Sabtu, 28 Februari 2009

Refleksi Maulid Nabi SAW


Oleh Novriantoni

Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid?

Apa reaksi kaum Quraisy sekiranya Nabi SAW hanya menganjurkan prinsip tauhid? Pertanyaan ini datang dari seorang pemikir Mesir, Thâha Husein dalam bukunya al-Fitnah al-Kubrâ (petaka besar). Menurut Thâhâ, andai tauhid saja, minus sistem sosial dan ekonomi, tentu banyak orang Quraisy menyambut seruan Muhammad dengan mudah. Thâhâ beralasan, bahwa orang Quraisy pada hakikatnya tidak secara penuh percaya berhala, juga tidak benar-benar mempertahankan “tuhan-tuhan” mereka itu. Berhala-berhala itu, hanya sekedar alat, bukan tujuan. Alat untuk mengelabui semua orang Arab agar mudah ditipu dan diperas.

Orang yang menilai Nabi semata menyeru Tauhîd, sebagai lawan tanding Ta‘addud (politeis) anutan Arab kala itu, tentu keberatan dengan pendapat Thâhâ. Tapi bila struktur sosial-budaya-politik-ekonomi Arab pra-Islam ditilik lebih cermat, tentulah pendapat itu tidak mengejutkan. Memang, konsep ketuhanan Quraisy terkesan konyol. Kekonyolah itu digambarkan dengan baik oleh Muhammad ‘Abduh. Menurutnya, masyarakat Arab pra-Islam sudah tidak waras/keblinger (sakhîf al-‘aql). Buktinya, sebagian memproduk berhala dari manisan (al-halawiy) untuk dijadikan sesembahan. Lucunya, ketika lapar menghantui, mereka tidak sungkan menyantap “tuhan-tuhan” mereka (Risâlat al-Tauhîd, hal 121).

Tapi, ketololan konsep ketuhanan Arab Jahili tidaklah penting. Ada yang lebih penting diungkap sebagai refleksi maulid nabi kali ini. Yaitu melacak pesan-pesan profetik yang terkadung di dalamnya. Yang terpenting dan sangat relevan untuk diungkap kini ada tiga hal: 1) persamaan (al-musâwât, equality), 2) kebebasan (al-hurriyyah, liberty), dan 3) keadilan (al-‘adâlah, justice). Ketiga prinsip yang menjadi nilai ideal orang modern ini sudah ditanamkan dengan kuat oleh Nabi kala itu. Karenanya, sosiolog yang sering dikutip Cak Nur, Robert N. Bellah, cukup cermat dan jujur ketika mengatakan bahwa sistim politik yang digariskan Nabi di Madinah dan dikembangkan khalifah-khalifah awal, khususnya Khalifah Umar adalah sesuatu yang terlampau maju bagi organisasi politik Arab yang ada sebelumnya.

Mungkin, karena terlampau modern bagi masyarakat yang sepenuhnya belum tercerabut dari nilai-nilai jahili Arab, utamanya masalah tribalisme (kesukuan, al-qabîliyyah), ketiga nilai tersebut akhirnya mengalami pasang surut. Terbukti, kecamuk politik bermotif fanatisme kesukuan yang merebak pada akhir masa khalifah ketiga, kembali merenggut sebagian nilai-nilai modern tersebut. Tapi biarlah, meratapi/memuja masa lalu bukanlah pekerjaan yang arif. Yang penting, bagaimana kembali menghidupkan pesan-pesan profetik yang pernah hidup itu untuk konteks kekinian dan kedisinian. Ini perlu dan mendesak, lebih-lebih karena nilai-nilai itu muncul tenggelam, untuk tidak mengatakannya terdistorsi, dianaktirikan, diplintir, dikangkangi ataupun dipandang sebelah mata. Padahal, esensi agama-agama terletak dalam nilai-nilai kebaikan universal itu. Wallahu ‘alam bissawab. []

Makna Hakiki Maulid Nabi Saw

Arief B. Iskandar

Kelahiran seorang manusia sebetulnya merupakan perkara yang biasa saja. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit dunia ini tidak henti-hentinya menyambut kelahiran bayi-bayi manusia yang baru. Karena perkara yang biasa-biasa saja, tidak terasa bahwa dunia ini telah dihuni lebih dari 6 miliar jiwa.

Karena itulah, barangkali, Nabi kita, Rasulullah Muhammad Saw tidak menjadikan hari kelahirannya sebagai hari yang istimewa, atau sebagai hari yang setiap tahunnya harus diperingati. Keluarga beliau, baik pada masa Jahiliah maupun pada masa Islam, juga tidak pernah memperingatinya, padahal beliau adalah orang yang sangat dicintai oleh keluarganya. Mengapa? Sebab, dalam tradisi masyarakat Arab, baik pada zaman Jahiliah maupun zaman Islam, peringatan atas hari kelahiran seseorang tidak pernah dikenal.

Bagaimana dengan para sahabat beliau? Kita tahu, tidak ada seorang pun yang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw melebihi kecintaan para sahabat kepada beliau. Dengan kata lain, di dunia ini, para sahabatlah yang paling mencintai Nabi Muhammad Saw. Namun demikian, peringatan atas kelahiran (maulid) Nabi Muhammad Saw juga tidak pernah dilakukan para sahabat beliau itu; meskipun dengan alasan untuk mengagungkan beliau. Wajar jika dalam Sirah Nabi Saw dan dalam sejarah otentik para sahabat beliau, sangat sulit ditemukan fragmen Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, baik yang dilakukan oleh Nabi Saw sendiri maupun oleh para sahabat beliau.

Bahkan ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab bermusyawarah mengenai sesuai yang sangat penting dengan para sahabat, yakni mengenai perlunya penanggalan Islam, mereka hanya mengemukakan dua pilihan, yakni memulai tahun Islam dari sejak diutusnya Muhammad sebagai rasul atau sejak beliau hijrah ke Madinah. Akhirnya, pilihan Khalifah Umar —yang disepakati para sahabat— jatuh pada yang terakhir. Khalifah Umar beralasan, Hijrah adalah pembeda antara yang haq dan yang batil (ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, 2/3). Saat itu tidak ada seorang sahabat pun yang mengusulkan tahun Islam dimulai sejak lahirnya Nabi Muhammad Saw.

Demikian pula ketika mereka bermusyawarah tentang dari bulan apa tahun Hijrah dimulai; mereka pun hanya mengajukan dua alternatif, yakni bulan Ramadhan dan bulan Muharram. Pilihan akhirnya jatuh pada yang terakhir, karena bulan Muharram adalah bulan ketika orang-orang kembali dari menunaikan ibadah haji, dan Muharram adalah salah satu bulan suci (ath-Thabari, ibid.). Saat itu pun tidak ada yang mengusulkan bulan Rabiul Awwal, bulan lahirnya Rasulullah Saw, sebagai awal bulan tahun Hijrah.

Realitas tersebut, paling tidak, menunjukkan bahwa para sahabat sendiri tidak terlalu ‘memandang penting’ momentum hari dan tahun kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Kristen memandang penting hari dan tahun kelahiran Isa al-Masih, yang kemudian mereka peringati sebagai Hari Natal. Itu membuktikan bahwa para sahabat bukanlah orang-orang yang biasa mengkultuskan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa as. Hal itu karena mereka tentu sangat memahami benar sabda Nabi Muhammad Saw sendiri yang pernah menyatakan:

Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan putra Maryam (Isa as.), karena sesungguhnya aku hanya sekadar seorang hamba-Nya. [HR. Bukhari dan Ahmad].

Memang, sebagaimana manusia lainnya, secara fisik atau lahiriah, tidak ada yang istimewa pada diri Muhammad Saw sebagai manusia, selain beliau adalah seorang Arab dari keturunan yang dimuliakan di tengah-tengah kaumnya. Wajarlah jika Allah SWT, melalui lisan beliau sendiri, berfirman:

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian…” (Qs. Fushshilat [41]: 6).

Lalu mengapa setiap tahun kaum Muslim saat ini begitu antusias memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw; sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh Nabi Saw sendiri dan para sahabat beliau?

Berbagai jawaban atau alasan dari mereka yang memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw biasanya bermuara pada kesimpulan, bahwa Muhammad Saw memang manusia biasa, tetapi beliau adalah manusia teragung, karena beliau adalah nabi dan rasul yang telah diberi wahyu; beliau adalah pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, kelahirannya sangat layak diperingati. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw sendiri tidak lain merupakan sebuah sikap pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul; sebagai pembawa risalah sekaligus penebar rahmat bagi seluruh alam.

Walhasil, jika memang demikian kenyataannya, kita dapat memahami makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan dengan manusia yang lain. Keistimewaan beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah SWT, yang tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah SWT berfirman (masih dalam surah dan ayat yang sama):

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya. (Qs. Fushshilat [41]: 6).

Makna Kelahiran Muhammad Saw

Kelahiran Muhammad Saw tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi Saw pun tidak akan bermakna apa-apa —selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka— jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah SWT telah berfirman:

Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad Saw, yang antara lain diekspresikan dengan Peringatan Maulid Nabi Saw, sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad Saw adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad Saw dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah SWT berfirman:

Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (Qs. Ali-Imran [3]: 31).

Dalam ayat di atas, frasa fattabi’ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.

Di samping itu, Allah SWT juga berfirman:

Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (Qs. al-Qalam [68]: 4).

Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlain, jld. 1, hal. 758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung. Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, jld. 4, hal. 403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi Saw pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi Saw Aisyah lalu menjawab:

Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. [HR. Ahmad].

Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad Saw hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Qur’an, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad Saw dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan. Sebab, Rasulullah Saw sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah Saw hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dan lain-lain); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah Saw selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?

Kelahiran Nabi Saw: Kelahiran Masyarakat Baru

Sebagaimana diketahui, masa sebelum Islam adalah masa kegelapan, dan masyarakat sebelum Islam adalah masyarakat Jahiliah. Akan tetapi, sejak kelahiran (maulid) Muhammad Saw di tengah-tengah mereka, yang kemudian diangkat oleh Allah sebagai nabi dan rasul pembawa risalah Islam ke tengah-tengah mereka, dalam waktu hanya 23 tahun, masa kegelapan mereka berakhir digantikan dengan masa ‘cahaya’; masyarakat Jahiliah terkubur digantikan dengan lahirnya masyarakat baru, yakni masyarakat Islam. Sejak itu, Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin di segala bidang. Ia memimpin umat di masjid, di pemerintahan, bahkan di medan pertempuran.

Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah keberadaannya yang telah mampu membidani kelahiran masyarakat baru, yakni masyarakat Islam; sebuah masyarakat yang tatanan kehidupannya diatur seluruhnya oleh aturan-aturan Islam.

Renungan

Walhasil, Peringatan Maulid Nabi Saw sejatinya dijadikan momentum bagi kaum Muslim untuk terus berusaha melahirkan kembali masyarakat baru, yakni masyarakat Islam, sebagaimana yang pernah dibidani kelahirannya oleh Rasulullah Saw di Madinah. Sebab, siapapun tahu, masyarakat sekarang tidak ada bedanya dengan masyarakat Arab pra-Islam, yakni sama-sama Jahiliah. Sebagaimana masa Jahiliah dulu, saat ini pun aturan-aturan Islam tidak diterapkan.

Karena aturan-aturan Islam —sebagaimana aturan-aturan lain— tidak mungkin tegak tanpa adanya negara, maka menegakkan negara yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam adalah keniscayaan. Inilah juga yang disadari benar oleh Rasulullah Saw sejak awal dakwahnya. Rasulullah Saw tidak hanya menyeru manusia agar beribadah secara ritual kepada Allah dan berakhlak baik, tetapi juga menyeru mereka seluruhnya agar menerapkan semua aturan-aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sejak awal, bahkan para pemuka bangsa Arab saat itu menyadari, bahwa secara politik dakwah Rasulullah Saw akan mengancam kedudukan dan kekuasaan mereka. Itulah yang menjadi alasan orang-orang seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah, dan para pemuka bangsa Arab lainnya sangat keras menentang dakwah Rasulullah Saw. Akan tetapi, semua penentangan itu akhirnya dapat diatasi oleh Rasulullah Saw sampai beliau berhasil menegakkan kekuasaannya di Madinah sekaligus melibas kekuasaan mereka.

Walhasil, dakwah seperti itulah yang juga harus dilakukan oleh kaum Muslim saat ini, yakni dakwah untuk menegakkan kekuasaan Islam yang akan memberlakukan aturan-aturan Islam, sekaligus yang akan meruntuhkan kekuasaan rezim kafir yang telah memberlakukan aturan-aturan kufur selama ini. Hanya dengan itulah Peringatan Maulid Nabi Saw yang diselenggarakan setiap tahun akan jauh lebih bermakna. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [majalah al-wa’ie, Edisi 56]

Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah


Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz
Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"

Tanya Jawab (422) Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
=======
Tanya :
=======
Assalaamu'alaikum Wr.Wb.
Ustadz yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku tersebut diperkuat pula dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah: "Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"
Wassalaamu'alaikum
=======
Jawab :
=======
Assalamua'alikum war. wab.
Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti Peringatan Maulid Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".
Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW, menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.
Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang kami tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.
Masalah Bid'ah:
Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah".
Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya.
Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah. Amalan-amalan yang tidak ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama setelah shalat fardlu, atau seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau meninggalkan makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji secara agama, ia pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh dilaksanakan.(2/585)
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).
Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar.
Demikian, semoga membantu
M. Luthfi Thomafi

Kamis, 26 Februari 2009

Kursi Jabatan



Oleh: Saiful Bahri

Kursi jabatan yang ekuivalensi dengan kepemimpinan, sejatinya merupakan amanah yang harus digenggam dan ditepati. Karena pemegang amanah tersebut pasti diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.Namun, pada tatanan realitas, konsep dasar ini sering ditepikan oleh segelintir pejabat yang lupa daratan. Mereka tertipu dengan kemilau kenikmatan semu dan temporal ala duniawi.

Lebih mendasar dari itu, sesungguhnya jabatan merupakan tanggung jawab yang sangat berat. Ia tidak bisa diimpikan dengan alasan percobaan dan 'coba-coba', apalagi hanya untuk mengejar kekayaan dan bersenang-senang.Pernah suatu ketika seorang sahabat Rasulullah SAW, Abu Dzar al-Ghifari, mendatangi beliau agar diberikan jabatan gubernur. Lantas Nabi SAW menjawab, ''Innaha amanah wainnaka dhaif.'' Yang artinya, ''Sesungguhnya (jabatan gubernur) itu amanah, sedangkan engkau lemah (tidak mampu).''

Hadis di atas mencerminkan bahwa sebagai pemimpin, Rasulullah SAW memilih proporsionalitas dan profesionalitas kepemimpinan daripada mengedepankan hubungan kroni yang hanya akan menghasilkan inkonsistensi dan inefisiensi dalam memegang amanah.Seseorang tentunya lebih mengetahui potensi yang terdapat pada dirinya. Maka, ketika ia melihat suatu jabatan tidak sesuai dengan ranah potensinya, sebaiknya ia menetapkan pilihan lain.

Meminta dan mengharap suatu jabatan sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Dzar al-Ghifari, bukanlah hal tercela, karena Nabi Yusuf juga pernah melakukannya. Beliau pernah meminta untuk menjabat sebagai bendaharawan negara.Lalu permohonan ini dikabulkan, karena beliau dikenal awas (cakap) dan piawai dengan jabatan itu. (QS Yusuf [12]: 55). Adalah apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu memang keputusan yang tepat, begitu juga pengabulan permohonannya. Dalam masa jabatannya, Nabi Yusuf menangani sektor pangan menghadapi paceklik selama tujuh tahun dan panen selama limit waktu yang sama.

Pemaksaan kehendak, baik pada diri sendiri, apalagi mengiming-iminginya ke orang lain yang dikenal tidak mampu untuk menduduki suatu jabatan, pada gilirannya hanyalah merupakan sebuah bumerang yang siap menghujam.Proporsionalitas dan profesionalitas dalam memangku suatu jabatan menjadi hal mutlak karena sesungguhnya Allah SWT amat berkenan ketika suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara terarah oleh orang yang tepat. Sebaliknya, bila sebuah urusan atau jabatan diserahkan dan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kebinasaannya. Wallahu a'lam bisshawab.

(-)

Nikmat Iman

Oleh Almi Sulaima

Iman adalah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dengan perbuatan nyata. Iman adalah nikmat Allah SWT yang sangat besar yang diberikan kepada hamba-Nya.

Dengan iman, seseorang akan diterima amal ibadahnya, sekaligus sarana menuju surga. ''Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat baik, bagi mereka disediakan surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.'' (QS Albaqarah [2]: 25).

Bagi seseorang yang telah diberikan nikmat iman, hendaklah senantiasa menjaga dan mensyukurinya. Karena, iman bisa berkurang dengan dosa dan kemaksiatan serta kelalaian kita terhadap perintah Allah SWT. Dan sebaliknya, iman bisa bertambah dengan menaati segala perintah Allah SWT.

Untuk mempertahankan kualitas keimanan dan supaya iman terasa nikmat bagi kita, Rasulullah SAW pun bersabda, ''Tiga hal yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman, yakni Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari yang lain, seseorang yang mencintai saudaranya tidak ia mencintainya kecuali karena Allah SWT, dan seseorang yang benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menyebutkan tiga hal yang harus dilakukan seseorang yang ingin merasakan kenikmatan iman dalam dirinya. Pertama, mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain. Meskipun berlimpah kemewahan dunia, tidak membuatnya lalai untuk menempatkan cintanya yang paling utama dan mulia, yaitu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kedua, mencintai seseorang karena Allah SWT, tidak mencintai karena kekayaannya, kedudukan, ketampanan wajah atau kecantikan. Tetapi, mencintai seseorang dengan ikhlas karena Allah SWT semata.

Ketiga, membenci kekufuran setelah Allah SWT menyelamatkannya dari kekufuran. Dia pun menjauhkan diri untuk tidak terjatuh lagi ke dalam kekufuran itu.

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, ''Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rab-Nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul-Nya.''

Ridha kepada Allah SWT, yakni tidak meminta selain kepada Allah, dan tidak mendengarkan serta tidak mengikuti jalan selain Islam dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali perbuatan itu sesuai dengan syariat Muhammad SAW.

Inilah beberapa anjuran Rasulullah SAW, yang jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, akan mendatangkan kenikmatan Islam dan iman dalam dirinya. Nikmat yang terbesar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.

(-)

Tahmid

Oleh Fajar Kurnianto

Allah SWT berfirman, ''Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam semesta.'' (QS Alfatihah [1]: 2).

Salah satu ucapan mulia yang seyogianya menjadi zikir orang Mukmin setiap saat adalah tahmid, yakni dengan mengucapkan 'Alhamdulillah'. Tahmid artinya pujian dan sanjungan.

Mengucapkan 'Alhamdulillah' berarti memuji Allah SWT, memuji karena segala karunia dan kenikmatan yang telah diberikan-Nya kepada kita. Juga, memuji karena segala perlindungan-Nya terhadap kita dari segala marabahaya, musibah, dan bencana.

Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yakni selalu mengucapkan tahmid, baik ketika mendapatkan karunia dan kenikmatan maupun ketika terhindar dari marabahaya, musibah, dan bencana.

Aisyah RA bercerita, ''Apabila Rasulullah melihat hal-hal yang menyenangkan, beliau mengucapkan, 'Alhamdulillah, yang dengan nikmat-Nya amal-amal saleh disempurnakan pahalanya.' Dan, apabila melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, beliau mengucapkan, 'Alhamdulillah, atas segala hal yang terjadi.''' (HR Ibnu Majah).

Tahmid, selain merupakan ungkapan pujian terhadap Allah SWT, ia juga merupakan doa. Rasulullah SAW bersabda, ''Doa yang paling utama adalah tahmid (mengucap Alhamdulillah).'' (HR Ibnu Majah dari Jabir bin Abdullah).

Doa agar karunia dan kenikmatan akan terus diberikan-Nya di masa-masa mendatang tidak henti-hentinya dipanjatkan. Juga, doa agar ia selalu dijaga dan dilindungi oleh-Nya dari segala marabahaya, musibah, dan bencana.

Kalaupun kemudian Allah SWT menimpakan bencana kepadanya, skalanya kecil dan ringan, sekadar untuk tujuan mengingatkan, bukan untuk mengazabnya.

Tahmid sekaligus merupakan kunci pembuka karunia dan kenikmatan yang lebih besar dan banyak dari Allah SWT daripada sekadar kenikmatan yang sifatnya fisik. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidaklah Allah memberikan suatu nikmat kepada hamba-Nya lalu hamba tersebut mengucapkan tahmid, melainkan apa yang Allah berikan itu jauh lebih baik daripada apa yang ia ambil.'' (HR Ibnu Majah dari Anas bin Malik).

Pada hakikatnya, tahmid tidak sekadar ucapan, meski nilai dari sisi ini juga utama, namun juga merupakan ungkapan kesadaran dari lubuk hati terdalam manusia.

Bahwa, betapa semua yang diperoleh manusia, baik itu yang dianggap baik maupun buruk untuknya, hakikatnya berasal dari Allah SWT. Karena itu, manusia perlu memuji-Nya. Wallahu a'lam bisshawab.

(-)

Tabayyun


by : N. Syamsuddin CH. Haesy

BAGAIMANA umat menyikapi kabar burung, termasuk berbagai komentar tentang seseorang - apalagi pemimpin? Jawabnya sederhana (meski tak mudah), yakni: tabayyun. Rekonfirmasi.

Allah sendiri yang memerintahkan Rasulullah Muhammad SAW agar mengajarkan tabayyun. Di Surah Al Hujurat, Allah mengingatkan pentingnya melakukan tabayyun, sekaligus memperingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan sesat. Seperti bertikai dan membiarkan pertikaian, dan menghentikan upaya memperolok-olok orang lain. Apapun tujuannya.

Allah berfirman, "Sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat". Allah juga berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu dengan sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Allah juga mengingatkan seluruh insan dengan beriman: "Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha peneriba tobat, Maha Penyayang."

Semua firman Allah di dalam Surah Al Hujurat itu, mengingatkan kita untuk sejauh-jauhnya menghindari perbuatan hina. Mulai dari bermusuhan, mengolok-olok, berprasangka, dan bergosip. Karena bergosip atau menggunjingkan orang lain, laksana memakan daging jenazah saudara sendiri.

Perintah untuk tabayyun atau rekonfirmasi dikeluarkan Allah karena sedemikian bahayanya gosip alias rumors alias prasangka buruk itu. Berbahaya, karena gosip, rumors, dan prasangka buruk, itu merusak tatanan sosial kemasyarakatan. Lalu, merobohkan peradaban dan akhlak manusia, sehingga akhirnya manusia terjebak menjadi kawanan hewan ganas yang saling terkam dan saling membinasakan satu dengan lainnya.

Dan yang lebih mengerikan adalah ketika seseorang yang ditakdirkan menjadi pemimpin di tengah masyarakat terjerembab ke dalam kubangan gosip, prasangka buruk, dan menebar kefasikan. Menempatkan pemimpin lain menjadi sasaran kezaliman dan penzaliman, melalui lidah yang tajamnya melebihi sembilu, belati, pedang, dan seluruh senjata pemusnah peradaban. Karena ujung lidah dapat menyebabkan terjadinya character assasination, yang lebih kejam dari pembunuhan.

Kini, di tengah hiruk pikuk politik, kita akan mudah terjerembab ke dalam lembah kefasikan. Bahkan, akan banyak orang yang bangga dan tak menyesal dengan kefasikannya. Kita, tentu tak hendak demikian. Karena, kita tunduk dengan apa yang diperintahkan Allah untuk melakukan rekonfirmasi.

Dalam konteks itulah Allah berseru dalam firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa berita (informasi), maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan sesuatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."

Mudah-mudahan kita termasuk kaum yang mau menerima hasil tabayyun. Karena dengan demikian, kita akan menjadi kaum yang terbebas dari buruknya kefasikan yang zalim. Insyaallah.

Senin, 23 Februari 2009

Tingkat Intelektualitas

Oleh Tri Handoyo


Konsep Alquran sebagai pedoman hidup, begitu serasi dengan konsep kenabian Muhammad SAW. Pada satu sisi, Alquran membuka jalan ke arah lingkungan ilmiah melalui perkataan iqra (bacalah).

Ia tidak menyediakan secara langsung ilmu matematika atau aljabar, yang merupakan asas-asas penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi, ia mendatangkan lingkungan rasional (aqliyah) sebagai syarat mutlak perkembangan ilmu pengetahuan.

Di sisi lainnya, dalam urusan duniawi, Rasulullah SAW tidak memperagakan klaim invalibilitas (tak mungkin salah) yang menolak pendapat orang-orang di sekitarnya. Tidak pula, mengumbar 'kesaktian' layaknya para 'orang suci' dalam dunia kekanak-kanakan kita. Hal itu dimaksudkan agar semangat berpikir (aqliyah) yang merupakan roh dari budaya intelektual, dapat tumbuh subur dalam tubuh umat Islam.

Simbol dan bentuk praktis dari dukungan syari'i terhadap budaya intelektual, terwujud dalam bentuk pendirian suffa di Madinnah, sebagai tempat pemberantasan buta huruf, yang didirikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Ini selanjutnya menjadi spirit bagi terbentuknya sebuah peradaban emas, yang tak pernah dicapai oleh agama dan peradaban mana pun, termasuk peradaban Barat kontemporer.

Peradaban apik yang mampu menggalang harmoni antara ketaatan dan kecerdasan, laku spiritual dan tindak intelektual, kemakmuran materi dan kekayaan rohani, serta aspek ukhrawi dengan aspek duniawi. Itulah bentuk manifestasi nyata dan artikulasi paling fasih akan firman Allah SWT. ''Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.'' (QS Al-Maidah [5]: 3)

Amat disayangkan pada era kekinian, ayat tersebut tak cukup mampu kita artikulasikan dengan fasih lagi, akibat kejahilan kita sendiri yang gagal dan enggan menjaga keseimbangan ajaran genuine Islam, berikut sistem pendidikannya (tarbiyah).

Untuk itu, paling tidak hendaknya kita berintrospeksi. Sudahkah kita menjadi seorang Muslim yang saleh sekaligus intelek, seperti sosok Yahya bin Ma'in yang menghabiskan 1.050 ribu dirham untuk menuntut ilmu hingga hanya menyisakan sandal yang dipakainya?

Atau, seperti Al-Hamadzani yang menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu, bahkan seperti Imam Malik bin Anas yang menjual atap rumahnya (karena tak ada lagi yang dapat dijual) demi menuntut ilmu?

Sebab, sesungguhnya tingkat intelektualitas dapat menjadi tolok ukur, lurus tidaknya akidah seseorang dalam ber-Islam. Serta, menentukan tingkat penguasaan seseorang akan wahyu generik (nonverbal), yang didapat melalui proses penalaran ilmiah, eksperimen, dan tindak intelektual lainnya. Wallahu a'lam

(-)

Rabu, 18 Februari 2009

Durhaka Tercela



Oleh Sadi Bei

Allah SWT berfirman, ''Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.'' (QS Al-Israa' [17] : 23).

Terdapat beberapa perbuatan yang berkategori durhaka, yakni tidak menaati orang tua, meremehkan hak mereka, melakukan apa yang tidak mereka ridhai, atau menyakiti hati mereka walaupun hanya berkata 'ah'.Pada dasarnya, orang yang durhaka kepada orang tua merupakan manusia yang paling tidak tahu membalas budi dan tak mengerti arti berbakti. Di mata seorang pendurhaka, jasa orang tua yang begitu besar, pengorbanan, kasih sayang, dan lainnya, tidak berarti apa-apa. Seolah-olah dia bisa lahir dan tumbuh berkembang dengan sendirinya.

Dengan penekanan dari Allah SWT serta Rasulullah SAW agar senantiasa berbakti kepada orang tua, maka durhaka bisa dikatakan sebagai dosa terbesar, setelah syirik. Melihat buruknya hakikat pendurhaka ini, amat wajar bila akibatnya pun begitu buruk.Di antaranya, disegerakan azabnya di dunia serta tidak bisa merasakan nikmatnya kebahagiaan hakiki. Rasulullah SAW bersabda, ''Dua dosa besar yang Allah segerakan azabnya di dunia, yaitu berbuat zalim dan durhaka kepada orang tua.'' (HR Hakim).

Tak hanya itu, pendurhaka juga disebutkan sebagai salah satu pihak yang tidak akan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ''Ada tiga golongan yang tidak akan masuk jannah dan Allah tidak akan melihat mereka di hari kiamat, yakni anak yang mendurhakai orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan kepala rumah tangga yang membiarkan kejelekan (zina) dalam rumah tangganya.'' (HR Hakim, Baihaqi, Ahmad).

Karenanya, hal tersebut perlu dicamkan bersama. Tidak boleh di antara kita melalaikan jasa kedua orang tua. Jika masih dalam tanggungan mereka, hendaknya kita tahu diri dan menjaga adab terhadap mereka.Sementara apabila sudah mandiri, jangan pernah melupakan orang tua kita, lantaran kewajiban kita terhadap mereka tak akan putus meskipun sudah mandiri dalam mengarungi kehidupan. Terlebih ketika mereka telah sepuh dan lanjut usia, perhatian khusus dan kasih sayang sebaiknya jangan pernah berkurang sedikit pun.Itulah kewajiban anak kepada orang tuanya. Dan itulah juga tangga menuju kemuliaan serta limpahan pahala dari Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab.

Kursi Jabatan



Oleh: Saiful Bahri

Kursi jabatan yang ekuivalensi dengan kepemimpinan, sejatinya merupakan amanah yang harus digenggam dan ditepati. Karena pemegang amanah tersebut pasti diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.Namun, pada tatanan realitas, konsep dasar ini sering ditepikan oleh segelintir pejabat yang lupa daratan. Mereka tertipu dengan kemilau kenikmatan semu dan temporal ala duniawi.

Lebih mendasar dari itu, sesungguhnya jabatan merupakan tanggung jawab yang sangat berat. Ia tidak bisa diimpikan dengan alasan percobaan dan 'coba-coba', apalagi hanya untuk mengejar kekayaan dan bersenang-senang.Pernah suatu ketika seorang sahabat Rasulullah SAW, Abu Dzar al-Ghifari, mendatangi beliau agar diberikan jabatan gubernur. Lantas Nabi SAW menjawab, ''Innaha amanah wainnaka dhaif.'' Yang artinya, ''Sesungguhnya (jabatan gubernur) itu amanah, sedangkan engkau lemah (tidak mampu).''

Hadis di atas mencerminkan bahwa sebagai pemimpin, Rasulullah SAW memilih proporsionalitas dan profesionalitas kepemimpinan daripada mengedepankan hubungan kroni yang hanya akan menghasilkan inkonsistensi dan inefisiensi dalam memegang amanah.Seseorang tentunya lebih mengetahui potensi yang terdapat pada dirinya. Maka, ketika ia melihat suatu jabatan tidak sesuai dengan ranah potensinya, sebaiknya ia menetapkan pilihan lain.

Meminta dan mengharap suatu jabatan sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Dzar al-Ghifari, bukanlah hal tercela, karena Nabi Yusuf juga pernah melakukannya. Beliau pernah meminta untuk menjabat sebagai bendaharawan negara.Lalu permohonan ini dikabulkan, karena beliau dikenal awas (cakap) dan piawai dengan jabatan itu. (QS Yusuf [12]: 55). Adalah apa yang dilakukan Nabi Yusuf itu memang keputusan yang tepat, begitu juga pengabulan permohonannya. Dalam masa jabatannya, Nabi Yusuf menangani sektor pangan menghadapi paceklik selama tujuh tahun dan panen selama limit waktu yang sama.

Pemaksaan kehendak, baik pada diri sendiri, apalagi mengiming-iminginya ke orang lain yang dikenal tidak mampu untuk menduduki suatu jabatan, pada gilirannya hanyalah merupakan sebuah bumerang yang siap menghujam.Proporsionalitas dan profesionalitas dalam memangku suatu jabatan menjadi hal mutlak karena sesungguhnya Allah SWT amat berkenan ketika suatu pekerjaan dapat dilaksanakan secara terarah oleh orang yang tepat. Sebaliknya, bila sebuah urusan atau jabatan diserahkan dan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kebinasaannya. Wallahu a'lam bisshawab.

(-)

Kamis, 12 Februari 2009

Menjaga Kesinambungan Amal



Oleh Dedi Nugraha

Memulai sebuah amal saleh adalah hal yang baik. Tetapi, menjaganya agar tetap menjadi bagian hidup kita, itu jauh lebih baik. Betapa banyak orang yang telah berusaha melakukan ibadah, baik ibadah wajib maupun sunah, tetapi setelah itu kembali ditinggalkan. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang menanam benih, tapi kemudian ia mengabaikan begitu saja.

Tak pernah dirawat, tak pernah disiram, tak pernah dipupuk, dan tak pernah disiangi. Maka, tak usah heran jika kemudian benih itu hanya sempat berkecambah, lantas setelah itu mati.

Padahal, si benih sangat potensial untuk tumbuh menjadi pohon yang besar dan memberikan hasil. Apalagi jika dijaga dan dirawat dengan baik.

Seperti itulah dengan amal kita. Merawat amal adalah mengerjakannya secara kontinu, terus-menerus, dan tak terputus-putus. Istiqamah, kita mengenalnya.

Begitulah pentingnya menyinambungkan amal. Membuatnya tetap ajek hingga ia menjadi bagian tak terpisahkan dari pribadi kita. Suatu ketika Rasulullah SAW mengabarkan kepada para sahabat bahwa bunyi terompah Bilal RA sudah terdengar di surga. Padahal, orangnya masih hidup.

Ternyata amal 'sederhana' yang dilanggengkan Bilal-lah penyebabnya. Dia senantiasa melaksanakan shalat sunah dua rakaat setiap selesai berwudhu.

Kelihatannya ringan, sepele. Hanya shalat sunah dua rakaat. Apa istimewanya? Demikian pertanyaan kita.
Bahkan, sepertinya kita pun mudah melakukannya. Memang. Tetapi faktor kesinambungannya itulah kuncinya.

Istiqamah-nya Bilal yang menyebabkan amal yang 'sepele' itu menjadi kunci baginya untuk masuk surga. Subhanallah.
Adakah kita telah memulai menanam benih amalan sunah? Alhamdulillah, jika sudah. Kita bersyukur kepada Allah SWT atas karunia-Nya. Tetapi, adakah kita kemudian merawatnya agar amal itu berkekalan, seperti halnya Bilal RA? Karena ternyata Allah SWT lebih mencintai amal yang berkesinambungan.

Satu amalan yang kita dawam-kan, sejatinya bukan hanya pahala dari amal itu saja yang ingin kita dapatkan. Tentu kita pun berharap bahwa amalan yang telah kita rintis itu menjadi 'pemancing' bagi amalan-amalan lain yang dicintai Allah SWT.

Dan yang terpenting, mudah-mudahan amalan-amalan tadi menjadi penyebab datangnya hidayah Allah SWT berupa turunnya keikhlasan ke dalam hati kita, agar kita tetap tawadhu dan tidak merasa bangga dengan amal-amal itu. Wallahu a'lam bish shawab.

Muhammad Sahabat Dunia Akhirat


Oleh Masagus A Fauzan

Suatu ketika datang kepada Rasulullah SAW, seorang (wanita) tua yang memohon agar didoakan masuk ke surga. Nabi SAW bersabda kepadanya, ''Di surga tak ada orang tua.''

Wanita itu menangis, lalu Rasul SAW sambil tersenyum melanjutkan, ''Di sana tak ada orang tua, karena wanita-wanita akan beralih menjadi wanita-wanita cantik dan muda belia.''

Rasul SAW kemudian membacakan firman Allah SWT, ''Sesungguhnya Kami menciptakan mereka yakni para wanita Muslimah penghuni surga dengan penciptaan sempurna dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya.'' (QS Alwaqiah [56]: 35-37). Wanita tua itu pun tersenyum setelah mendengarnya dan didoakan oleh Rasullullah SAW.

Selama ini, bagi umat Islam, sosok Muhammad SAW lebih dipandang sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah. Yang dikedepankan adalah sebagai penerima wahyu.

Padahal, Rasulullah SAW berulang kali diperintahkan untuk menyatakan, ''Aku tidak lain dari manusia seperti kamu juga, hanya saja aku mendapat wahyu.''

Memang, mendapat wahyu itulah yang membedakan Muhammad SAW dengan manusia lain. Selain seorang Rasul, beliau adalah model ideal bagi siapa saja, termasuk orang yang ingin membina persahabatan.
''Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.'' Demikian Allah SWT firmankan dalam surat Annajm [53] ayat 2.

Menurut cendekiawan Muslim, KH Quraish Shihab, Nabi SAW dipanggil dengan sapaan sahabat untuk mengingatkan kepada kita bahwa beliau adalah sahabat kita yang sejati. Yang di saat akhir sakaratul maut masih memikirkan nasib umatnya dengan bisikan, ''... ummati (umatku) ... ummati ... (umatku).''

Kendati mereka baru akan lahir di dunia ribuan tahun sesudahnya. Nabi SAW sangat peduli umatnya. Karenanya, kita harus mengenal beliau dengan dekat, lahir maupun batin. Muhammad SAW harus kita kenali sebagai sahabat yang selalu menyertai perjalanan hidup kita.

Sikap bersahabat dari Nabi SAW ditunjukkan lewat persahabatan beliau bersama sahabat-sahabatnya. Bukankah cukup contoh dalam sejarah dini Islam bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat membuka diri bukan hanya untuk bermusyawarah dengan para pengikutnya, yakni dalam hal yang tidak qath'i.

Bahkan, tak jarang sebagian di antara para pengikutnya itu mendebat, bercanda atau bergurau. Begitu besar kasih sayang Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya, ''Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah mereka yang tegas terhadap orang-orang yang menolak kebenaran (kafir), tapi selalu menjalin kasih sayang (baca: membangun persahabatan) di antara sesama mereka.'' (QS Alfath [48]: 29).

Al Quran On Line