan makmur. Kebesaran dan kejayaan itu tidak membuatnya buta dan lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT.

Bersambung

Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Zulkarnain (Bagian Ketiga)

Menurut Khair Ramdhan Yusuf, dalam bukunya Iskandar Zulkarnain, Panglima Perang, penakluk dan pemerintah yang saleh, kajian terperinci menurut Al-Qur’an, Sunah dan Sejarah, terbitan Malaysia, ada empat sosok yang berkaitan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Yaitu, Iskandar Macedonia, Zulkarnain Al-Hamiri, Raja Himyar, seorang lelaki saleh pada zaman Nabi Ibrahim, dan Kursh Al-Akhmini Al-Farisi.

Kendati begitu kita dapat membaca dengan jelas kisah Iskandar Zulkarnain ini dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83 sampai 98, yang artinya, “Mereka akan bertanya kepadamu Muhammad, tentang Zulkarnain. Katakanlah, “Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya.”

“Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di bumi, dan kami telah menberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu, maka ia pun menempuh jalan tersebut. Hingga apabila telah sampai ke tempat terbenamnya matahari, ia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan ia mendapatinya di situ segolongan umat”.

Kami berkata, “Hai Zulkarnain kamu boleh menyiksa atau berbuat kebaikan terhadap mereka.”

Berkata Zulkarnain, “Adapun orang yang aniaya, kami kelak akan mengazabnya, kemudian ia kembali kepada Tuhannya, lalu tuhan mengazabnya dengan azab yang tiada taranya. Adapun orang yang beriman dan beramal saleh, baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya yang mudah dari perintah-perintah kami.”

Kemudian ia menempuh jalan lagi, hingga apabila telah sampai ke tempat terbitnya matahari ia mendapati matahari yang menyinari segolongan umat yang kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari matahari itu.”

Demikianlah, dan sesungguhnya ilmu kami meliputi segala apa yang ada padanya, Zulkarnain. Kemudian ia menempuh suatu jalan lagi, sehingga apabila telah sampai diantara dua buah gunung ia mendapati kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

Mereka berkata, “Hai, Zulkarnain sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?”

Zulkarnain berkata, “apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.”

Hingga ketika besi itu telah sama rata dengan kedua gunung itu, berkatalah Zulkarnain, “Tiuplah, dan katika besi itu sudah menjadi api, ia pun berkata, berilah aku tembaga untuk aku tuangkan ke atas besi panas itu.”

Maka mereka, Ya’juj dan Ma’juj tidak bisa mendakinya, dan mereka tidak bisa melubanginya.

Zulkarnain berkata, “Ini adalah rahmat dari Tuhanku. Maka apabila sudah datang janji tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar.”

Bersambung

Zulkarnain, Nabi Ibrahim dan Nabi Khidir (Bagian Keempat, Habis)

Sungguhpun kekuasaan dan keperkasaannya tak tertandingi, akhlak dan hatinya selembut sutra, hingga karenanya ia mudah menyerap bukti kebenaran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, menceritakan, suatu ketika Iskandar Zulkarnain mendatangi suatu kaum yang tidak memiliki harta benda apapun yang bisa di nikmati. Lalu ia mengirim surat kepada Raja mereka dan berpesan agar Raja bersedia membalas suratnya.

Namun Raja itu menolak permintaan Zulkarnain, malah sebaliknya, ia berkata, jika Zulkarnain merasa ada kepentingan dengannya, sebaiknya dialah yang datang menemuinya.

Maka Zulkarnain pun pergi menemui Raja mareka, “Aku telah mengirimkan surat kepadamu dan memintamu datang kepadaku, tetapi kamu menolak, maka aku datang kepadamu,” kata Zulkarnain setelah sampai di istana Raja.

Sang Raja pun berkata, “Seandainya aku membutuhkanmu, aku pasti akan datang kepadamu.”

Sebagaimana jika aku melihatmu berada dalam suatu keadaan yang tak pernah dialami oleh siapapun?” tanya Zulkarnain.

“Apa itu?” sang Raja belik bertanya. “Kalian tidak memiliki harta dunia apapun. Kenapa kalian tidak memiliki emas dan perak hingga kalian bisa menikmatinya?” balas Zulkarnain.

“Tetapi kami membenci dua hal tersebut, karena seorang tidak mendapat apapun dari emas dan perak itu, kecuali hanya menginginkannya lebih dari itu,” jawab raja itu dengan tangkas.

Zulkarnain melanjutkan pertanyaannya, “Apa maksud kalian menggali kuburan lalu setelah itu kalian menjaganya, membersihkannya, dan sembahyang di sana?”

Raja itu kembali menjawab, “Kami ingin, jika kami memandang kuburan-kuburan itu dan mengharapkan dunia, kuburan-kuburan itu akan menghalangi kami dari harapan itu.”

Zulkarnain bertanya lagi, “Aku melihat kalian tidak memiliki makanan kecuali sayur sayuran, kenapa kalian tidak memiliki hewan ternak, hingga kalian dapat memerah susunya, menungganginya dan menikmatinya?”

Mereka menjawab, “Kami tidak suka menjadikan perut kami sebagai kuburan bagi binatang itu. Dan kami melihat di dalam tumbuh-tumbuhan itu faedah yang besar. Cukuplah anak adam memiliki kehidupan yang rendah karena makanan. Dan makanan apa saja yang melewati rahang bawah kami rasanya sama saja seperti makanan yang pernah kami makan sebelumnya.”

Setelah Zulkarnain meninggalkan raja itu dengan kagum dan menjadikan penjelasannya sebagai sebuah nasehat yang berharga.

Dalam setiap perjalananya, Zulkarnain selalu memperlakukan bangsa dan suku yang ditaklukkannya dengan amat baik dan santun. Tak mengherankan jika ia menuai kesuksesan dan selalu mendapatkan dukungan dari daerah yang telah di kuasainya.

Selain itu, Zulkarnain juga didampingi seorang penasihat kerajaan yang baik dan sangat luas pengetahuannya, yang tiada lain adalah Nabi Khidir AS.

Sebagian ulama menyebut, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Khidir AS, lalu mengajarkan Wahyu tersebut kepada Zulkarnain.

Seorang mufassir lain, Al-Alusi, dalam kitab tafsirnya Ruhul Ma’ani, berkata, “Mungkin Khidir adalah salah satu pembesar kerajaan, seperti perdana mentrinya, karena tidak tertutup kemungkinan bahwa Zulkarnain bermusyawarah dengan orang lain saat menghadapi suatu masalah. Sebab pada saat itu, istilah yang dikenal untuk menyebut orang pandai, termasuk Nabi, adalah “Ahli Hikmah”. selain itu, pada masa-masa dahulu, para Nabi juga sering disebut dengan istilah “Orang bijak,” atau “Hakim”.

Wahab bin Munabbah dalam kitabnya At-Tijan mengisahkan, pada suatu ketika Nabi Khidir AS berkata kepada Zulkarnain, Wahai Tuanku, tuan membawa suatu amanat yang seandainya diberikan kepada langit, langit itu akan runtuh, jika diberikan kepada Gunung, maka Gunung itu akan roboh, dan jika diberikan kepada Bumi, maka bumi itu akan terbelah. Tuanku telah diberi kesabaran dan kemenangan. Tuanku akan melihat suatu kaum yang menyembah sesama manusia dan mereka adalah musuh-musuh Allah, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Allah adalah penuntut tidak akan terkelabui oleh orang-orang yang melarikan diri, dan tidak akan dikalahkan oleh orang yang “Menang”.

Kata Nabi Khidir lagi, “Wahai tuanku, ambillah apa yang telah diberikan Allah SWT kepada tuan dengan keteguhan hati dan sungguh-sungguh. Jadikanlah kesabaran sebagai pakaian, kebenaran sebagai pegangan hidup, dan takut kepada Allah sebagai perlindungan yang menumbuhkan amal pada tuan, dan tuan akan tenang dari ketakutan akan datangnya ajal. Ambillah pedang Allah dengan tangan tuan, karena tidak ada orang yang dapat menolong dan tidak ada orang yang dapat mencegah kemenangan. Cukuplah bagi tuan, Allah sebagai penolong tuan.”

Dalam Almuhadlarah al-Awali, kitab yang dikutip Ibnu Katsir, disebutkan, suatu ketika Nabi Ibrahim AS bertemu dengan Zulkarnain di Mekah. Nabi Ibrahim Memeluk dan menjabat tangan Zulkarnain serta memberinya bendera. Lalu ia mengikuti syariat yang dibawa oleh Nabi itu dan menyeru kepada manusia agar berpegang teguh pada syariat tersebut.

Hal ini dikuatkan kembali oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi SAW, Ubaid bin Umair dan anaknya, Abdullah, yang menyatakan, selama masa jayanya, Iskandar Zulkarnain pernah melaksanakan haji dengan berjalan kaki. ketika Nabi Ibrahim mendengar berita tersebut, beliau menemuinya seraya menyeru kepada agama Tauhid dan memberikan beberapa nasehat. Nabi Ibrahim juga membawakan Zulkarnain seekor kuda agar dinaikinya. Akan tetapi Zulkarnain menolak, seraya berkata, “Saya tidak akan menaiki suatu kendaraan di suatu tempat yang di dalamnya ada Ibrahim Al-Khalil, yang dikasihi Allah.”

Selasa, 18 Mei 2010

Karakter Umat

Oleh A. Ilyas Ismail

Sungguh menarik, dalam Alquran kata umat (ummah) disebut lebih banyak dari kata Islam (al-Islam). Kata Islam disebut hanya 6 (enam) kali, sedangkan kata umat dalam berbagai derifatifnya diulang sebanyak 64 kali. Ini bisa dipahami bahwa Islam sejatinya tak dapat dipisahkan dari umat dan bahwa Islam harus ditransformasikan dalam wujud umat dengan watak dan karakternya yang khusus (khas).

Karakter menunjuk watak dasar, sifat-sifat khas yang menjadi dan membentuk identitas dari sesuatu, tetapi sekaligus menjadi kekuatan dan keistimewaannya.

Umat Islam, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, memiliki watak dan karakter yang khas. Dalam bukunya yang monumental, Kayfa Nata`mal Ma`a al-Qur'an, Yusuf al-Qaradhawi menunjukkan empat karakter dasar umat Islam, yaitu ketuhanan (rabbaniyah), moderat (wasathiyah), dakwah (al-da`wah), serta persatuan (al-wahdah).

Rabbaniyah, karena umat Islam dibentuk oleh wahyu, dipelihara oleh ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya. Kata-kata, "Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan," (QS al-Baqarah [2]: 143) menunjukkan bahwa Allahlah yang menciptakan umat ini. Juga kata, "dilahirkan untuk manusia", (QS Ali Imran [3]: 110), menunjukkan bahwa Allah yang membidani lahirnya umat (Islam) ini.

Wasathiyah, karena umat ini harus memosisikan diri sebagai "penengah" yang senantiasa memelihara keseimbangan (moderasi) baik dalam akidah, ibadah, akhlak, maupun dalam aturan dan hukum; juga keseimbangan antara dunia dan akhirat, material dan spiritual, idealita dan realita, pemikiran dan tindakan, serta antara individual dan sosial.

Al-da`wah, karena umat ini bertugas menyeru manusia pada petunjuk Allah, menyuruh melakukan kebaikan (amar makruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar) untuk mencapai kemuliaan. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran [3]: 104).

Al-wahdah, karena umat yang dikehendaki oleh Islam adalah umat yang satu, meskipun terdiri atas berbagai etnik, suku, warna kulit, dan bahasa, yang berbeda-beda. Bagaimana tidak satu, Tuhan mereka satu, yaitu Allah SWT; begitu juga Nabi, kitab suci, syariat, dan pusat orientasi (kiblat) mereka, yaitu Ka`bah.

Untuk itu, pendidikan Islam, dakwah, dan berbagai usaha pengembangan SDM umat, hendaknya diarahkan pada pembentukan dan pengembangan karakter sejati umat ini. Sehingga, umat Islam tidak kehilangan jati dirinya sebagai "kekuatan penyeimbang" yang diharapkan mampu menjadi "saksi" dan memberi "advokasi" di antara berbagai kekuatan yang ada di muka bumi. Wa Allahu a`lam.

Manajemen Emosi

Oleh Hj Lily Musfirah Nurlaily



Dalam kompleksitas kehidupan, manusia sering kali dihadapkan pada suatu masalah yang memaksanya untuk memilih, apakah menghadapinya dengan penuh ketenangan atau menyikapinya dengan amarah dan penuh emosi.

Secara etimologis, kata 'emosi' adalah terjemahan dari bahasa Arab, al-ghadlab. Dalam Alquran, kata al-ghadlab, dengan perubahan bentuk kata, jumlahnya tak kurang dari 24 kali. Dari sekian banyak ayat tersebut, kata al-ghadlab lebih banyak dikaitkan kepada Allah sebagai Sang Khalik. Hanya sedikit ayat yang mengaitkan al-ghadlab dengan manusia. Itu pun bukan terhadap manusia biasa, tetapi terhadap Nabi Musa AS. "Dan, tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati, ia pun berkata, 'Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku.'" (QS al-A'raf [7]: 150).

Dalam ayat itu, disebutkan pula bahwa Nabi Musa sempat menarik rambut saudaranya sendiri, Nabi Harun, karena saking marah dan emosinya. Tentang sikap marahnya Nabi Musa, juga dibadikan dalam surah Taha [20]: 86 dan tentang redanya emosi tersebut juga diabadikan dalam surah al-A'raf [7]: 154.

Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa seorang sahabat datang tergopoh-gopoh menghadap Nabi SAW untuk meminta nasihat. Nabi menjawab, "La taghdlab", hindari sikap marah (emosi). Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Hadis ini cukup menjadi bukti bahwa manusia sering kali terjebak dalam keadaan emosi atau marah yang berkepanjangan hingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk meminta maaf. Karena itu, wajar bila Nabi SAW mengulangi nasihatnya sebanyak tiga kali.

Bagaimana menguasai marah atau me-manage emosi? Nabi SAW pernah memberikan petunjuk. "Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan duduk, berbaringlah. Jika kamu masih marah, padahal sudah dalam keadaan berbaring, segera bangkit dan ambil air wudu untuk bersuci dan lakukan shalat sunah dua rakaat."

Betapa bijaknya nasihat Rasul SAW di atas. Sebab, ketika manusia sedang marah, ia mengalami dua hal. Pertama, ketegangan syaraf, terutama syaraf otak. Kedua, dirinya sedang bergelut dengan sebuah kekuatan hawa nafsu yang mahadahsyat. Dalam pandangan agama, hawa nafsu itu dipersonifikasikan dengan kekuatan setan.

Maka, ajaran Nabi SAW tentang perubahan gerakan fisik dari berdiri kepada duduk dan dari duduk kepada berbaring bertujuan untuk melenturkan dan meredakan (relaksasi) ketegangan syaraf otak dan syaraf-syaraf lainnya. Jika gerakan fisik juga tidak mampu meredakan emosi, Nabi SAW berpesan agar segera berwudu dan mendirikan shalat dua rakaat. Tujuannya, segera berlindung kepada kekuatan Allah untuk mengusir kekuatan setan yang terbungkus dalam bentuk sikap marah dan emosi. Wa Allahu A'lam.

Senyum itu Sedekah

Oleh Wiyanto Suud

Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, "Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?"

Rasulullah SAW bersabda, "Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah." (HR Tirmizi dan Abu Dzar).

Dalam hadis lain disebutkan bahwa senyum itu ibadah, "Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah." (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).

Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW, "Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah SAW." (HR Tirmidzi).

Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh diremehkan. Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu." (HR Muslim).

Mungkin kita sering berpikir bahwa sedekah itu berkaitan erat dengan harta benda seperti pemberian uang, pakaian, atau apa pun yang bisa langsung dinikmati penerima dalam bentuk materi. Hal itu juga mungkin yang ada dalam pikiran para sahabat Rasulullah SAW, sehingga mereka sangat gelisah kemudian mempertanyakannya.

Karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan satu hari pun berlalu tanpa dirinya terlibat dalam kegiatan bersedekah. Jika kita punya wawasan sempit mengenai pengertian bersedekah, tentulah hal itu menjadi mustahil.

Di antara keistimewaan sedekah adalah menolak bala (musibah). Dari Sayyid Ali Ar-Ridha, dari Sayyid Ja'far Ash-Shadiq, dari Sayyid Ali Zainal Abidin, dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu Anhum, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sedekah itu dapat menghindarkan diri dari kematian yang tidak baik, menjaga diri dari tujuh puluh macam bencana."

Imam Ibnul Qoyyim RA dalam bukunya al-Wabil ash-Shayyib berkata, "Sesungguhnya sedekah bisa memberikan pengaruh yang menakjubkan untuk menolak berbagai bencana, walaupun pelakunya orang yang Fajir (pendosa), zalim, atau bahkan orang kafir."

Minggu, 16 Mei 2010

Karakter Umat


Oleh A. Ilyas Ismail


Sungguh menarik, dalam Alquran kata umat (ummah) disebut lebih banyak dari kata Islam (al-Islam). Kata Islam disebut hanya 6 (enam) kali, sedangkan kata umat dalam berbagai derifatifnya diulang sebanyak 64 kali. Ini bisa dipahami bahwa Islam sejatinya tak dapat dipisahkan dari umat dan bahwa Islam harus ditransformasikan dalam wujud umat dengan watak dan karakternya yang khusus (khas).

Karakter menunjuk watak dasar, sifat-sifat khas yang menjadi dan membentuk identitas dari sesuatu, tetapi sekaligus menjadi kekuatan dan keistimewaannya.

Umat Islam, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, memiliki watak dan karakter yang khas. Dalam bukunya yang monumental, Kayfa Nata`mal Ma`a al-Qur'an, Yusuf al-Qaradhawi menunjukkan empat karakter dasar umat Islam, yaitu ketuhanan (rabbaniyah), moderat (wasathiyah), dakwah (al-da`wah), serta persatuan (al-wahdah).

Rabbaniyah, karena umat Islam dibentuk oleh wahyu, dipelihara oleh ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya. Kata-kata, "Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan," (QS al-Baqarah [2]: 143) menunjukkan bahwa Allahlah yang menciptakan umat ini. Juga kata, "dilahirkan untuk manusia", (QS Ali Imran [3]: 110), menunjukkan bahwa Allah yang membidani lahirnya umat (Islam) ini.

Wasathiyah, karena umat ini harus memosisikan diri sebagai "penengah" yang senantiasa memelihara keseimbangan (moderasi) baik dalam akidah, ibadah, akhlak, maupun dalam aturan dan hukum; juga keseimbangan antara dunia dan akhirat, material dan spiritual, idealita dan realita, pemikiran dan tindakan, serta antara individual dan sosial.

Al-da`wah, karena umat ini bertugas menyeru manusia pada petunjuk Allah, menyuruh melakukan kebaikan (amar makruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar) untuk mencapai kemuliaan. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran [3]: 104).

Al-wahdah, karena umat yang dikehendaki oleh Islam adalah umat yang satu, meskipun terdiri atas berbagai etnik, suku, warna kulit, dan bahasa, yang berbeda-beda. Bagaimana tidak satu, Tuhan mereka satu, yaitu Allah SWT; begitu juga Nabi, kitab suci, syariat, dan pusat orientasi (kiblat) mereka, yaitu Ka`bah.

Untuk itu, pendidikan Islam, dakwah, dan berbagai usaha pengembangan SDM umat, hendaknya diarahkan pada pembentukan dan pengembangan karakter sejati umat ini. Sehingga, umat Islam tidak kehilangan jati dirinya sebagai "kekuatan penyeimbang" yang diharapkan mampu menjadi "saksi" dan memberi "advokasi" di antara berbagai kekuatan yang ada di muka bumi. Wa Allahu a`lam.

Doa Melihat Jenazah/ Mendengar Kematian, Ziarah Kubur


Smaller Reset Larger

Doa Ketika Melihat Jenazah






Subhanal hayyil lazi la yamutu. Allahummagfir lihazal mayyiti warhamhu wa anis fil qabri wahdatahu wa gurabatahu wa nawwir qabrahu.

Artinya: “Maha suci Zat Yang Hidup yang tidak akan mati. Ya Allah, ampunilah mayit ini dan sayangilah dia, dan temanilah dia di dalam kesendirian dan keasingannya di dalam kubur, dan terangilah kuburannya.”




Doa Ketika Mendengar Kematian Sanak Famili



Inna lillahi wa inna ilaihi raji’una wa inna ila rabbina lamunqalibuna. Allahummaktubhu ‘indaka fil muhsinina, waj’al katabahu fi ‘illiyyina wakhluf fi ahlihi fil gabirina.

Artinya: “Sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya dan kami pasti akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah! Tulislah dia (yang meninggal dunia) termasuk golongan orang-orang yang berbuat kebaikan di sisi Engkau dan jadikanlah tulisannya itu dalam tungkatan yang tinggi serta gantilah ahlinya dengan golongan orang-orang yang pergi.”





Doa Ziarah Kubur





Assalamu’alaikum ya ahlad diyari minal mu’minina wal muslimina wa inna insya’allahu bikum lahiquna. As’alullaha lana wa lakumul ‘afiyata.

Artinya: “Salam sejahtera bagimu wahai penghuni kampung orang-orang mukminin dan muslimin. Kami pun insyaallah akan bertemu dengan anda sekalian. Kumohon pada Allah kesejahteraan bagi kami dan bagi anda sekalian.”

Manfaat Luar Biasa dari Wudhu

Manfaat Luar Biasa dari Wudhu
Wudhu

Oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar


Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan sekaligus neurology berkebangsaan Austria, menemukan sesuatu yang menakjubkan terhadap wudlu. Ia mengemukakan bahwa pusat-pusat syaraf yang paling peka yaitu sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Dari sini ia menghubungkan hikmah wudlu yang membasuh pusat-pusat syaraf tersebut. Ia bahkan merekomendasikan agar wudlu bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan.

Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, maka berarti orang akan memelihara kesehatan dan keselarasan pusat sarafnya. Pada akhirnya Leopold memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels.

Ulama Fikih juga menjelaskan hikmah wudlu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani. Daerah yang dibasuh dalam air wudlu, seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing termasuk kotoran. Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh.

Ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudlu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudlu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.

Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari? Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudlu ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.

Organ tubuh yang menjadi anggota wudlu disebutkan dalam QS al-Maidah [5]:6, adalah wajah, tangan sampai siku, dan kaki sampai mata kaki. Dalam hadis riwayat Muslim juga dijelaskan bahwa, air wudlu mampu mengalirkan dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh mata, penciuman, pendengaran, tangan, dan kakinya, sehingga yang bersangkutan bersih dari dosa.

Kalangan ulama melarang mengeringkan air wudlu dengan kain karena dalam redaksi hadis itu dikatakan bahwa proses pembersihan itu sampai tetesan terakhir dari air wudlu itu (ma’a akhir qathr al-ma’).

Wudlu dalam Islam masuk di dalam Bab al-Thaharah (penyucian rohani), seperti halnya tayammum, syarth, dan mandi junub. Tidak disebutkan Bab al-Nadhafah (pembersihan secara fisik). Rasulullah SAW selalu berusaha mempertahankan keabsahan wudlunya.

Yang paling penting dari wudlu ialah kekuatan simboliknya, yakni memberikan rasa percaya diri sebagai orang yang ‘bersih’ dan sewaktu-waktu dapat menjalankan ketaatannya kepada Tuhan, seperti mendirikan shalat, menyentuh atau membaca mushaf Alquran. Wudlu sendiri akan memproteksi diri untuk menghindari apa yang secara spiritual merusak citra wudlu. Dosa dan kemaksiatan berkontradiksi dengan wudlu.

Selasa, 11 Mei 2010

Tiga Syarat Menjadi Pejabat

Tiga Syarat Menjadi Pejabat
ilustrasi
Oleh Abdullah Hakam Shah MA

Ketika baru dibaiat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Aziz meminta masukan dan nasihat dari sejumlah tabiin terkemuka. Satu per satu menyampaikan masukannya. Umar bin Abdul Aziz pun mendengarkannya dengan saksama. Sampai tiba giliran Thawus bin Kaisan, ia hanya berkata singkat, ''Jika Anda ingin membangun tata kelola pemerintahan yang baik, pilihlah orang-orang baik sebagai pejabat.''

Masukan Thawus tersebut barangkali tidak sementereng teori-teori pemberantasan korupsi yang ramai dikemukakan dewasa ini. Namun, ketika teori yang mentereng itu tak jua berhasil, bahkan iming-iming remunerasi pun berujung pada semakin maraknya praktik penilapan uang rakyat. Kini, apa yang disampaikan Thawus menjadi menarik untuk direnungkan kembali.

Dari teladan Rasulullah SAW dan khulafaurrasyidin RA, paling tidak ada tiga kriteria orang baik yang membuatnya layak diamanahi suatu jabatan. Pertama, ia tidak terlalu berambisi merengkuh jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara.

Dalam sebuah hadis sahih dari Abu Musa al-Asy'ari, Rasulullah SAW bersabda, ''Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang memintanya atau berambisi mendapatkannya.'' (HR Muslim).

Sebab, ketika seseorang sampai menghalalkan segala cara untuk memperoleh suatu jabatan, bisa dipastikan ia akan sulit berlaku amanah. Alih-alih diharapkan berkorban untuk kesejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk mengembalikan modal yang pernah dikeluarkannya, memperkaya diri, dan mencari prestise lewat jabatan yang diemban.

Kedua, ia taat beribadah dan memiliki relasi sosial yang baik. Ketika Umar bin Khattab RA mengangkat Nafi' bin al-Harits sebagai gubernur Makkah, Nafi' memilih Ibnu Abza untuk mengepalai masyarakat yang tinggal di daerah lembah dekat Makkah.

Padahal, Ibnu Abza hanyalah bekas budak di komunitas tersebut. Saat Umar bin Khattab mengonfirmasi hal itu, Nafi' menjawab, ''Ia memang bekas budak, tetapi ia hafal Alquran, paham masalah faraidl (waris), dan sering memutuskan persoalan masyarakat dengan adil.'' (HR Ahmad). Maka, Umar pun memuji pilihan Nafi' karena melihat kapabilitas dan tingkat akseptabilitas Ibnu Abza.

Ketiga, ia adalah pribadi yang sederhana dalam kesehariannya. Sebab, hanya pejabat dengan gaya hidup yang sederhanalah yang bisa imun (tahan) dari godaan kemewahan dunia. Sebaliknya, gaya hidup mewah sangat potensial menjerumuskan seorang pejabat untuk melakukan korupsi walaupun telah dimanjakan dengan gaji dan remunerasi yang lebih dari cukup. Padahal, Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa pejabat yang curang dan korup tidak akan pernah mencium wangi surga (HR Bukhari dan Muslim). Allahumma qad ballaghtu. Wa Allahu A'lam.

Jalan Menuju Khusnul Khatimah


Jalan Menuju Khusnul Khatimah
ilustrasi

Oleh Emmy Hamidiyah, Sekretaris Umum Baznas

Dalam keseharian, kita kerap jumpai nilai-nilai kepedulian jauh membumi di kalangan masyarakat biasa. Bahkan, dari mereka banyak yang secara ekonomi kurang mampu. Tapi lihatlah cara hidupnya, saling berbagi satu dengan lainnya. Dua liter beras, kadang dibagi dengan tetangganya. Bahkan, ada yang diam-diam menunaikan zakat dan sedekah ke sebuah lembaga tanpa mau disebut namanya.

Pada suatu kesempatan, saya bertanya pada orang-orang itu. Apa sebab nuraninya begitu hidup. Mereka mengatakan, kami tahu rasanya lapar, kerasnya bertahan hidup, dan lemahnya jadi orang tidak berdaya. Maka, saat ada kelebihan, tak mungkin kami tega melihat mereka merasakan apa yang juga kami rasakan.

Tapi, Allah SWT telah menghitung dengan adil. Mereka yang mengiklaskan miliknya untuk berbagi dan sedekah, tak akan mengurangi harta miliknya. Orang-orang yang beruntung itu, tampak hidupnya berkah dan selalu cukup. Dalam sejarah Islam, kita kenal Fatimah Az-Zahra RA yang ikhlas bersedekah seuntai kalung warisan. Kalung itu ia sedekahkan kepada musafir yang tiga hari tidak makan karena kehabisan bekal. Kalung itu, kemudian dijual si musafir kepada Abdurrahman bin Auf ra.

Setelah cukup bekal, musafir melanjutkan perjalannya lagi. Tapi, setelah mengetahui keikhlasan Fatimah dalam bersedekah, Abdurrahman segera menghadiahkan kalung tadi kepada Nabi SAW, ayahanda Fatimah, sebagai pemilik awalnya. Pada kenyataannya, setelah melewati tiga orang kalung itu kembali ke Fatimah kembali.

Semua itu karena keikhlasan Fatimah menyedekahkan kalungnya. Ia memetik amalan sedekah secara tunai. Allah menjanjikan jalan yang mudah bagi orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan mendapat balasan berlipat ganda.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [Al Baqarah 261]

Bahkan di antara rahasia dan keutamaan orang yang rajin bersedekah, yaitu sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Orang yang pemurah itu dekat dari Allah, dekat dari manusia, dekat dari surga dan jauh dari neraka. Adapun orang yang kikir, maka jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat kepada neraka (siksaan Allah). ” (HR Tirmidzi dan Baihaqi) “Sesungguhnya shadaqah itu dapat memadamkan murka Allah dan dapat menolak cara mati yang buruk.” (H.R. Tirmidzi, lbnu Hibban, lbnu ‘Adi, dan Baihaqi). Semua kita, tentu berdoa mati dalam keadaan husnul khotimah bukan? Sedekah bisa menjadi jalannya.

Minggu, 09 Mei 2010

Kiat Berdakwah dengan Cinta



ant
Kiat Berdakwah dengan Cinta
ilustrasi

Oleh A Ilyas Ismail

Pada era baru sekarang dakwah tak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau cara-cara yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dakwah sejatinya harus mendekatkan, bukan malah menjauhkan, manusia (mad`u) dari petunjuk Tuhan. Dakwah harus menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang, bukan justru menanamkan kebencian dan permusuhan (al-`Adawah wa al-Baghdha') .

Dalam bukunya yang amat monumental, 'Dakwah di Era Globalisasi' (Khithabuna al-Islami fi `Ashr al-Awlamah), ulama besar dunia, Dr Yusuf al-Qaradhawi, mengimbau kaum Muslimin agar berdakwah dengan cinta. Agama, kata al-Qaradhawi, pada intinya adalah cinta, yakni cinta kepada kebenaran, kebaikan, dan kedamaian.

Dakwah, mula-mula harus dilakukan dengan mengajak manusia agar cinta kepada Allah SWT. Sebab, Allah adalah sumber segala nikmat dan Pemberi segala kebaikan. ''Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.'' (QS al-Nahl [16]: 53).

Manusia sejatinya adalah tawanan kebaikan (asir al-ihsan). Ia cenderung baik dan berbuat baik kepada siapa pun yang baik dan berbuat baik kepadanya. Lantas, bagaimana ia tidak baik dan tidak cinta kepada Allah, Tuhan yang telah melimpahkan kepadanya kebaikan dari ujung rambut hingga ujung kaki. (QS Luqman [31]: 20).

Berikutnya, dakwah dilakukan dengan mengajak manusia agar cinta kepada alam. Berbeda dengan Barat, jelas al-Qaradhawi, Islam tidak memusuhi alam, tetapi mencintainya. Dikisahkan, dalam perjalanan pulang dari suatu lawatan, Rasulullah SAW ditemani beberapa orang sahabat setiba mereka di seberang Gunung Uhud, Nabi berkata, ''Itu Gunung Uhud yang kita cintai, dan ia cinta kepada kita.''

Lalu, berikutnya lagi, dakwah dilakukan dengan mengajak dan menggelorakan rasa cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Cinta kepada manusia berarti kita mengharapkan kebaikan, keselamatan, dan petunjuk Tuhan (hidayah) kepada mereka.

Diceritakan, ketika Rasulullah dizalimi orang-orang Thaif, banyak orang meminta agar Nabi berdoa, melaknat mereka. Akan tetapi, Nabi menolaknya, seraya berkata, ''Demi Allah, aku ingin dari kampung ini kelak lahir anak-cucu yang menyembah Allah SWT. Ya Allah, berikan petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka (berbuat kejahatan), lantaran mereka tak mengetahuinya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, Rasulullah SAW telah memulai dan memberikan uswah hasanah dakwah dengan cinta. Imam al-Syahid Hasan al-Banna melanjutkan dan mendorongnya. Katanya, Naghzu al-nas bi al-hubb la bi al-sayf (Kami akan memerangi manusia dengan cinta, bukan dengan pedang). Wa Allahu a`lam. Oleh A Ilyas Ismail

Pada era baru sekarang dakwah tak boleh dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau cara-cara yang menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dakwah sejatinya harus mendekatkan, bukan malah menjauhkan, manusia (mad`u) dari petunjuk Tuhan. Dakwah harus menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang, bukan justru menanamkan kebencian dan permusuhan (al-`Adawah wa al-Baghdha') .

Dalam bukunya yang amat monumental, 'Dakwah di Era Globalisasi' (Khithabuna al-Islami fi `Ashr al-Awlamah), ulama besar dunia, Dr Yusuf al-Qaradhawi, mengimbau kaum Muslimin agar berdakwah dengan cinta. Agama, kata al-Qaradhawi, pada intinya adalah cinta, yakni cinta kepada kebenaran, kebaikan, dan kedamaian.

Dakwah, mula-mula harus dilakukan dengan mengajak manusia agar cinta kepada Allah SWT. Sebab, Allah adalah sumber segala nikmat dan Pemberi segala kebaikan. ''Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.'' (QS al-Nahl [16]: 53).

Manusia sejatinya adalah tawanan kebaikan (asir al-ihsan). Ia cenderung baik dan berbuat baik kepada siapa pun yang baik dan berbuat baik kepadanya. Lantas, bagaimana ia tidak baik dan tidak cinta kepada Allah, Tuhan yang telah melimpahkan kepadanya kebaikan dari ujung rambut hingga ujung kaki. (QS Luqman [31]: 20).

Berikutnya, dakwah dilakukan dengan mengajak manusia agar cinta kepada alam. Berbeda dengan Barat, jelas al-Qaradhawi, Islam tidak memusuhi alam, tetapi mencintainya. Dikisahkan, dalam perjalanan pulang dari suatu lawatan, Rasulullah SAW ditemani beberapa orang sahabat setiba mereka di seberang Gunung Uhud, Nabi berkata, ''Itu Gunung Uhud yang kita cintai, dan ia cinta kepada kita.''

Lalu, berikutnya lagi, dakwah dilakukan dengan mengajak dan menggelorakan rasa cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Cinta kepada manusia berarti kita mengharapkan kebaikan, keselamatan, dan petunjuk Tuhan (hidayah) kepada mereka.

Diceritakan, ketika Rasulullah dizalimi orang-orang Thaif, banyak orang meminta agar Nabi berdoa, melaknat mereka. Akan tetapi, Nabi menolaknya, seraya berkata, ''Demi Allah, aku ingin dari kampung ini kelak lahir anak-cucu yang menyembah Allah SWT. Ya Allah, berikan petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka (berbuat kejahatan), lantaran mereka tak mengetahuinya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, Rasulullah SAW telah memulai dan memberikan uswah hasanah dakwah dengan cinta. Imam al-Syahid Hasan al-Banna melanjutkan dan mendorongnya. Katanya, Naghzu al-nas bi al-hubb la bi al-sayf (Kami akan memerangi manusia dengan cinta, bukan dengan pedang). Wa Allahu a`lam.

Sabtu, 08 Mei 2010

Krisis Intelektual di Muhammadiyah


Oleh: Fajar Riza Ul Haq

(Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity)

Krisis sumber-sumber intelektualisme sedang mendera Persyarikatan Muhammadiyah saat memasuki abad ke-2. Akibatnya, eksistensi karakter pembaruan yang melekat pada identitas gerakan asal Kauman Yogyakarta ini sedang menjadi sorotan.

Berangkat dari kondisi inilah, Buya Syafii Maarif menyerukan perlunya perubahan (kembali) nama Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menjadi Majelis Tarjih dan Kebebasan Berpikir, sebagaimana disampaikannya dalam Resonansi (27/04).

Menurut mantan ketua PP Muhammadiyah tersebut, Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang akan digelar pada 3-8 Juli mendatang di Yogyakarta merupakan momentum penting untuk menjawab krisis intelektualisme di tubuh organisasi ini.

Memang usai Muktamar ke-45 Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, Buya Syafii menilai, perubahan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid adalah sebuah pertanda stagnasi. Padahal, dinamika pemikiran Majelis Tarjih setelah Muktamar ke-44 Aceh tahun 2000 sangat progresif, seperti produk Tafsir Tematik Alquran tentang hubungan sosial antarumat beragama serta rumusan manhaj tarjih yang mereformulasikan metode bayani, burhani , dan irfani .

Lalu, bukankah 'tajdid' bermakna pembaruan yang sebangun dengan semangat pengembangan pemikiran? Pada kenyataannya, psikologi bahkan alam pemikiran warga Muhammadiyah lebih memahami tajdid dalam bingkai purifikasi ketimbang dinamisasi, apalagi kreativitas. Jika ditelisik lebih jauh, akar persoalan itu berkaitan dengan model paradigmatik satu kelompok dalam memahami dan mengekspresikan corak keislaman di Indonesia. Padahal, sejak semula, pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan menegaskan keberpihakannya terhadap nuansa domestik-keindonesiaan dengan membakukan nama Moehammadijah (ejaan lama), bukan Moehammadiyyah (Nashir, 2010: 18).

Peneguhan nama pertama merepresentasikan semangat keberislaman yang berpadu dengan konteks keindonesiaan dibanding 'Moehammadiyyah' yang mengisyaratkan kemelekatan pada budaya Arab yang bersifat eksklusif. Teori bahasa Sapir-Whorf mengajukan bahwa keterikatan satu bahasa dengan budayanya tidak sebatas relasi semantik, tetapi juga saling memengaruhi. Alur logika semacam ini dapat diusut dalam relasi diskursus tajdid dan pengembangan pemikiran Islam pada struktur kesadaran Majelis Tarjih pada khususnya dan institusi Muhammadiyah pada umumnya.

Jika becermin pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005 di Malang, perubahan nama pada Majelis Tarjih menandai pergeseran orientasi dan merefleksikan kontestasi wacana keagamaan di kalangan internal. Kecemasan sebagian anggota Muhammadiyah terhadap dinamika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (2000-2005) yang dianggap bergerak ke arah 'liberal' merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi proses pergantian nama Majelis Tarjih. Sulit untuk dimungkiri, terminologi kebebasan berpikir ( freedom of thought ) masih direspons sebagai sesuatu yang asing dalam masyarakat Muslim.

Akbar Ahmed dan Lawrence Rosen, misalnya, mencatat seluruh generasi intelektual Muslim dari Asia Selatan hingga Afrika Utara sedang berada dalam bayang-bayang ancaman pemberangusan kemerdekaan intelektual: Mereka ada yang diasingkan, dipaksa diam, bahkan sampai dibunuh. Padahal, karena semangat kemerdekaan berpikir inilah, peradaban Islam berkembang pesat di daratan Barat, Spanyol, dan gerakan reformasi Islam bermunculan di Asia pada era kolonial. Ini pula yang terjadi pada Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, 12 November 1912.

Dengan demikian, urgensi usulan perubahan nama untuk Majelis Tarjih di atas terletak pada semangat intelektualisme-transformatif yang ingin ditanamkan pada alam kesadaran berpikir institusi Muslim modernis ini. Meskipun Muhammadiyah sering menyebut dirinya sebagai gerakan pembaruan yang menekankan pada dimensi aksi, bukan berarti organisasi ini harus membiarkan diri miskin pada level pembaruan pemikiran. Seperti diingatkan Paulo Freire, aksi tanpa refleksi menyeret pada aktivisme. Sebaliknya, refleksi tanpa aksi ibarat revolusi tak berkaki.

Jika kebebasan intelektual ( intellectual freedom ) bersumbu pada lembaga pendidikan semacam universitas, secara historis Muhammadiyah adalah salah satu inisiator pada awal abad ke-20. Dalam rapat anggota Muhammadiyah istimewa, 17-18 Juni 1920, HM Hisjam, Ketua Bagian Sekolahan HB/PP Muhammadiyah, menyampaikan rencana strategis Muhammadiyah di bidang pendidikan, yaitu mendirikan universitas Muhammadiyah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan mahaguru-mahaguru (profesor) Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya (2010: 41).

Pernyataan Hisjam ini membuktikan bahwa sedari awal Muhammadiyah sudah memosisikan semangat kesarjanaan ( scholarship ) sebagai saka guru gerakan dalam skema perjuangan umat Islam di Indonesia. Dalam perjalanannya, organisasi ini belum bisa sepenuhnya menciptakan ruang-ruang publik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan intelektualisme. Selalu ada relasional subordinat antara agama dalam framing pemurnian dan wacana yang menyebabkan kekeringan intelektual. Hal inilah yang dikritik Azyumardi Azra dengan mempertanyakan tidak adanya sumber-sumber intelektualisme di tubuh Muhammadiyah. Apabila kondisi ini dibiarkan, akan sangat sulit bagi organisasi ini untuk tetap berada pada garda depan pembaruan Islam.

Sejauh ini, institusi Tarjih dan universitas-universitas Muhammadiyah yang seharusnya menjadi kantung-kantung pergumulan intelektualisme tidak cukup berperan signifikan dalam menggerakkan intelektualisme Islam. Idealnya, institusi strategis semacam ini berperan sebagai laboratorium intelektualisme Islam yang menjunjung tinggi etika kebebasan berpikir. Faktanya, gairah kemerdekaan berolah nalar di lingkungan Muhammadiyah sering terbentur tembok konservatisme agama yang berorientasi reifikasi produk-produk fikih abad pertengahan.

Kongres Umat Islam

Oleh M Ridwan Lubis
(Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Majelis Ulama Indonesia kembali menggelar Kongres Umat Islam Indonesia untuk yang kelima kalinya yang akan berlangsung dari tanggal 7 sampai 10 Mei 2010. Ide ini tentunya merupakan gagasan segar sebagai bentuk respons MUI terhadap berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi oleh bangsa Indonesia maupun umat Islam sejagat.

Betapa tidak, umat Islam Indonesia sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum adalah merupakan jumlah yang sangat besar bukan hanya untuk Indonesia akan tetapi juga untuk sejagat. Oleh karena itu, amat disayangkan manakala potensi dengan jumlah yang besar itu ternyata belum dapat didayagunakan untuk memberi sumbangan bagi pembangunan masa depan umat Islam maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Beberapa persoalan sedang dihadapkan kepada umat Islam Indonesia. Pertama, wacana keislaman yang berkembang di Indonesia masih lebih dominan kepada unsur ibadah dan tasawufnya dan pengertian ibadah di sini pun masih lebih terbatas pada sisi mahdlahnya, sehingga kiprah keberislaman itu masih belum banyak bergerak dari kepentingan personal masing-masing.

Kedua, setelah sekian lama merdeka namun dalam kenyataannya umat Islam Indonesia, umumnya, masih berada di garis periperal dalam berbagai pranata sosial mulai dari bidang pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya padahal umat Islam mengakui bahwa al Islam ya'lu wa la yu'la alaihi bahwa Islam itu tinggi mengungguli yang lain-lain dalam konsep kehidupan.

Sebaliknya, mengapa saudara kita yang lain yang notabene tidak tergolong pada kriteria ya'lu pada dirinya itu akan tetapi bahkan ya'lu alaihi . Atas dasar itu, semakin yakin bahwa keunggulan konsep ajaran saja tidak cukup untuk mengangkat derajat suatu kelompok sosial sebelum mereka mampu mengelola konsep itu menjadi sebuah kenyataan, sehingga empiris manusia mau tidak mau menerima hal itu.

Ketiga, umat Islam sekarang ini disibukkan untuk memilih sikap pembelaan diri sebagai akibat dari opini yang berkembang di dunia Barat tentang apa yang disebut Islamphobia yang melekatkan stigma terhadap Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, padahal secara etimologi ajaran Islam tidak mungkin mengajarkan hal itu karena akar katanya justru memuat pesan keselamatan, kedamaian, dan jenjang menaiki peradaban.

Akibatnya, umat Islam tersita perhatiannya untuk mengambil sikap defensif-apologetis untuk melakukan pembelaan terhadap Islam mengingat derasnya tuduhan yang dialamatkan opini dunia Barat terhadap Islam.

Dalam kaitan ini kelihatan perubahan gerak irama perjuangan umat Islam dari format ofensif-intelektual guna membangun peradaban berubah menjadi defensif untuk membela ajaran Islam. Oleh karena sulitnya dunia Barat mencari titik lemah ajaran Islam, maka sasaran yang dicari adalah perilaku menyimpang sebagian umat Islam yang memilih tindakan kekerasan, teror, sehingga bukan saja mereka berhadapan dengan umat bukan Islam tetapi juga terhadap sesama umat Islam.

Keempat, apabila pembentukan watak adalah akar dari semua landasan etos kerja, maka agenda pembentukan watak itu adalah menjadi ranah kependidikan. Institusi kependidikan umat Islam yaitu sekitar abad ke-16 telah terbentuk jauh sebelum Indonesia ini merdeka dalam lingkaran pondok pesantren. Pondok pesantren telah berhasil menempatkan dirinya sebagai wahana kaderisasi para pemimpin umat terbukti dari banyaknya ulama, kiai, ustaz yang menjadi pejabat baik eksekutif maupun legislatif sampai masa awal Orde Baru. Hal ini disebabkan ulama memiliki pengikut yang sangat banyak karena dengan mengikuti kategorisasi yang dibuat Clifford Geertz, ulama telah berhasil memerankan dirinya sebagai perantara budaya ( cultural broker ).

Akibatnya, hampir semua proses perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tidak lepas dari kendali dan legalitas dari para ulama. Akan tetapi, ketika era Orde Baru kebijakan politik membuat peranan ulama surut ke belakang karena ketidakmampuan mereka mengikuti proses modernisasi dan pragmatisasi, mereka kembali menekuni habitatnya di bilik-bilik pondok pesantren.

Kelima, peran umat di bidang politik pada masa lalu sulit diikuti perkembangannya oleh para ulama akibat dari terjadinya pragmatisasi politik yang tercerabut dari idealisme yang berakar dari budaya bangsa. Ditambah lagi dengan format politik yang lebih berakar ke atas, sehingga yang menjadi rujukan dalam politik adalah pejabat-pejabat birokrasi.

Apa yang diungkapkan di atas pada dasarnya barulah sekelumit gunung es yang menjadi tantangan bagi kehidupan bangsa. Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) diharapkan berhasil memasuki persoalan-persoalan fundamental umat Islam dan bangsa Indonesia sehingga kongres tidak hanya sekadar agenda rutin lima tahunan, akan tetapi berangkat dari persoalan-persoalan nyata yang sedang dihadapi umat Islam.

Dalam pandangan kita, agenda pokok yang harus dibahas secara mendalam dan diperoleh sebuah rumusan konkret lengkap dengan rencana tindak lanjutnya ( plan of action )-nya adalah pembangunan karakter umat Islam agar kembali kepada ruh syari'at Islam sehingga nilai-nilai ajaran Islam tidak hanya indah di permukaan, akan tetapi juga dalam pelaksanaan.

Setelah pengkajian terhadap pembangunan karakter dilakukan maka langkah berikutnya adalah pembenahan pendidikan Islam dan untuk itu, hendaknya masing-masing kelompok umat Islam berbagi tugas dalam bentuk wilayah pengabdiannya sehingga lembaga pendidikan Islam yang dikerjakan oleh sebuah kelompok umat Islam diakui sebuah prestasi seluruh umat Islam. Pendidikan keislaman hendaknya dikembalikan kepada filosofi ahlu sunnah waljama'ah yang menganut prinsip moderasi ( tawassuth ) dan konsistensi yang mampu mempertemukan antara tradisi dengan modernitas. Dalam kerangka berpikir demikianlah, umat mengharap banyak terhadap pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia.

Teologi Wirausaha

Oleh: Ahmad Rodoni
(Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Wirausaha dinilai menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan sebuah bangsa. Para wirausahawan selalu membuka lapangan kerja, bukan mencari kerja. Diakui atau tidak, lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki orientasi sebagai pencetak wirausahawan memberikan sumbangsih berarti bagi kemajuan ekonomi bangsa.

SMK-SMK, perguruan tinggi, atau pusat-pusat pelatihan life skill yang mempersiapkan peserta didiknya untuk langsung bekerja dengan menciptakan lapangan kerja sendiri akan lebih diminati dan dicari-cari orang. Hal tersebut mengingat persaingan kerja, baik PNS maupun swasta, sangat ketat dan keras. Kenyataan ini menunjukkan bahwa untuk survive di dunia orang harus mempu menciptakan lapangan pekerjaan secara kreatif dengan menjadi wirausaha. Sebagian ahli menyatakan bahwa wirausaha lebih mengarah pada mental seseorang, bukan bakat. Oleh sebab itu, mental tersebut harus ditempa dengan impuls-impuls semangat wirausaha.

Sehingga, sudah menjadi lazim bila semangat berwirausaha harus didengungkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal ataupun nonformal. Dalam konteks ini, semangat wirausaha dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran teologi, seperti teologi Islam.

Semangat wirausaha dalam Islam
Kata 'wirausaha' atau enterpreneur tidak bakalan ditemukan dalam teks suci agama Islam. Namun, istilah teknis lainnya yang memiliki semangat yang sama dengan kata 'wirausaha' cukup banyak, seperti 'amal, kasb, fi'il , dan sa'y . Di antara keempat kata tersebut, 'amal paling sering digunakan (425 kali) dalam Alquran untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis ( iqtishadiyyah ) dan perbuatan manusia secara umum.

Sayangnya, kata amal akhir-akhir ini dipersempit maknanya hanya pada sebatas memberi. Itu pun sebatas memberi dengan uang. Perhatikan istilah-istilah ini: kotak amal, pundi amal, rumah amal, dan sebagainya. Padahal, kata amal memiliki makna yang luas.

Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl'm (1119 H: 49), Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT. Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni.

Semangat-semangat wirausaha banyak ditemukan dalam Alquran. Dalam QS Alhajj [22]: 77, disebutkan bahwa berbuat baik (bekerja secara baik dan profesional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Bekerja yang selama ini sering kali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan rukuk, bersujud, dan menyembah Allah SWT. Ini artinya bekerja juga merupakan ibadah.

QS Alnahl [16]:97 menjanjikan manusia bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki nilai plus. Dalam QS Aljumuah [62]:10, dijelaskan bahwa di samping memerintahkan bekerja, Allah juga berfirman bahwa bekerja sambil mengingat-Nya (bekerja sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.

QS Attaubah [9]: 105 secara implisit mendedahkan kepada semua umat bahwa bekerja itu tidak semata-mata urusan dunia. Bekerja tidak saja berimplikasi kepada dunia, tetapi juga akhirat. Kelak pekerjaan itulah yang akan dinilai oleh Allah. Yang menarik lagi adalah QS Alkahfi [18]: 110. Dalam ayat ini, dinyatakan secara jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah SWT, bekerjalah. Ini artinya bekerja itu sama dengan bertemu Allah SWT, sebuah reward yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Dalam Alquran, mencari ilmu di- reward dengan peningkatan derajat. Namun, bekerja diganjar dengan bertemu Allah SWT. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal ini.

Sebetulnya, masih banyak ayat lainnya yang memberikan semangat wirausaha kepada umat Islam. Tidak hanya Alquran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW pun mengisyaratkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, Ma akala ibnu Adam tha'aman khairan min 'amali yadihi wa inna nabiyullah Dawud kana ya'kulu min amali yadihi . Artinya, ''Tiada makanan yang baik bagi anak Adam, kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sesungguhnya, Nabi Daud AS makan dari hasil kreativitas tangannya (wirausaha).'' (HR Bukhari).

Pada saat yang lain, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, ''Hendaklah kami berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki.'' (HR Ahmad bin Hanbal). Nabi juga pernah bersabda tentang hal yang sama, ''Sesungguhnya, sebaik-sebaik mata pencarian adalah seorang pedagang.'' (HR Baihaqy). Walhasil, bekerja atau being entrepreneur dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya. Bahkan, bekerja atau berwirausaha menjadi salah satu ciri orang yang beriman.

Bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Karena bekerja adalah ibadah, bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah ( liqa'u rabbi ). Bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syariat Allah, yakni dengan cara yang halal, baik, dan bermanfaat. Bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah SWT, bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.

Selasa, 04 Mei 2010

The New Asia


Sa'ad bin Abi Waqqas termasuk 10 orang pertama yang memeluk Islam. Ayahnya sepupu Aminah, ibunda Rasulullah SAW. Kurang dari 20 tahun setelah wafatnya Rasulullah, khalifah Ustman bin Affan RA mengutus Sa'ad dalam misi persahabatan kepada Kaisar Gaozong dari Dinasti Tang.

Sa'ad disambut dengan tangan terbuka yang selanjutnya diikuti dengan dibangunnya masjid pertama di Kanton. Islam kemudian berkembang pesat di Cina. Sebagian dari mereka kemudian membawa Islam ke Indonesia.

Beberapa tahun sebelumnya, Khalifah Umar bin Khattab RA juga mengutus Sa'ad bin Abi Waqqas memimpin pasukan yang mengalahkan pasukan Persia dalam pertempuran Qadisiyyah. Akhirnya, Kerajaan Persia takluk dengan jatuhnya provinsi terbesarnya, Sistan.

Di ujung timur Sistan terletak Kota Sindh yang merupakan kota pertama masuknya Islam ke India. Sejak itulah pantai barat dan selatan India, termasuk Surat di barat Gujarat dan Pantai Malabar di Kerala, menjadi jalur perdagangan pedagang Muslim. Sebagian dari mereka kemudian membawa Islam ke Indonesia.

Saat ini ketiga negara itu: Cina, India, Indonesia, merujuk pada prediksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh IMF, berpeluang mengulang bangkitnya The Asian Tigers . Ketika Amerika Serikat masih bergulat menyelesaikan pekerjaan rumahnya membenahi dampak krisis yang baru berlalu, Eropa malah direpotkan dengan merebaknya dampak dari krisis yang terjadi di Yunani. Bangkitnya Asia diharapkan dapat menjadi lokomotif pulihnya perekonomian dunia.

IMF baru merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Asia dari 6,9 persen menjadi 7,1 persen pada 2010 akibat prospek pertumbuhan bisnis yang lebih cerah dan besarnya perbedaan suku bunga dengan negara maju. Kedua faktor itu akan menarik lebih banyak dana mengalir ke kawasan Asia.

Prospek pertumbuhan bisnis masih didorong oleh ekspor barang-barang Asia yang berkualitas dan murah. Murahnya barang-barang Asia ini disebabkan murahnya tenaga kerja dan akibat kebijakan nilai tukar mata uang.

Murahnya tenaga kerja merupakan keunggulan yang sulit disamai negara-negara maju. Namun, kebijakan nilai tukar mata uang yang cenderung terlalu kaku malah dapat merugikan.

Pesatnya ekspor berarti dolar AS mengalir deras ke negara-negara Asia. Namun, dolar AS ini disterilisasi, tidak dimasukkan ke dalam peredaran uang. Cadangan devisa dalam dolar AS meningkat, tapi jumlah uang lokal yang beredar tidak bertambah. Akibatnya, nilai tukar mata uang lokal tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya.

Kebijakan nilai tukar ini sebenarnya merupakan reaksi dari masuknya dana-dana asing jangka pendek ke pasar modal negara-negara Asia. Derasnya arus dana ini menyebabkan harga saham meningkat dan selanjutnya pemilik dana asing itu akan mengambil untung dengan menjual saham dan menarik kembali dananya ke luar negeri. Keadaan inilah yang mendorong negara-negara Asia tidak ingin terburu-buru menyesuaikan nilai tukar mereka ke nilai yang sebenarnya karena mereka beranggapan derasnya aliran dana asing yang masuk juga tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Mirip permainan catur, memang. Masing-masing negara dengan cermat mengawasi kebijakan negara lain untuk melindungi kepentingan dan keuntungan negara masing-masing.

Dalam permainan seperti ini, negara yang mempunyai populasi besar, seperti Cina, India, dan Indonesia mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki negara berpopulasi kecil. Populasi yang besar berarti permintaan domestik yang besar sehingga ketika ekspor menurun tajam akibat krisis di AS dan Eropa, negara-negara ini tidak terlalu terpukul. Itu juga yang terjadi dengan Rusia dan Brasil yang mempunyai populasi besar.

Pasar domestik besar inilah yang mendorong pemodal asing masuk membeli saham perusahaan-perusahaan dengan menyasar pasar yang menguasai hajat orang banyak. Kejelian bisnis negara-negara maju masuk ke pasar domestik dapat membuat negara berpopulasi kecil ikut menikmati pasar di negara berpopulasi besar. Cina merupakan contoh bagaimana populasi yang besar digabungkan dengan kejelian bisnis mereka menjadikan negara itu pemain utama dalam perekonomian dunia.

The New Asia adalah Asia yang bukan saja berpopulasi besar, tapi juga jeli dalam percaturan bisnis ekonomi dunia. The New Asia sangat berpotensi mengembangkan perekonomian dunia berbasiskan sektor riil dan tidak terjebak pada pertumbuhan semu berbasiskan transaksi derivatif sektor keuangan.

Pada era 1980-an AS membatasi jumlah mobil Jepang yang masuk ke negeri itu. Jepang mengganti ekspor mobil bermesin kecil dengan mobil bermesin besar yang harganya lebih mahal. Meskipun jumlah ekspor mobil Jepang ke AS dibatasi, nilai ekspornya meningkat karena mobil yang diekspor nilai satuannya lebih mahal.

Lebih dari itu, mobil Jepang bermesin kecil yang ketika itu bukan menjadi pesaing mobil AS bermesin besar menjelma menjadi pesaing serius. Accura dari Honda, Lexus dari Toyota, dan Diamante dari Mitsubishi merupakan contoh mobil Jepang yang ketika itu disiapkan untuk pasar AS.

Kelihaian bisnis Cina telah menjadi legenda dunia, sementara keuletan India menjadikannya pusat intelektual industri informatika bagaikan Silicon Valley dunia. Dinamika dan kreativitas Indonesia akan mengantarkan bangsa ini menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Dinamika dan kreativitas ini pula yang membedakan perkembangan industri keuangan syariah Indonesia dengan negara-negara lain. Bila saat ini standar halal Majelis Ulama Indonesia telah diadopsi di berbagai negara, pada saatnya nanti standar syariah Majelis Ulama Indonesia akan diakui di berbagai negara. Setiap sesuatu ada saatnya. Kita hanya perlu terus memperjuangkannya. Selebihnya, serahkan pada Yang Maha Pengatur.

Bagaimana Menyikapi Globalisasi


Smaller Reset Larger
Bagaimana Menyikapi Globalisasi
ilustrasi

Oleh: Dr A Riawan Amin M Sc

Sungguh, hari ini kita hidup di sebuah bola dunia yang sedemikian sempit. Beragam peristiwa, di belahan bumi lain, dengan mudah kita ketahui. Bahkan, dalam detik yang sama. Bumi menjadi begitu dekat. Tiada jarak signifikan yang memisahkan satu negeri dari negeri lain, satu wilayah dari wilayah lain. Seolah dunia adalah satu dan padu. Sekat-sekat teritori, kini, menjadi maya. Tak mampu menjadi batas perkasa pembeda sebuah bangsa.

Mengapa demikian? Globalisasi jawabnya. Itulah kata sakti yang kerap digunakan untuk menggambarkan fenomena transparan yang telah, sedang, dan akan terus berlangsung di planet bumi ini. Globalisasi adalah kata yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Sebuah keniscayaan karena sifatnya yang senantiasa mengikut sunatullah. Tidak pernah berubah.

"Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu." (QS 35 [Fathir]: 43). Ada banyak hal positif yang didapat dari proses globalisasi ini. Karena itu, patut untuk disyukuri.

Namun, di sisi lain, bukan berarti globalisasi tidak memiliki dampak negatif bagi hidup dan kehidupan penduduk bumi. Sangat nyata ketika globalisasi dipersepsi sebagai westernisasi, ketimpangan, dan deskripsi eksistensi manusia menjadi rapuh. Upaya mem-'barat'-kan semua penjuru bumi menjadi persoalan bagi kemanusiaan.

Bila demikian, satu hal mendasar yang pasti akan terjadi adalah hilangnya identitas dan jati diri. Rasulullah SAW pernah mengingatkan, "Akan datang suatu masa pada perjalanan hidup manusia, di mana perhatiannya melulu tertuju pada urusan perut. Kemuliaan mereka hanyalah diukur dengan benda (materi) semata. Kiblat mereka adalah wanita. Agama mereka adalah emas dan perak. Sungguh, mereka itu makhluk Allah yang paling buruk, tiada bernilai di sisi Allah." (HR Imam Dailami).

Lantas, bagaimana kita menghadapi gelombang negatif globalisasi yang tak bisa dihentikan ini? Perkuat identitas diri dan negeri. Itulah caranya meski terkesan paradoks. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa untuk menghadapi globalisasi kita harus memperkuat nasionalisme. Identitas diri sebagai bangsa.

Kita baru punya nilai dan identitas, kalau kita merupakan bagian dari sebuah keterhubungan dengan Yang Mahakuasa, kemudian kita betul-betul bisa menjadi pemakmur bumi, dan kita berani berperang untuk mempertahankan kedua hal tersebut. Berperang itu dalam arti luas, seperti ghazwul fikri dan muamalah.

Marilah kita berupaya sekuat daya untuk menjadikan diri dan negeri kita terus memiliki jati diri. Bangga dengan kepribadian yang ada. Tidak terperangkap oleh kata modern sebagai topeng westernisasi.

Al Quran On Line