Minggu, 28 Desember 2008

Pesan Hijrah Rasulullah

Oleh: Ahmad Rifa'i

Bulan Muharram mengingatkan kita dengan satu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Yaitu, peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Secara pribadi, Rasulullah SAW dan para sahabatnya sangat berat meninggalkan kampung halamannya. Tapi, demi terwujudnya perubahan yang dicita-citakan, Rasulullah SAW menempuh langkah ini.

Sekarang, perintah hijrah dari Makkah ke Madinah memang sudah tidak berlaku lagi. Tapi, perintah hijrah dalam dimensi lain masih berlaku dan akan terus berlaku hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: ''Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat.'' (HR Bukhari dan Muslim)Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan. Adapun secara istilah, maknanya sangat beragam. Makna yang paling umum, menurut Imam Nawawi, adalah meninggalkan larangan-larangan Allah. Hijrah dalam pengertian inilah yang berlaku hingga hari kiamat.

Berhijrah di jalan Allah (dalam semua dimensinya) mengandung keutamaan yang sangat agung. Allah berfirman: ''Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan, adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (Annisaa': 100)

Ibnu Katsir berkata ketika mengomentari ayat ini: ''Ayat ini mengandung sugesti (motivasi) agar berhijrah dan meninggalkan orang-orang musyrik.'' Ayat ini juga menjelaskan keutamaan berhijrah. Orang yang berhijrah karena Allah, akan mendapatkan garansi dan jaminan hidup dari Allah, di dunia dan di akhirat. Di dunia, ia akan dikaruniai keluasan rezeki. Sedangkan di akhirat, ia akan meraih pahala yang melimpah.

Untuk menjalankan hijrah memang tidak mudah. Dalam diri seorang muhajir (orang yang berhijrah) harus tertanam niat yang tulus, jihad, dan kesungguhan. Kenapa? Karena dalam perjalanan hijrah itu, kita pasti akan menghadapi beragam tantangan dan cobaan. Tanpa niat yang tulus, semangat jihad, serta kesungguhan yang terus bergelora mustahil tantangan-tantangan itu bisa ditaklukkan.

(-)

Menggali Hikmah 1 Muharram 1430 H

Makmuri Muchlas
Guru Besar UGM dan Tenaga Profesional Lemhannas RI


Pada awal pergantian tahun Hijriyah ini menjadi Muslimin Indonesia, setelah peristiwa 11 September di Amerika Serikat, ada kebanggaan tersendiri karena negara-negara maju menganggap praktik Islam di Indonesia cukup moderat. Diharapkan ke depan Indonesia bisa menjadi World Islamic Centre yang bisa mengembalikan citra Islam sebagai agama perdamaian, bukan sebagai sumber radikalisme yang kebetulan dimanfaatkan oleh para teroris Muslim.

Tapi ada kenyataan lain bahwa di Indonesia ada praktik Islam radikal yang meskipun jumlahnya sangat kecil, gerakannya cukup merepotkan pemerintah dan kita, kaum Muslimin moderat. Seolah-olah kelompok mereka mendominasi kita, mayoritas umat Islam. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Tidak lain karena mayoritas umat Islam di samping tersita waktunya untuk bekerja memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, mereka menggunakan sisa waktunya untuk beribadah yang bersifat transcendental (hablum minallaah) dan untuk istirahat. Ibadah yang bersifat muamalat (hablum minannaas), yaitu ikut memperjuangkan kemaslahatan masyarakat dan mempertahankan citra Islam sebagai agama perdamaian yang jauh dari radikalisme, baru aktivitas individual dan sporadis.

Penulis teringat dengan kunjungan imam besar Masjid New York ke Indonesia, Syech Feisal Abd Rauf, pengarang buku terkenal What's Right with Islam is What's Right with America. Ketika ke sini beliau berkomentar bahwa Muslimin Indonesia telah cukup tinggi kualitas ibadahnya dalam berhubungan dengan Allah, tetapi masih kurang kualitasnya dalam berhubungan dengan sesama manusia, yaitu dalam bentuk muamalatnya.

Komentar tersebut memang sangat nyata sehingga kita umat Islam Indonesia harus siap berubah, meningkatkan amal baik untuk seluruh umat Islam yang membutuhkan pertolongan pada khususnya, dan seluruh umat manusia pada umumnya. Sudah seharusnya umat Islam khususnya di Indonesia yang memimpin manusia di bumi ini, seperti yang disebutkan dalam surat Albaqarah ayat 30: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi''.

Menjadi pemimpin perubahan
Menjadi pemimpin modern sekarang ini tidaklah mudah. Keberhasilannya diukur dari kemampuan pemimpin tersebut mengatasi perubahan-perubahan yang telah dan akan terus terjadi karena adanya pengaruh lingkungan eksternal (nasional, regional, dan global). Oleh karena itu, kita kaum Muslimin Indonesia mulai 1 Muharram 1430 H harus mampu berubah secara bertahap menghadapi perubahan tersebut di atas.

Kemampuan manajerial kita harus ditingkatkan sesuai dengan level kepemimpinan kita masing-masing. Sebagai Muslim, kita harus bisa berubah secara bersama dalam kaitan dengan ibadah muamalah. Sekarang harus bisa kita kerjakan dan sosialisasikan amal makruf nahi munkar, harus bisa kita tingkatkan kemampuan kita dalam manajemen perubahan.

Mulai sekarang kita masing-masing menjadi pemimpin, dalam tingkatan apa pun dari kedudukan/jabatan sosial kita dan kita harus dapat mempertanggungjawabkan kepada Allah SWT, kualitas kepemimpinan kita tersebut. Menjadi pemimpin perubahan telah lama diperintahkan Allah dan Nabi kita.

''Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang memperjuangkan perubahan tersebut'' (Ar Ra'du: 11 ). ''Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu.'' ( Hadis).

Mengembalikan moralitas Islam
Dunia Islam telah mengalami, dalam waktu yang cukup panjang, suatu hubungan yang saling mencurigai dengan AS di bawah Pemerintahan Bush. Meskipun pernyataan Bush bahwa perangnya terhadap teroris dan terhadap negara-negara pendukungnya tidak ditujukan kepada Islam dan para pemeluknya, kenyataan di lapangan bisa sangat berbeda.

Standar ganda AS dalam membela sekutu-sekutunya, khususnya Israel, telah membuat kemarahan umat Islam dan negara-negara Islam menjadi meningkat dan memperuncing hubungan mereka dengan AS dan sekutu-sekutunya. Menghadapi kepemimpinan Obama di AS yang akan lebih bersahabat dengan dunia Islam, maka tibalah saatnya bahwa kita pun khususnya Muslimin Indonesia yang telah dan akan dinilai sebagai pusat kaum Muslimin moderat di seluruh dunia, mempersiapkan diri secara mental dan perilaku untuk bekerja sama dengan negara adidaya ini yang kebetulan presidennya memiliki hubungan emosional dengan Indonesia.

Obama mengakui dirinya pernah jadi anak Indonesia dengan segala pengaruh kulturnya. Kita juga mengetahui bahwa kultur Indonesia itu merupakan blended culture antara pengaruh Islam dan kebudayaan setempat.

Kesempatan inilah yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh umat Islam Indonesia untuk meningkatkan kerja sama. Kita harus bisa menunjukkan moralitas yang tinggi sebagai dasar kerja sama yang saling memercayai, tidak hanya dengan negara-negara maju termasuk AS, tetapi negara-negara berkembang lainnya.

Dengan moralitas yang tinggi pasti akan dicapai kerja sama dunia yang penuh keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan. Jika ditelusuri pada perintah Nabi, seharusnya moralitas kaum Musliminlah yang tertinggi karena menjadi Muslim itu harus bisa memperbaiki moralitas orang-orang lain dan masyarakatnya. Seperti tugas yang diberikan Allah kepada Nabi yang terekam dalam sebuah Hadis: ''Saya diutus Allah ini utamanya untuk meningkatkan akhlak/moralitas manusia.''

Ikhtisar:
- Kaum Muslim di Indonesia masih kurang dalam mengembangkan muamalat.
- Muslim di seluruh dunia perlu menunjukkan moralitas yang tinggi sebagai dasar kerja sama yang saling memercayai dengan komunitas lain.

Revitalisasi Hijrah dalam Kehidupan Sosial

Hasan Asy'ari
Kader Muda Muhammadiyah, Tinggal di Lamongan Jawa Timur)

Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdur Rahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi'. Ketika itu Sa'ad berkata kepadanya, ''Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua. Separuh untukmu dan separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang istri. Lihat mana yang paling baik untuk Anda. Sebutkan namanya maka ia akan segera kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilakan engkau menikah dengannya.''

Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, ''Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkan saja kepadaku, di manakah pasar kota kalian?'' Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani Qainuqo. Maka, mulailah Abdur Rahman bekerja dan ketika pulang ia membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukannya. Sampai pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah SAW dengan pakaian yang bagus dan rapi.

Rasulullah berkata kepadanya, ''Apakah engkau sudah mempunyai penghasilan?'' Dan dia menjawab, ''Saya sudah menikah.'' Rasulullah bertanya lagi, ''Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada istrimu?'' Ia menjawab lagi, ''Setail uang emas.'' (HR al-Bukhari).

Dialog tersebut tidak hanya sebatas dialog antardua insan bersaudara, tapi mengandung nilai spiritual yang mendalam. Dalam nalar manusia, tidak mungkin atau kemungkinannya kecil memberikan separuh dari kekayaan bahkan salah satu dari istri yang dimilikinya kepada orang yang baru dikenal. Abdur Rahman adalah salah satu orang Makkah yang berhijrah ke Madinah. Sa'ad orang yang lahir dan besar di Madinah. Mereka bertemu dan kemudian kenalan ketika para sahabat Nabi yang orang Makkah itu datang dan tinggal di Madinah sebagai kaum Muhajirin.

Sebuah pertemuan sesaat. Kalau bukan karena kesadaran ketuhanan, tak mungkin Sa'ad mau dan rela berkorban dengan memberikan separuh kekayaan dan istri yang dicintainya kepada Abdur Rahman. Tapi, bagi Abdur Rahman, ia lebih senang ditunjukkan pasar (tempat mengais rezeki yang produktif) daripada menerima pemberian Sa'ad.

Dialog tersebut juga memperlihatkan sikap itsar atau kerelaan untuk berkorban, berbagi, dan solidaritas, yang diimbangi dengan sikap ta'affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta'affuf, antara membagi dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini menciptakan energi dahsyat yang menjadi kunci kemenangan kaum Muslim saat itu.

Berubah dan keinginan mengubah
Hijrah adalah berubah dan keinginan mengubah. Berubah dari perilaku individualistis ke perilaku sosial. Dengan berhijrah sifat tersebut terkikis dari hati dan sebagai buahnya tumbuhlah rasa kepedulian sosial.

Hijrah juga berarti mau melakukan perubahan sosial. Nabi Muhammad saat itu mendapat wahyu berhijrah sebagai solusi melepaskan diri dari kesewenangan dan keserakahan kaum kapitalis (kafir-Quraisy) sekaligus strategi membangun kejayaan komunitasnya (umat).

Hijrah Nabi ke Yatsrib mengubah kondisi tersebut. Konflik dan ketegangan terkikis oleh keteladanan dan manuver cantik Rasulullah. Beliau membangun masjid sebagai simbol ketaatan manusia pada Allah SWT. Komitmen keimanan harus tertanam dalam hati karena pengakuan keimanan kepada-Nya berarti pengakuan terhadap kesamaan manusia sebagai hamba Allah dalam hak dan kewajibannya.

Gagasan Rasulullah selanjutnya lebih mempersatukan kaum Mukmin adalah membuat sebuah perjanjian persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Setiap orang Anshar akan memiliki saudara seorang Muhajirin yang lebih dekat kepadanya daripada orang Anshar sendiri. Begitupun setiap orang Muhajirin boleh memiliki saudara seorang Anshar yang lebih dekat kepadanya daripada orang Muhajirin sendiri. (Martin Lings: 2007, hal 237). Perjanjian persaudaraan pun juga dibangun oleh kaum Muslim dengan kaum Yahudi (dalam Piagam Madinah).

Kemiskinan di Indonesia
Pada Maret 2008 angka kemiskinan Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia dengan validitas sosial atau standar ukuran kemiskinan Rp 182.636 per bulan. Artinya, sebuah rumah tangga yang telah mempunyai penghasilan minimal Rp 6.100 sehari sudah lepas dari garis kemiskinan. Apakah angka rupiah tersebut cukup representatif sebagai pembeda antara masyarakat tergolong miskin dan tidak miskin karena dalam kenyataannya kebutuhan masyarakat tidak hanya makan. Tetapi, kebutuhan lain seperti pendidikan anak dan pembayaran listrik?

Kemiskinan bisa berkurang kalau orang kaya mau berbagi kekayaan secara proporsional kepada masyarakat miskin. Kaum Muhajirin hanya membawa bekal seadanya ketika hijrah ke Madinah. Namun, mereka bisa bertahan hidup dan bisa mengembangkan potensinya bahkan sukses dalam bisnis serta sukses dalam dinamika kehidupan sosialnya secara lebih produktif karena ikatan persaudaraan. Dalam konteks sekarang, keharmonisan dan keseimbangan hidup itu yang kita butuhkan.

Hijrah juga berarti mengubah dari kesalehan individu menuju kesalehan sosial. Kesalehan selama ini hanya dilihat dari aktivitas menyibukkan diri dengan ritus-ritus formal keagamaan, seperti shalat. Bahkan, untuk menambah bobot dan kesempurnaan kesalehan seseorang terkadang memaksakan mengeluarkan jutaan rupiah, bahkan tidak cukup sekali untuk berhaji.

Membangun masjid yang dilakukan Nabi merupakan simbol ketaatan atau keimanan hamba kepada Allah. Menumbuhkan ikatan persaudaraan merupakan komitmen sosial dan itu wujud implementatif nilai keimanan. Artinya, iman berujung pada amal, pada aksi.

Pusat keimanan memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Nilai kesalehan seseorang tergantung seberapa besar kemauan kita untuk peduli dan berkorban kepada yang lain.

Bebas ketergantungan
Substansi hijrah yang lain adalah bebas dari ketergantungan. Tiap manusia memiliki potensi tidak jadi miskin (hidup serbatergantung dengan yang lain). Dia memiliki kemerdekaan untuk berusaha, meningkatkan pendapatan dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Abdur Rahman bin 'Auf lebih memilih ditunjukkan pasar daripada menerima pemberian Sa'ad bin Rabi'

Pelajaran hijrah lain dari dialog Abdur Rahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi' adalah sikap tidak putus asa. Usaha terus-menerus akan membuahkan hasil yang positif. Abdur Rahman menjadi salah satu pebisnis ulung. Bahkan, kaum Muhajirin mampu menggeser dominasi perekonomian kaum Yahudi saat itu.

Dengan kekayaan alam yang ada serta sumber daya manusia yang cukup memadai, bukan mustahil Indonesia menjadi bangsa yang mampu mandiri. Pemerintah membuka akses secara adil dan merata kepada masyarakat serta memotivasi dan memberdayakan masyarakat dengan tidak memosisikan mereka sebagai objek.

(-)

Pesan Hijrah Rasulullah

Oleh: Ahmad Rifa'i

Bulan Muharram mengingatkan kita dengan satu peristiwa penting dalam sejarah Islam. Yaitu, peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Secara pribadi, Rasulullah SAW dan para sahabatnya sangat berat meninggalkan kampung halamannya. Tapi, demi terwujudnya perubahan yang dicita-citakan, Rasulullah SAW menempuh langkah ini.

Sekarang, perintah hijrah dari Makkah ke Madinah memang sudah tidak berlaku lagi. Tapi, perintah hijrah dalam dimensi lain masih berlaku dan akan terus berlaku hingga hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: ''Tidak ada hijrah setelah fathu Makkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat.'' (HR Bukhari dan Muslim)Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan. Adapun secara istilah, maknanya sangat beragam. Makna yang paling umum, menurut Imam Nawawi, adalah meninggalkan larangan-larangan Allah. Hijrah dalam pengertian inilah yang berlaku hingga hari kiamat.

Berhijrah di jalan Allah (dalam semua dimensinya) mengandung keutamaan yang sangat agung. Allah berfirman: ''Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan, adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (Annisaa': 100)

Ibnu Katsir berkata ketika mengomentari ayat ini: ''Ayat ini mengandung sugesti (motivasi) agar berhijrah dan meninggalkan orang-orang musyrik.'' Ayat ini juga menjelaskan keutamaan berhijrah. Orang yang berhijrah karena Allah, akan mendapatkan garansi dan jaminan hidup dari Allah, di dunia dan di akhirat. Di dunia, ia akan dikaruniai keluasan rezeki. Sedangkan di akhirat, ia akan meraih pahala yang melimpah.

Untuk menjalankan hijrah memang tidak mudah. Dalam diri seorang muhajir (orang yang berhijrah) harus tertanam niat yang tulus, jihad, dan kesungguhan. Kenapa? Karena dalam perjalanan hijrah itu, kita pasti akan menghadapi beragam tantangan dan cobaan. Tanpa niat yang tulus, semangat jihad, serta kesungguhan yang terus bergelora mustahil tantangan-tantangan itu bisa ditaklukkan.

(-)

Makna Hijrah

Oleh Suprianto

Pada mulanya, tahun baru Hijriyah diperingati sebagai penanda peristiwa hijrah secara geografis yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat untuk menyelamatkan akidah mereka. Peristiwa itu menandakan dimulainya tatanan Islam yang membawa umatnya menuju masyarakat madani berasaskan keadilan dan kesetaraan.

Salah satu makna penting hijrah adalah proses transformasi dari jahiliyah (kegelapan) menuju peradaban yang sepenuhnya tercerahkan. Dalam konteks kebangsaan, hijrah bisa dimaknai sebagai transformasi menuju peningkatan kesejahteraan seluruh elemen masyarakat.

Mengingat konteks ini, negara tidak memiliki tujuan dan agenda lain kecuali mengupayakan kualitas penghidupan yang layak bagi seluruh warganya.

Pergantian tahun baru Islam 1430 H yang jatuh pada 29 Desember 2008, selayaknya dijadikan momentum untuk bangkit dari keterpurukan menuju kejayaan. Memang, tidak gampang bangkit dari keterpurukan yang sudah mengakar. Apalagi di saat menjelang pesta demokrasi 2009 yang sudah di ambang pintu.

Dari realitas politik, ekonomi, dan sosial-keagamaan yang tidak begitu menggembirakan, kontekstualisasi hijrah harus berpijak pada kondisi yang menjadi problem kita sekarang. Persoalan korupsi yang menggurita, kemiskinan merajalela, serta krisis yang telah mendorong bangsa ini menuju kubangan krisis multidimensional, harus menjadi agenda hijrah kita bersama.

Nabi semasa hijrah hanya memiliki sumber daya terbatas untuk memberdayakan masyarakatnya di Madinah, baik secara finansial maupun manajerial. Bahkan, hampir tidak memiliki potensi apa pun yang bisa diolah dan dikembangkan untuk membangun masyarakatnya. Tetapi, Rasulullah SAW justru mampu memperlihatkan hal sebaliknya.

Beliau membuktikan, pemimpin yang berlandaskan komitmen yang besar untuk mengadakan perubahan disertai keteladanan, dedikasi, totalitas, serta integritas, akan selalu mampu mengatasi tiap permasalahan.

Becermin kepada Nabi dalam menjalankan strategi dakwahnya itu, rasanya terlalu naif mengatakan bahwa nasib pemimpin dan bangsanya bergantung pada semata-mata keberuntungan. Dalam Alquran surat Ar-Ra'du [13] ayat 11 telah ditegaskan, ''Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa dia sendiri mengubah nasibnya.''

Ayat ini memberi otoritas kepada segenap manusia untuk berusaha sekuat tenaga dan pikiran, mengerahkan segala potensinya demi kehidupan yang lebih baik. Bukan semata-mata berharap dan hanya bergantung terhadap 'kekuatan lain' dalam menjalani hidup.

Rabu, 24 Desember 2008

Resolusi Hijrah

Oleh Masagus AF

Pada 17 dan 18 Hijrah, atas saran Ali, Umar menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan Islam, menggantikan perhitungan tahun Fil (Gajah) dan tahun-tahun lainnya yang berlaku saat itu. Pemilihan ini patut direnungkan oleh semua orang.

Tradisi penanggalan biasanya dipijakkan pada peristiwa kelahiran seorang tokoh, pemimpin agama, dan kemenangan yang dicapai suatu bangsa sebagai awal penanggalan. Tetapi, Islam tidak mengambil salah satu di antara peristiwa-peristiwa tersebut sebagai awal kalendernya. Tidak peristiwa kelahiran Nabi, tidak pula Fath Makkah (pembebasan Kota Makkah), bahkan tidak juga peristiwa pengangkatan Muhammad sebagai rasul untuk awal perhitungan kalendernya. Tetapi, justru memilih peristiwa hijrah.

Hijrah dipilih karena merupakan tonggak sejarah perjuangan. Karena, di balik peristiwa hijrah, terkandung nilai-nilai, tekad yang kuat, dan etos perjuangan yang luar biasa. Makkah, sebagai kota kakek, keluarga, dan tempat kelahiran Nabi, pada waktu itu berada dalam kekuasaan orang-orang Quraisy. Nabi, selama masa tiga belas tahun perjuangannya di balik dinding-dinding kota yang dikuasai kaum Quraisy dan di bawah atap-atapnya yang rapat, tidak berhasil membuka jendela ke dunia luar.

Dengan hijrah, Nabi berusaha membuka ufuk baru bagi bangsa Arab yang bercorak kekabilahan keluar dari Makkah, sarang kebodohon, kemusyrikan, dan kezaliman, untuk memperoleh kemerdekaan sebagai gantinya. Jadi, hijrah Nabi ke Madinah bukan karena kalah, tetapi mengalah untuk menang.Tahun baru Islam adalah pintu gapura waktu yang baru. Maka, tahun ini adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri) serta merampungkan cita-cita dan mimpi-mimpi kita yang belum sempat terwujud.

Apa yang sebaiknya dilakukan di awal tahun ini? Pertama, mengevaluasi diri. Jika selama ini kita lebih banyak melakukan kesalahan, bertaubatlah karena menyesal, lalu meninggalkan perbuatan tersebut seraya bertekad kembali ke jalan yang lurus.Kedua, mengubah sikap. Hijrah berarti mengubah kebiasaan negatif, gaya hidup tidak teratur, malas, atau gaya hidup konsumtif, menjadi rajin beribadah, banyak beramal saleh, tidak egois, dan seterusnya.

Ketiga, memperjelas tujuan hidup. Hidup tanpa tujuan laksana kapal tanpa nahkoda, tak tahu ke arah mana hendak berlayar dan mudah terombang-ambing. Sebaliknya, hidup bertujuan adalah hidup dengan arah yang jelas. Dan, yang terakhir adalah mencari peluang-peluang baru guna perubahan hidup yang lebih baik untuk dunia dan akhirat.

Bahagia dengan Husnuzhon

Oleh Agus setyadi

Kehidupan bagaikan sebuah pengembaraan. Banyak yang manusia temui sepanjang perjalanan hidupnya. Banyak hal yang tak pasti dan tak dapat diprediksi. Terkadang manusia mengalami kebahagian, kadang ia juga mengalami kesedihan. Banyak hal yang dilakukan untuk menghilangkan efek dari satu pengalaman yang didapat dari perjalanan hidup, salah satunya adalah husnuzhon.

Husnuzhon adalah suatu sikap berbaik sangka dalam segala hal, baik dalam menyikapi informasi negatif tentang orang lain atau dirinya. Husnuzhon juga dapat diartikan ber-positive thinking terhadap suatu kejadian yang tidak nyaman yang dialami oleh seseorang dengan hal-hal yang baik agar lebih bermakna dan dapat diambil hikmahnya.

Sikap husnuzhon dalam hidup sangatlah penting. Ketika manusia diberi cobaan hidup oleh Allah SWT, yang muncul terkadang adalah keputusasaan yang berujung pada kecemasan hingga mengakibatkan stres. Di sinilah peran husnuzhon membantu manusia dalam mengatasi kecemasan dan stres hidup yang disebab oleh suatu kejadian.

Dengan ber-husnuzhon akan timbul suatu ketenangan batin yang berdampak pada kebahagiaan hidup. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ''Hindarilah oleh kamu sekalian berburuk sangka karena buruk sangka adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kamu sekalian saling memata-matai yang lain, janganlah saling mencari-cari aib yang lain, janganlah kamu saling bersaing (kemegahan dunia), janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling membenci, dan janganlah kamu saling bermusuhan tetapi jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.'' (HR Muslim).

Allah SWT berfirman pada Surah Yunus ayat 36 tentang orang-orang yang senantiasa berburuk sangka dalam memaknai suatu kejadian, ''Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.'' (QS Yunus [10]: 36).

Sikap su'uzhon atau buruk sangka itu tidak membuat tenteram hati. Kecurigaan dan kegelisahan datang silih berganti menyelimuti diri, dan membuat manusia menderita. Oleh karenanya, dengan husnuzhon hidup dapat lebih baik. Selain terhindar dari penyakit hati seperti iri, dengki, dan marah juga dapat terhindar dari penyakit psikologis seperti trauma, kecemasan, stres, dan depresi. Jadikanlah hari-hari kita dengan sikap husnuzhon. Sikap pembersihan jiwa dari kotoran dan pemaknaan yang lebih berarti untuk melangkah ke arah masa depan yang lebih baik.

Senin, 22 Desember 2008

Muliakanlah Waktu

Oleh Rahmat Banu Widodo

''Demi masa sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh, yang sanggup menasihati kebenaran dan kesabaran.'' (QS Al Ashr).Islam memandang begitu pentingnya waktu dan gerak bagi kehidupan ini, sampai Allah SWT dalam Alquran bersumpah demi waktu. Para mufasir bersepakat ayat ini berkaitan dengan waktu, dan mengingatkan kaum Muslimin akan senantiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam menjalankan hidup yang begitu singkat di dunia.

Hakikatnya perjalanan waktu tidak ada yang lebih mulia atau hina, hanya peristiwanya saja yang selalu mengisi waktu dalam keadaan mulia atau hina. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari mempertegas tidak ada waktu yang mulia atau hina, juga tidak ada tempat yang suci atau kotor, semua berpulang pada goresan peristiwa yang menyucikan atau memuliakannya.

Setiap manusia diberi kesempatan yang sama oleh Allah SWT untuk memanfaatkan waktu dan tempat yang telah tersedia dalam lapangan kehidupan di dunia. Allah SWT memberikan kebebasan dan kewenangan kepada manusia untuk mewarnai peristiwa (perbuatan) dalam perjalanan waktu yang telah Allah berikan.Ada sebagian manusia yang menggunakan perjalanan waktunya dengan pekerjaan yang sia-sia. Ia merusak kehidupannya, merusak dirinya, korupsi, minum-minuman keras, konsumsi narkoba, atau berzina. Perbuatan itu termasuk menghinakan perjalanan waktu yang Allah SWT berikan.

Tetapi, ada sebagian manusia yang mencoba memanfaatkan perjalanan waktu dengan memuliakannya. Ia mengisinya dengan pekerjaan yang bermanfaat buat dirinya, beramal shaleh, bersikap jujur, menolong sesama, mengayomi yang lemah, serta menciptakan harmonisasi lingkungan dan alam sekitar. Manusia semacam itu termasuk yang telah memuliakan waktunya.Masih dalam surah Al-Ashr Allah SWT berfirman: ''Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh.''

Orang-orang yang merugi, seperti disebutkan dalam surah Al-Ashr adalah orang-orang yang tidak memanfaatkan perjalanan waktunya dengan peristiwa atau perbuatan yang mulia. Ia menghinakan peristiwa hidupnya dalam perjalanan waktu yang telah Allah SWT berikan. Sebaliknya, berbahagialah orang-orang yang beruntung, yaitu orang-orang yang senantiasa mengukir kemuliaan dalam kesempatan perjalanan waktu yang Allah SWT berikan. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beruntung, yang menunaikan amanah waktu untuk hal-hal yang bermanfaat.

Bunda

Oleh Desy Arisandy

Seribu definisi tak akan cukup ketika menyebut satu nama, "Ibu". Insan pemberi, ikhlas tanpa pamrih, kasihnya mengalir tak bermuara, sayangnya tak berujung, cintanya tiada bertepi, serta doanya selalu terlantun dan terpatri. Dia adalah manusia tangguh tanpa pernah mengeluh. Selalu siap merangkul tanpa pernah diminta.

Rasulullah SAW pun sangat menghormati sosok ibu hingga beliau lebih mengutamakannya dibandingkan makhluk lainnya di muka bumi ini. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Telah datang kepada Rasulullah SAW seorang laki-laki yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak saya pergauli dengan baik?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Dia bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Dia bertanya lagi, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau pun menjawab, 'Ibumu.' Dia pun bertanya lagi, 'Kemudian siapa?' Beliau menjawab, 'Ayahmu.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Ibu adalah pahlawan bagi setiap jiwa anak manusia. Darah, air mata, dan peluh siap dipertaruhkan, senandung doa pun hanya tercipta demi buah hatinya. Bahkan, berkorban nyawa pun dilakukan ketika anaknya hadir di muka bumi. Pernahkah terbayang dalam benak kita ketika ia harus menanggung beban dalam dirinya selama sembilan bulan? Berjuta penat, lelah, dan berbagai rasa tidak nyaman menyergap dirinya. Namun, karena cinta yang tiada tergantikan merasuk serta menjalar dan menghujam dalam benak sang ibu, ia pun menghadapi semua dengan senyum dan untaian syukur.

Tidak berhenti di situ, ia merawat dan membesarkan serta mendidiknya hingga dewasa dengan kasih yang tak bertepi. Allah mengingatkan kita pada jasa ibu melalui ayatnya, ''Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik pada ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula) ....'' (QS Al Ahqaaf [46]: 15).

Sejatinya, ibu adalah lautan berjuta kasih. Sekumpulan kata-kata indah, bahkan tidak akan sanggup melukiskan betapa besar pengorbanannya. Tiada sesuatu pun yang sebanding. Tumpukan permata, gunung berlian, bahkan seisi lautan seumpama diubah menjadi kristal termahal pun tidak akan sanggup jika kita harus membayarnya. Tidak heran jika Sang Pemilik Arasy memberinya ganjaran dengan kedudukan yang sangat mulia, yang tidak akan pernah didapatkan oleh makhluk mana pun di semesta raya ini.

''Dan, Tuhanmu telah memerintahkan kamu supaya jangan menyembah, selain Dia. Dan, hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya ....'' (QS Al Isra [17]: 23). Sungguh, menghormati dan menyayangi orang tua terlebih ibu merupakan jalan terbaik meraih keberkahan hidup dunia dan akhirat.

Kamis, 18 Desember 2008

Guru Kehidupan

Oleh Rochmad Widodo

Sesungguhnya, kehidupan adalah guru kita untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Di kala sedang terhimpit kesulitan, kita bisa belajar darinya: bagaimana agar kita di masa mendatang bisa terhindar dari kesulitan dan bagaimana kita akan menghadapi kesulitan jika itu terjadi lagi. Atau, bagaimana bersikap yang terbaik ketika kemalangan tak terelakkan.

Begitupun, ketika kita memperoleh anugerah suatu kebahagiaan. Maka itu, kita bisa memetik pelajaran dari kebahagiaan tersebut. Bagaimana kita bisa memperoleh kebahagiaan untuk hari esok dan bagaimana cara kita untuk mengungkapkan suatu kebahagiaan agar kita terlindung di jalan Allah SWT.
Allah SWT menjelaskan dalam QS Alhadid [57] ayat 23, ''(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan, Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.''

Tidak hanya sebatas itu yang bisa kita jadikan sebagai guru dalam kehidupan. Tetapi, semua yang ada dalam kehidupan ini bisa kita jadikan guru untuk berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Tak terkecuali satu tarikan napas untuk melangsungkan kehidupan kita. Karena itu, mengandung suatu pembelajaran bagi kita dalam mengatur hidup, makna sebuah rasa syukur, menghargai hal yang terlihat sepele, dan sebagainya.

Dan, masih ada satu lagi guru kehidupan tak kalah penting untuk kita sadari dalam kehidupan, yaitu kematian. Karena, dengan mengingat kematian, kita bisa menghargai betapa nikmatnya waktu hidup yang singkat ini sehingga kita harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Ali Imron ayat 185, ''Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan, sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.''

Semoga dengan ini kita tergolong sebagai orang yang beruntung dan senantiasa menjadikan kehidupan sebagai guru untuk mengarungi bahtera kehidupan yang berliku. Selain itu, mendapatkan ridha Allah SWT dan menjadi pribadi Muslim yang hakiki. Amin.

Karakter Amanah

Oleh Resa Gunarsa

''Dan (orang-orang yang beriman itu adalah) orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.'' (QS Almukminun [23]: 8).
Sifat amanah yang sangat ditekankan dalam Islam begitu menguntungkan.

Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga orang lain. Proses interaksi sosial yang kondusif dalam sebuah masyarakat hanya akan terwujud jika setiap individu memiliki komitmen yang baik terhadap kepercayaan, kejujuran, kesungguhan, keadilan, sportivitas, istikamah, serta tanggung jawab. Dan, semua itu lahir dari karakter amanah.

Rasulullah SAW adalah teladan paling sempurna dalam soal amanah. Beliau digelari al-amin, sosok yang tepercaya dan amanah. Sebelum dan sesudah pengutusan, orang-orang Quraisy biasa menitipkan barang-barangnya kepada Rasulullah. Saat beliau hijrah, Ali ibn Abi Thalib radhiallahu anhu yang saat disuruh mengembalikan barang-barang titipan tersebut kepada pemiliknya.

Kezaliman, dusta, manipulasi, permusuhan, dan berbagai pelanggaran moral yang terjadi di tengah masyarakat adalah ciri rendahnya komitmen amanah dan meruyaknya karakter khianat. Akibatnya, sendi-sendi agama, kehormatan, harta, ilmu, kekuasaan, penegakan hukum, dan lain sebagainya menjadi hancur. Rasulullah bersabda, ''Jika amanah diabaikan, maka tunggulah hari kiamat.'' (HR Bukhari).

Ibnu Al-Jauzi menyatakan, seperti yang dinukilkan dari sebagian ahli tafsir, bahwa terma amanah dalam Alquran meliputi tiga aspek perbuatan. Pertama, pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama. Ini terdapat dalam firman Allah, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.'' (QS Al-Anfal [8]: 27).

Ibadah berupa ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah titipan amanah paling besar yang dibebankan kepada manusia. Allah berfirman, ''Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.'' (QS Adzdzariyat [51]: 56). Maka, jika manusia tidak mau beribadah kepada Allah, berarti ia telah berlaku khianat.

Kedua, penyampaian yang baik. Seperti dalam firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.'' (QS Annisa [4]: 58). Dan ketiga, penjagaan kepercayaan yang diberikan orang lain. Seperti dalam firman Allah, ''.... Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.'' (QS Al-Qashash [28]: 26). Semoga kita termasuk golongan yang mampu mengemban amanah.

(-)

Embara

Oleh Muhammad Gufron Hidayat

Manusia hidup di dunia layaknya pengembara yang sedang melakukan perjalanan. Sang pengembara harus melaksanakan tugas yang diembannya, ia tidak boleh mengecewakan pihak yang memberi amanat. Semua tempat yang disinggahi bukanlah tempatnya, ia hanya menumpang untuk kemudian meninggalkannya kembali. Semua harta yang dimiliki juga bukan miliknya, itu hanya titipan dan suatu saat akan ditinggalkan.

Dari Ibnu Umar RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW memegang kedua pundaknya seraya bersabda, ''Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara.'' Kemudian, Ibnu Umar berkata, ''Jika kamu berada di sore hari, jangan tunggu pagi hari dan jika kamu berada di pagi hari, jangan tunggu sore hari. Gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu.'' (HR Bukhari)

Sejatinya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalani hidup ini dan kaitannya sebagai pengembara. Pertama, hendaknya selalu menyadari tujuan pengembaraannya. Dengan tujuan yang jelas, kaki yang dilangkahkan akan terarah dan tidak akan mudah tergoda oleh buaian-buaian kesenangan sesaat yang menghampiri. Tujuan yang jelas juga dapat mengingatkan manakala suatu saat kita tergelincir.

Kedua, membawa barang bawaan secukupnya agar tidak menyusahkan ketika di perjalanan. Islam tidak melarang umatnya menjadi orang kaya, tetapi Islam mengarahkan agar zuhud terhadap dunia. Bahkan, agama mengingatkan bahwa kefakiran selalu dekat dengan kekufuran. Ia juga harus menyadari bahwa bekal yang dibawa akan dipertanggungjawabkan kelak.

Ketiga, sang pengembara hendaknya selalu berhati-hati dan mematuhi peraturan yang ada agar selamat sampai tujuan. Allah SWT memberikan pedoman berupa Alquran dan sunnah bagi hamba-Nya agar selamat hidup di dunia fana ini. Selama kedua pedoman itu diikuti, kita tidak akan tersesat selama-lamanya.

Keempat, menggunakan waktu yang dimiliki sebaik-baiknya dengan cara berbuat hal yang bermanfaat bagi diri dan makhluk di sekitarnya. Ada pepatah mengatakan, 'manusia itu tidak enak dagingnya'. Jika gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan jika manusia mati tidak ada yang ditinggalkan kecuali amal yang akan dikenang sepanjang zaman.

Dengan menyadari hidup ini laksana pengembara, semoga hidup kita lebih bermakna dan bermanfaat. Wallahu a'lam.

(-)

Minggu, 14 Desember 2008

Rokok dalam Perspektif Fikih


  • Oleh A Adib

APABILA Anda termasuk ”ahli hisab” —sebutan bagi orang yang memiliki kebiasaan mengisap rokok— ada baiknya kini mulai mengurangi dan pelan-pelan meninggalkan kebiasaan tersebut. Selain mengganggu kesehatan, saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tengah bersiap-siap mengeluarkan fatwa haram atas lintingan tembakau tersebut.

”Akhir tahun ini, kita akan membahas dengan sejumlah ulama. Jika rapat tersebut menyetujui fatwa haram, maka akan diberlakukan secara nasional,” kata salah seorang ketua MUI Pusat, H Amidhan, belum lama ini.

Fatwa haram bukan lagi hal baru di MUI. Juli lalu, ada rapat koordinasi daerah wilayah Sumatera yang telah menetapkan fatwa haram bagi rokok. Namun ketetapan itu masih akan dibicarakan dengan sejumlah ulama dalam rapat ijtima. Sebelum ini, lima tahun lalu, MUI Pusat telah menentukan fatwa makruh pada rokok.

Sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Ikatan Ahli Kesehatan (IAK) terus mendesak agar MUI segera menetapkan fatwa haram bagi rokok. Untuk itu, Komnas Perlindungan Anak dan IAK telah mendatangi kantor MUI untuk membicarakan hal tersebut.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi berharap, penetapan fatwa haram bagi rokok bisa menekan angka perokok di kalangan anak. Ini akan membentuk paradigma baru tentang bahaya merokok. Yang penting, pemerintah juga harus ikut tanggap dalam upaya ini.

Wacana yang digulirkan MUI menimbulkan tanggapan dari sejumlah ulama yang setuju maupun menolak fatwa haram tersebut. Yang mendukung menyampaikan argumentasi tentang mudharat (bahaya) merokok, yang telah disampaikan oleh berbagai institusi berwenang, dengan data-data yang dan fakta efek negatif merokok.

Bagi yang menolak, tidak kalah sahih argumentasinya, terutama dengan alasan kemanusiaan. Sebab jika fatwa haram sampai dikeluarkan, makin banyaknya angka pengangguran di Indonesia, akibat penutupan pabrik rokok yang gulung tikar. Pemerintah merugi sangat banyak, akibat berkurangnya pemasukan negara dari cukai yang selama ini sangat mendominasi sektor pajak dan cukai.

Rokok dalam Prespektif Fikih

Khilafiah (perbedaan pendapat) soal hukum rokok juga bukan hal baru di kalangan ulama maupun umat Islam. Almarhum Syeh Ihsan, Jampes, Kediri, telah memaparkan masalah perbedaan ulama dengan mengumpulkan literatur kontemporer (kitab-kitab kuning) dalam kitab Irsyadul Ihwan setebal 53 halaman.

Secara rinci, Syeh Ihsan dalam bab kedua menjelaskan ulama-ulama yang mengharamkan rokok. Di antaranya ulama Alqulyubi dalam kitab Sarah Aljalal al-Mahalli dan Ibrahil Al-luqoni al-Maliki dalam kitab Sarah al-Minhaj dan Alkifayah, Syeh al-Tharabisi dan Al-Bijairami dalam kitab Al-Iqna, serta Imam Al-Bajuri dan Syeh Torabisy.

Kesimpulan dari pendapat ulama salaf (terdahulu) yang mengharamkan mengisap adalah: rokok bisa menyebabkan hilangnya akal sehat jika diisap, dan bisa menimbulkan penyakit yang membahayakan kesehatan tubuh seperti impotensi, sesak nafas, dan penyakit lain yang membahayakan.

Syeh Hasan al-Syarnabila al-Hanafy lebih keras lagi. Selain haram mengisap, karena jelas-jelas membahayakan kesehatan dan bisa melemahkan akal, juga haram bagi siapapun untuk menjual dan membeli rokok. Jika sesuatu diharampakan menjual, maka memebeli juga haram. Demikian pendapat Hasan.

Berbagaipendapat ulama yang mengharamkan ini bisa diringkas menjadi empat sebab dijadikannya alasan untuk mengharamkan rokok. Pertama, membahayakan kesehatan berdasarkan temuan dan pengalaman empiris tabib (dokter), sehingga setiap sesuatu yang membahayakan diharamkan.
Kedua, mengkhawatirkan terjadinya bahaya sehingga dilarang secara syar’i, merujuk hadist Imam Ahmad, dari Umi Salamah: ”Rasulullah mencegah setiap yang memabukkan, dan yang melemahkan akal sesuai advis tabib (dokter)”.
Ketiga, menimbulkan bau tidak sedap bagi pengisap, khususnya jika menghadiri pertemuan. Keempat, tidak ada manfaatnya, bahkan mengandung bahaya.

Dalih Halal

Tetapi, sejumlah ulama salaf justru menghalalkan rokok dan menolak pendapat ulama yang mengharamkan. Misalnya Syeh Abdul Ghoni al-Nabilisi, pengikut madzhab Hanafi. Menurut dia, rokok bukan sesuatu yang najis yang diharamkan.

Adapun jika menyebabkan gangguan kesehatan atau melemahnya akal sehat akibat merokok, itu dikarenakan ada sebab. Jadi, yang haram adalah akibat yang membahayakan, bukan materiil rokok itu sendiri. Yang diharamkan bagi orang yang terkena dampak rokok, bukan bagi yang lain.

Syeh Shulthan hanya menyebut hukum merokok itu makruh. Selain itu, karena tidak ada dalil yang menguatkan haram, dan tidak ada manfaat bagi pengisap, ada juga yang mengatakan hukum dasarnya adalah mubah.

Syeh Ali al-Ajhur dalam kitab Ghoyaul-Bayan menyebutkan, hukum rokok hahal sepanjang tidak mengakibatkan hilangnya akal sehat akabat merokok dan tidak membahayakan kesehatan tubuh.

Fatwa serupa juga telah disampaikan Abdullah bin Muhammad al-Khanafy, bahwa rokok tidak haram kecuali bagi orang bisa kehilangan akal sehat, serta membahayakan kesehatan badannya akibat merokok.

Abdullah bin Muhammad Annahriry Al-khanafy dalam kitab Syarah Al-Ummiyah, dan Syeh Ahmad Al-Maliky, pun menulis bahwa rokok haram jika berakibat hilangnya akal dan membahayakan kesehatan berdasarkan petunjuk dokter yang mengerti permasalahan tersebut. Jika tidak membahayakan sesuai dengan petunjuk dokter, maka tidaklah haram.

Kesimpulannya, para ulama terdahulu masih terjadi perbedaan pendapat soal hukum rokok, yaitu hukum dasarnya mubah, haram, dan makruh. Yang menjadi catatan, fatwa ulama —termasuk MUI— adalah fatwa keagamaan, bukan agama.

Kemungkinan terjadi khilafiah karena tidak seluruhnya sependapat adalah wajar dan biasa terjadi pada ulama ahli fikih terdahulu, baik pengikut Imam Syafii, Hanafi, Hambali, maupun Maliki. Ruang perbedaan cukup terbuka lebar, sebelum atau sesudah munculnya fatwa. (32)

—A Adib, wartawan ”Suara Merdeka” di Biro Jakarta.

Sabtu, 13 Desember 2008

Introspeksi dan Ekstrospeksi


Oleh Amrina Ratna Salmah

Kata introspeksi tidak asing lagi di telinga kita. Introspeksi berarti melihat ke dalam diri kita atas apa saja yang telah kita lakukan atau lebih mudahnya adalah kegiatan untuk mengevaluasi diri dengan cara becermin atas apa yang telah kita jalani. Out put maksimal dari introspeksi diri adalah mendapatkan pemetaan tentang kualitas, kapasitas, dan kapabilitas diri kita sebagai manusia biasa yang memang tak luput dari kelemahan.

Sama halnya dengan introspeksi, ekstrospeksi juga akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi yang melakukannya, yakni bagi seseorang yang mau berkembang dan terus memperbaiki diri setiap hari. Hanya saja jika introspeksi dilakukan dengan cara mengevaluasi ke dalam internal pribadi atas apa yang telah dilaluinya, sebaliknya ekstrospeksi adalah mengevalusi sisi eksternal kita atas apa yang terjadi untuk diambil pelajaran.

Mengapa keduanya penting? Sebab, tidak ada hal yang kebetulan di dunia seperti tecermin dalam firman Allah SWT berikut ini, ''(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'' (QS Ali Imran [3]: 191).

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa tidak ada yang sia-sia dalam setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dengan melakukan ekstrospeksi, kita akan mendapatkan ide-ide segar yang baru dan tepat sebagai solusi menyikapi hasil introspeksi diri kita. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca, bertanya, dan mendengarkan segala informasi dan pengetahuan terkini yang berguna. Bahkan, kita juga bisa belajar dari kejadian alam di sekitar kita.

Dengan melakukan introspeksi dan ekstrospeksi diharapkan kita menjadi manusia yang beruntung, yakni sesuai pesan Rasul Muhammad SAW kepada umatnya, seseorang yang beruntung adalah yang kondisinya hari ini lebih baik dari kemarin. Seseorang yang mau memperbaiki diri dan melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Sehingga, kita terhindar dari kemandekan apalagi kemunduran, sebab perubahan adalah kehidupan itu sendiri dan stagnan berarti mati.

(-)

Menjemput Rizki


Oleh: Agus Taufik Rahman

''Janganlah merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena, sesungguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal hingga telah datang kepadanya rizki terakhir yang telah ditentukan untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.'' (HR Al-Hakim). Sering kali, manusia diliputi rasa gundah dan putus asa atas kepastian rizki yang akan diperolehnya. Apalagi, di tengah kondisi perekonomian bangsa yang kian terpuruk. Kenaikan harga sembako, maraknya PHK, sempitnya lapangan kerja, serta minimnya keahlian yang dimiliki menjadi momok yang menakutkan.

Di tengah kondisi krisis ekonomi, mestinya tidak menjadikan seseorang putus asa akan karunia Allah SWT jika saja mengimani hadits di atas. Rasa putus asa dan kekhawatiran yang berlebihan justru akan lebih mempersulit terbukanya pintu rizki yang telah digariskan. Rasa yakin dan optimis mestinya terus dipupuk dalam hati akan datangnya rizki Allah, dengan dibarengi usaha maksimal dan tawakal tentunya.

Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan hambanya untuk terus yakin dan optimis akan datangnya anugerah serta karunia-Nya dengan cara menghempaskan jauh-jauh rasa putus asa tersebut dalam lubuk hati seorang Mukmin. ''... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.'' (QS Yusuf [12]: 87).

Tugas manusia adalah menjemput rizki dengan berusaha dan berdoa sebaik-baiknya sesuai etika dan jalan yang dibenarkan Allah dan Rasul-Nya. Adapun, setelah itu, kita diperintahkan untuk menyerahkan segala hasil jerih payah kita sepenuhnya pada Allah SWT.Mustahil bagi Allah SWT menyalahi janji pada hambanya yang telah berusaha sekuat yang ia mampu. Karena, sesungguhnya, ia akan mendapatkan balasan selaras dengan usaha yang telah dikerahkan. ''Dan, katakanlah, bekerjalah kamu sekalian.

Maka, Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada-Nya yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu, diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.'' (QS Attaubah [9]: 105). Jiwa pantang menyerah dan tidak putus asa adalah karakter seorang Muslim. Maka, maksimalkanlah segala kemampuan yang dimiliki untuk menjemput jatah yang telah ditetapkan. Karena, itu adalah ibadah.

Selamatkan Bumi Kita


Oleh Faiqoh Fauzie

''Maka, apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.'' (QS Al-Hajj [22]: 46).

Kondisi bumi yang semakin hari semakin tua, belum juga menyadarkan kita bahwa bumi adalah karunia yang juga merupakan tanggung jawab bersama. Seiring dengan semakin rentanya, kerusakan justru harus ditanggungnya, padahal meski usia bumi dapat kita hitung semenjak keberadaannya, namun hingga saat ini tak seorang pun dapat memperkirakan hingga kapan bumi mampu bertahan dari sakit kerasnya.

Betapa tidak, kerusakan akibat emisi gas melanda bumi di hampir seluruh penjurunya, keluhan-keluhan pun sudah sering disampaikan oleh bumi melalui bencana-bencana yang tersebar di mana-mana. Bahkan, tidak dapat dimungkiri bahwa sekecil apa pun kerusakan yang kita perbuat hari ini, bisa dipastikan dampak bencana yang akan muncul hanya dalam hitungan hari.

Manusia yang semakin hari semakin pandai, bukannya mereka tidak sadar akan hal ini, berbagai upaya dilakukan untuk berusaha melindungi satu-satunya harta yang akan mereka wariskan kepada anak cucu mereka kelak. Bukan hanya itu, seruan-seruan untuk ikut berpatisipasi dalam mengantisipasi bencana pun dilancarkan semata-mata demi melindungi tempat berpijak kita ini.

Ada banyak pihak yang prihatin dan dengan besar hati serta antusias menyingsingkan lengan bajunya, bertindak, sekecil apa pun untuk bumi yang mereka cintai. Namun, usaha orang-orang mulia ini tidak diamini oleh sebagian besar penduduk planet ini. Sebab, pada kenyataannya justru mereka yang tidak pedulilah yang lebih besar jumlahnya daripada yang prihatin akan apa yang tengah terjadi.

Tidak sulit, sungguh tidaklah sulit untuk memulai. Misalnya, dengan hal yang paling sederhana; tidak membuang sampah sembarangan, mematikan keran air selagi kita membubuhi sabun saat mencuci piring, mengurangi penggunaan tisu, listrik, serta mengurangi penggunaan barang-barang yang sulit didaur ulang.

Tidaklah sepantasnya kita yang telah diberi kemudahan mendapatkan informasi ini serta-merta menutup mata dan telinga apalagi sampai membutakan hati dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Semantara dengan sepenuh kesadaran, kita tahu bahwa bumi ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai khalifahnya.

Mari kita mulai dengan menyebut nama Allah, bertindak selamatkan bumi, kita mulai dari diri sendiri. Mulai dari hal yang kecil dan kita mulai saat ini. Bismillahi-rrahmaanirrahiim.

Selasa, 09 Desember 2008

Kurban dan Persaudaraan


Oleh Muhammad Gufron Hidayat

''Barangsiapa yang mempunyai kelapangan, namun tidak berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami.'' (HR Ahmad dan ibn Majah).Pada tafsir Ma'ani Alquran dijelaskan bahwa kurban bermakna sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Kurban adalah salah satu bukti kepatuhan dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Berapa besar cintanya kepada Allah SWT terlihat dari apa yang ia kurbankan. Hal ini sesuai dengan kisah pengorbanan Qabil dan Habil.

Sebaik-baiknya kurban tentunya tidak akan sempurna jika tidak diikuti dangan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Kurban yang dipersembahkan Habil selain karena ia mengorbankan harta paling baik juga karena rasa takwanya kepada Allah.
''Daging-daging (unta) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.'' (QS Alhajj [22]: 37).

Bila ditelusuri lebih jauh, ternyata kurban tidak hanya berdimensi religius, tapi juga sosial. Kurban dianjurkan kepada orang yang mampu. Hal ini dapat dipahami, bahwa kurban selain untuk menunjukkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT, juga sebagai jalan yang menghubungkan antara golongan kaya dan miskin, untuk menjaga agar silaturahim antarberbagai lapisan masyarakat tetap terjalin.

Pada hari raya kurban, orang-orang yang tidak mampu bisa menikmati daging hewan kurban karena selama ini mungkin mereka tidak mampu membeli. Interaksi saling memberi ini akan merekatkan hubungan persaudaraan antara sesama. Itulah mengapa dalam Islam dikenal sedekah, infak, hibah, dan zakat. Inti dari semuanya adalah adanya pengalihan harta dari golongan mampu kepada kurang mampu.

Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa kurban menggambarkan kerelaan untuk mengorbankan sesuatu yang kita cintai. Kisah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya Ismail adalah bukti betapa kurban memberi pelajaran sangat berharga untuk kehidupan. Jiwa rela berkorban untuk orang lain dan membantu sesama yang membutuhkan, jika ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari maka kesulitan yang dihadapi bangsa inipun akan segera teratasi. Wallahu a'lam.

Sabtu, 06 Desember 2008

Mualaf


Oleh Ali Farkhan Tsani

Dalam salah satu riwayat, dikisahkan bahwa pada awal masa keislamannya, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?'' Rasulullah pun menjawab, ''Memang benar! Demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.'' Umar berkata kembali, ''Kalau begitu, mengapa kita berdakwah secara sembunyi-sembunyi? Demi Yang Mengutus Anda, demi kebenaran, kita harus keluar!''

Benar saja, Umar pun langsung menyampaikan dakwah Islam kepada keluarganya. Putranya, Abdullah bin Umar menjawab bahwa dirinya telah memeluk Islam sejak satu tahun sebelumnya. Maka, Umar bin Khattab pun menjadi marah dan berkata kepada putranya, ''Mengapa engkau menyembunyikan keislamanmu dan membiarkan ayahmu? Apakah engkau tega sekiranya aku mati dalam kekafiran? Apakah engkau meninggalkan ayahmu, wahai Ibnu Umar?''

Kemarahan Umar sebagai orang yang baru memeluk agama Islam (mualaf) berangkat dari rasa syukurnya atas nikmat dan hidayah yang Allah berikan kepadanya berupa Islam sebagai agamanya. Wujud syukurnya sebagai mualaf adalah dengan menyampaikan dakwah Islam secara terbuka kepada kaum kerabatnya dan kepada manusia lainnya.

Hingga kemudian, turunlah firman Allah, ''Maka, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.'' (QS Alhijr [15]: 94).
Sang mualaf, Umar bin Khattab, sebelumnya dikenal sebagai sosok terdepan dalam memusuhi dan memerangi Islam. Tetapi, setelah hatinya mendapat hidayah Allah, dengan nikmat keislamannya itu, ia pun menjadi orang terdepan dalam membela dan memperjuangkan Islam.

Abdullah bin Mas'ud berkata, ''Islamnya Umar adalah suatu pembebasan, hijrahnya adalah suatu kemenangan, dan kepemimpinannya adalah suatu rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, kami tidak bisa shalat di Ka'bah. Sejak Umar masuk Islam, kami mempunyai harga diri, berdakwah dengan terang-terangan, bisa duduk di sekitar Ka'bah dalam lingkaran-lingkaran, dan kami pun bisa melakukan tawaf. Kami berlaku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan kami dengan kasar.''

Begitulah mualaf. Mereka bukanlah sekadar berganti agama (convertion, tetapi lebih pada arti kembali kepada fitrah (reversion). Sebab, seorang mualaf pada dasarnya ia tidak berganti agama. Justru, ia kembali kepada hakikat fitrahnya, agama asalnya, yakni Islam.

Sesuai firman Allah, ''Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.'' (QS Arruum [30]: 30).

(-)

Pesan dari Arafah


Oleh Alwi Shahab

Pada hari Ahad, sekitar tiga juta umat Islam, 220 ribu di antaranya jamaah haji Indonesia, akan memadati Padang Arafah, sekitar 25 km dari Makkah. Mereka akan melakukan wukuf yaitu berdiam sejenak di salah satu wilayah yang berdekatan dengan Jabal Rahmah. Wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun haji yang harus dilaksanakan umat Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda: al-Hajju Arafat (haji adalah Arafah). Karenanya, mereka yang menunaikan rukun Islam kelima meski dalam keadaan sakit diberangkatkan ke Arafah.Momentum yang amat penting dalam rangka pelaksanaan ibadah haji ini mengingatkan kita kepada saat Nabi SAW menyampaikan pesan-pesan kepada umat Islam pada haji terakhir atau haji wada'. Begitu penting pesan-pesan Nabi, hingga beliau meminta kepada yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir. ''Wahai sekalian manusia.

Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Setiap Muslim adalah saudara buat Muslim yang lain, dan kaum Muslim semua bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri.''Melalui pesannya itu, Nabi mengingatkan kepada umatnya untuk saling memelihara persaudaraan. Melalui persaudaraan insani ini, akan bertambah rasa cinta manusia satu sama lain. Dalam Islam, rasa cinta demikian tidak hanya terhenti pada batas-batas tanah air tertentu. Karena itu, manusia dari segenap penjuru dunia diminta untuk berkumpul di satu irama yang sama, tanpa adanya diskriminasi. Dan, tempat berkumpul terbaik untuk itu ialah di tempat memancarnya cinta ini, yakni di Baitullah. Dan itulah ibadah haji.

Ketika melaksanakan ibadah haji, kita diperintahkan untuk hidup luhur sebagai teladan iman kepada Allah. Dalam surah Albaqarah 197 kita diingatkan ''... mereka yang mengerjakan haji tidak boleh ada satu percakapan kotor, perbuatan fasik, dan berbantah-bantahan ....''Di Tanah Suci inilah, di tempat orang-orang beriman menunaikan rukun Islam kelima, kita saling berkenalan dengan jamaah haji dari berbagai dunia untuk saling mempererat persaudaraan. Mereka diminta untuk menghilangkan segala perbedaan dan diskriminasi. Karena di tempat suci ini, mereka harus merasa di hadapan Tuhan mereka itu adalah sama.

Rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar daripada nikmat akan keagungan Tuhan. Karena Dialah sumber dari segala kebahagiaan. Menurut Muhammad Husein Haekal, penulis buku sejarah Nabi, di hadapan cahaya iman serupa ini, segala angan-angan kosong tentang hidup akan sirna. Segala kecongkakan dan kebanggaan karena harta, keturunan, kedudukan, dan kekuasaan akan lenyap. Semoga mereka yang menunaikan ibadah haji memperoleh haji mabrur.

(-)

Jumat, 05 Desember 2008

Sang Guru


Oleh Zaim Uchrowi

1200 tahun Sebelum Masehi. Di tanah Mesir di pantai, entah Mediterania, Laut Merah, atau cuma tepian Sungai Nil, lelaki perkasa itu harus 'sungkem' pada Sang Guru. Ia sosok luar biasa, Ia bukan saja pemberani, namun juga punya fisik sangat kuat. Kepalan tangannya terbukti mampu menewaskan orang. Ia pembela utama masyarakatnya, Bani Israel, di tanah perantauannya. Lebih dari itu, ia juga mendapat mandat Tuhan untuk menghancurkan simbol kediktatoran terbesar sepanjang masa: Firaun.

Musa. Siapa meragukan kebesarannya? Tiga agama besar dunia, Islam, Nasrani, dan Yahudi, menghormatinya. Tak ada catatan yang dapat merusak kesempurnaannya. Toh, seorang Musa pun memerlukan guru. Orang-orang menyebut nama Sang Guru itu Khaidir. Sosok yang tampak biasa saja, namun mampu mengajarkan berbagai 'hikmah' yang tak dikuasai Musa. Pelajaran hikmah itulah yang membuat Musa tidak hanya punya kekuatan dan keberanian, namun juga kebijakan dan kearifan. Maka, Musa menjadi satu dari lima Rasul Besar, 'Ulil Azmi', yang tercatat dalam peradaban besar manusia.

Besarnya peran Sang Guru bukan hanya ada di lingkungan penganut agama samawi. Di lingkungan Hindu, dalam epos Mahabharata yang ditulis selama ratusan tahun, guru juga memiliki peran penting di kehidupan para ksatria. Sang Guru bisa seorang resi yang harus mengambil peran sulit di tengah pertikaian seperti Durna. Ia juga bisa berupa sosok yang cenderung misterius seperti Khaidir yang memberikan tugas yang membuat kening berkerut. Dialah Dewa Ruci yang membuat sang perkasa Bima akhirnya juga menguasai hikmah.

Hari Guru baru berlalu. Sebuah momentum yang tak akan berlalu begitu saja buat saya yang dibesarkan oleh ayah yang 'guru', yang membuat saya juga bernaluri guru. Seorang guru bisa jadi seorang yang telah mendapat pengakuan berupa pengangkatan oleh negara seperti para guru formal yang ada selama ini, juga para guru bantu yang baru diangkat belakangan ini. Guru bisa juga tak bekerja resmi sebagai pengajar, namun ia tak berhenti bergerak buat mengasah dan membangkitkan potensi orang-orang di sekitarnya.

Para guru saat ini jelas bukan Nabi Khaidir. Apalagi Dewa Ruci yang cuma ada dalam cerita. Namun guru bisa, dan bahkan semestinya, mengikuti langkah-langkah mereka. Yakni, menempatkan diri untuk mengajarkan hikmah pada para muridnya untuk menjadi manusia-manusia utuh. Guru-guru demikian tidak akan mengecilkan diri sendiri menjadi sekadar alat pendidikan buat menyampaikan pelajaran. Guru-guru demikian akan terus mengasah diri lahir batin untuk dapat menjadi pribadi yang waskito. Pribadi yang mata lahir dan batinnya mampu mengenali setiap potensi para murid, dan berkemampuan membangkitkan potensi tersebut. Sebuah peran guru yang sejalan dengan akar kata edukasi: e dan ducare, yang berarti 'mengeluarkan potensi'.

Dunia saat ini sangat berbeda dengan dunia beberapa tahun lampau. Perlu manusia baru dengan cara pandang yang sama sekali baru buat mengelola dunia sekarang. Anak-anak bangsa saat ini haruslah anak-anak bangsa yang memiliki akar nilai-nilai agama dan budaya yang teguh, sekaligus mampu menjangkau peradaban global. Anak-anak bangsa kita haruslah anak-anak bangsa yang berani dan mampu menyebar dan berperan di seluruh muka bumi, dengan tetap memegang teguh nilai-nilai agama dan budayanya sendiri. Siapa yang mampu melahirkan anak-anak bangsa seperti itu kalau bukan guru?

Maka, hari-hari sekarang sungguh membahagiakan melihat para guru berlomba bermetamorfosis dari sekadar penyampai kurikulum menjadi para guru sejati pengukir sejarah yang mengajarkan hikmah dan memberikan keteladanan dalam kehidupannya.

(-)

Pelajaran dari Ismail


Oleh Ahmad Syaikhu

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ''Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!'' Ia menjawab: ''Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar,'' (QS Asshaaffaat [37]: 102).

Tamsil yang dicontohkan Ismail AS, tatkala mendengar perintah ayahnya untuk menyembelih dirinya merupakan mujahadah yang sangat besar. Betapa ia lebih mementingkan kepentingan Allah daripada kepentingan dirinya.

Rasul SAW pernah ditanya oleh sahabat, ''Wahai Rasul, jihad apa yang paling besar?'' Rasul menjawab, ''Jihad melawan hawa nafsu.'' (HR Muttafaq 'Alaih).

Penggalan percakapan tadi mengindikasikan bahwa hawa nafsu adalah faktor yang paling dominan yang memengaruhi perilaku seseorang. Dalam berkurban, anak adam diajarkan untuk menundukkan nafsu, lebih melihat saudara yang berada di bawahnya. Di sini bermain antara sikap egois dengan sikap sosial. Sebab itu, tidak sembarang manusia yang mampu untuk melaksanakan ritual ini.

Untuk itu pula, dalam hadis riwayat imam Ahmad, Rasul menegaskan, ''Siapa memiliki kelapangan uang, lalu ia tidak berkurban, maka janganlah ia datang ke tempat shalat kami''. Sebaliknya, berita gembira bagi mereka yang melaksanakan kurban, Rasul bersabda, ''Tidak ada perbuatan yang paling disukai Allah pada Hari Raya Haji selain berkurban. Sesungguhnya orang yang berkurban akan datang pada hari kiamat dengan membawa tanduk, bulu, dan kuku binatang kurban itu. Dan sesungguhnya darah kurban yang mengalir itu akan lebih cepat sampai kepada Allah daripada (darah itu) jatuh ke bumi. Maka, sucikanlah dirimu dengan berkurban.'' (HR Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Ibrah esensial dari perjalanan Ismail dan Ibrahim AS yang masih sangat relevan untuk kita teladani saat ini adalah sikap sabar, taat, dan ikhlas. Gambaran ketiga sikap ini sangatlah jelas tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan putranya untuk melakukan penyembelihan (lihat QS 37: 103). Tetapi, apa yang terjadi, atas kebesaran Allah, Ismail digantikan dengan hewan sembelihan yang besar. Bahkan, kebaikan keduanya diabadikan dan menjadi pelajaran untuk umat berikutnya.

Di atas itu semua, di tengah krisis global, bahkan multidimensional, melalui ritual kurban umat Muslim sudah selayaknya bersikap optimistis akan janji Allah SWT. Yakni, bahwa Allah akan diberikan kemenangan, kemudahan, dan Allah akan memenuhi janji-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang sabar, taat, dan ikhlas. Wallahu a'lam.

(-)

Kamis, 04 Desember 2008

Altruisme


Oleh Nasrullah Nurdin

Bulan Dzulhijjah dikenal bukan hanya sebagai bulan di mana kaum Muslimin di dunia ini menunaikan rukun Islam yang kelima di dua kota suci Arab Saudi, yaitu Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Tapi, lebih dari itu, ternyata di dalamnya terdapat sebuah kisah yang sangat bersejarah bagi umat Islam, yaitu pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang menyembelih putra yang amat disayanginya, Nabi Ismail AS.

Sebuah perintah yang bersifat tidak rasional, yang kalau kita nalari tidak akan bisa menerimanya. Akan tetapi, bila kita memahami pesan spiritual itu dengan pendekatan imani, dalam artian mempercayai bahwa perintah itu merupakan perintah Allah SWT, nalar (akal atau logika) kita akan menerimanya.

Dasar hukum terkait perintah untuk menyembelih hewan kurban (udhiyyah atau dhahiyyah) ini sebenarnya telah disinggung Allah dalam firman-Nya, ''Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.'' (QS Alkautsar [108]: 2). Dan, dalam hadis Rasulullah SAW, ''Siapa saja yang memiliki kelapangan rizki, tetapi tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali ia mendekati tempat shalat kami.'' (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Ini berarti, siapa saja yang mampu, mempunyai kelebihan harta pada saat itu, amat dianjurkan untuk berkurban.

Ibadah kurban memiliki dimensi horisontal yang sangat kuat, selain vertikal tentunya. Ia berfungsi sebagai tali penyambung antara orang kaya yang mempunyai kelebihan rizki dan kaum fakir miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Terlebih, jumlah penduduk yang kurang mampu di Indonesia saat ini sudah mencapai 30 juta jiwa lebih.

Kurban mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang mempunyai sifat altruis, yaitu mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Selain itu, ibadah ghairu mahdhah ini juga dapat menumbuhkan sikap peka terhadap kaum papa dan sikap peduli sosial yang belakangan ini terasa hilang dalam kehidupan masyarakat kota yang makin individualis dan egois.

Altruisme yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-itsar ini bisa tumbuh disebabkan kita mau melestarikan perintah Allah yang telah dipraktikkan Nabi Ibrahim AS tersebut. Dengan berkurban, kita dapat merasakan langsung bentuk ''penderitaan'' kaum fakir miskin yang setiap hari berhadapan dengan rasa lapar dan serbakekurangan. Kepedulian terhadap kaum marginal itu tidak selalu mengharuskan kita untuk memberikan sesuatu yang berbentuk fisik atau materi, tetapi dapat pula berupa rasa empati, simpati, atau afeksi terhadap kegetiran hidup mereka. Dengan berkurban, semoga batin kita bertambah kaya.

Rabu, 03 Desember 2008

Meraih Spirit Dzulhijjah


Oleh Ahmad Rifa'i

''Tiada hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid.'' (HR Bukhari).

Dzulhijjah termasuk bulan yang diperlakukan secara khusus oleh Allah. Dia menjadikannya sebagai bulan haram. Bulan yang di dalamnya umat Islam diharamkan melakukan perang dan pertumpahan darah.

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan waktu yang paling utama pada bulan ini. Dalam Alquran, Allah berfirman, ''Demi fajar dan malam yang sepuluh.'' (QS Alfajar 89 ayat 1-2). Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud malam sepuluh adalah sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sumpah Allah atas sepuluh hari pertama bulan ini menunjukkan kemuliaan hari-hari tersebut.

Kemuliaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diperkuat pula oleh perkataan Rasulullah. Rasulullah bersabda, ''Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.'' (HR Bukhari). Sebagian ulama bahkan menyejajarkannya dengan sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Secara umum, di hari-hari awal bulan Dzulhijjah, kita diperintahkan untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Sebab, ketaatan dan ibadah yang dilakukan pada waktu yang agung akan memiliki nilai lebih di sisi-Nya.

Setiap Muslim dianjurkan agar berangkat lebih awal menuju shalat jamaah dan memperbanyak melaksanakan shalat sunah. Di samping itu, pada sepuluh hari pertama bulan ini, kita juga sangat dianjurkan memperbanyak mengucapkan tahlil, takbir, dan tahmid dengan khusuk.

Ibadah lain yang juga sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan ini adalah melaksanakan puasa. Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari pertama pada bulan ini, ''Sesungguhnya, ia (puasa) sangat dianjurkan.''

Yang lebih hebat lagi dan patut menjadi motivasi bagi kita semua adalah puasa Arafah. Pada saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf, kita (yang tidak sedang melaksanakan haji) diperintahkan berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Puasa Arafah menjadi jaminan Allah untuk menghapus (dosa-dosa hamba) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.'' (HR Muslim).

Ketika semangat beribadah yang kita himpun pada bulan Ramadhan lalu sudah mulai menipis, Allah menyajikan bulan Dzulhijjah sebagai momen untuk menyegarkan semangat kita kembali. Semoga kita termasuk orang yang berhasil meraih spirit Dzulhijjah. Amin.

Kurban dan Kesalehan Sosial


Oleh Suprianto

''Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah.'' (QS Alkautsar [108]: 2).

Bagi umat Islam yang mampu, kurban hukumnya wajib. Kurban merupakan salah satu ibadah tertua yang ada. Sesuai perintah Allah SWT dalam ayat di atas, kurban dianjurkan kepada para nabi mulai dari zaman Nabi Adam sampai sekarang.

Ibadah kurban merupakan upaya menghidupkan sunah para nabi Allah SWT dengan menyembelih sesuatu dari pemberian-Nya kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur. Kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya adalah bukti syukur tertinggi.

Di antara hikmah berkurban adalah mendekatkan diri atau taqarub kepada Allah SWT atas segala kenikmatan-Nya. Kenikmatan itu jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorang pun dapat menghitungnya. (QS Ibrahim [14]: 34).

Hikmah secara eksplisit dan tegas tentang kurban ini, telah diungkapkan dalam Alquran, ''... Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.'' (QS Alhaj [22]: 36).

Hikmah berikutnya adalah menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari 10 hingga 13 Dzulhijjah, yakni hari Nasar (penyembelihan--Red) dan hari-hari Tasyriq. Dengan setulusnya, kita bersaksi bahwa hanya Allah-lah yang Mahabesar, Maha Esa, Mahaperkasa, dan sifat kesempurnaan lainnya.

Kebahagiaan akan tercapai bila manusia menyadari fungsi keberadaannya di dunia ini hanyalah untuk menjadi hamba dan abdi Allah SWT, bukan abdi dunia, ataupun abdi setan. (QS Addzariyat [51]: 56).

Di samping itu semua, Hari Raya Kurban berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Itu terlihat ketika pemotongan hewan yang akan dikurbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul.

Mereka satu sama lainnya meluapkan rasa gembira dan sukacita. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.

Ibadah kurban menegaskan Islam adalah agama yang berdimensi sosial. Karena itu, orang Islam yang tidak mampu mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, dianggap sebagai pendusta agama. (QS Alma'un [107]: 1-3).

(-)

Al Quran On Line